Minggu, Desember 26, 2010

Putriku Belajar I'rob

“Romo, mau tanya.” Putri mungilku mendekatkan kepalanya ke dadaku, mendongak dan memandangi wajahku.

“Mau tanya apa?”

“Pinjam Qurannya ya, Romo.” Tanpa menunggu diiyakan, jemarinya langsung merampas mushaf dari tanganku, dan tanpa rasa berdosa meletakkan kepala yang terbalut kerudung itu di atas pangkuanku. “Di surat an-Nashr, kata Allah harakatnya kasroh semua. Kalau di surat al-Ikhlas kata Allahnya didomah. Itu kenapa, Romo?”

“Oh, itu. Itu kan dari sananya.”

“Dari sananya itu dari mana?”

“Dari Allah.”

“Ye, Jiha juga tahu. Maksud Jiha, kok bisa begitu?”

“Hm,,, anak Romo mesti belajar I’rob kalau begitu.”

“Apa itu?”

“al-I’roobu huwa taghyiiru awaakhiril kalimi likhtilaafil ‘awaamilid daakhilati ‘alaihaa lafzhon aw taqdiiron.”

“Yah, Romo, Jiha ndak ngerti.”

“Sama. Hihi,,”

“Hahaha, Romo sok-sokan”.

“Itu dulu. Sekarang Romo paham dong. Coba Jiha ambil buku kecil warna oranye di rak Romo itu.”

“Oke.” Si Jiha mengangkat tubuhnya. Berjalan santai sekali ke tempat yang saya tunjuk tadi. Khas. Mirip sekali dengan sang Ummi.

“Ini Abi, bukunya.” Jiha setengah berteriak. Wow, si Ummi datang rupanya. Sulungku ini memang unik. Kalau memanggilku dengan Abi, itu artinya ia mengindera Umminya berada tidak jauh dari tempatnya. Umminya lebih suka ia memanggilku dengan kata itu.

“Kalau mau tahu lebih banyak, Jiha bisa baca buku ini. Pertanyaan Jiha tadi ada di pembahasan I’rob. Kalimat yang Romo bacakan tadi artinya I’rob adalah perubahan akhir-akhir kata karena perubahan ‘amil-‘amil yang memasukinya, baik lafazhnya maupun kira-kiranya. Jadi, ilmu I’rob itu mempelajari bunyi huruf akhir suatu kata dalam bahasa Arab.” Saya sengaja berhenti. Menunggu reaksi bocah bermata sipit di depanku itu. Sebenarnya tidak terlalu sipit. Tapi kalau tertawa, pasti tenggelam.

“Terusin, Bi.”

“Ndak ah. Sudah mau magrib. Jiha mandi dulu sana. Nanti habis isya aja ya disambungnya.”

“Yah… Abiii…”

“Hus,, sudah sana ke Bunda.” Bunda. Selain Ummi, saya mengajari Jiha memanggil ibunya dengan sapaan Bunda. “Eh, jangan lupa bilang ke Bunda, I love you, gitu ya…”

“Ih, Abi genit.”

“Lho, kok genit. Kan yang bilang I love you ke Bunda nanti Jiha, bukan Romo.”

***

“Abi… Abi… !”

“Ada apa, sayang?”

“Ayo ke masjid.”

“Oke. Tapi sebentar ya, Romo mau pakai minyak wangi dulu.” Saya pergi ambil minyak wangi dan segera menjumpai Jiha kembali. “Kenapa tumben ngajak Romo ke masjid.”

“Kata guru Jiha, laki-laki wajib ke masjid. Jiha sudah dua hari ndak lihat Abi solat magrib di masjid. Dosa lho…” Weit, putriku jadi penganut madzhab Imam Ahmad. Hehe, tak apa, semoga kelak ia bisa mencapai derajat seperti Imam Ahmad.

“Siapa bilang Romo ndak ke masjid. Jiha saja ndak lihat. Dua hari ini kan Romo pulang ke rumah malam terus.”

“Pokoknya sekarang ke masjid.” Hehe, jurusnya ‘pokoknya’ Jiha muncul, sambil menggered tangan saya ke arah pintu.

“Abu Jiha, nanti jadi kan kajiannya?” terdengar suara Ummu Jiha sebelum kami benar-benar keluar rumah. Beberapa hari yang lalu saya berjanji menelaah ayat Quran rutin selepas magrib mulai hari ini.

“Insya Allah.”





Bismillâhirrahmânirrahîm

Setelah memuji Allah dan memohonkan solawat untuk Rasul-Nya, saya mulai kajian ayat magrib itu.

“Kita mulai dari awal saja ya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita mendapat ilmu. Ayat pertama dalam Alquran adalah bismillaahirrahmaanirrahiim. Kita sering menyebutnya basmalah. Dalam ayat ini terdapat lima kata, yaitu huruf baa` yang dibaca bi, ism, Allaah, ar-Rahmaan, dan ar-Rahiim.

Kita bahas kata Allaah saja dulu ya. Soalnya tadi sebelum magrib Jiha tanya, kenapa kok kata Allaah dalam surat an-Nashr dibaca hi, kasroh, sedangkan dalam surat al-Ikhlas dibaca hu, domah.. kita lihat, di sini juga kata Allaah dibaca kasroh, jadi bunyinya hi. Tidak hanya kata Allah, kata yang lain dalam basmalah juga dibaca kasroh, yaitu bi dan ismi yang penulisannya digabungkan jadi bismi, Allaahi, ar-Rahmaani, dan ar-Rahiimi. Semua itu karena kata-kata tersebut berada dalam posisi Jar.

Begitu juga kata Allaah di dalam surat al-Ikhlas dibaca kasroh karena dalam posisi Jar.”

“Jar itu apa, Romo?,” tanya Jiha. Hihi, tumben memanggil saya Romo di depan Bundanya. Memang terkadang demikian. Tetapi lebih sering memanggil saya Abi, kalau Bundanya ada.

“Jar itu salah satu jenis perubahan bunyi akhir kata dalam bahasa Arab. Dengan kata lain, salah satu jenis I’rob.”

“Jenis I’rob itu ada berapa sih, Romo?”

“Jenis I’rob ada empat, yaitu Rofa’, Nasob, Jar, sama Jazm. Dihapalkan ya…”

“Ulang, Abi.”

“Rofa’, Nasob, Jar, Jazm”

“Rofa’, Nasob, Jar, Jazm”.

“Pintar!” Senyum. “Baik, untuk tatabahasanya cukup dulu ya. Kalau Jiha belum ngantuk, kita bisa lanjutkan selepas isya. Sekarang kita lanjutkan ke hal yang lain.”

Terdengar adzan Isya. “Hmm,, karena sudah Isya, untuk hari ini kita cukupkan sekian saja dulu. Besok insya Allah kita lanjutkan dengan membahas lafazh Allah. Kita akhiri dengan doa kafaratul majlis.”

Senin, Agustus 16, 2010

Menutup Aurat

Menutup aurat adalah syarat sah dan diterimanya shalat. Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima shalat seorang muslim yang dilakukan dengan membuka aurat, baik laki-laki maupun perempuan, baik ia dilihat oleh manusia dalam shalatnya maupun shalat sendirian. Maka sudah selayaknya seorang yang shalat untuk menutup auratnya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ...

Wahai Bani Adam, pakailah perhiasanmu pada setiap pergi ke masjid.
(al-A’râf:31)

Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu menyebutkan sebab turunnya ayat ini:

«كانت المرأة إذا طافت بالبيت تُخرج صدرَها وما هناك فأنزل الله تعالى خُذوا زينتَكم عند كل مسجد»

Dahulu para wanita apabila berthawaf di Baitullah mengeluarkan dadanya dan aurat yang ada padanya. Maka Allah menurunkan ayat (yang artinya): “Pakailah perhiasanmu setiap ke masjid.” (HR. al-Baihâqî)

Dengan demikian perhiasan yang dituntut oleh ayat ini adalah pakaian dan penutup aurat. Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ meriwayatkan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

«إذا صلَّى أحدُكم فَلْيَتَّزِرْ ولْيَرتدِ»

Jika salah seorang di antara kalian melakukan shalat maka hendaklah ia memakai izar (kain penutup setengah bagian tubuhnya dari bawah), dan memakai baju. (HR. Ibnu Hibbân, Ahmad, al-Baihâqî, dan ath-Thahâwî)

Dari ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anhâ dari Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam, beliau bersabda:

«لا يقبل الله صلاة حائضٍ إلا بخمار»

Allah tidak menerima shalat seorang wanita yang telah haidh kecuali dengan memakai khimar (kerudung; kain penutup kepala). (HR. Ibnu Mâjah, Ahmad, Abû Dâwud, dan Ibnu Hibbân).

Persoalan menutup aurat ketika shalat ini adalah perkara yang umum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin. Namun, banyak kaum muslimin yang belum menyadari bahwa kewajiban menutup aurat tidak sebatas ketika melaksanakan shalat saja, melainkan di luar shalat juga seorang yang beriman wajib menutup aurat mereka. Aurat pria dan wanita di dalam maupun di luar shalat adalah sama, yaitu dari pusar sampai lutut untuk pria; seluruh badan kecuali wajah dan dua telapak tangan untuk wanita. Jika seseorang melalaikan kewajiban ini, maka ia berdosa.

Sayang sekali, kaum muslimin banyak yang membuka aurat mereka di luar shalat. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan untuk menutupnya. Fenomena ini menimpa kaum laki-laki, lebih-lebih perempuan. Padahal, Nabi bersabda:

لا ينظرالرجل إلى عورة الرجل ولا المرأة إلى عورة المرأة\

Tidak boleh seorang laki-laki memandang aurat laki-laki lain, tidak boleh pula seorang wanita memandang aurat wanita lain. (HR. Muslim)
Sering terlihat kaum Adam bermain bola tanpa menutup aurat. Salah satu alasannya, untuk berolahraga perlu bergerak bebas, sehingga ribet kalau harus memakai celana panjang. Alasan ribet telah mengalahkan tuntunan agama. Kaum Adam tidak takut lagi melakukan dosa dengan alasan yang sangat sepele. Padahal dengan menutup aurat, kegiatan olahraga tidak akan terlalu terganggu. Malah, dengan mengikuti tuntutan Islam, olahraga akan lebih berpahala dan lebih berkah. Sebab, dengan melaksanakan perintah Allah, seseorang akan mendapatkan pahala dan berkah.

Demikian juga kaum wanita saat ini banyak yang tidak mengenakan kerudung dan jilbab di luar shalat. Padahal mereka bertemu dengan orang-orang yang bukan mahram. Seorang wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya di depan lelaki yang bukan mahramnya. Bahkan tidak sedikit kaum wanita yang mengumbar auratnya dengan hanya mengenakan dua lembar kain minim di tubunya dan berpakaian seronok di depan khalayak ramai. Kehormatan mereka tak lagi terjaga gara-gara mereka tidak lagi memperhatikan tuntunan agama. Sayangnya, mereka merasa nyaman dengan hal itu.

Demikianlah salah satu fenomena yang marak terjadi di negeri-negeri kaum muslimin, termasuk Indonesia. Maraknya kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak lain terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kurangnya pemahaman individu mengenai ajaran Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap individu muslim untuk memperdalam ilmu agama dengan pemahaman yang sempurna meliputi seluruh aspek kehidupan. Kedua, tidak diterapkannya syariat Islam oleh negara. Padahal negara wajib menjadikan syariat Islam sebagai system aturan yang berlaku untuk seluruh warga negara. Tidak diterapkannya syariat Islam oleh negara merupakan dosa besar yang mengakibatkan terbengkalainya banyak kewajiban dan maraknya berbagai bentuk kemaksiatan. Karena hal ini merupakan dosa besar, maka para penguasa yang terus-menerus melakukannya tidak termasuk orang-orang yang dijanjikan ampunan di bulan Ramadhan. Nabi bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, merupakan penghapus dosa di antara keduanya, selama dia menjauhi dosa-dosa besar. (HR. Muslim dan Ahmad).

Jelas dalam hadis ini, dosa-dosa besar tidak termasuk dosa yang diampuni dengan berkah Ramadhan. Pelaku dosa besar (termasuk penguasa yang tidak menerapkan apa yang diturunkan Allah) harus bertobat kepada Allah dan tidak mengulanginya lagi dengan cara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Semoga Ramadhan tahun ini dapat menjadi momen perubahan individu muslim dan penguasa mereka ke arah ketaatan total kepada Allah. Aamiin.

Padepokan Panatagama, 6 Ramadhan 1431 H

Jumat, Agustus 13, 2010

Tafsir Surat al-Mâ’ûn

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢)وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣)فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mâ’ûn [107]:42-47)

Surat al-Mâ’ûn terdiri atas 7 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah sura at-Takâtsur. Nama al-Mâ’ûn diambil dari kata tersebut yang terdapat pada akhir surat. Pokok-pokok isinya adalah beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama serta ancaman bagi orang-orang yang melakukan shalat dengan lalai dan riya.

Ayat pertama surat ini berisi pertanyaan Allah kepada Nabi Muhammad: Tahukah engkau orang yang mendustakan ad-Dîn? Ad-Dîn yang dimaksud dalam ayat ini adalah balasan berupa pahala dan dosa. ‘Ikrimah dan Mujâhid menyatakan ad-Dîn artinya perhitungan amal (al-Hisâb). Dapat juga bermakna hukum Allah (Hukmullâh) seperti dinyatakan oleh seorang sahabat Nabi yang dijuluki Turjumanul Qur`ân, Ibnu ‘Abbâs—radhiyallâhu ‘anhumâ.

Ayat ini menyapa Nabi Muhammad dengan redaksi tunggal ‘engkau’. Tetapi bukan berarti ayat ini hanya ditujukan kepada beliau seorang. Sebab, Nabi adalah teladan bagi kaum muslimin. Sehingga seruan kepada Nabi juga berlaku bagi orang-orang mukmin. Artinya, ayat ini berlaku secara umum untuk seluruh kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat kaidah:

خِطَابُ الرَّسُولِ خِطَابٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Seruan untuk Rasul merupakan seruan bagi kaum mukminin juga

Digunakannya kalimat tanya di dalam ayat ini adalah untuk memancing pembaca agar mau berpikir. Jadi, Allah bertanya bukan berarti tidak tahu. Allah Mahatahu. Buktinya, Allah sendiri kemudian yang menjawab pada ayat selanjutnya. Dengan kalimat tanya, diharapkan orang-orang yang membaca atau mendengarkan ayat ini tergugah kesadarannya dan terdorong untuk menyimak kandungan ayat ini.

Jika engkau tidak tahu siapa itu yang mendustakan agama, maka ketahuilah bahwa orang yang mendustakan ad-Dîn itu adalah orang yang mencela anak yatim (alladzî yadu’’ul yatîm). Inilah yang dinyatakan dalam ayat kedua. Kalimat yadu’’ul yatîm dapat juga berarti mencegah anak yatim mendapatkan haknya dengan cara yang zhalim. Yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya sebelum ia baligh. Inilah ciri pertama sikap mendustakan agama.

Sifat kedua disebutkan pada ayat ketiga, yaitu tidak mendorong dirinya sendiri maupun orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin. Istilah miskin sering disandingkan dengan istilah fakir, karena sifat keduanya mirip. Namun kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Fakir adalah seorang yang memiliki harta, namun pengeluaran lebih besar dari penghasilannya. Dengan kata lain, penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak memiliki harta maupun penghasilan. Hanya saja, apabila salah satu dari kata itu disebut sendirian, maka yang dimaksud adalah kedua makna tersebut. Sedangkan apabila disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki arti sendiri.

Ayat keempat berisi celaan terhadap orang-orang yang shalat. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. Jadi, tidak semua orang yang shalat itu selamat. Mengapa orang-orang yang shalat bisa celaka? Ayat kelima menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Ayat kelima menyatakan: yang mereka itu lalai dari shalat mereka. Mereka melalaikan shalat sehingga mengakhirkan shalat dari waktunya. Jadi, orang-orang yang melalaikan shalat dengan cara mengakhirkan waktu shalat, mereka itulah yang celaka.

Alasan lain mengapa orang yang shalat bisa celaka adalah karena pelaksanaan shalat mereka maupun amal ibadah lain yang mereka lakukan didasari oleh keinginan untuk dilihat orang lain. Dan orang-orang yang mereka berbuat riya, baik dalam shalat maupun amal selain shalat. Hal ini dinyatakan dalam keenam.

Riya adalah menginginkan keridhaan manusia ketika bertaqarrub (melakukan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti shalat, zakat, membaca al-Qur`ân, dll). Riya termasuk aktivitas hati bukan aktivitas lisan dan anggota badan lainnya. Riya hakikatnya merupakan tujuan dari perkataan atau perbuatan. Jadi, di dalam riya terjadi pengalihan tujuan taqarrub; yang sejatinya ditujukan hanya untuk Allah semata menjadi karena manusia. Karena itu perkataan dan perbuatan taqarrub bukanlah riya itu sendiri, melainkan tempat adanya riya. Sedangkan riya itu sendiri adalah tujuan dari taqarrub, bukan yang dituju—ketika yang dituju adalah ridha manusia. Apabila tujuan dari suatu taqarrub berserikat antara Allah dan manusia, maka taqarrub seperti itu adalah haram. Lebih parah lagi dari hal ini, jika taqarrub tersebut murni ditujukan untuk manusia, bukan untuk Allah.

Dibatasinya riya hanya dalam hal taqarrub karena pada selain taqarrub tidak ada riya. Misalnya, ketika melakukan transaksi jual-beli dilihat banyak orang, atau berhias diri dengan pakaian yang dibolehkan, atau yang lainnya. Adapun pembatasan riya dengan ridha manusia, adalah ditujukan untuk mengecualikan maksud-maksud yang lainnya. Seperti maksud ingin mendapatkan manfaat materiil pada saat melaksanakan ibadah haji.

Taqarub bisa berupa aktivitas ibadah (ritual), bisa berupa aktivitas lainnya. Orang yang melamakan sujudnya, orang yang bersedekah, dan orang yang berjihad karena ingin dilihat manusia adalah orang-orang yang riya. Orang yang menulis naskah karena ingin dikatakan sebagai orang yang berilmu adalah orang yang riya. Orang yang berpidato karena ingin membuat orang terkagum-kagum adalah orang yang riya. Orang yang khutbah karena ingin dikatakan sebagai khatib yang baik adalah orang yang riya. Orang yang memakai baju ditambal-tambal karena ingin dikatakan sebagai orang yang zuhud adalah orang yang riya. Orang yang memanjangkan jenggotnya dan orang yang tidak mengulurkan bajunya sampai ke mata kaki karena ingin dikatakan sebagai orang yang melaksanakan sunah adalah orang yang riya. Orang yang senantiasa makan kacang adas karena ingin disebut sebagai orang yang menjalani kehidupan asketis adalah orang yang riya. Orang yang mengundang ribuan orang karena ingin dikatakan sebagai orang yang dermawan adalah orang yang riya. Orang yang menundukan kepalanya ketika berjalan karena ingin dikatakan sebagai orang yang rendah hati adalah orang yang riya. Orang yang membacakan al-Quran dengan suara yang keras di malam hari karena ingin didengar tetangganya adalah orang yang riya. Orang yang membawa mushaf kecil dan ia sangat ingin dilihat manusia hingga mereka menyukainya adalah orang yang riya.

Kita saat ini tengah berada di suatu masa di mana manusia sudah tidak malu lagi berbuat riya. Bahkan secara umum manusia tidak mengetahui fakta dan hukum-hukum seputar riya. Bukti nyata hal ini adalah tampaknya berbagai macam penutup kepala (kopiah) yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. Az-Zubaidi dan ash-Shafi telah mengeluarkan dalam al-Kanz dan al-Hâkim, at-Tirmidzi dalam an-Nawâdir, serta Abû Nu’im dalam al-Hilyah. Dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Nanti di akhir zaman akan terdapat “Didan al-Qurra”17. Siapa saja yang hidup di zaman itu, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk dan dari mereka (Didan al-Qurra). Mereka adalah orang-orang yang berbau busuk. Kemudian akan bermuculan berbagai jenis penutup kepala dan jubah (Qalânîs al-Barûd), maka manusia sudah tidak lagi merasa malu dari riya. Orang yang berpegang teguh pada agamaku saat itu bagaikan orang yang menggenggam bara api. Orang yang berpegang teguh pada agamanya pahalanya seperti pahala lima puluh orang. Para sahabat berkata, “Apakah lima puluh itu dari mereka atau dari kami?” Rasulullah saw. bersabda, “Dari kalian.”

Kata al-Qalânis pada hadits ini adalah bentuk jamak dari Qalansuwah artinya kopiah (penutup kepala). Kata al-Barud adalah bentuk jamak dari kata Bardun. Ungkapan Qalanisul barud ini adalah kinayah (kiyasan) dari tokoh agama yang membedakan dirinya dengan yang lain dengan cara memakai kopiah dan jubah; tanpa memandang orang yang dibalut oleh kopiah dan jubah tersebut. Penilaian orang berdasarkan hal-hal seperti ini, yang telah dinyatakan sebagai tanda-tanda orang yang tidak punya rasa malu adalah bagian dari riya.

Ayat terakhir surat ini menerangkan lagi sifat orang yang celaka dalam shalatnya, yaitu mereka yang tidak mau menolong dengan barang yang berguna atau tidak mau membayar zakat. Ayat terakhir menyatakan: Dan enggan atau mencegah menolong dengan al-Mâ’ûn. Al-Mâ’ûn adalah benda-benda yang berguna di dalam rumah tangga seperti jarum (al-Ibrah), kapak (al-Fa’s), periuk, kuali (al-Qidr), mangkuk ceper besar (al-Qash’ah), air (al-Mâ`), pelana (al-Hâl), timba (ad-Dalw), korek api (al-Qadâhah), api (an-Nâr), garam (al-Milh), dan yang sejenisnya. Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-Mâ’ûn sebagai zakat. Dengan demikian ayat terakhir ini mencela orang-orang yang tidak mau memberi pertolongan dengan barang-barang rumah tangga yang berguna. Atau dapat pula diartikan mereka enggan membayar zakat yang diwajibkan atas mereka.

Demikianlah sifat-sifat orang yang shalat namun celaka. Sebagian orang ada yang sangat buruk dalam memahami ayat-ayat ini. Mereka meninggalkan shalat dengan alasan bahwa orang-orang yang shalat akan celaka. Padahal, tidak semua orang yang shalat celaka. Kecelakaan orang-orang yang shalat bukan karena shalat itu sendiri melainkan karena sifat-sifat lain yang bertentangan dengan tujuan yang dituntunkan oleh Islam dalam melakukan suatu aktivitas taqarrub. Dengan demikian, tidak alasan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat. Justru orang-orang yang meninggalkan shalat secara sengaja diancam oleh Allah Ta’ala dengan neraka Saqar.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?". Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan Kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian". (QS. al-Muddatstsir [74]: 42-47)







Referensi:

1. Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Depag RI.

2. Tafsîr al-Jalâlain, Jalâluddîn al-Mahallî dan Jalâluddîn as-Suyûthi.

3. Ahkâm al-Qur`ân li asy-Syâfi’î, Imam a-Bayhâqî.

4. I’râb al-Qur`ân, Muhyiddîn Ahmad Mushthafâ Darwîsy.

5. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ`, Rawas Qal’ah Jî.

6. Tafsîr al-Munîr, Wahbah Mushthafâ az-Zuhailî.

7. Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, Taqyuddîn an-Nabhânî.

8. An-Nukat wa al-‘Uyûn, Imam al-Mâwardî.

9. Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, ‘Athâ` bin Khalîl Abû Rusytah.

Senin, Agustus 09, 2010

Redenominasi

Pemerintah berencana akan melakukan redenominasi. Uang seribu rupiah akan dicoret nolnya tiga, dengan daya beli yang sama. Jika kita bisa beli bolpen seribu rupiah dengan pecahan yang lama, maka dengan pecahan satu rupiah pecahan yang baru kita akan bisa membeli bolpen yang sama. Demikian pula dengan pecahan dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, limapuluh ribu, dan seratus ribu, akan disesuaikan dengan mencoret tiga nol.

Mengapa dulu negara repot-repot harus mencetak uang seribu rupiah ke atas, jika pada akhirnya tiga angka nolnya dicoret? Ini ada kaitannya dengan inflasi, atau kenaikan harga-harga barang. Kenaikan harga barang hampir pasti selalu terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Karenanya, menambah jumlah angka nol, cepat atau lambat adalah keniscayaan. Karenanya, suatu saat nanti, meskipun telah dicoret nolnya tiga, negara akan tetap mencetak lagi uang dengan menambahkan angka nol jika terjadi inflasi lagi. Akhirnya, akan ada lagi pecahan seribu, lima puluh ribu, seratus ribu, dan seterusnya. Kemudian pemerintah akan berpikir untuk mengurangi angka nolnya lagi. Lalu terjadi inflasi lagi, dan seterusnya.

Hal itu disebabkan karena mata uang yang dipakai adalah mata uang kertas. Sedangkan Islam mengajarkan bahwa mata uang harus dari emas dan perak, yaitu yang dikenal dengan dinar dan dirham. Keunggulan mata uang emas dan perak adalah terjaga dari inflasi. Harga-harga barang akan stabil. Kalaupun sampai terjadi lonjakan harga, perbedaannya tidak akan terlalu besar. Persoalannya sekarang adalah, apakah kita mau untuk taat kepada Allah dengan melaksanakan ajaran-Nya di segala aspek kehidupan, termasuk dalam ranah ekonomi, politik, dan kenegaraan? Seorang yang mengaku beriman tentu saja akan menjawab: ya. Sebab, Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (an-Nur [24]:51).

Padepokan Panatagama, 7 Agustus 2010

Mengenal Ilmu Hadis

Pendahuluan

Umat manusia memiliki patokan-patokan tertentu dalam berpikir dan berbuat, baik disadarinya atau tidak, baik khas maupun kacau. Ada umat yang menjadikan maslahat sebagai patokan berpikir dan bertindak. Ada pula umat yang menjadikan hawa nafsu sebagai patokan. Ada lagi yang patokannya adalah sejarah. Umat yang lain menjadikan fakta sebagai patokan. Umat yang lain lagi mematok pemikiran dan tingkah lakunya berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat masyarakat setempat atau umat terdahulu. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Berbeda dengan semua umat yang mengambil patokan-patokan seperti di atas, kaum muslimin meyakini bahwa hanya hukum Allah yang sebenar-benarnya satu-satunya yang harus dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan di akhirat . Kaum muslimin dituntut oleh Allah untuk mengikuti wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad—semoga shalawat dan salam terlimpah atasnya. Titah Allah dan Rasul-Nya lah yang menjadi patokan bagi kaum muslimin dalam berpikir dan berbuat. Allah Ta’âlâ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Nisâ`: 59)

Berdasarkan ayat di atas, kaum muslimin diperintahkan untuk taat secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Taat kepada Allah adalah dengan mengikuti al-Qur`ân, sedangkan taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti al-Sunnah. Dari sini didapatkan kesimpulan bahwa patokan kaum muslimin adalah al-Qur`ân dan al-Sunnah . Patokan-patokan inilah yang sering disebut sebagai al-Dalîl (dalil) atau sumber hukum.
Dalam kesempatan ini, akan dibahas sekelumit mengenai sumber hukum Islam kedua, yaitu al-Sunnah, atau yang biasa juga disebut al-Hadîts (selanjutnya: Hadis).

Pengertian

Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrîr . Susunan yang ada dalam Hadis adalah berasal dari Nabi, bukan dari Allah Ta’âlâ, meskipun maknanya dari Allah Ta’âlâ, sama dengan al-Qur`ân .

Macam-Macam Hadis

Berbeda dengan al-Qur`ân yang keseluruhannya diriwayatkan secara mutawatir, Hadis ada yang mutawatir, ada pula yang ahad. Maka berdasarkan banyak dan sedikitnya periwayat, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap thabaqât yang tidak mungkin bagi mereka bersepakat dusta. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir. Hadis ahad terbagi lagi menjadi masyhûr, ‘azîz, dan gharîb. Hadis masyhûr adalah hadis yang periwayat di setiap thabaqâtnya terdiri dari tiga sampai empat orang. Demikian pula hadis ‘azîz, dengan periwayatnya berjumlah dua orang, serta hadis gharîb dengan periwayat hanya satu orang di minimal satu thabaqah.

Hadis ahad sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian: maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak). Hadis maqbûl ada dua jenis: shahîh (selanjutnya: sahih) dan hasan (selanjutnya: hasan). Hadis sahih harus memenuhi syarat-syarat: 1) sanadnya bersambung, 2) rawinya tsiqah , 3) terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadzdz (kejanggalan). Sedangakan hadis hasan sedikit di bawah sahih, yaitu ada satu atau lebih rawi yang kekuatan hafalannya di bawah standar rawi pada hadis sahih.

Hadis yang terkategori mardûd (tertolak) banyak sekali macamnya, yang semuanya dapat dimasukkan ke dalam jenis-jenis hadis dha’îf. Dengan kata lain, hadis mardûd adalah hadis dha’îf (lemah) , yaitu hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat hadis sahih dan sifat-sifat hadis hasan.

Lebih jelasnya dapat dilihat di dalam tabel berikut:
Jenis Hadis Jumlah Râwî Keterangan
Mutawâtir 5 atau lebih merata dalam setiap thabaqât
Ahad: 1-4 -
a. Maqbûl (Sahih dan Hasan)
1) Masyhûr 3-4 tidak boleh kurang dalam satu thabaqat pun
2) ‘Azîz 2 tidak boleh kurang dalam satu thabâqât pun
3) Gharîb 1 minimal dalam satu thabaqah
b. Mardûd 1-4 ada satu atau lebih syarat hadis maqbûl tidak terpenuhi

Faidah

Hadis mutawatir berfaidah qath’î (pasti, meyakinkan), sehingga dapat dijadikan hujjah (argumentasi) dalam masalah akidah. Kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi s.a.w. yakni Al-Quran dan berita dari Nabi s.a.w. yang mutawatir dan memenuhi syarat-syaratnya. Sedangkan hadis ahad yang terkategori maqbûl, meskipun tidak berfaidah qath’î, tetapi zhannî, namun tetap dapat dijadikan sebagai dalil dalam perkara hukum.

Adapun hadis dha’îf, sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah , baik dalam perkara akidah, hukum, maupun fadhâ`il al-‘amal. Bahkan, tidak dibolehkan mengambil dalil dengan hadits dla’if sama sekali dengan cara apapun.

Bagian-Bagian Hadis

Hadis terdiri dari sanad dan matan. Sanad adalah mata rantai periwayat, sedangkan matan adalah substansi hadis yang merupakan perkataan, perbuatan, ataupun taqrîr Nabi. Sebagai contoh, diambilkan salah satu hadis dari kitab Shahîh Ibn Hibbân nomor 4656:
أخبرنا أبو يعلى ، قال : حدثنا محمد بن يزيد بن رفاعة ، قال : حدثنا أبو بكر بن عياش ، عن عاصم بن أبي النجود ، عن أبي صالح ، عن معاوية قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية »
Abû Ya’lâ mengabari kami, ia berkata: Muhammad bin Yazîd bin Rifâ’ah menuturkan kepada kami, ia berkata: Abû Bakr bin ‘Iyâsy menuturkan kepada kami, dari ‘Âshim bin Abî al-Najûd, dari Abî Shâlih, dari Mu’âwiyah, ia berkata: Rasûlullâh—semoga shalawat Allah atasnya—bersabda: <>

Di dalam hadis di atas, rangkaian nama-nama periwayat dari Abû Ya’lâ sampai Mu’âwiyah disebut sebagai sanad. Sedangkan matan di dalam hadis tersebut, yang dalam hal ini merupakan sabda Nabi, diberi tanda dua kurung sudut.

Wallâhu A’lam bish-Shawâb.

Padepokan Panatagama, 18 Muharram 1431 H/3 Januari 2009 M

Komentar Untuk Ahmad Badawi Tentang Persatuan Kaum Muslimin

Dunia Islam Memiliki Potensi Besar. Begitu salah satu berita di harian Republika hari ini, Jumat, 23 Juli 2010. Judul berita itu adalah kutipan pernyataan dari mantan perdana menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi dalam peringatan ulang tahun ke-6 International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta, Kamis, 22 Juli 2010. Ia menyatakan, negara-negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim dianugerahi sumber daya alam melimpah. Dari sisi geopolitik, negara Islam terletak di posisi strategis dari hubungan antarbangsa. Posisi, seperti di Terusan Suez, Teluk Marmara, atau Selat Malaka, memberikan peran penting dalam perdagangan.

“Dengan modal besar itu, saya berharap, dunia Islam memiliki satu suara dalam berbagai hal.”

Badawi menegaskan, umat Islam tak bisa bergerak sendiri-sendiri. Bila itu terjadi, dunia Islam akan terus dianggap lemah oleh dunia internasional seperti sekarang ini.
“Solusi terbaik adalah membentuk jalinan yang erat di antara negara-negara Islam,” ujar Badawi.

Pernyataan Badawi di atas setidaknya mencerminkan dua hal:
1. Kesadaran bahwa dunia Islam adalah sebuah kekuatan yang besar.
2. Kesadaran bahwa dunia Islam sampai saat ini masih terpecah dan jalan sendiri-sendiri sehingga dipandang lemah oleh dunia internasional.
3. Kesadaran akan pentingnya jalinan yang erat antara bangsa-bangsa Muslim.

Kesadaran itu adalah kesadaran yang sangat baik. Hanya saja, metode yang digunakan untuk mewujudkan jalinan yang erat tersebut seringkali tidak tepat. Pasalnya, jalinan yang selama ini diupayakan dan beberapa di antaranya berjalan tidak sepenuhnya dibangun berdasarkan paradigma Islam sepenuhnya. Jalan yang ditempuh pun berbeda dengan jalan yang diteladankan oleh Nabi. Hal ini menyebabkan jalinan yang terbentuk bukan jalinan yang erat, melainkan jalinan yang berkarat. Sebabnya tidak lain adalah diabaikannya thariqah yang dituntunkan Nabi.

Sebagaimana kita tahu, Islam terdiri dari fikrah dan thariqah. Fikrah adalah pernyataan tentang ide tertentu yang hendak diwujudkan. Sedangkan thariqah adalah metode yang digunakan untuk mewujudkan, memelihara, dan menyebarkan fikrah tersebut. Baik fikrah maupun thariqah, keduanya adalah hukum syara’ yang harus diperhatikan dan diikuti, karena keduanya adalah satu kesatuan. Keduanya juga merupakan seruan Sang Pembuat Syariat.

Sebagai contoh, Islam mengajarkan bahwa kaum muslimin wajiba bersatu. Ini adalah fikrah. Jika Islam tidak menjelaskan dengan apa persatuan hendaknya diwujudkan, berarti Islam tidak memiliki thariqah dalam hal itu. Hal ini tidak mungkin. Sebab Islam adalah ajaran yang lengkap. Islam memiliki thariqah untuk mewujudkan persatuan tersebut. Islam mengajarkan bahwa persatuan harus didasarkan pada akidah Islamiyah, tidak didasarkan kepada yang lain seperti kesamaan sejarah, kesamaan suku bangsa, bahasa, atau kesatuan daerah. Karenanya, Islam menyuruh kaum muslimin bersatu dalam satu negara. Maka, Islam jalinan erat yang diridhai oleh Islam hanyalah ketika sekat-sekat nasionalisme dapat dihilangkan. Inilah metode yang harus diperjuangkan. Bukan dengan membentuk OKI, Liga Arab, dan lain-lainnya itu.

Debatable

Debatable bagi sebagian manusia adalah kata suci. Ia seumpama sihir yang akan dapat merelatifkan semua yang ada di depannya; atau sebagian saja yang diinginkannya. Bagi pejuang liberal dalam sebuah agama, ia adalah senjata ampuh untuk mengubah-ubah syariat yang sudah pada tempatnya. Ia adalah jurus andalan untuk menggungat kemapanan pendapat segala ulama.

Mengangkat khalifah, misalnya. Ia adalah kesepakatan ummah dan aimmah sepanjang masa. Tetapi atas nama debatable, ia bisa dianggap sepi saja. Parahnya, malah sampai dibilang tak ada dalilnya. Padahal, al-Qur`ân menyerukannya, al-Sunnah menjabarkannya, Ijma’ mengukuhkannya. Juru bicara pengemban dakwah “debatable” berkata: “Saudara-saudara, mulai saat ini tak boleh ada lagi yang bilang bahwa khilafah itu wajib. Malah harus kita katakan, bahwa pihak-pihak yang menganggapnya wajib, telah melakukan kesalahan kronis penafsiran ayat al-Qur`an dan al-Hadits.” Begitu kira-kira.

Kawin beda agama demikian juga. Atas nama debatable, segala jenis kawin beda agama sah-sah saja. Lihatlah buku “Fikih Lintas Agama”, di dalamnya berseliweran permainan kata; tampak nyata pemerkosaan hukum-hukum syara’. Pernikahan beda agama yang semula hanya boleh antara lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, kini boleh pula sebaliknya. Perkawinan muslim-musyrikah, musyrik-muslimah adalah haram. Semua ulama setuju. Namun atas nama debatable, tak boleh lagi dianggap tabu.

Dari Dongkal Sampai Pajak

Ini rekaman obrolan saya dengan Ibu.

Pripun van?
Alhamdulillah sae.
Ibu teng pundi seniki?
Ibu mah ning Bogor.
Teng griyae mas Ian?
Iya.
Lik Mang sih?
Lik Mang mah lagi ning bis.
Saking Jogja?
Ya iya. Toli sing endi?
Aih, dereng dugi teng Bogor tah?
Durung. Sira titip buku pira, van?
Sekawan
Aih, mung papat anue mah?
Nggih.
Ku sih jare lik Mang akeh banget.
Hmmm,,, ya lik Mang niku mah.
Sira beli melu lik Mang bae.
Mboten ah. Nggarap skripsi.
Ya wis.
Bu, pertanyaane Ivan pripun?
Pertanyaan endi?
Wau enjing kah…
Pertanyaan apa sih? Ora kelingan.
Jabur. Jabur napa namine?
Jabur sing kayangapa?
Gunungan.
Digawe`e sing apa sih?
Saking terigu tah tepung beras, duka.
Anu, orog-orog?
Sanes.
Dongkal.
Haha,, nggih dongkal. Ivan saged kelingane mah disukani jabur saking rencang. Saking ketan kados kupat diiris-iris kuh napa namine?
Oh, lupis.
Nggih, lupis dicampur gatot.
Masih wonten mboten nggih, bu, dongkal?
Ning endi?
Teng Dermayu.
Ya masih. Tapi sokat ana sokat beli. Baka panen mah sokat laka, sing dagange repot. Sira pengen dongkal tah?
Nggih. Hehe,,,
Ya mulane balik.
Hehe,,
Va, motor wis dipajaki durung.
Wingi pun pajak tahunan jeh, masa kon pajak malih.
februari orah, kudue?
Niki, Maret sampun.
Oh, uwis? Ya wis, syukur.
Ibu mah, pemerintah kuh haram mungut pajak kuh.
Haram,, haram,, urusan dunya kien mah. Wis aturane pemerintah.
Urusan dunia gah, cape kanjeng Nabi mboten angsal jeh… Ya ibue ngenging rido. Bagen baya gah ngenging rido.
Dadi bayare karo nggrundel?
Ya nggih. Sareng mrengut bila perlu mah.
Ya engkoe beli oli pahala kuen mah.
Ya mboten, malah angsal pahala. Yang kemungkaran kuh kudu diingkari jeh…
Dadi “nyah! Enak bae sira kuh. Motor motor dewek, oli goleti dewek, dijaluki duite.”
Nah, nggih… hehe,,
Ya wis ya, Van? Bokat entek.
Nggih.
Assalaamu ‘alaikum..
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah..

Untuk Dua Pihak

Aku ingin melibatkan dua pihak dalam konflik batinku kali ini. Aku ingin mengucapkan dua ungkapan dua kali kepada keduanya. Dua pihak itu adalah kamu dan Rabbmu, yang tentu saja juga Rabbku. Dua ungkapan itu adalah maaf dan terima kasih.

Aku berterima kasih kepadamu dua kali: satu untuk perjumpaan dan dan satu lagi untuk perpisahaan kita, serta meminta maaf kepadamu dua kali: satu untuk proses yang telah menjerumuskanmu dalam bahaya dan satu lagi untuk kenakalanku yang masih saja sering mengganggumu.

Aku berterima kasih kepada Ar-Rahmân, dalam kisah kita ini, untuk dua hal: Ia telah berkenan mempertemukanku denganmu serta penarikan-Nya ketika aku berada dalam tepi jurang. Serta memohon ampun untuk dua hal pula: pengkhianatanku akan Cinta-Nya, serta serpih-serpih sedih yang masih tersisa.

Jalan Pramuka, Desember 2009

Rabu, Juni 09, 2010

Muslim Sekuler

Anda Muslim?

Ya.

Mengapa Anda melakukan korupsi?

Apa hubungannya agama saya dengan korupsi yang saya lakukan?

Bukankah Islam melarang Anda melakukan korupsi?

Korupsi itu urusan muamalah, Bung. Itu wilayah publik. Jangan masukkan agama dalam ranah publik.

Ada ayat di dalam Alquran yang melarang Anda untuk memakan harta dengan jalan yang batil. Bagaimana menurut Anda?

Jangan memahami ayat secara tekstual. Ayat itu bisa diinterpretasi macam-macam. Semua orang bebas menafsirkan Alquran.

Apakah Anda tidak takut adzab Allah di akhirat kelak?

Zaman sekarang sudah tidak relevan lagi berbicara adzab akhirat. Orang-orang sudah sampai bulan, Anda masih bicara akhirat. Pola pikir mistis begini yang membuat orang Islam tidak kunjung maju.

Jadi, Anda menganggap korupsi yang Anda lakukan itu sah-sah saja?

Tentu saja tidak. Hukum di negeri ini menyatakan korupsi adalah tindakan kriminal. Jadi, kalau Anda mau bicara soal korupsi, jangan kaitkan dengan agama. Itu tidak relevan. Anda mestinya bicara soal KUHP.

Lalu, mengapa Anda masih tetap melakukan korupsi?

Begini, bung, biar saya jelaskan. Teman-teman saya banyak yang korupsi. Saya lihat mereka bisa terus melakukannya tanpa tertangkap pihak berwenang. Saya ini, nasib saya saja yang kebetulan baru sial. Saya kurang hati-hati. Coba kalau saya sudah berpengalaman, mungkin nasib saya tidak akan seapes ini. Inilah, bung, salah satu keuntungan menjadi sekuler. Anda hanya cukup merasa takut kalau Anda dipenjara karena melanggar hukum. Anda tidak perlu takut hukuman Tuhan, tak perlu takut dosa. Anda hanya perlu takut jika Anda melanggar hukum, ketahuan, lalu dipenjara. Tapi hal itu bisa diatasi dengan pengalaman yang Anda miliki. Percayalah.

Padepokan Panatagama, 8 Juni 2010

Rabu, Februari 17, 2010

Ahli Kitab

Oleh: Shofhi Amhar

Pengantar

Bismillah al-Rahmân al-Rahîm,,,

Tulisan ringkas yang saya sertakan bersamaan dengan ini—berjudul Ahli Kitab—adalah tindak lanjut keprihatinan saya terhadap respon yang tak terduga dari seorang yang dikenal sebagai aktivis sebuah gerakan Islam berkenaan murtadnya sebagian (mantan) muslim di salah satu daerah di Kulonprogo.

Menurut penuturan aktivis tersebut, tragedi pemurtadan tak perlu diprihatinkan. “Masih banyak orang-orang Islam yang belum bener. Ngapain ngurus mereka. Toh mereka juga masuk surga,” begitu katanya kurang-lebih. Ia juga menyatakan bahwa—pun setelah datangnya Islam—tidak semua Ahli Kitab adalah kafir. Bagi seorang muslim, hal ini merupakan pernyataan munkar yang harus dikritisi. Maka dari itu saya mencoba menerangkan sekelumit tentang Ahli Kitab dan kepastian vonis kafir terhadap mereka.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi yang mau mengikuti kebenaran.

Siapa dan Bagaimana Ahli Kitab?

Secara bahasa, Ahli Kitab berarti orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab. Namun al-Quran telah mengecualikan kaum Muslimin dari sebutan Ahli Kitab, meskipun beragama sesuai dengan kitab samawi. Al-Quran menggunakan kata Ahli Kitab hanya untuk menunjukkan dua golongan, yaitu Yahudi dan Nasrani. Selain dua komunitas tersebut tidak disebut Ahli Kitab. Karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa Ahli Kitab adalah semua pemeluk agama yang mempunyai kitab (baik samawî maupun ardhawî). Sebab, Majusi juga memiliki kitab suci yang mereka sebut sebagai Zend Avista[1], namun Nabi dan para sahabat tidak menyebut mereka sebagai Ahli Kitab[2] dan tidak pula memperlakukan mereka dengan seluruh perlakuan terhadap Ahli Kitab[3]. Dengan demikian, secara syar’i Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani.[4] Para ulama sepakat dalam menyebut mereka sebagai kuffâr (orang-orang kafir).[5] Mengenai kekafiran mereka, banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menjelaskannya, di antaranya:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (al-Bayyinah [98]:1)

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu dibagi menjadi dua macam, yaitu Ahli Kitab dan musyrik. Kaum muslimin tidak boleh ragu dalam menggolongkan Ahli Kitab sebagai orang-orang kafir, sebab hal ini sudah termasuk ke dalam ma’lûm minad-dîn bidh-dharûrah (perkara yang diketahui sebagai bagian dari agama secara pasti).

Sebagian orang ada yang tidak berani menyatakan kekafiran suatu kaum, dengan alasan kita tidak boleh terlalu mudah (bahkan tak punya hak) untuk menyatakan pihak lain kafir. Pernyataan seperti itu tidak bisa dibenarkan jika kontek yang dimaksud adalah Ahli Kitab. Sebab al-Quran terang-terangan menyatakan kekafiran mereka. Kekafiran mereka adalah sah dan pasti. Perlu diingatkan di sini bahwa tidak mengkafirkan seseorang yang jelas-jelas dinyatakan kafir oleh al-Quran termasuk salah satu perkara yang dapat membatalkan syahadat.[6]

Catatan Kaki

[1] Ibn Hazm, al-Milal wa al-Nihal, al-Maktabah al-Syâmilah, hal. 75

[2] Lihat al-Wa’ie No. 48 Tahun IV, 1-31 Agustus 2004, hal. 50

[3] Lihat, misalnya di dalam Mushannaf ‘Abd al-Razzâq, no. 19256, juz 10.

[4] Muhammad Rawwâs Qal’ah Jî dan Hâmid Shâdiq Qanyûbî, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, (Dâr al-Nafâis, Beirût: 1408/1988)

[5] Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, bab Qism al-Fay` wa al-Jihâd wa al-Siyar, al-Maktabah al-Syâmilah, hal. 119

[6] Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Negeri Yogyakarta, Kumpulan Materi Kajian Keislaman Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah di Kampus (pdf), 2008, hal. 33

Senin, Februari 01, 2010

Baik dan Buruk


Oleh: Shofhi Amhar

Pendahuluan

Salah satu perintah Allah di dalam al-Qur`ân adalah berlomba-lomba di dalam kebaikan, fa-stabiqû al-khayrât. Masalahnya, apa yang dimaksud dengan kebaikan dalam pandangan Islam? Pembahasan ini sangat penting, agar waktu hidup yang sebentar di dunia ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan kebaikan sesuai yang dikehendaki oleh ajaran Islam.

Kata Khayr di dalam al-Qur`ân

Al-Qur`ân memuat kata khayr sebanyak seratus sembilan kali. Jumlah itu belum menghitung kata tersebut dalam bentuk jamak dan atau nakirah-nya. Ayat yang menyebut kata khayr salah satunya adalah al-Baqarah [2]:216.
Allah Ta’âla berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ


Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh Jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh Jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.

Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas, berkenaan dengan baik dan buruk.

Pertama, suatu kewajiban bukanlah sesuatu yang selalu disukai oleh manusia. Dengan demikian, suka-tidak suka tidak dapat dijadikan ukuran untuk melakukan sesuatu atau tidak. Suka atau tidak suka juga bukan ukuran baik dan buruk.

Kedua, sesuatu yang disukai oleh manusia, belum tentu merupakan sesuatu yang baik. Bisa jadi justru merupakan sesuatu yang buruk.

Ketiga, sesuatu yang dibenci oleh manusia, belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Bisa jadi hal itu justru merupakan hal yang baik.

Keempat, Allah lah yang mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia.

Kesalahpahaman

Sadar atau tidak, sebagian manusia menganggap bahwa kebaikan adalah sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Sebaliknya, keburukan adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi manusia. Hal ini berarti, menggantungkan kebaikan kepada ada tidaknya manfaat pada kebaikan tersebut. Paradigma seperti ini berdampak pada pemahaman bahwa sesuatu itu dapat dikatakan baik apabila ada manfaatnya. Sedangkan bila sesuatu itu tidak ada manfaatnya, maka sesuatu itu buruk. Padahal, sebagaimana tersirat dalam ayat di atas, pengetahuan manusia tentang manfaat suatu perbuatan bersifat terbatas. Terkadang manusia mengetahui sebagian manfaat suatu perbuatan, tetapi luput dari mafsadat perbuatan itu sendiri. Kesimpulan ini bisa diambil karena seringkali manfaat-tidaknya suatu perbuatan itu diukur dari suka atau bencinya seseorang terhadap hal tersebut.

Sebagai contoh, seseorang yang putus dengan pacarnya mungkin akan sedih dan menangis, serta menganggap bahwa keburukan telah menimpa dirinya. Anggapan tersebut disebabkan karena ia tidak menyukai keputusan tersebut. Contoh lain, seorang koruptor mungkin menganggap bahwa korupsi yang dilakukannya adalah suatu kebaikan karena mendatangkan manfaat bagi keluarganya. Demikian pula para garong kapitalis yang menjarah kekayaan alam negeri-negeri kaum muslimin (termasuk Indonesia), mereka menganggap apa yang mereka lakukan bermanfaat bagi mereka. Pemerintah barangkali juga berpikiran sama. Mereka mengizinkan perusahaan-perusahaan asing mengeksploitasi habis tambang-tambang potensial di negeri ini karena menganggap bekerjasama dengan perusahaan kafir asing itu adalah hal yang bermanfaat, karena mereka bisa mendapat keuntungan; meskipun tidak seberapa.

Meluruskan Pemahaman

Contoh-contoh di atas adalah sebagian penerapan konsep baik dan buruk berdasarkan asas manfaat dengan standar suka-tidak suka, benci dan cinta. Pemahaman seperti ini perlu dikoreksi, karena cenderung mengabaikan peran wahyu dalam menentukan baik dan buruk. Padahal Allah menyatakan bahwa Dia-lah yang mengetahui baik dan buruk, sedangkan manusia pada dasarnya tidak mengetahui baik dan buruk kecuali setelah mendapat pengetahuan dari wahyu. Bisa juga—sebagaimana pada ayat di atas—manusia mengetahui sesuatu itu baik karena Allah memerintahkannya. Sebab, tidak mungkin Allah Ta’âlâ memerintahkan sesuatu yang buruk kepada orang-orang yang beriman. Berdasarkan uraian di atas, pemahaman yang salah mengenai baik dan buruk yang ada di tengah-tengah masyarakat harus diluruskan, dengan menyatakan bahwa:
الخير ما أرض الله والشر ما أسخطه
Kebaikan adalah sesuatu yang diridhai Allah, sedangkan keburukan adalah sesuatu yang dimurkai Allah.

Panatagama, 17 Shafar 1430 H/31 Januari 2010 M

Jumat, Januari 29, 2010

TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU SINKRETISME


TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU SINKRETISME
Dari Hati ke Hati - HAMKA

Tahun 1968 yang baru kita lalui adalah tahun yang luar biasa. Di tahun 1968 kita berhari raya Idul Fitri samapai dua kali, yaitu 1 Januari 1968 dan 21 Desember 1968.

Maka timbullah inspirasi pada beberapa orang Kepala Jawatan dan juga pada beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya peringatan halal bi halal Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu. Diadakan pertemuan serentak disatu tempat, biasanya biasanya dijawatan-jawatan, dan departemen-departemen; "Lebaran-Natal". Maka tersebutlah perkataan bahwasannya bapak Kepala Jawatan atau bapak Menteri atau bapak Jenderal memulai sambutan beliau, bahwa demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan, dalam "Lebaran-Natal" ini kita menananmkan dalam hati kita, sedalam-dalamnya, apa arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al Quran, oleh seorang pegawai yang pandai 'mengaji', kemudian itu diiringi oleh seorang pendeta atau pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran 'Tuhan' Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah Yang Tunggal, tetapi Dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma menjadi ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan "Lebaran-Natal" itu adalah orang-orang Islam dari pada orang-orang yang beragama Kristen. Si orang Islam diharuskan mendengarkan dengan khusyu' bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi MUhammad Saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Alqur'an bukanlah kitab suci, melainkan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Alqur'an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!.

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do'a. Seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do'a-do'a hari Natal, dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kitapun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati sanubari, dan otak tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang Islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang yang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengar kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan akidah agamanya. Barulah mereka menerima semuanya itu dengan toleransi kalau agama itu tidak ada yang dipegangya lagi.

Lantaran itu maka kalau dengan menggabungkan Lebaran dengan Natal, Muhammad Saw menjemput syari'at sembahyang, lalu turun lagi ke bumi menyampaikan perintah itu, jika misalnya pula berdekatan tanggalnya dengan Mi'raj Nabi Isa, yang menurut kepercayaan Kristen, bangkit dari kuburnya setelah tiga hari, lalu naik ke langit dan kini duduk di sisi kanan Alah, Bapaknya yang disurga; kalau hal-hal seperti ini diadakan untuk toleransi, demi kesaktian Pancasila, atau demi mengamalkan dan mengamankan Pancasila, dengan sungguh-sungguh kita katakan bahwa, ini bukan toleransi, melainkan memaksa kedua belah pihak jadi orang munafik, mengangguk-angguk menerima hal yang tak masuk diakal; dengan sengaja dan diatur, supaya membuktikan toleransi.

Baru-baru ini Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, sudah menjelaskan bahwasanya do'a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do'a demikian pun tidak akan dapat diterima, karena do'a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah Yang Satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya, sedangkan Pastor dan Pendeta akan berdo'a meminta kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.

Semangat toleransi yang sejati, yang logis, yang masuk akal ialah, ketika orang Islam berdo'a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo'a kepada Tiga Tuhan orang Islam keluar.

Zaman akhir-akhir ini sudah ada gejala toleransi paksaan itu, dalam hal-hal resmi atau tidak resmi. Untuk tenggang menggang, seorang Kyai disuruh baca do'a dan untuk menunjukkan Pemerintah berlapang dada, ditambah lagi dengan do'a Katholik. Sesudah itu dengan doa' Protestan, sesudah itu dengan do'a Hindu-Bali. dan dengan do'a secara Budha.

Orang tidak memperhitungkan bagaimana perasaan dari pemeluk agama itu sendiri, atau orang yang tekun utuh dalam agama yang dipeluknya. Terutama orang Islam yang 85% bangsa Indonesia ini terdiri dari mereka.

Yang menganjurkan do'a bersama, atau perayaan 'Lebaran-Natal', atau barangkali nanti Natal-Maulid, bukanlah orang yang mempunyai kesadaran agama, melainkan orang-orang sekuler, yang baginya masa bodoh, apakah Tuhan satu atau beranak, sebab bagi mereka agama hanya iseng! Atau orang-orang sinkritisme, yang mencari segala persesuaian diantara yang berbeda, lalu dari segala yang sesuai itu mereka membuat sesuatu yang baru.

Gejala seperti ini yang kita lihat sekarang. Dengan setengah paksaan dianjurkan do'a bersama, beribadat bersama, kebaktian bersama diantara orang-orang yang berlainan kepercayaan, dan dikatakan itu semangat Pancasila! Sehingga disadari atau tidak, Pancasila boven alles diatas dari semua agama, dan orang-orang yang sama sekali tidak mengamalkan satu agama, merasa dirinya pemimpin tertinggi, melebihi ulama dan pendeta, kyai dan pastor. Dan barangsiapa yang tidak menyetujui, dituduh anti Pancasila dan tidak toleransi, dan tidak menunjukkan 'kepribadian' Indonesia.

Selama pena ini masih bisa menulis dan mulut ini masih bisa berkata, kita katakan terus terang : "Bukan begitu yang toleransi"!

Bahkan itu adalah merusak agama, memaksa orang menelan sesuatu yang berlawanan dengan inti kepercayaannya. Dan pemuka-pemuka agama yang sadar akan tetap menolaknya. Kita bukanlah menolak Pancasila. Sejak Pancasila diasaskan pada 25 tahun yang lalu, kita sudah menyatakan tidak keberatan.

Tetapi kita tegaskan bahwasannya keselamatan dan keamanan Pancasila itu hanya akan terjamin, apabila umat yang beragama, khususnya umat Islam taat setia melaksanakan agamanya, bukan disuruh pindah dari agamanya menuju suatu kekaburan yang namanya Pancasila. Dan bukan disuruh membuat suatu macam upacara, kebaktian, do'a dan sebagainya bersama-sama dengan pemeluk agama lain yang berlainan akidah dan kepercayaan.

Orang agma lain pun tidak akan dapat menerima suatu upacara baru yang tidak ada dalam agama itu. Dan ini hanya akan akan bisa dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama yang tidak punya pendirian, yang lupa tanggung jawabnya di hadapan Tuhan, karena hendak mengambil muka kepada atasan.

Sehingga pernah terjadi, seorang pembicara di dalam pertemuan besar mengatakan bahwa "Nabi Isa disalib" padahal dia pemuka Islam. Dan pernah terjadi seorang Kyai membaca do'a dihadapan umum, dan do'a itu diambilnya dari "khutbah gunung", pidato Yesus Kristus dalam Injil yang beredar sekarang. Demi toleransi, Kyai tidak membaca lagi do'a yang warid dari ajaran Rasulullah Saw.

Tentu orang-orang seperti itu dapat pujian atasan, dan disambut dengan tepuk tangan oleh orang-orang Kristen, tetapi dia tidak sadar bahwa dengan apa yang dinamainya "toleransi" itu dia telah mengorbankan akidah agamanya. ***

Catatan :
Sikap almarhum Buya Hamka mengenai Natal dan Idul Fitri bersama ini berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama, yang Buya Hamka sendiri sebagai ketuanya; "Natal dan Idul Fitri bersama hukumnya haram". Pemerintah melalui Menteri Agama, Alamsyah Ratuprawiranegara meminta supaya fatwa itu dicabut. Buya Hamka kemudian memilih sikap meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia).

sumber :
Dari Hati ke Hati, tentang : Agama, Sosial-Budaya, Politik Oleh Prof.DR.Hamka. Cetakan I, Penerbit Pustakan Panjimas, Jakarta 2002.

(Diambil dari kiriman j_sudiono ke milis insistnet@yahoogroups.com)

Buya HAMKA Menolak Pluralisme Agama


Berikut pernyataan Buya HAMKA yang secara telak menolak klaim kebenaran semua agama. Pernyataan beliau sepertinya ditujukan kepada doktrin yang saya (dan tentu seluruh rakyat Indonesia) terima sejak duduk di bangku SD.

Buya merangkaikan ayat 7,8, dan 9 surat Al-Mumtahanah[60]. Terjemah ayat sembilan sebagai berikut:

[60:9] Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (AL MUMTAHANAH (WANITA YANG DIUJI) ayat 9)-terjemah ini tidak dikutip dari tafsir Al-Azhar, tetapi mengambil dari www.dudung.net-

Ketika masuk penggalan ayat "Dan barangsiapa yang berkawan dengan mereka, maka itulah orang-orang yang aniaya." (ujung ayat 9).

kemudian Buya menulis:

Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas memusuhi Islam, memerangi dan bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran, jelaslah itu orang yang aniaya. Sebab dia telah merusak strategi, atau sisasat perlawanan Islam terhadap musuh. Tandanya orang yang membuat hubungan ini tidak teguh imannya, tidak ada ghairahnya dalam mempertahankan agama. Sama juga halnya dengan orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; "Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya." Orang yang bekata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam." (Tafsir Al-Azhar (Juzu' 28) halaman 107).

Nah, masihkah ada orang yang menyatakan Buya HAMKA seorang pluralis? tentu saja masih. seperti yang disampaikan ustadz Adian: Mereka memang "maunya" Hamka itu harus Pluralis Agama, seperti mereka. salah satu yang bisa dijadikan dalih oleh orang-orang pluralis mungkin saja demi konsistensi prinsip yang mereka anut: jangan menafsirkan tafsir Al-Azhar dengan literal!:)

Nyatalah kini mudzabdzabin.

Minggu, Januari 24, 2010

Membincang Perubahan Masyarakat

Oleh: Shofhi Amhar

Apa itu masyarakat? Orang-orang pada umumnya mengartikan masyarakat sekedar sebagai sekumpulan manusia yang hidup di suatu tempat. Padahal realita masyarakat dari dulu sampai sekarang tidaklah sesederhana itu. Sekumpulan individu baru disebut sebagai sebuah masyarakat apabila di antara mereka terjadi interaksi yang terus-menerus.
Bagaimana interaksi terus-menerus dapat terwujud? Interaksi yang terus menerus hanya bisa terwujud dengan mewujudkan pemikiran, perasaan, serta peraturan yang sama di tengah-tengah sekumpulan individu manusia. Dari sini, masyarakat dapat didefinisikan sebagai sekumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama yang mengikat mereka.

Mengapa mendefinisikan masyarakat menjadi penting? Jawabannya adalah karena kaum muslimin saat ini mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Selain itu, sebagaimana telah disinggung di atas, kebanyakan orang telah salah memberi pengertian bagi masyarakat. Padahal, salah mendefinisikan akan berakibat pada kesalahan melakukan gerakan. Maka mengenali apa yang disebut sebagai masyarakat adalah suatu keharusan. Tidak jauh berbeda dengan seorang dokter yang perlu mengenali bagian-bagian jasad manusia beserta fungsi, cara kerjanya, penyusunnya, dan sebagainya, agar dapat mendiagnosa penyakit yang dideritanya untuk kemudian merekomendasikan obat secara tepat. Demikian pula, mengenali apa itu masyarakat menjadi penting agar perjuangan mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan berada pada rel yang benar. Dengan kata lain, mengenali definisi masyarakat menjadi sangat penting untuk menentukan bagaimana metode yang harus ditempuh untuk mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam.

Bagaimana mengubah masyarakat? Jika pengertian masyarakat telah diketahui, maka dapat ditentukan bagaimana metode mengubah masyarakat dari masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat yang Islami, yaitu dengan mewujudkan pemikiran dan perasaan Islam di tengah-tengah sekumpulan manusia. Di samping itu, harus pula diwujudkan peraturan Islam yang mengikat di tengah-tengah mereka. Upaya mewujudkan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama tersebut tidak bisa dilakukan dengan dakwah mengubah individu semata. Termasuk anggapan yang salah bahwa proses perubahan adalah lurus semata dari individu, kemudian keluarga, kemudian masyarakat, kemudian terwujudlah negara.

Sabtu, Januari 23, 2010

Wahyu: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual

Metode memahami wahyu tidak tepat diistilahkan dengan “tekstual” dan “kontekstual”. Minimal, dua kata itu tidak dapat mewakili metode penafsiran al-Quran secara komprehensif. Ilmu yang membahas kaidah-kaidah penafsiran lazim disebut dengan Ushûl al-Tafsîr, serta dipelajari juga dalam kitab-kitab ‘Ulûm al-Qur`ân. Tema-teman yang dibahas di dalam kedua disiplin ilmu tersebut di antaranya adalah asbâb al-nuzûl, ayat-ayat Makkiyah-Madaniyah, ayat-ayat muhkamât-mutasyâbihât, nâsikh-mansûkh, âmm-khâshsh, mujmal-mubayyan, muthlaq-muqayyad, haqîqî-majazî, dll. Jika cara memahami wahyu hanya digolongkan menjadi “tekstual” dan “kontekstual”, hampir bisa dipastikan akan ditemui kesulitan dalam menggolongkan tema-tema pembahasan di atas ke dalam dua kategori tersebut.

Meskipun begitu, lontaran-lontaran pemikiran dari para cendikiawan yang mengaku menggunakan paradigma “tekstual-kontekstual” perlu juga dicermati. Tujuannya adalah untuk memahami apa yang mereka maksud dengan paradigma tersebut untuk kemudian disorot dari sudut pandang paradigma ‘Ulûm al-Qur`ân.

Kesalahan Mendasar Ide HAM dan Pemikiran Barat Lainnya

Hal terpenting dari sebuah pemikiran adalah sumbernya. Ibarat sebuah aliran sungai, jika sumbernya “kotor”, maka air pada aliran sungai tersebut tidak bisa terlalu diharapkan menjadi bersih. Sedangkan jika sumber mata airnya jernih dan menyejukkan, dari sinilah sangat diharapkan memancar aliran sungai yang jernih dan menyejukkan pula; meski nantinya hal itu pun berpulang pada tanah yang dilaluinya.

Demikian pula, sebuah pemikiran yang jernih berasal dari sumber mata air yang jernih. al-Qur`ân tidak melewatkan pembahasan penting ini. Karena itulah, akan kita dapati di dalam al-Qur`ân pembahasan mengenai sumber-sumber ilmu pengetahuan ini dan penekanannya sedemikian rupa.

Surat al-Qalam [68]: 35-40, misalnya, adalah rangkaian ayat yang dapat mewakili kritik al-Qur`ân terhadap sumber pemikiran tertentu. Ayat-ayat tersebut mempertanyakan sikap orang-orang yang menyamakan antara kaum muslimin dengan para pendosa (kafir) tanpa ada sandaran Kitab suci. Maka, kritik terhadap para pemikir Barat serta kaum muslimin yang mengikuti mereka—baik yang sadar ataupun tidak—bisa dilakukan dari sisi ini. Bahkan kritik dari sisi inilah yang harus dilakukan pertama kali, karena berkaitan erat dengan prinsip-prinsip akidah di dalam al-Qur`ân, yaitu tauhid dan konsekuensi syahadat. Siapa pun yang memahami tauhid dan konsekuensi syahadat dengan benar, kemudian mengamati realitas pemikiran para pengemban HAM secara terang dan apa adanya, maka ia akan dengan mudah mendapati pertentangannya.

Kamis, Januari 21, 2010

Mempertanyakan Epistemologi HAM

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, maupun negara. John Lock mengemukakan hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa dipisahkan.

Pertanyaan: Apakah John Locke mendapat wahyu, sehingga ia berani mengatasnamakan Tuhan? Ataukah dia merujuk kepada Kitab Suci yang terbukti secara pasti sebagai wahyu Ilahi? Jika tidak, mengapa kita masih berharap pada HAM yang tak jelas asal-usulnya ini?

Senin, Januari 18, 2010

Menerapkan Islam; Sebuah Komentar Atas Wawancara Dr. Aris Arif Mundayat (Bagian 1)

assalaamu 'alaikum,,,

bismillaah walhamdu lillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillaah. amma ba'du.

berikut adalah komentar saya atas isi wawancara antara Denny al-Asy'ari dengan Dr. Aris Arif Mundayat yang dimuat di suara muhammadiyah dan bisa pula dibaca di http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=814.

semoga bermanfaat.


========


Dr. Aris Arif Mundayat
Indonesia Perlu Terapkan Islam Yang Terbuka
dan Non Rezimented

Islam adalah agama wahyu yang turun dari langit untuk membawa rahmatan lil’alamin untuk sekalian alam dan makhluk Allah di muka bumi. Islam hadir sebagai solusi yang selalu memiliki relevansi sepanjang zaman dan waktu. Namun, bagi pemeluknya, konsep dan nilai Islam tersebut, belum mampu diwujudkan secara maksimal dalam konteks kebangsaan dan kemasyaratan, bahkan pada satu sisi, Islam justru muncul dengan wajah yang sangar dan tidak bersahat dalam pergumulan sosial kebangsaan belakangan ini.

Universalisme Islam yang begitu kuat, secara perlahan mulai ditarik pada paham partikularistik yang kurang mampu secara optimal menyentuh problem kemanusiaan. Dengan kondisi yang demikian, Islam seperti apakah yang bisa diaktualisasikan dalam bingkai ke-Indonesiaan dan kemanusiaan? Serta problem apa yang selama ini terjadi terhadap konsep universalisme Islam tersebut? Berikut petikan wawancara Deni al Asy’ari dari SM dengan Dr. Aris Arif Mundayat, Ketua Program Studi HAM dan Demokrasi UGM dan Kepala Pusat Studi Asia Tenggara UGM.

Islam merupakan agama yang bersifat universal yang berlaku bagi setiap zaman dan waktu, bagaimana anda mamaknai konsep ini dalam konteks keberagamaan dan kebangsaan?


Konsep universalisme Islam sesungguhnya terkandung dalam nilai-nilai yang substantif pada ajaran Islam, dalam muatan ajaran tersebut, secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, baik itu agama Budha, Hindu, Kristen maupun agama lainnya. Karena tidak ada ajaran Islam yang mengandung ajaran yang buruk. Oleh karenanya semua nilai kebaikan tersebut merupakan nilai-nilai yang universal yang juga terkandung dalam paham atau agama lain. Walaupun ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan Islam dari beberapa ajaran lain, namun secara universal pasti ada antara masing-masing ajaran yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam konteks itulah saya melihat pengertian universalisme Islam itu bisa dimaknai.

Komentar:

[Paragraf di atas mengandung kontradiksi. Di satu sisi menyatakan bahwa Islam mengandung nilai-nilai substantif yang secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, namun di sisi lain dinyatakan pula bahwa ada aspek-aspek dari paham atau agama lain yang tidak sesuai dengan Islam.



Kerancuan itu terjadi karena cakupan dan batasan dari beberapa konsep yang dikemukakan tidak jelas atau bahkan kabur sama sekali, karena tidak adanya penjelasan. Apa saja “nilai-nilai substantif” yang dinyatakan bisa diterima oleh ajaran agama mana pun itu? Kita ambil salah satu contoh ajaran Islam: Tauhid. Apakah tauhid, di dalam Islam dan bagi kaum muslimin merupakan salah satu nilai substantif? Jika tauhid tidak dianggap salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, maka bubar agama ini. Bahkan murtadlah orang yang menyatakannya. Lalu apakah tauhid bisa diterima oleh seluruh seluruh agama semisal Budha, Hindu, Kristen, dan Agama lainnya? Jika iya, maka tentu mereka tidak akan berbetah-betah memeluk agamanya, sebab dengan tetap memeluk agamanya berarti mereka sedang enggan memeluk salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, bahkan pada bagiannya yang paling fundamental.]


Dalam Kondisi sekarang ini, sebagian besar umat Islam ada yang mencoba menarik nilai universal Islam ini ke arah partikularistik yang bersifat Arabisme. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi?

Fenomena seperti ini bisa terjadi karena kondisi dan konteks perkembangan globalisasi. Sebagaimana yang diketahui, bahwa setelah globalisasi fase pertama, yang ditandai dengan ekspansi Cina dan India dalam mempengaruhi Asia Tenggara, Dunia Arab memang pernah berjaya pada fase globalisasi selanjutnya atau pada tahap kedua. Bahwa globalisasi pada tahap kedua ini, globalisasi bersentuhan dengan dunia Arab, kemudian di sana mulai masuk dunia perdagangan Arab di situ, keberadaan dunia Arab dalam hal ini secara tidak langsung telah menggeser ekonomi perdagangan Cina dan India yang telah masuk pada globalisasi tahap pertama di Asia Tenggara. Bahkan dunia Arab melalui perdagangannya mampu mendominasi dan memarginalkan elemen-elemen India dan Cina di wilayah Asia Tenggara.

Pada konteks itulah kemudian masuk Islam di dalamnya. Pada saat Islam masuk serta mendominasi dunia ekonomi di wilayah Asia tengara dan Asia selatan, disitu dominasi dunia Arab begitu kuat dengan menggunakan bendera Islam dalam proses perdagangan. Di sana terjadi proses konversi dari Hindu dan Budha ke Islam. Kemudian pada era gelombang globalisasi era kedua ini pula mereka bersentuhan dengan kolonialisme, dalam konteks ini kita bisa melihat bagaimana Islam memberikan kontribusi terhadap kebangkitan rasa nasionalisme pada wilayah Asia Tenggara ketika berhadapan dengan dengan kolonialisme.

Khusus untuk wilayah Indonesia dan Malaysia, Islam mampu menjadi simbol yang kuat untuk mempersatukan wilayah yang ada di negara ini. Sehingga Indonesia dan Malaysia memiliki semangat yang sama dalam melawan kolonialisme pada saat itu, kalau Indonesia melawan jajahan Belanda, sedangkan Malaysia melawan jajahan Inggris. Untuk wilayah Indonesia sendiri, fenomena kuatnya pengaruh Islam atau Arab ini bisa dilihat di wilayah Riau, Sumatera Barat, dan Aceh, sedangkan pada wilayah lain seperti di Jawa memang masih cenderung bersifat sinkretis. Selanjutnya dalam hubungan ini, memang sudah ada benih anti barat, tetapi di zaman itu Arabisasi memang tidak terlalu begitu kuat, karena memang Islam pada waktu itu sedang mencoba mengambil hati orang-orang yang ada di wilayah Indonesia, Malaysia dan beberapa daerah di wilayah Asia tenggara.
Akan tetapi harus diakui, bahwa pada saat itu represi terhadap Islam memang sangat kuat, apalagi saat itu ekonomi masih dikuasai oleh Kolonial. Oleh karenannya, pada saat itu terjadi proses dekolonialisasi yang cukup hebat, namun seiring dengan itu, posisi Islam pun semakin menguat sebagai basis kekuatan masyarakat.
Kemudian ketika Islam mulai menguat, maka tahap selanjutnya Islam meletakkan dirinya sebagai simbol oposisional terhadap Barat/kolonial. Tapi Islam di zaman itu masih Islam yang mengakomodir elemen-elemen lokal. Sementara dalam proses globalisasi pada tahap gelombang ketiga, yang ditandai dengan proses menguatnya kolonialisasi yang dilakukan melalui proses media, modal dan sebagainya, Barat sangat berkepentingan di balik semua itu.

Namun, untuk memberikan perlawanan yang massif, Islam sesungguhnya pada saat itu belum memiliki basis ekonomi yang kuat, padahal dia berdasarkan pengalaman masa kolonial dan pasca kolonial, dia sudah menjadi simbol yang berseberangan dan oposisional terhadap barat. Oleh karenanya, untuk memperkuat arus oposisional Islam ini, orang kemudian mencari upaya pemurnian Islam sebagai simbol yang lebih kuat dalam berseberangan dengan Barat. Namun model pemurnian ini cenderung dengan upaya penyerapan tradisi atau paham Arabisme, seperti berpakaian, gaya hidup atau tampilan yang bersifat fisik. Disinilah paham Arabisme itu muncul sebagai penguatan terhadap oposisional Islam.



Komentar:

[Ada beberapa hal yang ingin saya catat. Pertama, disadari atau tidak, ada kesan bahwa pak Doktor menempatkan Islam sebagai sesuatu di luar dirinya, atau dengan kata lain, beliau bukan bagian dari Islam. Beberapa kalimatnya mencerminkan seperti itu. Sikap seperti ini bagi seorang muslim cukup disayangkan. Kedua, apa yang disebut sebagai paham Arabisme dalam jawaban di atas tidak cukup jelas, sehingga bisa mengundang beragam interpretasi. Padahal kejelasan ini penting, agar tidak terjadi kerancuan pemahaman bagi sidang pembaca, apalagi ternyata kemudian dikait-kaitkan dengan “pemurnian Islam”, sebuah kata yang juga menjadi image persyarikatan Muhammadiyah. Mengaitkan pemurnian Islam dengan Arabisme, yang dinyatakan sebagai penyerapan tradisi seperti berpakaian, gaya hidup, tampilan fisik, dll, tentu saja mengundang beragam tanya: Siapa aktor “pemurnian Islam” yang beliau maksud? Selanjutnya, apakah pakaian (misal: kewajiban menutup aurat, mengenakan jilbab), gaya hidup (misal: rajin sedekah, shalat sunnah, dll), serta tampilan yang bersifat fisik (misal: memakai peci, sorban, mengenakan wewangian, siwak, dll) merupakan sesuatu yang terlarang di dalam Islam? Jika mau jujur, hal-hal tersebut paling rendah berkualitas mubah alias sah-sah saja, sebagian sunah, dan bahkan sebagian lain wajib. Apakah memahamkan kepada masyarakat bahwa sesuatu yang wajib itu harus dilaksanakan, menganjurkan mereka untuk melakukan hal-hal yang disukai (mandub), mempersilakan untuk memilih di antara perkara-perkara mubah ini yang kemudian disebut sebagai paham Arabisme? Jika iya, maka tak ada yang salah sama sekali dengan paham Arabisme. Hanya saja, makna seperti ini tidak pantas disebut Arabisme. Namun jika yang dimaksud adalah mengambil semua yang berbau Arab tanpa menimbang lagi apakah diajarkan oleh Islam atau tidak, maka siapa pun yang menyatakan adanya fenomena Arabisme perlu mendatangkan bukti. Semua orang harus menentang paham Arabisme dalam maknanya yang kedua.



Hanya saja, untuk meluruskan pemahaman, perlu dikemukakan di sini bahwa Islam tidaklah dapat dipisahkan dari bahasa Arab, sebab bahasa Arab adalah bahasa Alquran, bahasa Assunnah, serta bahasa sebagian besar literatur-literatur ke-Islaman. Pengambilan kesimpulan (istinbâth) dan penggalian (ijtihâd) hukum tidak bisa dilakukan tanpa memahami bahasa Arab. Karenya, Islam tidak boleh dijauhkan dari kharisma bahasa Arab. Menjauhkan kaum muslimin dari bahasa Arab dengan sengaja adalah sebuah kejahatan.]

Namun apakah Arabisme yang muncul saat itu betul-betul merepresentasikan universalisme Islam yang hadir sebagai solusi?

Jadi ketika Arabisme ini masuk dan diterapkan, maka jangan ia dilihat sebagai Islam, sebab ketika terjadi dominasi Arabisme ini, justru saya melihat Islam kehilangan nilai-nilai rahmatan lil’alaminnya. Karena Arab bukanlah merepresentasikan secara total konsep rahmatan lil ‘alamin tersebut, namun yang rahmatanlil’alamin adalah Islam.


Bahkan dengan adanya paham Arabisme ini, membuat nilai-nilai universal Islam itu semakin berkurang, karena orang tidak bisa lagi memisahkan antara Islam dan Arab itu sendiri. Seolah-olah antara Islam dan Arab menjadi sesuatu yang menyatu, padahal meletakkan paham yang demikian, merupakan sesuatu yang bisa berbahaya, karena ada elemen-elemen lokal yang juga sesuai dengan cara berpikir dan prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajaran Islam. Jadi ketika Arabisme masuk maka tidak ada bedanya dengan dominasi barat melalui media dan kapitalisme. Karena dia memarginalkan elemen-elemen lokal. Oleh karenanya ketika Arabisme masuk, maka rahmatan lil’alamin Islam akan menjadi hilang. Karena orang melihat antara Arab dan Islam sama, padahal itu sesuatu yang berbeda.



Komentar:


[Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, tentang makna universalisme Islam dan konsep rahmatan lil ‘âlamîn. Kedua, gagasan pemisahan antara Islam dan Arab. Ketiga, tentang elemen-elemen lokal.

Pertama, tentang universalisme Islam. Istilah atau konsep tertentu yang disandarkan kepada Islam harus didasarkan kepada dalil-dalil maupun karakteristik dalil-dalil yang diakui oleh Islam. Dengan kata lain, bahwa konsep dimaksud pada asalnya memang bukan berasal dari pandangan hidup selain Islam, melainkan berasal dari Islam itu sendiri. Perlakuan yang sama juga perlu dikenakan pada makna unversalisme Islam. Dalil-dalil yang sesuai dengan makna ‘universal’ menunjukkan bahwa Islam itu agama yang universal dalam arti: 1) ajarannya berlaku sampai akhir zaman, 2) ajarannya berlaku untuk seluruh umat manusia, 3) ajarannya sesuai dengan fitrah manusia seluruhnya. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa seluruh manusia akan dapat menerima Islam sebagai agama mereka. Taruhlah, misalnya, seluruh manusia di muka bumi ini menolak Islam, tak ada satu pun di antara mereka yang memeluk dan mengakuinya, hal itu sama sekali tidak menghilangkan sifat Islam yang universal dalam ketiga maknanya tadi. Sebab penolakan mereka itu bisa terjadi karena bisikan setan, menuruti hawa nafsu, serta kesombongan. Adapun sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka benar bahwa yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam, bukan Arab. Perlu juga ditekankan, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan agama dan ideologi lain di luar Islam semisal Hindu, Budha, Kristen, sekulerisme, kapitalisme, sosialis, dan lain-lain, juga bukan sesuatu yang diklaim sebagai nilai-nilai substantif oleh sebagian orang yang pada kenyataannya justru disanggah oleh dalil. Lagi, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan ‘nilai-nilai substantif’ yang sering justru mereduksi ajaran-ajaran Islam yang bersifat pasti sekalipun.

Kedua, tentang pemisahan Islam dengan Arab. Benar, bahwa Islam bukan Arab. Segala tradisi yang dicela oleh Islam, entah Arab ataukah Jawa, maka ia tercela. Sebaliknya, tradisi yang tidak dicela oleh syariat, maka ia tidak tercela; tidak peduli apakah tradisi itu berasal dari timur ataukah barat. Inilah pandangan Islam mengenai tradisi. Namun perlu diperhatikan bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab, sebagaimana dijelaskan di atas. Ini sekaligus juga menjadi jawaban tentang kekhawatiran tergerusnya elemen-elemen lokal, bahwa selagi elemen-elemen lokal tidak dicela oleh Islam, maka sah-sah saja jika tetap ingin dipelihara.]



(Bersambung, in syâ Allâh)