Rabu, Februari 17, 2010

Ahli Kitab

Oleh: Shofhi Amhar

Pengantar

Bismillah al-Rahmân al-Rahîm,,,

Tulisan ringkas yang saya sertakan bersamaan dengan ini—berjudul Ahli Kitab—adalah tindak lanjut keprihatinan saya terhadap respon yang tak terduga dari seorang yang dikenal sebagai aktivis sebuah gerakan Islam berkenaan murtadnya sebagian (mantan) muslim di salah satu daerah di Kulonprogo.

Menurut penuturan aktivis tersebut, tragedi pemurtadan tak perlu diprihatinkan. “Masih banyak orang-orang Islam yang belum bener. Ngapain ngurus mereka. Toh mereka juga masuk surga,” begitu katanya kurang-lebih. Ia juga menyatakan bahwa—pun setelah datangnya Islam—tidak semua Ahli Kitab adalah kafir. Bagi seorang muslim, hal ini merupakan pernyataan munkar yang harus dikritisi. Maka dari itu saya mencoba menerangkan sekelumit tentang Ahli Kitab dan kepastian vonis kafir terhadap mereka.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi yang mau mengikuti kebenaran.

Siapa dan Bagaimana Ahli Kitab?

Secara bahasa, Ahli Kitab berarti orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab. Namun al-Quran telah mengecualikan kaum Muslimin dari sebutan Ahli Kitab, meskipun beragama sesuai dengan kitab samawi. Al-Quran menggunakan kata Ahli Kitab hanya untuk menunjukkan dua golongan, yaitu Yahudi dan Nasrani. Selain dua komunitas tersebut tidak disebut Ahli Kitab. Karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa Ahli Kitab adalah semua pemeluk agama yang mempunyai kitab (baik samawî maupun ardhawî). Sebab, Majusi juga memiliki kitab suci yang mereka sebut sebagai Zend Avista[1], namun Nabi dan para sahabat tidak menyebut mereka sebagai Ahli Kitab[2] dan tidak pula memperlakukan mereka dengan seluruh perlakuan terhadap Ahli Kitab[3]. Dengan demikian, secara syar’i Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani.[4] Para ulama sepakat dalam menyebut mereka sebagai kuffâr (orang-orang kafir).[5] Mengenai kekafiran mereka, banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menjelaskannya, di antaranya:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (al-Bayyinah [98]:1)

Ayat di atas adalah salah satu ayat yang menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu dibagi menjadi dua macam, yaitu Ahli Kitab dan musyrik. Kaum muslimin tidak boleh ragu dalam menggolongkan Ahli Kitab sebagai orang-orang kafir, sebab hal ini sudah termasuk ke dalam ma’lûm minad-dîn bidh-dharûrah (perkara yang diketahui sebagai bagian dari agama secara pasti).

Sebagian orang ada yang tidak berani menyatakan kekafiran suatu kaum, dengan alasan kita tidak boleh terlalu mudah (bahkan tak punya hak) untuk menyatakan pihak lain kafir. Pernyataan seperti itu tidak bisa dibenarkan jika kontek yang dimaksud adalah Ahli Kitab. Sebab al-Quran terang-terangan menyatakan kekafiran mereka. Kekafiran mereka adalah sah dan pasti. Perlu diingatkan di sini bahwa tidak mengkafirkan seseorang yang jelas-jelas dinyatakan kafir oleh al-Quran termasuk salah satu perkara yang dapat membatalkan syahadat.[6]

Catatan Kaki

[1] Ibn Hazm, al-Milal wa al-Nihal, al-Maktabah al-Syâmilah, hal. 75

[2] Lihat al-Wa’ie No. 48 Tahun IV, 1-31 Agustus 2004, hal. 50

[3] Lihat, misalnya di dalam Mushannaf ‘Abd al-Razzâq, no. 19256, juz 10.

[4] Muhammad Rawwâs Qal’ah Jî dan Hâmid Shâdiq Qanyûbî, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, (Dâr al-Nafâis, Beirût: 1408/1988)

[5] Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, bab Qism al-Fay` wa al-Jihâd wa al-Siyar, al-Maktabah al-Syâmilah, hal. 119

[6] Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Negeri Yogyakarta, Kumpulan Materi Kajian Keislaman Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah di Kampus (pdf), 2008, hal. 33

Senin, Februari 01, 2010

Baik dan Buruk


Oleh: Shofhi Amhar

Pendahuluan

Salah satu perintah Allah di dalam al-Qur`ân adalah berlomba-lomba di dalam kebaikan, fa-stabiqû al-khayrât. Masalahnya, apa yang dimaksud dengan kebaikan dalam pandangan Islam? Pembahasan ini sangat penting, agar waktu hidup yang sebentar di dunia ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan kebaikan sesuai yang dikehendaki oleh ajaran Islam.

Kata Khayr di dalam al-Qur`ân

Al-Qur`ân memuat kata khayr sebanyak seratus sembilan kali. Jumlah itu belum menghitung kata tersebut dalam bentuk jamak dan atau nakirah-nya. Ayat yang menyebut kata khayr salah satunya adalah al-Baqarah [2]:216.
Allah Ta’âla berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ


Diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh Jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh Jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.

Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas, berkenaan dengan baik dan buruk.

Pertama, suatu kewajiban bukanlah sesuatu yang selalu disukai oleh manusia. Dengan demikian, suka-tidak suka tidak dapat dijadikan ukuran untuk melakukan sesuatu atau tidak. Suka atau tidak suka juga bukan ukuran baik dan buruk.

Kedua, sesuatu yang disukai oleh manusia, belum tentu merupakan sesuatu yang baik. Bisa jadi justru merupakan sesuatu yang buruk.

Ketiga, sesuatu yang dibenci oleh manusia, belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Bisa jadi hal itu justru merupakan hal yang baik.

Keempat, Allah lah yang mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia.

Kesalahpahaman

Sadar atau tidak, sebagian manusia menganggap bahwa kebaikan adalah sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Sebaliknya, keburukan adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi manusia. Hal ini berarti, menggantungkan kebaikan kepada ada tidaknya manfaat pada kebaikan tersebut. Paradigma seperti ini berdampak pada pemahaman bahwa sesuatu itu dapat dikatakan baik apabila ada manfaatnya. Sedangkan bila sesuatu itu tidak ada manfaatnya, maka sesuatu itu buruk. Padahal, sebagaimana tersirat dalam ayat di atas, pengetahuan manusia tentang manfaat suatu perbuatan bersifat terbatas. Terkadang manusia mengetahui sebagian manfaat suatu perbuatan, tetapi luput dari mafsadat perbuatan itu sendiri. Kesimpulan ini bisa diambil karena seringkali manfaat-tidaknya suatu perbuatan itu diukur dari suka atau bencinya seseorang terhadap hal tersebut.

Sebagai contoh, seseorang yang putus dengan pacarnya mungkin akan sedih dan menangis, serta menganggap bahwa keburukan telah menimpa dirinya. Anggapan tersebut disebabkan karena ia tidak menyukai keputusan tersebut. Contoh lain, seorang koruptor mungkin menganggap bahwa korupsi yang dilakukannya adalah suatu kebaikan karena mendatangkan manfaat bagi keluarganya. Demikian pula para garong kapitalis yang menjarah kekayaan alam negeri-negeri kaum muslimin (termasuk Indonesia), mereka menganggap apa yang mereka lakukan bermanfaat bagi mereka. Pemerintah barangkali juga berpikiran sama. Mereka mengizinkan perusahaan-perusahaan asing mengeksploitasi habis tambang-tambang potensial di negeri ini karena menganggap bekerjasama dengan perusahaan kafir asing itu adalah hal yang bermanfaat, karena mereka bisa mendapat keuntungan; meskipun tidak seberapa.

Meluruskan Pemahaman

Contoh-contoh di atas adalah sebagian penerapan konsep baik dan buruk berdasarkan asas manfaat dengan standar suka-tidak suka, benci dan cinta. Pemahaman seperti ini perlu dikoreksi, karena cenderung mengabaikan peran wahyu dalam menentukan baik dan buruk. Padahal Allah menyatakan bahwa Dia-lah yang mengetahui baik dan buruk, sedangkan manusia pada dasarnya tidak mengetahui baik dan buruk kecuali setelah mendapat pengetahuan dari wahyu. Bisa juga—sebagaimana pada ayat di atas—manusia mengetahui sesuatu itu baik karena Allah memerintahkannya. Sebab, tidak mungkin Allah Ta’âlâ memerintahkan sesuatu yang buruk kepada orang-orang yang beriman. Berdasarkan uraian di atas, pemahaman yang salah mengenai baik dan buruk yang ada di tengah-tengah masyarakat harus diluruskan, dengan menyatakan bahwa:
الخير ما أرض الله والشر ما أسخطه
Kebaikan adalah sesuatu yang diridhai Allah, sedangkan keburukan adalah sesuatu yang dimurkai Allah.

Panatagama, 17 Shafar 1430 H/31 Januari 2010 M