Senin, Agustus 16, 2010

Menutup Aurat

Menutup aurat adalah syarat sah dan diterimanya shalat. Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima shalat seorang muslim yang dilakukan dengan membuka aurat, baik laki-laki maupun perempuan, baik ia dilihat oleh manusia dalam shalatnya maupun shalat sendirian. Maka sudah selayaknya seorang yang shalat untuk menutup auratnya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ...

Wahai Bani Adam, pakailah perhiasanmu pada setiap pergi ke masjid.
(al-A’râf:31)

Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu menyebutkan sebab turunnya ayat ini:

«كانت المرأة إذا طافت بالبيت تُخرج صدرَها وما هناك فأنزل الله تعالى خُذوا زينتَكم عند كل مسجد»

Dahulu para wanita apabila berthawaf di Baitullah mengeluarkan dadanya dan aurat yang ada padanya. Maka Allah menurunkan ayat (yang artinya): “Pakailah perhiasanmu setiap ke masjid.” (HR. al-Baihâqî)

Dengan demikian perhiasan yang dituntut oleh ayat ini adalah pakaian dan penutup aurat. Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ meriwayatkan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

«إذا صلَّى أحدُكم فَلْيَتَّزِرْ ولْيَرتدِ»

Jika salah seorang di antara kalian melakukan shalat maka hendaklah ia memakai izar (kain penutup setengah bagian tubuhnya dari bawah), dan memakai baju. (HR. Ibnu Hibbân, Ahmad, al-Baihâqî, dan ath-Thahâwî)

Dari ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anhâ dari Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam, beliau bersabda:

«لا يقبل الله صلاة حائضٍ إلا بخمار»

Allah tidak menerima shalat seorang wanita yang telah haidh kecuali dengan memakai khimar (kerudung; kain penutup kepala). (HR. Ibnu Mâjah, Ahmad, Abû Dâwud, dan Ibnu Hibbân).

Persoalan menutup aurat ketika shalat ini adalah perkara yang umum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin. Namun, banyak kaum muslimin yang belum menyadari bahwa kewajiban menutup aurat tidak sebatas ketika melaksanakan shalat saja, melainkan di luar shalat juga seorang yang beriman wajib menutup aurat mereka. Aurat pria dan wanita di dalam maupun di luar shalat adalah sama, yaitu dari pusar sampai lutut untuk pria; seluruh badan kecuali wajah dan dua telapak tangan untuk wanita. Jika seseorang melalaikan kewajiban ini, maka ia berdosa.

Sayang sekali, kaum muslimin banyak yang membuka aurat mereka di luar shalat. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan untuk menutupnya. Fenomena ini menimpa kaum laki-laki, lebih-lebih perempuan. Padahal, Nabi bersabda:

لا ينظرالرجل إلى عورة الرجل ولا المرأة إلى عورة المرأة\

Tidak boleh seorang laki-laki memandang aurat laki-laki lain, tidak boleh pula seorang wanita memandang aurat wanita lain. (HR. Muslim)
Sering terlihat kaum Adam bermain bola tanpa menutup aurat. Salah satu alasannya, untuk berolahraga perlu bergerak bebas, sehingga ribet kalau harus memakai celana panjang. Alasan ribet telah mengalahkan tuntunan agama. Kaum Adam tidak takut lagi melakukan dosa dengan alasan yang sangat sepele. Padahal dengan menutup aurat, kegiatan olahraga tidak akan terlalu terganggu. Malah, dengan mengikuti tuntutan Islam, olahraga akan lebih berpahala dan lebih berkah. Sebab, dengan melaksanakan perintah Allah, seseorang akan mendapatkan pahala dan berkah.

Demikian juga kaum wanita saat ini banyak yang tidak mengenakan kerudung dan jilbab di luar shalat. Padahal mereka bertemu dengan orang-orang yang bukan mahram. Seorang wanita tidak boleh memperlihatkan auratnya di depan lelaki yang bukan mahramnya. Bahkan tidak sedikit kaum wanita yang mengumbar auratnya dengan hanya mengenakan dua lembar kain minim di tubunya dan berpakaian seronok di depan khalayak ramai. Kehormatan mereka tak lagi terjaga gara-gara mereka tidak lagi memperhatikan tuntunan agama. Sayangnya, mereka merasa nyaman dengan hal itu.

Demikianlah salah satu fenomena yang marak terjadi di negeri-negeri kaum muslimin, termasuk Indonesia. Maraknya kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak lain terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kurangnya pemahaman individu mengenai ajaran Islam. Untuk itu, wajib bagi setiap individu muslim untuk memperdalam ilmu agama dengan pemahaman yang sempurna meliputi seluruh aspek kehidupan. Kedua, tidak diterapkannya syariat Islam oleh negara. Padahal negara wajib menjadikan syariat Islam sebagai system aturan yang berlaku untuk seluruh warga negara. Tidak diterapkannya syariat Islam oleh negara merupakan dosa besar yang mengakibatkan terbengkalainya banyak kewajiban dan maraknya berbagai bentuk kemaksiatan. Karena hal ini merupakan dosa besar, maka para penguasa yang terus-menerus melakukannya tidak termasuk orang-orang yang dijanjikan ampunan di bulan Ramadhan. Nabi bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, merupakan penghapus dosa di antara keduanya, selama dia menjauhi dosa-dosa besar. (HR. Muslim dan Ahmad).

Jelas dalam hadis ini, dosa-dosa besar tidak termasuk dosa yang diampuni dengan berkah Ramadhan. Pelaku dosa besar (termasuk penguasa yang tidak menerapkan apa yang diturunkan Allah) harus bertobat kepada Allah dan tidak mengulanginya lagi dengan cara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Semoga Ramadhan tahun ini dapat menjadi momen perubahan individu muslim dan penguasa mereka ke arah ketaatan total kepada Allah. Aamiin.

Padepokan Panatagama, 6 Ramadhan 1431 H

Jumat, Agustus 13, 2010

Tafsir Surat al-Mâ’ûn

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (١)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (٢)وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣)فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (٤)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (٥)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (٦)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (٧)

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (al-Mâ’ûn [107]:42-47)

Surat al-Mâ’ûn terdiri atas 7 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah sura at-Takâtsur. Nama al-Mâ’ûn diambil dari kata tersebut yang terdapat pada akhir surat. Pokok-pokok isinya adalah beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama serta ancaman bagi orang-orang yang melakukan shalat dengan lalai dan riya.

Ayat pertama surat ini berisi pertanyaan Allah kepada Nabi Muhammad: Tahukah engkau orang yang mendustakan ad-Dîn? Ad-Dîn yang dimaksud dalam ayat ini adalah balasan berupa pahala dan dosa. ‘Ikrimah dan Mujâhid menyatakan ad-Dîn artinya perhitungan amal (al-Hisâb). Dapat juga bermakna hukum Allah (Hukmullâh) seperti dinyatakan oleh seorang sahabat Nabi yang dijuluki Turjumanul Qur`ân, Ibnu ‘Abbâs—radhiyallâhu ‘anhumâ.

Ayat ini menyapa Nabi Muhammad dengan redaksi tunggal ‘engkau’. Tetapi bukan berarti ayat ini hanya ditujukan kepada beliau seorang. Sebab, Nabi adalah teladan bagi kaum muslimin. Sehingga seruan kepada Nabi juga berlaku bagi orang-orang mukmin. Artinya, ayat ini berlaku secara umum untuk seluruh kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat kaidah:

خِطَابُ الرَّسُولِ خِطَابٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Seruan untuk Rasul merupakan seruan bagi kaum mukminin juga

Digunakannya kalimat tanya di dalam ayat ini adalah untuk memancing pembaca agar mau berpikir. Jadi, Allah bertanya bukan berarti tidak tahu. Allah Mahatahu. Buktinya, Allah sendiri kemudian yang menjawab pada ayat selanjutnya. Dengan kalimat tanya, diharapkan orang-orang yang membaca atau mendengarkan ayat ini tergugah kesadarannya dan terdorong untuk menyimak kandungan ayat ini.

Jika engkau tidak tahu siapa itu yang mendustakan agama, maka ketahuilah bahwa orang yang mendustakan ad-Dîn itu adalah orang yang mencela anak yatim (alladzî yadu’’ul yatîm). Inilah yang dinyatakan dalam ayat kedua. Kalimat yadu’’ul yatîm dapat juga berarti mencegah anak yatim mendapatkan haknya dengan cara yang zhalim. Yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya sebelum ia baligh. Inilah ciri pertama sikap mendustakan agama.

Sifat kedua disebutkan pada ayat ketiga, yaitu tidak mendorong dirinya sendiri maupun orang lain untuk memberi makan orang-orang miskin. Istilah miskin sering disandingkan dengan istilah fakir, karena sifat keduanya mirip. Namun kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Fakir adalah seorang yang memiliki harta, namun pengeluaran lebih besar dari penghasilannya. Dengan kata lain, penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak memiliki harta maupun penghasilan. Hanya saja, apabila salah satu dari kata itu disebut sendirian, maka yang dimaksud adalah kedua makna tersebut. Sedangkan apabila disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki arti sendiri.

Ayat keempat berisi celaan terhadap orang-orang yang shalat. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. Jadi, tidak semua orang yang shalat itu selamat. Mengapa orang-orang yang shalat bisa celaka? Ayat kelima menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Ayat kelima menyatakan: yang mereka itu lalai dari shalat mereka. Mereka melalaikan shalat sehingga mengakhirkan shalat dari waktunya. Jadi, orang-orang yang melalaikan shalat dengan cara mengakhirkan waktu shalat, mereka itulah yang celaka.

Alasan lain mengapa orang yang shalat bisa celaka adalah karena pelaksanaan shalat mereka maupun amal ibadah lain yang mereka lakukan didasari oleh keinginan untuk dilihat orang lain. Dan orang-orang yang mereka berbuat riya, baik dalam shalat maupun amal selain shalat. Hal ini dinyatakan dalam keenam.

Riya adalah menginginkan keridhaan manusia ketika bertaqarrub (melakukan aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti shalat, zakat, membaca al-Qur`ân, dll). Riya termasuk aktivitas hati bukan aktivitas lisan dan anggota badan lainnya. Riya hakikatnya merupakan tujuan dari perkataan atau perbuatan. Jadi, di dalam riya terjadi pengalihan tujuan taqarrub; yang sejatinya ditujukan hanya untuk Allah semata menjadi karena manusia. Karena itu perkataan dan perbuatan taqarrub bukanlah riya itu sendiri, melainkan tempat adanya riya. Sedangkan riya itu sendiri adalah tujuan dari taqarrub, bukan yang dituju—ketika yang dituju adalah ridha manusia. Apabila tujuan dari suatu taqarrub berserikat antara Allah dan manusia, maka taqarrub seperti itu adalah haram. Lebih parah lagi dari hal ini, jika taqarrub tersebut murni ditujukan untuk manusia, bukan untuk Allah.

Dibatasinya riya hanya dalam hal taqarrub karena pada selain taqarrub tidak ada riya. Misalnya, ketika melakukan transaksi jual-beli dilihat banyak orang, atau berhias diri dengan pakaian yang dibolehkan, atau yang lainnya. Adapun pembatasan riya dengan ridha manusia, adalah ditujukan untuk mengecualikan maksud-maksud yang lainnya. Seperti maksud ingin mendapatkan manfaat materiil pada saat melaksanakan ibadah haji.

Taqarub bisa berupa aktivitas ibadah (ritual), bisa berupa aktivitas lainnya. Orang yang melamakan sujudnya, orang yang bersedekah, dan orang yang berjihad karena ingin dilihat manusia adalah orang-orang yang riya. Orang yang menulis naskah karena ingin dikatakan sebagai orang yang berilmu adalah orang yang riya. Orang yang berpidato karena ingin membuat orang terkagum-kagum adalah orang yang riya. Orang yang khutbah karena ingin dikatakan sebagai khatib yang baik adalah orang yang riya. Orang yang memakai baju ditambal-tambal karena ingin dikatakan sebagai orang yang zuhud adalah orang yang riya. Orang yang memanjangkan jenggotnya dan orang yang tidak mengulurkan bajunya sampai ke mata kaki karena ingin dikatakan sebagai orang yang melaksanakan sunah adalah orang yang riya. Orang yang senantiasa makan kacang adas karena ingin disebut sebagai orang yang menjalani kehidupan asketis adalah orang yang riya. Orang yang mengundang ribuan orang karena ingin dikatakan sebagai orang yang dermawan adalah orang yang riya. Orang yang menundukan kepalanya ketika berjalan karena ingin dikatakan sebagai orang yang rendah hati adalah orang yang riya. Orang yang membacakan al-Quran dengan suara yang keras di malam hari karena ingin didengar tetangganya adalah orang yang riya. Orang yang membawa mushaf kecil dan ia sangat ingin dilihat manusia hingga mereka menyukainya adalah orang yang riya.

Kita saat ini tengah berada di suatu masa di mana manusia sudah tidak malu lagi berbuat riya. Bahkan secara umum manusia tidak mengetahui fakta dan hukum-hukum seputar riya. Bukti nyata hal ini adalah tampaknya berbagai macam penutup kepala (kopiah) yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. Az-Zubaidi dan ash-Shafi telah mengeluarkan dalam al-Kanz dan al-Hâkim, at-Tirmidzi dalam an-Nawâdir, serta Abû Nu’im dalam al-Hilyah. Dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: Nanti di akhir zaman akan terdapat “Didan al-Qurra”17. Siapa saja yang hidup di zaman itu, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk dan dari mereka (Didan al-Qurra). Mereka adalah orang-orang yang berbau busuk. Kemudian akan bermuculan berbagai jenis penutup kepala dan jubah (Qalânîs al-Barûd), maka manusia sudah tidak lagi merasa malu dari riya. Orang yang berpegang teguh pada agamaku saat itu bagaikan orang yang menggenggam bara api. Orang yang berpegang teguh pada agamanya pahalanya seperti pahala lima puluh orang. Para sahabat berkata, “Apakah lima puluh itu dari mereka atau dari kami?” Rasulullah saw. bersabda, “Dari kalian.”

Kata al-Qalânis pada hadits ini adalah bentuk jamak dari Qalansuwah artinya kopiah (penutup kepala). Kata al-Barud adalah bentuk jamak dari kata Bardun. Ungkapan Qalanisul barud ini adalah kinayah (kiyasan) dari tokoh agama yang membedakan dirinya dengan yang lain dengan cara memakai kopiah dan jubah; tanpa memandang orang yang dibalut oleh kopiah dan jubah tersebut. Penilaian orang berdasarkan hal-hal seperti ini, yang telah dinyatakan sebagai tanda-tanda orang yang tidak punya rasa malu adalah bagian dari riya.

Ayat terakhir surat ini menerangkan lagi sifat orang yang celaka dalam shalatnya, yaitu mereka yang tidak mau menolong dengan barang yang berguna atau tidak mau membayar zakat. Ayat terakhir menyatakan: Dan enggan atau mencegah menolong dengan al-Mâ’ûn. Al-Mâ’ûn adalah benda-benda yang berguna di dalam rumah tangga seperti jarum (al-Ibrah), kapak (al-Fa’s), periuk, kuali (al-Qidr), mangkuk ceper besar (al-Qash’ah), air (al-Mâ`), pelana (al-Hâl), timba (ad-Dalw), korek api (al-Qadâhah), api (an-Nâr), garam (al-Milh), dan yang sejenisnya. Sebagian ahli ilmu menafsirkan al-Mâ’ûn sebagai zakat. Dengan demikian ayat terakhir ini mencela orang-orang yang tidak mau memberi pertolongan dengan barang-barang rumah tangga yang berguna. Atau dapat pula diartikan mereka enggan membayar zakat yang diwajibkan atas mereka.

Demikianlah sifat-sifat orang yang shalat namun celaka. Sebagian orang ada yang sangat buruk dalam memahami ayat-ayat ini. Mereka meninggalkan shalat dengan alasan bahwa orang-orang yang shalat akan celaka. Padahal, tidak semua orang yang shalat celaka. Kecelakaan orang-orang yang shalat bukan karena shalat itu sendiri melainkan karena sifat-sifat lain yang bertentangan dengan tujuan yang dituntunkan oleh Islam dalam melakukan suatu aktivitas taqarrub. Dengan demikian, tidak alasan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat. Justru orang-orang yang meninggalkan shalat secara sengaja diancam oleh Allah Ta’ala dengan neraka Saqar.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?". Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan Kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian". (QS. al-Muddatstsir [74]: 42-47)







Referensi:

1. Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Depag RI.

2. Tafsîr al-Jalâlain, Jalâluddîn al-Mahallî dan Jalâluddîn as-Suyûthi.

3. Ahkâm al-Qur`ân li asy-Syâfi’î, Imam a-Bayhâqî.

4. I’râb al-Qur`ân, Muhyiddîn Ahmad Mushthafâ Darwîsy.

5. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ`, Rawas Qal’ah Jî.

6. Tafsîr al-Munîr, Wahbah Mushthafâ az-Zuhailî.

7. Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, Taqyuddîn an-Nabhânî.

8. An-Nukat wa al-‘Uyûn, Imam al-Mâwardî.

9. Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, ‘Athâ` bin Khalîl Abû Rusytah.

Senin, Agustus 09, 2010

Redenominasi

Pemerintah berencana akan melakukan redenominasi. Uang seribu rupiah akan dicoret nolnya tiga, dengan daya beli yang sama. Jika kita bisa beli bolpen seribu rupiah dengan pecahan yang lama, maka dengan pecahan satu rupiah pecahan yang baru kita akan bisa membeli bolpen yang sama. Demikian pula dengan pecahan dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, limapuluh ribu, dan seratus ribu, akan disesuaikan dengan mencoret tiga nol.

Mengapa dulu negara repot-repot harus mencetak uang seribu rupiah ke atas, jika pada akhirnya tiga angka nolnya dicoret? Ini ada kaitannya dengan inflasi, atau kenaikan harga-harga barang. Kenaikan harga barang hampir pasti selalu terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Karenanya, menambah jumlah angka nol, cepat atau lambat adalah keniscayaan. Karenanya, suatu saat nanti, meskipun telah dicoret nolnya tiga, negara akan tetap mencetak lagi uang dengan menambahkan angka nol jika terjadi inflasi lagi. Akhirnya, akan ada lagi pecahan seribu, lima puluh ribu, seratus ribu, dan seterusnya. Kemudian pemerintah akan berpikir untuk mengurangi angka nolnya lagi. Lalu terjadi inflasi lagi, dan seterusnya.

Hal itu disebabkan karena mata uang yang dipakai adalah mata uang kertas. Sedangkan Islam mengajarkan bahwa mata uang harus dari emas dan perak, yaitu yang dikenal dengan dinar dan dirham. Keunggulan mata uang emas dan perak adalah terjaga dari inflasi. Harga-harga barang akan stabil. Kalaupun sampai terjadi lonjakan harga, perbedaannya tidak akan terlalu besar. Persoalannya sekarang adalah, apakah kita mau untuk taat kepada Allah dengan melaksanakan ajaran-Nya di segala aspek kehidupan, termasuk dalam ranah ekonomi, politik, dan kenegaraan? Seorang yang mengaku beriman tentu saja akan menjawab: ya. Sebab, Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (an-Nur [24]:51).

Padepokan Panatagama, 7 Agustus 2010

Mengenal Ilmu Hadis

Pendahuluan

Umat manusia memiliki patokan-patokan tertentu dalam berpikir dan berbuat, baik disadarinya atau tidak, baik khas maupun kacau. Ada umat yang menjadikan maslahat sebagai patokan berpikir dan bertindak. Ada pula umat yang menjadikan hawa nafsu sebagai patokan. Ada lagi yang patokannya adalah sejarah. Umat yang lain menjadikan fakta sebagai patokan. Umat yang lain lagi mematok pemikiran dan tingkah lakunya berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat masyarakat setempat atau umat terdahulu. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Berbeda dengan semua umat yang mengambil patokan-patokan seperti di atas, kaum muslimin meyakini bahwa hanya hukum Allah yang sebenar-benarnya satu-satunya yang harus dijadikan sendi untuk membentuk pribadi yang utama dan mengatur ketertiban hidup bersama (masyarakat) dalam menuju hidup bahagia dan sejahtera yang hakiki, di dunia dan di akhirat . Kaum muslimin dituntut oleh Allah untuk mengikuti wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad—semoga shalawat dan salam terlimpah atasnya. Titah Allah dan Rasul-Nya lah yang menjadi patokan bagi kaum muslimin dalam berpikir dan berbuat. Allah Ta’âlâ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Nisâ`: 59)

Berdasarkan ayat di atas, kaum muslimin diperintahkan untuk taat secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Taat kepada Allah adalah dengan mengikuti al-Qur`ân, sedangkan taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti al-Sunnah. Dari sini didapatkan kesimpulan bahwa patokan kaum muslimin adalah al-Qur`ân dan al-Sunnah . Patokan-patokan inilah yang sering disebut sebagai al-Dalîl (dalil) atau sumber hukum.
Dalam kesempatan ini, akan dibahas sekelumit mengenai sumber hukum Islam kedua, yaitu al-Sunnah, atau yang biasa juga disebut al-Hadîts (selanjutnya: Hadis).

Pengertian

Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrîr . Susunan yang ada dalam Hadis adalah berasal dari Nabi, bukan dari Allah Ta’âlâ, meskipun maknanya dari Allah Ta’âlâ, sama dengan al-Qur`ân .

Macam-Macam Hadis

Berbeda dengan al-Qur`ân yang keseluruhannya diriwayatkan secara mutawatir, Hadis ada yang mutawatir, ada pula yang ahad. Maka berdasarkan banyak dan sedikitnya periwayat, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap thabaqât yang tidak mungkin bagi mereka bersepakat dusta. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir. Hadis ahad terbagi lagi menjadi masyhûr, ‘azîz, dan gharîb. Hadis masyhûr adalah hadis yang periwayat di setiap thabaqâtnya terdiri dari tiga sampai empat orang. Demikian pula hadis ‘azîz, dengan periwayatnya berjumlah dua orang, serta hadis gharîb dengan periwayat hanya satu orang di minimal satu thabaqah.

Hadis ahad sendiri terbagi lagi menjadi dua bagian: maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak). Hadis maqbûl ada dua jenis: shahîh (selanjutnya: sahih) dan hasan (selanjutnya: hasan). Hadis sahih harus memenuhi syarat-syarat: 1) sanadnya bersambung, 2) rawinya tsiqah , 3) terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadzdz (kejanggalan). Sedangakan hadis hasan sedikit di bawah sahih, yaitu ada satu atau lebih rawi yang kekuatan hafalannya di bawah standar rawi pada hadis sahih.

Hadis yang terkategori mardûd (tertolak) banyak sekali macamnya, yang semuanya dapat dimasukkan ke dalam jenis-jenis hadis dha’îf. Dengan kata lain, hadis mardûd adalah hadis dha’îf (lemah) , yaitu hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat hadis sahih dan sifat-sifat hadis hasan.

Lebih jelasnya dapat dilihat di dalam tabel berikut:
Jenis Hadis Jumlah Râwî Keterangan
Mutawâtir 5 atau lebih merata dalam setiap thabaqât
Ahad: 1-4 -
a. Maqbûl (Sahih dan Hasan)
1) Masyhûr 3-4 tidak boleh kurang dalam satu thabaqat pun
2) ‘Azîz 2 tidak boleh kurang dalam satu thabâqât pun
3) Gharîb 1 minimal dalam satu thabaqah
b. Mardûd 1-4 ada satu atau lebih syarat hadis maqbûl tidak terpenuhi

Faidah

Hadis mutawatir berfaidah qath’î (pasti, meyakinkan), sehingga dapat dijadikan hujjah (argumentasi) dalam masalah akidah. Kita wajib percaya akan hal yang dibawa oleh Nabi s.a.w. yakni Al-Quran dan berita dari Nabi s.a.w. yang mutawatir dan memenuhi syarat-syaratnya. Sedangkan hadis ahad yang terkategori maqbûl, meskipun tidak berfaidah qath’î, tetapi zhannî, namun tetap dapat dijadikan sebagai dalil dalam perkara hukum.

Adapun hadis dha’îf, sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah , baik dalam perkara akidah, hukum, maupun fadhâ`il al-‘amal. Bahkan, tidak dibolehkan mengambil dalil dengan hadits dla’if sama sekali dengan cara apapun.

Bagian-Bagian Hadis

Hadis terdiri dari sanad dan matan. Sanad adalah mata rantai periwayat, sedangkan matan adalah substansi hadis yang merupakan perkataan, perbuatan, ataupun taqrîr Nabi. Sebagai contoh, diambilkan salah satu hadis dari kitab Shahîh Ibn Hibbân nomor 4656:
أخبرنا أبو يعلى ، قال : حدثنا محمد بن يزيد بن رفاعة ، قال : حدثنا أبو بكر بن عياش ، عن عاصم بن أبي النجود ، عن أبي صالح ، عن معاوية قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من مات وليس له إمام مات ميتة جاهلية »
Abû Ya’lâ mengabari kami, ia berkata: Muhammad bin Yazîd bin Rifâ’ah menuturkan kepada kami, ia berkata: Abû Bakr bin ‘Iyâsy menuturkan kepada kami, dari ‘Âshim bin Abî al-Najûd, dari Abî Shâlih, dari Mu’âwiyah, ia berkata: Rasûlullâh—semoga shalawat Allah atasnya—bersabda: <>

Di dalam hadis di atas, rangkaian nama-nama periwayat dari Abû Ya’lâ sampai Mu’âwiyah disebut sebagai sanad. Sedangkan matan di dalam hadis tersebut, yang dalam hal ini merupakan sabda Nabi, diberi tanda dua kurung sudut.

Wallâhu A’lam bish-Shawâb.

Padepokan Panatagama, 18 Muharram 1431 H/3 Januari 2009 M

Komentar Untuk Ahmad Badawi Tentang Persatuan Kaum Muslimin

Dunia Islam Memiliki Potensi Besar. Begitu salah satu berita di harian Republika hari ini, Jumat, 23 Juli 2010. Judul berita itu adalah kutipan pernyataan dari mantan perdana menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi dalam peringatan ulang tahun ke-6 International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta, Kamis, 22 Juli 2010. Ia menyatakan, negara-negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim dianugerahi sumber daya alam melimpah. Dari sisi geopolitik, negara Islam terletak di posisi strategis dari hubungan antarbangsa. Posisi, seperti di Terusan Suez, Teluk Marmara, atau Selat Malaka, memberikan peran penting dalam perdagangan.

“Dengan modal besar itu, saya berharap, dunia Islam memiliki satu suara dalam berbagai hal.”

Badawi menegaskan, umat Islam tak bisa bergerak sendiri-sendiri. Bila itu terjadi, dunia Islam akan terus dianggap lemah oleh dunia internasional seperti sekarang ini.
“Solusi terbaik adalah membentuk jalinan yang erat di antara negara-negara Islam,” ujar Badawi.

Pernyataan Badawi di atas setidaknya mencerminkan dua hal:
1. Kesadaran bahwa dunia Islam adalah sebuah kekuatan yang besar.
2. Kesadaran bahwa dunia Islam sampai saat ini masih terpecah dan jalan sendiri-sendiri sehingga dipandang lemah oleh dunia internasional.
3. Kesadaran akan pentingnya jalinan yang erat antara bangsa-bangsa Muslim.

Kesadaran itu adalah kesadaran yang sangat baik. Hanya saja, metode yang digunakan untuk mewujudkan jalinan yang erat tersebut seringkali tidak tepat. Pasalnya, jalinan yang selama ini diupayakan dan beberapa di antaranya berjalan tidak sepenuhnya dibangun berdasarkan paradigma Islam sepenuhnya. Jalan yang ditempuh pun berbeda dengan jalan yang diteladankan oleh Nabi. Hal ini menyebabkan jalinan yang terbentuk bukan jalinan yang erat, melainkan jalinan yang berkarat. Sebabnya tidak lain adalah diabaikannya thariqah yang dituntunkan Nabi.

Sebagaimana kita tahu, Islam terdiri dari fikrah dan thariqah. Fikrah adalah pernyataan tentang ide tertentu yang hendak diwujudkan. Sedangkan thariqah adalah metode yang digunakan untuk mewujudkan, memelihara, dan menyebarkan fikrah tersebut. Baik fikrah maupun thariqah, keduanya adalah hukum syara’ yang harus diperhatikan dan diikuti, karena keduanya adalah satu kesatuan. Keduanya juga merupakan seruan Sang Pembuat Syariat.

Sebagai contoh, Islam mengajarkan bahwa kaum muslimin wajiba bersatu. Ini adalah fikrah. Jika Islam tidak menjelaskan dengan apa persatuan hendaknya diwujudkan, berarti Islam tidak memiliki thariqah dalam hal itu. Hal ini tidak mungkin. Sebab Islam adalah ajaran yang lengkap. Islam memiliki thariqah untuk mewujudkan persatuan tersebut. Islam mengajarkan bahwa persatuan harus didasarkan pada akidah Islamiyah, tidak didasarkan kepada yang lain seperti kesamaan sejarah, kesamaan suku bangsa, bahasa, atau kesatuan daerah. Karenanya, Islam menyuruh kaum muslimin bersatu dalam satu negara. Maka, Islam jalinan erat yang diridhai oleh Islam hanyalah ketika sekat-sekat nasionalisme dapat dihilangkan. Inilah metode yang harus diperjuangkan. Bukan dengan membentuk OKI, Liga Arab, dan lain-lainnya itu.

Debatable

Debatable bagi sebagian manusia adalah kata suci. Ia seumpama sihir yang akan dapat merelatifkan semua yang ada di depannya; atau sebagian saja yang diinginkannya. Bagi pejuang liberal dalam sebuah agama, ia adalah senjata ampuh untuk mengubah-ubah syariat yang sudah pada tempatnya. Ia adalah jurus andalan untuk menggungat kemapanan pendapat segala ulama.

Mengangkat khalifah, misalnya. Ia adalah kesepakatan ummah dan aimmah sepanjang masa. Tetapi atas nama debatable, ia bisa dianggap sepi saja. Parahnya, malah sampai dibilang tak ada dalilnya. Padahal, al-Qur`ân menyerukannya, al-Sunnah menjabarkannya, Ijma’ mengukuhkannya. Juru bicara pengemban dakwah “debatable” berkata: “Saudara-saudara, mulai saat ini tak boleh ada lagi yang bilang bahwa khilafah itu wajib. Malah harus kita katakan, bahwa pihak-pihak yang menganggapnya wajib, telah melakukan kesalahan kronis penafsiran ayat al-Qur`an dan al-Hadits.” Begitu kira-kira.

Kawin beda agama demikian juga. Atas nama debatable, segala jenis kawin beda agama sah-sah saja. Lihatlah buku “Fikih Lintas Agama”, di dalamnya berseliweran permainan kata; tampak nyata pemerkosaan hukum-hukum syara’. Pernikahan beda agama yang semula hanya boleh antara lelaki muslim dengan wanita ahli kitab, kini boleh pula sebaliknya. Perkawinan muslim-musyrikah, musyrik-muslimah adalah haram. Semua ulama setuju. Namun atas nama debatable, tak boleh lagi dianggap tabu.

Dari Dongkal Sampai Pajak

Ini rekaman obrolan saya dengan Ibu.

Pripun van?
Alhamdulillah sae.
Ibu teng pundi seniki?
Ibu mah ning Bogor.
Teng griyae mas Ian?
Iya.
Lik Mang sih?
Lik Mang mah lagi ning bis.
Saking Jogja?
Ya iya. Toli sing endi?
Aih, dereng dugi teng Bogor tah?
Durung. Sira titip buku pira, van?
Sekawan
Aih, mung papat anue mah?
Nggih.
Ku sih jare lik Mang akeh banget.
Hmmm,,, ya lik Mang niku mah.
Sira beli melu lik Mang bae.
Mboten ah. Nggarap skripsi.
Ya wis.
Bu, pertanyaane Ivan pripun?
Pertanyaan endi?
Wau enjing kah…
Pertanyaan apa sih? Ora kelingan.
Jabur. Jabur napa namine?
Jabur sing kayangapa?
Gunungan.
Digawe`e sing apa sih?
Saking terigu tah tepung beras, duka.
Anu, orog-orog?
Sanes.
Dongkal.
Haha,, nggih dongkal. Ivan saged kelingane mah disukani jabur saking rencang. Saking ketan kados kupat diiris-iris kuh napa namine?
Oh, lupis.
Nggih, lupis dicampur gatot.
Masih wonten mboten nggih, bu, dongkal?
Ning endi?
Teng Dermayu.
Ya masih. Tapi sokat ana sokat beli. Baka panen mah sokat laka, sing dagange repot. Sira pengen dongkal tah?
Nggih. Hehe,,,
Ya mulane balik.
Hehe,,
Va, motor wis dipajaki durung.
Wingi pun pajak tahunan jeh, masa kon pajak malih.
februari orah, kudue?
Niki, Maret sampun.
Oh, uwis? Ya wis, syukur.
Ibu mah, pemerintah kuh haram mungut pajak kuh.
Haram,, haram,, urusan dunya kien mah. Wis aturane pemerintah.
Urusan dunia gah, cape kanjeng Nabi mboten angsal jeh… Ya ibue ngenging rido. Bagen baya gah ngenging rido.
Dadi bayare karo nggrundel?
Ya nggih. Sareng mrengut bila perlu mah.
Ya engkoe beli oli pahala kuen mah.
Ya mboten, malah angsal pahala. Yang kemungkaran kuh kudu diingkari jeh…
Dadi “nyah! Enak bae sira kuh. Motor motor dewek, oli goleti dewek, dijaluki duite.”
Nah, nggih… hehe,,
Ya wis ya, Van? Bokat entek.
Nggih.
Assalaamu ‘alaikum..
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah..

Untuk Dua Pihak

Aku ingin melibatkan dua pihak dalam konflik batinku kali ini. Aku ingin mengucapkan dua ungkapan dua kali kepada keduanya. Dua pihak itu adalah kamu dan Rabbmu, yang tentu saja juga Rabbku. Dua ungkapan itu adalah maaf dan terima kasih.

Aku berterima kasih kepadamu dua kali: satu untuk perjumpaan dan dan satu lagi untuk perpisahaan kita, serta meminta maaf kepadamu dua kali: satu untuk proses yang telah menjerumuskanmu dalam bahaya dan satu lagi untuk kenakalanku yang masih saja sering mengganggumu.

Aku berterima kasih kepada Ar-Rahmân, dalam kisah kita ini, untuk dua hal: Ia telah berkenan mempertemukanku denganmu serta penarikan-Nya ketika aku berada dalam tepi jurang. Serta memohon ampun untuk dua hal pula: pengkhianatanku akan Cinta-Nya, serta serpih-serpih sedih yang masih tersisa.

Jalan Pramuka, Desember 2009