Jumat, Januari 29, 2010

TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU SINKRETISME


TOLERANSI, SEKULERISME, ATAU SINKRETISME
Dari Hati ke Hati - HAMKA

Tahun 1968 yang baru kita lalui adalah tahun yang luar biasa. Di tahun 1968 kita berhari raya Idul Fitri samapai dua kali, yaitu 1 Januari 1968 dan 21 Desember 1968.

Maka timbullah inspirasi pada beberapa orang Kepala Jawatan dan juga pada beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya peringatan halal bi halal Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu. Diadakan pertemuan serentak disatu tempat, biasanya biasanya dijawatan-jawatan, dan departemen-departemen; "Lebaran-Natal". Maka tersebutlah perkataan bahwasannya bapak Kepala Jawatan atau bapak Menteri atau bapak Jenderal memulai sambutan beliau, bahwa demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan, dalam "Lebaran-Natal" ini kita menananmkan dalam hati kita, sedalam-dalamnya, apa arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al Quran, oleh seorang pegawai yang pandai 'mengaji', kemudian itu diiringi oleh seorang pendeta atau pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran 'Tuhan' Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah Yang Tunggal, tetapi Dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma menjadi ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan "Lebaran-Natal" itu adalah orang-orang Islam dari pada orang-orang yang beragama Kristen. Si orang Islam diharuskan mendengarkan dengan khusyu' bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi MUhammad Saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Alqur'an bukanlah kitab suci, melainkan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Alqur'an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!.

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do'a. Seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do'a-do'a hari Natal, dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kitapun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati sanubari, dan otak tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang Islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang yang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengar kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan akidah agamanya. Barulah mereka menerima semuanya itu dengan toleransi kalau agama itu tidak ada yang dipegangya lagi.

Lantaran itu maka kalau dengan menggabungkan Lebaran dengan Natal, Muhammad Saw menjemput syari'at sembahyang, lalu turun lagi ke bumi menyampaikan perintah itu, jika misalnya pula berdekatan tanggalnya dengan Mi'raj Nabi Isa, yang menurut kepercayaan Kristen, bangkit dari kuburnya setelah tiga hari, lalu naik ke langit dan kini duduk di sisi kanan Alah, Bapaknya yang disurga; kalau hal-hal seperti ini diadakan untuk toleransi, demi kesaktian Pancasila, atau demi mengamalkan dan mengamankan Pancasila, dengan sungguh-sungguh kita katakan bahwa, ini bukan toleransi, melainkan memaksa kedua belah pihak jadi orang munafik, mengangguk-angguk menerima hal yang tak masuk diakal; dengan sengaja dan diatur, supaya membuktikan toleransi.

Baru-baru ini Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, sudah menjelaskan bahwasanya do'a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do'a demikian pun tidak akan dapat diterima, karena do'a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah Yang Satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya, sedangkan Pastor dan Pendeta akan berdo'a meminta kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.

Semangat toleransi yang sejati, yang logis, yang masuk akal ialah, ketika orang Islam berdo'a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo'a kepada Tiga Tuhan orang Islam keluar.

Zaman akhir-akhir ini sudah ada gejala toleransi paksaan itu, dalam hal-hal resmi atau tidak resmi. Untuk tenggang menggang, seorang Kyai disuruh baca do'a dan untuk menunjukkan Pemerintah berlapang dada, ditambah lagi dengan do'a Katholik. Sesudah itu dengan doa' Protestan, sesudah itu dengan do'a Hindu-Bali. dan dengan do'a secara Budha.

Orang tidak memperhitungkan bagaimana perasaan dari pemeluk agama itu sendiri, atau orang yang tekun utuh dalam agama yang dipeluknya. Terutama orang Islam yang 85% bangsa Indonesia ini terdiri dari mereka.

Yang menganjurkan do'a bersama, atau perayaan 'Lebaran-Natal', atau barangkali nanti Natal-Maulid, bukanlah orang yang mempunyai kesadaran agama, melainkan orang-orang sekuler, yang baginya masa bodoh, apakah Tuhan satu atau beranak, sebab bagi mereka agama hanya iseng! Atau orang-orang sinkritisme, yang mencari segala persesuaian diantara yang berbeda, lalu dari segala yang sesuai itu mereka membuat sesuatu yang baru.

Gejala seperti ini yang kita lihat sekarang. Dengan setengah paksaan dianjurkan do'a bersama, beribadat bersama, kebaktian bersama diantara orang-orang yang berlainan kepercayaan, dan dikatakan itu semangat Pancasila! Sehingga disadari atau tidak, Pancasila boven alles diatas dari semua agama, dan orang-orang yang sama sekali tidak mengamalkan satu agama, merasa dirinya pemimpin tertinggi, melebihi ulama dan pendeta, kyai dan pastor. Dan barangsiapa yang tidak menyetujui, dituduh anti Pancasila dan tidak toleransi, dan tidak menunjukkan 'kepribadian' Indonesia.

Selama pena ini masih bisa menulis dan mulut ini masih bisa berkata, kita katakan terus terang : "Bukan begitu yang toleransi"!

Bahkan itu adalah merusak agama, memaksa orang menelan sesuatu yang berlawanan dengan inti kepercayaannya. Dan pemuka-pemuka agama yang sadar akan tetap menolaknya. Kita bukanlah menolak Pancasila. Sejak Pancasila diasaskan pada 25 tahun yang lalu, kita sudah menyatakan tidak keberatan.

Tetapi kita tegaskan bahwasannya keselamatan dan keamanan Pancasila itu hanya akan terjamin, apabila umat yang beragama, khususnya umat Islam taat setia melaksanakan agamanya, bukan disuruh pindah dari agamanya menuju suatu kekaburan yang namanya Pancasila. Dan bukan disuruh membuat suatu macam upacara, kebaktian, do'a dan sebagainya bersama-sama dengan pemeluk agama lain yang berlainan akidah dan kepercayaan.

Orang agma lain pun tidak akan dapat menerima suatu upacara baru yang tidak ada dalam agama itu. Dan ini hanya akan akan bisa dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama yang tidak punya pendirian, yang lupa tanggung jawabnya di hadapan Tuhan, karena hendak mengambil muka kepada atasan.

Sehingga pernah terjadi, seorang pembicara di dalam pertemuan besar mengatakan bahwa "Nabi Isa disalib" padahal dia pemuka Islam. Dan pernah terjadi seorang Kyai membaca do'a dihadapan umum, dan do'a itu diambilnya dari "khutbah gunung", pidato Yesus Kristus dalam Injil yang beredar sekarang. Demi toleransi, Kyai tidak membaca lagi do'a yang warid dari ajaran Rasulullah Saw.

Tentu orang-orang seperti itu dapat pujian atasan, dan disambut dengan tepuk tangan oleh orang-orang Kristen, tetapi dia tidak sadar bahwa dengan apa yang dinamainya "toleransi" itu dia telah mengorbankan akidah agamanya. ***

Catatan :
Sikap almarhum Buya Hamka mengenai Natal dan Idul Fitri bersama ini berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama, yang Buya Hamka sendiri sebagai ketuanya; "Natal dan Idul Fitri bersama hukumnya haram". Pemerintah melalui Menteri Agama, Alamsyah Ratuprawiranegara meminta supaya fatwa itu dicabut. Buya Hamka kemudian memilih sikap meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia).

sumber :
Dari Hati ke Hati, tentang : Agama, Sosial-Budaya, Politik Oleh Prof.DR.Hamka. Cetakan I, Penerbit Pustakan Panjimas, Jakarta 2002.

(Diambil dari kiriman j_sudiono ke milis insistnet@yahoogroups.com)

Buya HAMKA Menolak Pluralisme Agama


Berikut pernyataan Buya HAMKA yang secara telak menolak klaim kebenaran semua agama. Pernyataan beliau sepertinya ditujukan kepada doktrin yang saya (dan tentu seluruh rakyat Indonesia) terima sejak duduk di bangku SD.

Buya merangkaikan ayat 7,8, dan 9 surat Al-Mumtahanah[60]. Terjemah ayat sembilan sebagai berikut:

[60:9] Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (AL MUMTAHANAH (WANITA YANG DIUJI) ayat 9)-terjemah ini tidak dikutip dari tafsir Al-Azhar, tetapi mengambil dari www.dudung.net-

Ketika masuk penggalan ayat "Dan barangsiapa yang berkawan dengan mereka, maka itulah orang-orang yang aniaya." (ujung ayat 9).

kemudian Buya menulis:

Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas memusuhi Islam, memerangi dan bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran, jelaslah itu orang yang aniaya. Sebab dia telah merusak strategi, atau sisasat perlawanan Islam terhadap musuh. Tandanya orang yang membuat hubungan ini tidak teguh imannya, tidak ada ghairahnya dalam mempertahankan agama. Sama juga halnya dengan orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; "Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya." Orang yang bekata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam." (Tafsir Al-Azhar (Juzu' 28) halaman 107).

Nah, masihkah ada orang yang menyatakan Buya HAMKA seorang pluralis? tentu saja masih. seperti yang disampaikan ustadz Adian: Mereka memang "maunya" Hamka itu harus Pluralis Agama, seperti mereka. salah satu yang bisa dijadikan dalih oleh orang-orang pluralis mungkin saja demi konsistensi prinsip yang mereka anut: jangan menafsirkan tafsir Al-Azhar dengan literal!:)

Nyatalah kini mudzabdzabin.

Minggu, Januari 24, 2010

Membincang Perubahan Masyarakat

Oleh: Shofhi Amhar

Apa itu masyarakat? Orang-orang pada umumnya mengartikan masyarakat sekedar sebagai sekumpulan manusia yang hidup di suatu tempat. Padahal realita masyarakat dari dulu sampai sekarang tidaklah sesederhana itu. Sekumpulan individu baru disebut sebagai sebuah masyarakat apabila di antara mereka terjadi interaksi yang terus-menerus.
Bagaimana interaksi terus-menerus dapat terwujud? Interaksi yang terus menerus hanya bisa terwujud dengan mewujudkan pemikiran, perasaan, serta peraturan yang sama di tengah-tengah sekumpulan individu manusia. Dari sini, masyarakat dapat didefinisikan sebagai sekumpulan individu yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama yang mengikat mereka.

Mengapa mendefinisikan masyarakat menjadi penting? Jawabannya adalah karena kaum muslimin saat ini mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Selain itu, sebagaimana telah disinggung di atas, kebanyakan orang telah salah memberi pengertian bagi masyarakat. Padahal, salah mendefinisikan akan berakibat pada kesalahan melakukan gerakan. Maka mengenali apa yang disebut sebagai masyarakat adalah suatu keharusan. Tidak jauh berbeda dengan seorang dokter yang perlu mengenali bagian-bagian jasad manusia beserta fungsi, cara kerjanya, penyusunnya, dan sebagainya, agar dapat mendiagnosa penyakit yang dideritanya untuk kemudian merekomendasikan obat secara tepat. Demikian pula, mengenali apa itu masyarakat menjadi penting agar perjuangan mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan berada pada rel yang benar. Dengan kata lain, mengenali definisi masyarakat menjadi sangat penting untuk menentukan bagaimana metode yang harus ditempuh untuk mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam.

Bagaimana mengubah masyarakat? Jika pengertian masyarakat telah diketahui, maka dapat ditentukan bagaimana metode mengubah masyarakat dari masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat yang Islami, yaitu dengan mewujudkan pemikiran dan perasaan Islam di tengah-tengah sekumpulan manusia. Di samping itu, harus pula diwujudkan peraturan Islam yang mengikat di tengah-tengah mereka. Upaya mewujudkan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama tersebut tidak bisa dilakukan dengan dakwah mengubah individu semata. Termasuk anggapan yang salah bahwa proses perubahan adalah lurus semata dari individu, kemudian keluarga, kemudian masyarakat, kemudian terwujudlah negara.

Sabtu, Januari 23, 2010

Wahyu: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual

Metode memahami wahyu tidak tepat diistilahkan dengan “tekstual” dan “kontekstual”. Minimal, dua kata itu tidak dapat mewakili metode penafsiran al-Quran secara komprehensif. Ilmu yang membahas kaidah-kaidah penafsiran lazim disebut dengan Ushûl al-Tafsîr, serta dipelajari juga dalam kitab-kitab ‘Ulûm al-Qur`ân. Tema-teman yang dibahas di dalam kedua disiplin ilmu tersebut di antaranya adalah asbâb al-nuzûl, ayat-ayat Makkiyah-Madaniyah, ayat-ayat muhkamât-mutasyâbihât, nâsikh-mansûkh, âmm-khâshsh, mujmal-mubayyan, muthlaq-muqayyad, haqîqî-majazî, dll. Jika cara memahami wahyu hanya digolongkan menjadi “tekstual” dan “kontekstual”, hampir bisa dipastikan akan ditemui kesulitan dalam menggolongkan tema-tema pembahasan di atas ke dalam dua kategori tersebut.

Meskipun begitu, lontaran-lontaran pemikiran dari para cendikiawan yang mengaku menggunakan paradigma “tekstual-kontekstual” perlu juga dicermati. Tujuannya adalah untuk memahami apa yang mereka maksud dengan paradigma tersebut untuk kemudian disorot dari sudut pandang paradigma ‘Ulûm al-Qur`ân.

Kesalahan Mendasar Ide HAM dan Pemikiran Barat Lainnya

Hal terpenting dari sebuah pemikiran adalah sumbernya. Ibarat sebuah aliran sungai, jika sumbernya “kotor”, maka air pada aliran sungai tersebut tidak bisa terlalu diharapkan menjadi bersih. Sedangkan jika sumber mata airnya jernih dan menyejukkan, dari sinilah sangat diharapkan memancar aliran sungai yang jernih dan menyejukkan pula; meski nantinya hal itu pun berpulang pada tanah yang dilaluinya.

Demikian pula, sebuah pemikiran yang jernih berasal dari sumber mata air yang jernih. al-Qur`ân tidak melewatkan pembahasan penting ini. Karena itulah, akan kita dapati di dalam al-Qur`ân pembahasan mengenai sumber-sumber ilmu pengetahuan ini dan penekanannya sedemikian rupa.

Surat al-Qalam [68]: 35-40, misalnya, adalah rangkaian ayat yang dapat mewakili kritik al-Qur`ân terhadap sumber pemikiran tertentu. Ayat-ayat tersebut mempertanyakan sikap orang-orang yang menyamakan antara kaum muslimin dengan para pendosa (kafir) tanpa ada sandaran Kitab suci. Maka, kritik terhadap para pemikir Barat serta kaum muslimin yang mengikuti mereka—baik yang sadar ataupun tidak—bisa dilakukan dari sisi ini. Bahkan kritik dari sisi inilah yang harus dilakukan pertama kali, karena berkaitan erat dengan prinsip-prinsip akidah di dalam al-Qur`ân, yaitu tauhid dan konsekuensi syahadat. Siapa pun yang memahami tauhid dan konsekuensi syahadat dengan benar, kemudian mengamati realitas pemikiran para pengemban HAM secara terang dan apa adanya, maka ia akan dengan mudah mendapati pertentangannya.

Kamis, Januari 21, 2010

Mempertanyakan Epistemologi HAM

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, maupun negara. John Lock mengemukakan hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa dipisahkan.

Pertanyaan: Apakah John Locke mendapat wahyu, sehingga ia berani mengatasnamakan Tuhan? Ataukah dia merujuk kepada Kitab Suci yang terbukti secara pasti sebagai wahyu Ilahi? Jika tidak, mengapa kita masih berharap pada HAM yang tak jelas asal-usulnya ini?

Senin, Januari 18, 2010

Menerapkan Islam; Sebuah Komentar Atas Wawancara Dr. Aris Arif Mundayat (Bagian 1)

assalaamu 'alaikum,,,

bismillaah walhamdu lillaah washshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillaah. amma ba'du.

berikut adalah komentar saya atas isi wawancara antara Denny al-Asy'ari dengan Dr. Aris Arif Mundayat yang dimuat di suara muhammadiyah dan bisa pula dibaca di http://suara-muhammadiyah.com/2009/?p=814.

semoga bermanfaat.


========


Dr. Aris Arif Mundayat
Indonesia Perlu Terapkan Islam Yang Terbuka
dan Non Rezimented

Islam adalah agama wahyu yang turun dari langit untuk membawa rahmatan lil’alamin untuk sekalian alam dan makhluk Allah di muka bumi. Islam hadir sebagai solusi yang selalu memiliki relevansi sepanjang zaman dan waktu. Namun, bagi pemeluknya, konsep dan nilai Islam tersebut, belum mampu diwujudkan secara maksimal dalam konteks kebangsaan dan kemasyaratan, bahkan pada satu sisi, Islam justru muncul dengan wajah yang sangar dan tidak bersahat dalam pergumulan sosial kebangsaan belakangan ini.

Universalisme Islam yang begitu kuat, secara perlahan mulai ditarik pada paham partikularistik yang kurang mampu secara optimal menyentuh problem kemanusiaan. Dengan kondisi yang demikian, Islam seperti apakah yang bisa diaktualisasikan dalam bingkai ke-Indonesiaan dan kemanusiaan? Serta problem apa yang selama ini terjadi terhadap konsep universalisme Islam tersebut? Berikut petikan wawancara Deni al Asy’ari dari SM dengan Dr. Aris Arif Mundayat, Ketua Program Studi HAM dan Demokrasi UGM dan Kepala Pusat Studi Asia Tenggara UGM.

Islam merupakan agama yang bersifat universal yang berlaku bagi setiap zaman dan waktu, bagaimana anda mamaknai konsep ini dalam konteks keberagamaan dan kebangsaan?


Konsep universalisme Islam sesungguhnya terkandung dalam nilai-nilai yang substantif pada ajaran Islam, dalam muatan ajaran tersebut, secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, baik itu agama Budha, Hindu, Kristen maupun agama lainnya. Karena tidak ada ajaran Islam yang mengandung ajaran yang buruk. Oleh karenanya semua nilai kebaikan tersebut merupakan nilai-nilai yang universal yang juga terkandung dalam paham atau agama lain. Walaupun ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan Islam dari beberapa ajaran lain, namun secara universal pasti ada antara masing-masing ajaran yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam konteks itulah saya melihat pengertian universalisme Islam itu bisa dimaknai.

Komentar:

[Paragraf di atas mengandung kontradiksi. Di satu sisi menyatakan bahwa Islam mengandung nilai-nilai substantif yang secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, namun di sisi lain dinyatakan pula bahwa ada aspek-aspek dari paham atau agama lain yang tidak sesuai dengan Islam.



Kerancuan itu terjadi karena cakupan dan batasan dari beberapa konsep yang dikemukakan tidak jelas atau bahkan kabur sama sekali, karena tidak adanya penjelasan. Apa saja “nilai-nilai substantif” yang dinyatakan bisa diterima oleh ajaran agama mana pun itu? Kita ambil salah satu contoh ajaran Islam: Tauhid. Apakah tauhid, di dalam Islam dan bagi kaum muslimin merupakan salah satu nilai substantif? Jika tauhid tidak dianggap salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, maka bubar agama ini. Bahkan murtadlah orang yang menyatakannya. Lalu apakah tauhid bisa diterima oleh seluruh seluruh agama semisal Budha, Hindu, Kristen, dan Agama lainnya? Jika iya, maka tentu mereka tidak akan berbetah-betah memeluk agamanya, sebab dengan tetap memeluk agamanya berarti mereka sedang enggan memeluk salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, bahkan pada bagiannya yang paling fundamental.]


Dalam Kondisi sekarang ini, sebagian besar umat Islam ada yang mencoba menarik nilai universal Islam ini ke arah partikularistik yang bersifat Arabisme. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi?

Fenomena seperti ini bisa terjadi karena kondisi dan konteks perkembangan globalisasi. Sebagaimana yang diketahui, bahwa setelah globalisasi fase pertama, yang ditandai dengan ekspansi Cina dan India dalam mempengaruhi Asia Tenggara, Dunia Arab memang pernah berjaya pada fase globalisasi selanjutnya atau pada tahap kedua. Bahwa globalisasi pada tahap kedua ini, globalisasi bersentuhan dengan dunia Arab, kemudian di sana mulai masuk dunia perdagangan Arab di situ, keberadaan dunia Arab dalam hal ini secara tidak langsung telah menggeser ekonomi perdagangan Cina dan India yang telah masuk pada globalisasi tahap pertama di Asia Tenggara. Bahkan dunia Arab melalui perdagangannya mampu mendominasi dan memarginalkan elemen-elemen India dan Cina di wilayah Asia Tenggara.

Pada konteks itulah kemudian masuk Islam di dalamnya. Pada saat Islam masuk serta mendominasi dunia ekonomi di wilayah Asia tengara dan Asia selatan, disitu dominasi dunia Arab begitu kuat dengan menggunakan bendera Islam dalam proses perdagangan. Di sana terjadi proses konversi dari Hindu dan Budha ke Islam. Kemudian pada era gelombang globalisasi era kedua ini pula mereka bersentuhan dengan kolonialisme, dalam konteks ini kita bisa melihat bagaimana Islam memberikan kontribusi terhadap kebangkitan rasa nasionalisme pada wilayah Asia Tenggara ketika berhadapan dengan dengan kolonialisme.

Khusus untuk wilayah Indonesia dan Malaysia, Islam mampu menjadi simbol yang kuat untuk mempersatukan wilayah yang ada di negara ini. Sehingga Indonesia dan Malaysia memiliki semangat yang sama dalam melawan kolonialisme pada saat itu, kalau Indonesia melawan jajahan Belanda, sedangkan Malaysia melawan jajahan Inggris. Untuk wilayah Indonesia sendiri, fenomena kuatnya pengaruh Islam atau Arab ini bisa dilihat di wilayah Riau, Sumatera Barat, dan Aceh, sedangkan pada wilayah lain seperti di Jawa memang masih cenderung bersifat sinkretis. Selanjutnya dalam hubungan ini, memang sudah ada benih anti barat, tetapi di zaman itu Arabisasi memang tidak terlalu begitu kuat, karena memang Islam pada waktu itu sedang mencoba mengambil hati orang-orang yang ada di wilayah Indonesia, Malaysia dan beberapa daerah di wilayah Asia tenggara.
Akan tetapi harus diakui, bahwa pada saat itu represi terhadap Islam memang sangat kuat, apalagi saat itu ekonomi masih dikuasai oleh Kolonial. Oleh karenannya, pada saat itu terjadi proses dekolonialisasi yang cukup hebat, namun seiring dengan itu, posisi Islam pun semakin menguat sebagai basis kekuatan masyarakat.
Kemudian ketika Islam mulai menguat, maka tahap selanjutnya Islam meletakkan dirinya sebagai simbol oposisional terhadap Barat/kolonial. Tapi Islam di zaman itu masih Islam yang mengakomodir elemen-elemen lokal. Sementara dalam proses globalisasi pada tahap gelombang ketiga, yang ditandai dengan proses menguatnya kolonialisasi yang dilakukan melalui proses media, modal dan sebagainya, Barat sangat berkepentingan di balik semua itu.

Namun, untuk memberikan perlawanan yang massif, Islam sesungguhnya pada saat itu belum memiliki basis ekonomi yang kuat, padahal dia berdasarkan pengalaman masa kolonial dan pasca kolonial, dia sudah menjadi simbol yang berseberangan dan oposisional terhadap barat. Oleh karenanya, untuk memperkuat arus oposisional Islam ini, orang kemudian mencari upaya pemurnian Islam sebagai simbol yang lebih kuat dalam berseberangan dengan Barat. Namun model pemurnian ini cenderung dengan upaya penyerapan tradisi atau paham Arabisme, seperti berpakaian, gaya hidup atau tampilan yang bersifat fisik. Disinilah paham Arabisme itu muncul sebagai penguatan terhadap oposisional Islam.



Komentar:

[Ada beberapa hal yang ingin saya catat. Pertama, disadari atau tidak, ada kesan bahwa pak Doktor menempatkan Islam sebagai sesuatu di luar dirinya, atau dengan kata lain, beliau bukan bagian dari Islam. Beberapa kalimatnya mencerminkan seperti itu. Sikap seperti ini bagi seorang muslim cukup disayangkan. Kedua, apa yang disebut sebagai paham Arabisme dalam jawaban di atas tidak cukup jelas, sehingga bisa mengundang beragam interpretasi. Padahal kejelasan ini penting, agar tidak terjadi kerancuan pemahaman bagi sidang pembaca, apalagi ternyata kemudian dikait-kaitkan dengan “pemurnian Islam”, sebuah kata yang juga menjadi image persyarikatan Muhammadiyah. Mengaitkan pemurnian Islam dengan Arabisme, yang dinyatakan sebagai penyerapan tradisi seperti berpakaian, gaya hidup, tampilan fisik, dll, tentu saja mengundang beragam tanya: Siapa aktor “pemurnian Islam” yang beliau maksud? Selanjutnya, apakah pakaian (misal: kewajiban menutup aurat, mengenakan jilbab), gaya hidup (misal: rajin sedekah, shalat sunnah, dll), serta tampilan yang bersifat fisik (misal: memakai peci, sorban, mengenakan wewangian, siwak, dll) merupakan sesuatu yang terlarang di dalam Islam? Jika mau jujur, hal-hal tersebut paling rendah berkualitas mubah alias sah-sah saja, sebagian sunah, dan bahkan sebagian lain wajib. Apakah memahamkan kepada masyarakat bahwa sesuatu yang wajib itu harus dilaksanakan, menganjurkan mereka untuk melakukan hal-hal yang disukai (mandub), mempersilakan untuk memilih di antara perkara-perkara mubah ini yang kemudian disebut sebagai paham Arabisme? Jika iya, maka tak ada yang salah sama sekali dengan paham Arabisme. Hanya saja, makna seperti ini tidak pantas disebut Arabisme. Namun jika yang dimaksud adalah mengambil semua yang berbau Arab tanpa menimbang lagi apakah diajarkan oleh Islam atau tidak, maka siapa pun yang menyatakan adanya fenomena Arabisme perlu mendatangkan bukti. Semua orang harus menentang paham Arabisme dalam maknanya yang kedua.



Hanya saja, untuk meluruskan pemahaman, perlu dikemukakan di sini bahwa Islam tidaklah dapat dipisahkan dari bahasa Arab, sebab bahasa Arab adalah bahasa Alquran, bahasa Assunnah, serta bahasa sebagian besar literatur-literatur ke-Islaman. Pengambilan kesimpulan (istinbâth) dan penggalian (ijtihâd) hukum tidak bisa dilakukan tanpa memahami bahasa Arab. Karenya, Islam tidak boleh dijauhkan dari kharisma bahasa Arab. Menjauhkan kaum muslimin dari bahasa Arab dengan sengaja adalah sebuah kejahatan.]

Namun apakah Arabisme yang muncul saat itu betul-betul merepresentasikan universalisme Islam yang hadir sebagai solusi?

Jadi ketika Arabisme ini masuk dan diterapkan, maka jangan ia dilihat sebagai Islam, sebab ketika terjadi dominasi Arabisme ini, justru saya melihat Islam kehilangan nilai-nilai rahmatan lil’alaminnya. Karena Arab bukanlah merepresentasikan secara total konsep rahmatan lil ‘alamin tersebut, namun yang rahmatanlil’alamin adalah Islam.


Bahkan dengan adanya paham Arabisme ini, membuat nilai-nilai universal Islam itu semakin berkurang, karena orang tidak bisa lagi memisahkan antara Islam dan Arab itu sendiri. Seolah-olah antara Islam dan Arab menjadi sesuatu yang menyatu, padahal meletakkan paham yang demikian, merupakan sesuatu yang bisa berbahaya, karena ada elemen-elemen lokal yang juga sesuai dengan cara berpikir dan prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajaran Islam. Jadi ketika Arabisme masuk maka tidak ada bedanya dengan dominasi barat melalui media dan kapitalisme. Karena dia memarginalkan elemen-elemen lokal. Oleh karenanya ketika Arabisme masuk, maka rahmatan lil’alamin Islam akan menjadi hilang. Karena orang melihat antara Arab dan Islam sama, padahal itu sesuatu yang berbeda.



Komentar:


[Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, tentang makna universalisme Islam dan konsep rahmatan lil ‘âlamîn. Kedua, gagasan pemisahan antara Islam dan Arab. Ketiga, tentang elemen-elemen lokal.

Pertama, tentang universalisme Islam. Istilah atau konsep tertentu yang disandarkan kepada Islam harus didasarkan kepada dalil-dalil maupun karakteristik dalil-dalil yang diakui oleh Islam. Dengan kata lain, bahwa konsep dimaksud pada asalnya memang bukan berasal dari pandangan hidup selain Islam, melainkan berasal dari Islam itu sendiri. Perlakuan yang sama juga perlu dikenakan pada makna unversalisme Islam. Dalil-dalil yang sesuai dengan makna ‘universal’ menunjukkan bahwa Islam itu agama yang universal dalam arti: 1) ajarannya berlaku sampai akhir zaman, 2) ajarannya berlaku untuk seluruh umat manusia, 3) ajarannya sesuai dengan fitrah manusia seluruhnya. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa seluruh manusia akan dapat menerima Islam sebagai agama mereka. Taruhlah, misalnya, seluruh manusia di muka bumi ini menolak Islam, tak ada satu pun di antara mereka yang memeluk dan mengakuinya, hal itu sama sekali tidak menghilangkan sifat Islam yang universal dalam ketiga maknanya tadi. Sebab penolakan mereka itu bisa terjadi karena bisikan setan, menuruti hawa nafsu, serta kesombongan. Adapun sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka benar bahwa yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam, bukan Arab. Perlu juga ditekankan, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan agama dan ideologi lain di luar Islam semisal Hindu, Budha, Kristen, sekulerisme, kapitalisme, sosialis, dan lain-lain, juga bukan sesuatu yang diklaim sebagai nilai-nilai substantif oleh sebagian orang yang pada kenyataannya justru disanggah oleh dalil. Lagi, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan ‘nilai-nilai substantif’ yang sering justru mereduksi ajaran-ajaran Islam yang bersifat pasti sekalipun.

Kedua, tentang pemisahan Islam dengan Arab. Benar, bahwa Islam bukan Arab. Segala tradisi yang dicela oleh Islam, entah Arab ataukah Jawa, maka ia tercela. Sebaliknya, tradisi yang tidak dicela oleh syariat, maka ia tidak tercela; tidak peduli apakah tradisi itu berasal dari timur ataukah barat. Inilah pandangan Islam mengenai tradisi. Namun perlu diperhatikan bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab, sebagaimana dijelaskan di atas. Ini sekaligus juga menjadi jawaban tentang kekhawatiran tergerusnya elemen-elemen lokal, bahwa selagi elemen-elemen lokal tidak dicela oleh Islam, maka sah-sah saja jika tetap ingin dipelihara.]



(Bersambung, in syâ Allâh)