Minggu, Juni 21, 2009

Membatasi Masa Jabatan Kepala Negara

Shofhi Amhar

Tempo hari saya pernah berkomentar tentang kampanye berbaju laporan hasil survey oleh Denny JA. Denny menganjurkan agar para pemilih memilih satu pasang capres-cawapres tertentu saja agar Pilpres 2009 berjalan hanya satu putaran. Sebab itu berarti menghemat anggaran karena tidak perlu menyelenggarakan pilpres putaran kedua.

Saya tanggapi ulah Denny JA tersebut dengan menyatakan bahwa seharusnya yang dipakai adalah mekanisme Islam dalam menentukan pemimpin. Alasan primernya adalah karena kaum Muslimin memiliki kewajiban terikat dengan hukum-hukum syariat dalam segala hal. Adapun keuntungan lain hanya bersifat sekunder bahkan tersier.

Namun demikian, dalam kontek penghematan dana, mekanisme Islam yang tidak membatasi masa jabatan khalifah sekian dan sekian tahun tentu akan lebih menghemat biaya dibandingkan dengan mekanisme dalam sistem demokrasi yang mewajibkan penyelenggaraan pemilu dalam dalam jangka waktu tertentu (biasanya empat atau lima tahun).

Muncul pertanyaan: bukankah demokrasi memaksudkannya supaya pemimpin tidak jadi otoriter, diktator, dst? Apakah membatasi masa jabatan menjadi sesuatu yang tidak boleh secara syar’i?

Betul, demokrasi membatasi masa jabatan kepala Negara dengan maksud agar pemimpin tidak jadi otoriter, diktator, dst. Meskipun pada faktanya tidak jarang terjadi otoritarianisme dalam sistem demokrasi, namun setidaknya begitulah teorinya. Begitulah, pembatasan masa jabatan dilakukan untuk mendapatkan maslahat tertentu.

Untuk pertanyaan kedua, saya jawab: Ya. Membatasi masa jabatan adalah sesuatu yang haram secara syar’i. Sekali lagi bukan karena pertama-tama ia tidak menghambur-hamburkan uang, melainkan karena ada nash yang tidak memperbolehkannya.

Kita tahu bahwa sepanjang sejarah, kaum Muslimin tak pernah membatasi masa jabatan kepala Negara (khalifah) kecuali setelah merebaknya paham kufur demokrasi di negeri-negeri kaum Muslimin. Rasulullah melarang kaum Muslimin untuk mencabut baiat (tanâzu’) bagi seorang khalifah selama yang bersangkutan tetap menegakkan shalat (baca: hukum-hukum Islam) dan tidak tampak kekufuran di dalam pemerintahannya. Hadis-hadis yang berbicara tentang pencabutan kekuasaan menjadi dalil tegas tidak bolehnya pembatasan masa jabatan seorang kepala Negara.

Adapun maslahat yang diharapkan akan didapatkan dari pembatasan jabatan seperti dalam sistem demokrasi, maka hal itu tidak perlu diperhatikan. Bukankah para sahabat meninggalkan sesuatu --yang menurut mereka bermanfaat-- karena Rasulullah melarangnya? Hal itu tidak lain karena para Sahabat –ridhwânullâhi ‘alaihim- tahu bahwa menaati Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi mereka. Nahâ Rasûlullâh syay`an kâna lanâ nâfi’an, wa thawâ’iyatullâh anfa’u lanâ.

Waffaqanallâhu wa Iyyâkumajma’în.

Politik Gincu vs Politik Garam

Shofhi Amhar

Assalâmu ‘alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh.
Bismillâhirrahmânirrahîm. Alhamdu lillâhi Rabb al-‘Âlamîn. Washshalâtu wassalâmu ‘alâ sayyid al-awwalîn wal âkhirîn, Nabiyyinâ Muhammadin wa ‘alâ âlihi washahbihî ajma’în.

Ammâ ba’d.

Saya tertarik dengan istilah ini: politik gincu dan politik garam. Politik gincu adalah politik yang melihat semuanya dari sisi permukaan dan unsur simbolisasinya saja. Misalnya: istilah teo-demokrasi. Istilah ini dianggap sebagai salah satu bentuk politik gincu karena demokrasi yang berasal dari Barat itu hanya ditambahi “teo”, sedangkan substansinya tetaplah demokrasi. Mungkin begitu. Atau kemungkinan yang lain: kita tidak perlu menggunakan istilah-istilah baru untuk mengemukakan ide-ide kita, cukup gunakan istilah “demokrasi” tetapi dengan substansi isi yang berbeda, sehingga istilah “teo-demokrasi” perlu dikritik karena hanya merupakan politik gincu. Politik gincu itu jelek.

Sedangkan politik garam adalah politik yang baik. Politik garam adalah politik yang lebih mementingkan substansi/isi/materi daripada simbol. Politik garam tidak menganggap simbol tidak penting, tetapi sekedar ingin mengatakan bahwa substansi jauh lebih penting.

Pada praktiknya, jujur saya tidak mahir memetakan mana yang termasuk politik garam dan mana yang termasuk politik gincu. Kita ambil satu-dua contoh.

Pertama, Ki Bagus Hadikusumo, sebagai salah seorang tokoh Muhammadiyah, konon katanya pernah menorehkan gagasannya di dalam Pancasila, yaitu sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila yang semula rumusannya adalah “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya”, telah diubah secara khianat oleh Muhammad Hatta atas usulan sebagian salibis yang punya syahwat disintegrasi. Tujuh kata setelah “Ketuhanan” dihapus. Tampillah –Allah Yarham- Ki Bagus Hadikusumo, sebagai langkah kompromi, menambahkan kata “Yang Maha Esa” yang beliau maksudkan sebagai Tauhîd.

Nah, pertanyaannya: langkah yang ditempuh oleh Ki Bagus Hadikusumo –rahimahullâh- ini termasuk politik gincu atau politik garam? Berdasarkan definisi sederhana dari apa yang disebut politik garam dan politik gincu di atas, saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo –rahimahullâh- adalah politik gincu. Mengapa? Karena beliau masih menonjolkan simbol dibandingkan isi. Jika beliau -rahimahullâh- tidak lebih menonjolkan substansi ketimbang simbol, seharusnya beliau tidak mengusulkan tambahan “Yang Maha Esa” melainkan mencukupkan diri dengan kata “Ketuhanan” saja. Toh, dengan tambahan “Yang Maha Esa” pun, di kemudian hari Buya Hamka dilarang menggunakan surat al-Ikhlas dalam menjelaskan sila pertama itu. Jika kita mau katakan tambahan “Yang Maha Esa” adalah politik garam, lalu di mana rasa asinnya?

Saya berani menjamin kesimpulan saya di atas tidak salah. Kalau tidak, saya justru curiga bahwa istilah politik gincu dan politik garam secara konseptual memang bermasalah.

Wallâhu A’lam bi al-Shawâb.

Rabu, Juni 17, 2009

DOA KETIKA SEDANG SEDIH

Assalaamu 'alaikum,,,

DOA KETIKA SEDANG SEDIH

أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى قال : حدثنا أبو خيثمة قال : حدثنا يزيد بن هارون قال : أخبرنا فضيل بن مرزوق قال : حدثنا أبو سلمة الجهني عن القاسم بن عبد الرحمن عن أبيه عن ابن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( ما قال عبد قط إذا أصابه هم أو حزن : اللهم إني عبدك ابن عبدك ابن أمتك ناصيتي بيدك ماض في حكمك عدل في قضاؤك أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أو استأثرت به في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلبي ونور بصري وجلاء حزني وذهاب همي إلا أذهب الله همه وأبدله مكان حزنه فرحا ) قالوا : يا رسول الله ينبغي لنا أن نتعلم هذه الكلمات ؟ قال : ( أجل ينبغي لمن سمعهن أن يتعلمهن )
قال شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح

Ahmad bin ‘Alî bin al-Mutsannâ mengabari kami, ia berkata: Abû Khaytsamah menuturkan kepada kami, ia berkata: Yazîd bin Hârûn menuturkan kepada kami, ia berkata: Fudhayl bin Marzûq mengabari kami, ia berkata: Abû Salamah al-Juhnî menuturkan kepada kami dari al-Qâsim bin ‘Abdurrahmân dari ayahnya dari Ibn Mas’ûd, ia berkata: Rasûlullah shallâllâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Tidaklah seorang hamba ketika ia ditimpa kesusahan, kegelisahan, dan kesedihan ia berdoa:

اللهم إني عبدك ابن عبدك ابن أمتك ناصيتي بيدك ماض في حكمك عدل في قضاؤك أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو أنزلته في كتابك أو علمته أحدا من خلقك أو استأثرت به في علم الغيب عندك أن تجعل القرآن ربيع قلبي ونور بصري وجلاء حزني وذهاب همي

Allâhumma innî ‘abduka ibnu ‘abdika ibnu amatika, nâshiyatî biyadika, mâdhin fiyya hukmuka, ‘adlun fiyya qadhâ`uka, as`aluka bikulli ismin huwa laka sammayta bihî nafsaka, aw anzaltahû fî kitâbika aw ‘allamtahu ahadan min khalqika aw ista`tsarta bihî fî ‘ilmil ghaybi ‘indaka an taj’alal qur`âna rabî’a qalbî wajilâ`a huznî wadzihâba hammî.

(Wahai Allah, sesungguhnya aku ini hamba-Mu, putra hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. Ubun-ubunku di Tangan Engkau. Telah berlaku bagiku hukum-Mu, telah berlaku atasku ketetapan-Mu. Aku memohon dengan setiap nama yang adalah Nama-Mu, yang Engkau namakan diri Engkau dengannya, atau nama yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau nama yang Engkau rahasiakan nama itu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan al-Qur`ân sebagai penyubur hatiku, cahaya mataku, penghilang kesedihanku, serta pengusir kesusahan dan kegelisahanku.)

Kecuali Allah menghilangkan kesusahan, kegelisahannya serta menggantikan kesedihannya dengan kegembiraan.

Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, patutkah kami mengajarkan kalimat ini?”. Nabi bersabda: “Ya. Patut bagi siapa pun yang telah mendengarnya untuk mengajarakkannya.”
(HR. Ibn Hibbân, Shahîh Ibn Hibbân juz 3, bâb al-ad’iyah. No. 972)

Syu’ayb al-Arnaûth mengatakan: sanadnya sahih.

Sumber: al-Maktabah al-Syâmilah, dengan identitas kitab sebagai berikut:
[ صحيح ابن حبان ]
الكتاب : صحيح ابن حبان بترتيب ابن بلبان
المؤلف : محمد بن حبان بن أحمد أبو حاتم التميمي البستي
الناشر : مؤسسة الرسالة - بيروت
الطبعة الثانية ، 1414 - 1993
تحقيق : شعيب الأرنؤوط
عدد الأجزاء : 18
الأحاديث مذيلة بأحكام شعيب الأرنؤوط عليها