Sabtu, Oktober 29, 2011

Penjual Nasi Angkat Bicara

“Obrolan yang menarik. Bolehkah saya ikut berbincang?” pemilik warung yang disinggahi seorang yang mengaku filsuf dan dua orang insinyur menawarkan diri bergabung dalam perbincangan mereka tentang keberadaan Tuhan. Sebelumnya, dua insinyur tadi mengafirmasi keberadaan Tuhan, sedangkan si filsuf menegasikannya.

“Oh, silakan. Silakan kemukakan pemikiran Anda. Kalau Anda setuju dengan saya, berarti Anda materialis, sedangkan jika Anda setuju dengan tuan yang dua ini, berarti Anda idealis.”

Si penjual nasi tersenyum ramah. Manis sekali. “Saya tidak tahu apa itu materialis dan apa itu idealis. Yang saya tahu setiap manusia memiliki akal yang bisa ia gunakan untuk berpikir.”

“Betul sekali.” Seorang dari dua insinyur mengafirmasi.

“Lalu apa yang ingin Anda katakan?”

“Saya ingin katakan terus terang, saya kurang bisa memahami alur berpikir yang tuan-tuan miliki dalam persoalan ini.”

“Mungkin karena Anda kurang baca buku?” Salah seorang di antara mereka bertanya dengan sinis.

“Haha,, pasti buku yang pernah saya baca lebih sedikit dari Anda. Tetapi seorang yang dianugerahi akal perlu menggunakannya untuk berpikir. Dan saya melihat ketimpangan dalam argumentasi saudara bertiga. Apakah salah jika saya berpikir demikian?”

“Sudah, to the point saja, pak. Kami tidak punya banyak waktu.”

“Itu bijak. Baik, saya akan mulai. Sesuatu yang diciptakan manusia, misalnya kursi, butuh peran manusia agar bisa jadi kursi. Ini saya sepakat. Peran manusia adalah mengubah kayu yang semula berbentuk gelondongan menjadi bentuk tertentu. Nah, karena itu saya kurang sepakat jika peran manusia yang dibahas dalam perkara ‘kursi’ ini sebatas ‘menduduki’ atau ‘tidak menduduki’.’ Peran membentuk sudah tampak dalam proses pengubahan bentuk dari kayu glondongan menjadi kursi. Peran itu mutlak harus diperhatikan.”

Si filsuf berkerut-kerut keningnya. Mungkin sudah jadi kebiasaannya mengerutkan kening seperti demikian. Barangkali perlu beberapa kerutan baginya untuk memikirkan hal sangat sederhana sekalipun. Sesuatu yang sebenarnya hanya memperumit diri sendiri. “Ingat, bung, manusia tidak mengubah substansi zatnya. Ketika menjadi kursi, zat kayu tetap kayu, tidak ada perubahan.”

“Benar. Saya juga tidak bilang bahwa manusia yang membuat kayu menjadi kursi telah mengubah substansi zatnya. Tetapi bukankah Anda sepakat bahwa bentuknya berubah, dan pasti ada peran manusia di sana?”

“Maaf, bung, Anda bicara terlalu lambat, padahal pemaparan Anda tidak terlalu penting. Saya ada urusan lain. Saya pamit.”

“Oh, iya, kebetulan ini juga sudah agak siang, sebentar lagi adzan. Tapi, maaf tuan, apakah Anda melupakan sesuatu?”

“Apa?”

“Anda belum bayar.”

Beberapa orang di warung itu tersenyum mendengar dialog terakhir ini.

Forum siang itu bubar. Mungkin untuk sementara. Karena orang yang mengaku filsuf tadi rupanya sudah langganan makan di situ. Warung itu pun ditutup tidak lama kemudian, karena hari itu adalah hari Jumat, sehingga si pemilik harus segera ke masjid di selatan jalan untuk menunaikan rutinitas pekanannya; bersujud menghadap Sesuatu yang telah menciptakannya dari ketiadaan; Sesuatu yang diingkari oleh (tidak begitu) banyak orang yang mengaku terpelajar.

Padepokan Panatagama, 28 Oktober 2011