Senin, Januari 17, 2011

AYAT KEDUA SURAT AL-FÂTIHAH

Ayat kedua surat al-Fâtihah berbunyi: الحمد لله رب العالمين, terdiri dari 5 kalimah berupa 1 kalimah huruf yaitu ل dan 4 kalimah isim, yaitu الحمد , لله, رب, dan العالمين. Masing-masing akan diuraikan berikut ini.



الحمد

Merupakan kalimah isim dengan tanda terdapat alif lâm (ال) yang masuk pada kalimah حمدٌ yang berarti pujian (الثناء)[1]. Hamd (حمد) adalah mashdar dari hamida-yahmadu (حمِد-يحمَد) mengikuti wazan (timbangan): fa’ila-yaf’alu (فعِل-يفعَل)[2]. Wazan lengkapnya:

فَعِلَ – يَفْعَلُ – فَعْلا ومَفْعَلا – فَهُوَ فَاعِلٌ – وذَاكَ مَفْعُوْلٌ – افْعَلْ – لاَ تَفْعَلْ – مَفْعَلٌ – مَفْعَلٌ – مِفْعَالٌ



الحمد adalah pujian atas pihak yang dipuji karena kebagusan sifat dan perbuatan pihak yang dipuji tersebut.[3] Berbeda dengan syukur (الشكر), yaitu pujian atas pihak yang dipuji karena nikmat/kebaikan yang diberikan.[4]

ل adalah huruf dengan banyak sekali makna.[5] Di dalam kitab al-Janâ ad-Dânî, disebutkan tiga puluh makna.[6] Sedangkan di kitab Mughnî al-Labîb disebutkan dua puluh makna.[7] Dalam ayat ini, maknanya adalah al-ikhtishâsh (mengkhususkan).[8] Huruf ل di sini termasuk salah satu huruf jârr. Huruf jârr selengkapnya sebagaimana diterangkan dalam Matn al-Ajurûmiyah adalah من, إلى, عن, على, في, رب, ب, ك, dan ل ditambah 3 huruf qasam (sumpah): و, ب, dan ت.

الله merupakan Nama diri bagi (satu-satunya) Dzat yang berhak diibadahi.[9] Penulisan lafazh الله ketika dimasuki huruf ل menjadi لله.

Kalimat الحمد لله dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa Allah SWT adalah Yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya.[10] Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah SWT adalah Zat yang harus mereka puji.[11]

Ayat ini memiliki susunan berupa jumlah ismiyah (الجملة الإسمية), yaitu susunan kalimat yang didahului oleh kalimah isim. Jumlah ismiyah tersusun atas dua komponen, yaitu mubtada` (مبتدأ) dan khabar (خبر). Mubtada` adalah komponen yang diterangkan, sedangkan khabar adalah komponen yang menerangkan. Misal: زيدٌ قائمٌ (Zaid berdiri). Kalimah زيد berkedudukan sebagai mubtada`, sedangkan قائم berkedudukan sebagai khabar. Dalam ayat ini, الحمد لله berkedudukan sebagai mubtada`, لله berkedudukan sebagai khabar.

رب dalam ayat ini merupakan badal dari lafazh الله yang mencakup pengertian Khâliq (Maha Pencipta), Râziq (Maha Pemberi Rejeki), Hâfizh (Maha Memelihara), Mudabbir (Maha Mengelola), dan Mâlik (Maha Memiliki).[12] Lafazh رب merupakan isim karena I’râb-nya jârr dengan tanda berupa kasrah.



العالمين adalah isim ma’rifah (definitif). Tanda isim-nya berupa (1) alif lâm, (2) jârr, dengan tanda huruf yâ` (ي). Lafazh العالمين adalah isim mulhaq jamak mudzakkar sâlim dari kata ‘alam. Kata ‘alam sendiri berasal dari kata ‘alâmah (tanda), sebab alam semesta merupakan tanda adanya Yang Mengadakannya.



Untuk mengetahui keberadaan Sang Pencipta, seorang manusia harus berpikir. Ada baiknya kita kutipkan penjelasan dari Imam Syafi’i. Beliau menulis:[13]



Ketahuilah kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala. Arti berpikir adalah penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi di mana orang yang berpikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah dan yang dengan itu ia bisa sampai kepada ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari indera dan yang merupakan suatu keharusan. Dan hal itu merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin (pokok-pokok agama) berdasrakan firman Allah yang (maknya, pen.) berbunyi, “Lihatlah olehmu buahnya ketika ia berbuah,”[14] dan “Ambillah sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang mau berpikir,”[15] serta “Katakanlah: Perhatikanlah apa yang terjadi di langit dan di bumi.”[16]



رب العالمين adalah isim ma’rifah karena merupakan tarkîb idhâfiyah (terdiri dari mudhâf dan mudhâf ilaih) dengan mudhâf berupa isim ma’rifah.



Dengan penjelasan di atas, maka الحمد لله رب العالمين bermakna segala pujian baik pujian dari Khâliq (Pencipta) kepada Diri-Nya sendiri, Khâliq kepada makhluk, makhluk kepada Khâliq, maupun makhluk kepada makhluk, semuanya hanya untuk Allah; Rabb semesta alam. Sebab Dia-lah Pencipta, Pemberi rejeki, Pemelihara, Pengelola, sekaligus Pemilik alam semesta ini. Kita mengatakan segala pujian, meskipun secara eksplisit kata segala tidak terdapat dalam redaksi ayat, karena Yang dipuji adalah pemilik semesta alam.



Wallâhu A’lam bish Shawâb.


[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, (Pustaka Progresif, Surabaya: 2002), hal. 294.

[2] Ibid.

[3] Al-Mâwardî, Abû al-Husayn bin ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin Habîb bin al-Bashrî al-Baghdâdî, an-Nukat wa al-‘Uyûn, (http://www.altafsir.com), hal. 1 [MS]

[4] Ibid.

[5] Syaikh ‘Abd al-Ghanî ad-Daqar, Mu’jam al-Qawâ’id al-‘Arabiyah, bâb al-Lâm.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Mahmûd bin ‘Abdurrahîm ash-Shâfî, al-Jadwal fî I’râb al-Qur`ân, (Dâr ar-Rasyîd Muassasah al-Îmân, Damsyiq: 1418 H), hal. 24.

[9] Imâmayn Jalâluddîn as-Suyûthî wa Jalâluddîn al-Mahallî, Tafsîr al-Jalâlayn, http://altafsir.com hal. 1 [MS]

[10] Imâmayn Jalâluddîn as-Suyûthî wa Jalâluddîn al-Mahallî, Tafsir Jalalain, (Sinar Baru Algesindo, Bandung: 2009), hal. 1

[11] Ibid.

[12] Kumpulan Materi Kajian Keislaman Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah di Kampus, (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Negeri Yogyakarta: 2008), hal. 19 (dengan sedikit penyesuaian ejaan)

[13] Imam Syafi’i, Fiqhul Akbar, (Penerbit Pustaka, Bandung:1409 H-1988 M), hal. 18-19

[14] QS. Al-An’âm [6]:99

[15] QS. Al-Hasyr [59]:2

[16] QS. Yûnus [10]:101

Bakda Isya

“Assalamu ‘alaikum.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullah.”

“Kok baru datang, mas?”

“Iya, tadi ketemu teman lama di masjid. Jiha mana?”

“Itu, tidur manis menunggu walidnya. Hehe,,”

“Tumben sudah tidur. Biasanya masih ngoceh jam segini.”

“Maklum, seharian ini aktivitas Jiha padat banget, mas. Si manis ini kelelahan, pastinya.

“Wah, sama dong kayak Romonya. Sebentar lagi paling juga tidur.

“Eit, ini baju yang belum dilempit masih banyak. Bantuin aku. Enak aja mau tidur.

“Yah… Rayha, tega amat.

“Ngomon-ngomong tadi di masjid ketemu siapa, mas? Sepertinya asyik sekali sampai lupa ada janji sama Jiha.

“Eh, saya ndak lupa lho ya… Jiha saja yang tidurnya kecepetan. Hehe,,

“Tadi itu ketemu Abul Qa’qa’, teman MTs.

“Lho, berarti temenku juga dong…

“Iya.”

“Kok belum pernah dengar?”

“Itu kunyahnya Mugi, Samugi. Masa ndak kenal?”

“Oh, itu mah kenal. Apa kabar dia sekarang?”

“Tambah gemuk. Sekarang tinggal di Tangerang, dagang roti, aktif ikut kajian di masjid dekat sana. Pulang ke sini dalam rangka melarikan diri.”

“Melarikan diri dari apa?”

“Dari pemilu. Demokrasi sistem kufur, katanya. Hihi,, astagfirullaahal ‘azhiim.”

“Istigfar kenapa, mas?”

“Karena banyak dosa.”

“Tahu. Tapi pasti ada alasan spesifik, kok tiba-tiba saja nyebut?”

“Ya itu tadi, karena ingat banyak dosa. Astaghfirullaahal ‘azhiim. Begini, sewaktu kami sedang berbincang tentang demokrasi tadi, pak Panca nimbrung. Beliau bilang, sistem kufur bagaimana? Islam itu demokratis! Seandainya Islam tidak demokratis, saya memilih keluar dari Islam. Spontan kami berdua istighfar berulang kali.”

“Astaghfirullaahal ‘azhiim. Pak Panca yang sarjana hukum yang rajin shalat ke masjid itu, bilang begitu?”

“Demikianlah yang kami dengar.”

*****

“Apa kalimat tadi sudah dipikirkan benar, pak?” Mugi mengkonfirmasi.

“Saya serius. Tapi tidak mungkin saya keluar dari Islam, karena Islam mengajarkan demokrasi.”

“Pak Panca, mohon maaf, bukannya mau menggurui. Namun kita harus berhati-hati dalam berkata-kata. Seandainya pun bapak menyatakan akan keluar dari Islam jika Islam tak mengajarkan shalat, hal itu tetap merupakan sesuatu yang mungkar. Padahal shalat adalah bagian dari Islam secara permanen. Sedangkan demokrasi, Islam tidak mengajarkannya.”

“Buktikan pada saya.”

“Baik. Namun sebelumnya, saya ingin bertanya dulu. Kalau tadi Bapak menyatakan bahwa Islam mengajarkan demokrasi, apa dalilnya?”

“Buktinya, Islam mengajarkan musyawarah. Kalau tidak percaya, tolong ambilkan Alquran di sana.” Beliau memandang saya.

“Baik, tunggu sebentar, saya ambil mushaf, semoga kita bisa mendapat manfaat.”

Saya berjalan ke arah mimbar. Di dekatnya ada beberapa mushaf. Saya ambil tiga di antaranya dan segera kembali. Setelah masing-masing orang memegang mushaf, pak Panca terlihat antusias membuka lembar-lembar mushaf. Tampaknya beliau mencari-cari letak sebuah ayat.

“Nah, ketemu,” beliau sumringah. “Coba buka surat Ali ‘Imran satu lima sembilan.”

Saya mengikuti instruksi pak Panca.

“Kamu juga, tolong dibuka, agar tidak sembarangan mengkufur-kufurkan.” Datar dan sambil senyum, kali ini pak Panca memberi perintah pada Mugi.

“Oh, iya, pak. Alhamdulillah saya sudah hafal.” Meski demikian, Mugi tetap mengikuti permintaan pak Panca.

“Ayat ini perintah untuk bermusyawarah dalam suatu urusan. Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.”

Saya dan Mugi menyimak.

“Selanjutnya, silakan buka juga asy-Syuro tiga delapan.”

Kami pun membuka surat ke-42 dalam urutan mushaf itu dan menemukan ayat yang dimaksud.

“Saya bacakan,” kata Mugi. Kemudian dia bacakan dengan lancar. Saya kagum. Asal tahu saja, Mugi tidak pernah lulus sekolah formal kecuali SD. Saya mengenalnya sebagai anak yang tidak pandai membaca Alquran. Namun bacaannya saat ini benar-benar membuat saya kagum. Lebih fasih dari saya yang sukar mengucapkan beberapa jenis huruf hijaiyah.

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Bukankah jelas bahwa Islam mengajarkan demokrasi?”

“Tetapi, pak Panca, siapakah yang dimaksud dengan mereka dalam kedua ayat tersebut?”

“Maksudnya?”

“Maksud saya, apakah berdasarkan ayat tersebut, orang-orang kafir juga termasuk pihak yang diajak bermusyawarah?”

“Jika orang kafir dilarang berpartisipasi dalam musyawarah, mereka akan menjelek-jelekkan Islam dan menuduh Islam sebagai agama yang tidak toleran.”

“Segala puji bagi Allah Yang miliklah-Nya lah segala pujian dan Dialah sumber segala kebaikan. Kebaikan adalah apa yang dinyatakan-Nya baik, keburukan adalah segala hal yang dinyatakan-Nya buruk. Dia memerintahkan kita untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya, serta melarang kita mematuhi orang-orang kafir. Perintah Allah untuk melakukan musyawarah yang dimaksud dalam dua ayat di atas terbatas hanya pada orang-orang Islam saja. Mereka dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang mendirikan shalat, didoakan oleh Nabi agar Allah mengampuni mereka, serta menerima seruan Tuhannya. Apakah orang-orang kafir menerima seruan Tuhan?”

“Tidak.” Saya terkesima dan spontan menjawab pertanyaan retorisnya.

“Apakah orang-orang kafir mau mendirikan shalat?”

“Sebagian besar tidak.”

“Apakah orang-orang kafir boleh didoakan agar mereka diampuni?”

“Tidak.” Kali ini pak Panca ikut menjawab.

“Kalau begitu, manakah argumentasi bagi demokrasi yang membolehkan orang-orang kafir menjadi anggota parlemen dengan hak yang sama dengan orang-orang Islam, bahkan membiarkan orang murtad menjadi presiden?”

Semua terdiam. Saya salut. Tenang, intonasinya jelas, ketinggian suaranya pas. Saya belum bisa demikian. Jujur saja saya iri. Semoga bukan dengki, melainkan ghibthah.

“Mas, tolong ini dimasukkan ke lemari dong…” suara Ummu Jiha, sambil mengangkat tumpukan pakaian yang telah dirapikannya. Memutus cerita saya.

“Siap.”

“O ya, ada yang bilang hukum pemilu dengan hukum demokrasi itu beda. Bagaimana menurut mas?”

“Itu penjelasannya panjang. Harus diuraikan dulu fakta tentang pemilu, kemudian diterapkan dalil-dalil yang sesuai dengan tema fakta tersebut, hasilnya hanya ada lima kemungkinan: mubah, sunah, wajib, haram, makruh. Tapi lain kali saja ya… sudah ngantuk.”

“Satu lagi, mas. Ini beda tema. Tentang imamah. Kata temanku, Imam Ghazali di dalam kitab al-Iqtishad fil I’tiqad menyatakan bahwa imamah bukan termasuk perkara yang penting. Apa mas pernah dengar mengenai hal tersebut? Mas? Yah, dia tidur. Professional sekali. Baru aja nyerocos beberapa detik yang lalu. Eh, sekarang sudah tidur.”

“Ummi, Abi sudah datang belum.”

“Eh, Jiha kok bangun?” Jiha nglilir. “Tuh, walid tidur.”

“Yah… Abi, katanya mau nerusin belajar I’rob.” Ditariknya tangan kiriku. Dengan santai, ia membaringkan diri di romonya, dan terlelap lagi. Nadasya ‘Anilhaqq hanya bisa melongo menyangksikan adegan di depan matanya.

Putriku Belajar I'rob

“Romo, mau tanya.” Putri mungilku mendekatkan kepalanya ke dadaku, mendongak dan memandangi wajahku.



“Mau tanya apa?”



“Pinjam Qurannya ya, Romo.” Tanpa menunggu diiyakan, jemarinya langsung merampas mushaf dari tanganku, dan tanpa rasa berdosa meletakkan kepala yang terbalut kerudung itu di atas pangkuanku. “Di surat an-Nashr, kata Allah harakatnya kasroh semua. Kalau di surat al-Ikhlas kata Allahnya didomah. Itu kenapa, Romo?”



“Oh, itu. Itu kan dari sananya.”



“Dari sananya itu dari mana?”



“Dari Allah.”



“Ye, Jiha juga tahu. Maksud Jiha, kok bisa begitu?”



“Hm,,, anak Romo mesti belajar I’rob kalau begitu.”



“Apa itu?”



“al-I’roobu huwa taghyiiru awaakhiril kalimi likhtilaafil ‘awaamilid daakhilati ‘alaihaa lafzhon aw taqdiiron.”



“Yah, Romo, Jiha ndak ngerti.”



“Sama. Hihi,,”



“Hahaha, Romo sok-sokan”.



“Itu dulu. Sekarang Romo paham dong. Coba Jiha ambil buku kecil warna oranye di rak Romo itu.”



“Oke.” Si Jiha mengangkat tubuhnya. Berjalan santai sekali ke tempat yang saya tunjuk tadi. Khas. Mirip sekali dengan sang Ummi.



“Ini Abi, bukunya.” Jiha setengah berteriak. Wow, si Ummi datang rupanya. Sulungku ini memang unik. Kalau memanggilku dengan Abi, itu artinya ia mengindera Umminya berada tidak jauh dari tempatnya. Umminya lebih suka ia memanggilku dengan kata itu.



“Kalau mau tahu lebih banyak, Jiha bisa baca buku ini. Pertanyaan Jiha tadi ada di pembahasan I’rob. Kalimat yang Romo bacakan tadi artinya I’rob adalah perubahan akhir-akhir kata karena perubahan ‘amil-‘amil yang memasukinya, baik lafazhnya maupun kira-kiranya. Jadi, ilmu I’rob itu mempelajari bunyi huruf akhir suatu kata dalam bahasa Arab.” Saya sengaja berhenti. Menunggu reaksi bocah bermata sipit di depanku itu. Sebenarnya tidak terlalu sipit. Tapi kalau tertawa, pasti tenggelam.



“Terusin, Bi.”



“Ndak ah. Sudah mau magrib. Jiha mandi dulu sana. Nanti habis isya aja ya disambungnya.”



“Yah… Abiii…”



“Hus,, sudah sana ke Bunda.” Bunda. Selain Ummi, saya mengajari Jiha memanggil ibunya dengan sapaan Bunda. “Eh, jangan lupa bilang ke Bunda, I love you, gitu ya…”



“Ih, Abi genit.”



“Lho, kok genit. Kan yang bilang I love you ke Bunda nanti Jiha, bukan Romo.”



***



“Abi… Abi… !”



“Ada apa, sayang?”



“Ayo ke masjid.”



“Oke. Tapi sebentar ya, Romo mau pakai minyak wangi dulu.” Saya pergi ambil minyak wangi dan segera menjumpai Jiha kembali. “Kenapa tumben ngajak Romo ke masjid.”



“Kata guru Jiha, laki-laki wajib ke masjid. Jiha sudah dua hari ndak lihat Abi solat magrib di masjid. Dosa lho…” Weit, putriku jadi penganut madzhab Imam Ahmad. Hehe, tak apa, semoga kelak ia bisa mencapai derajat seperti Imam Ahmad.



“Siapa bilang Romo ndak ke masjid. Jiha saja ndak lihat. Dua hari ini kan Romo pulang ke rumah malam terus.”



“Pokoknya sekarang ke masjid.” Hehe, jurusnya ‘pokoknya’ Jiha muncul, sambil menggered tangan saya ke arah pintu.



“Abu Jiha, nanti jadi kan kajiannya?” terdengar suara Ummu Jiha sebelum kami benar-benar keluar rumah. Beberapa hari yang lalu saya berjanji menelaah ayat Quran rutin selepas magrib mulai hari ini.



“Insya Allah.”







Bismillâhirrahmânirrahîm



Setelah memuji Allah dan memohonkan solawat untuk Rasul-Nya, saya mulai kajian ayat magrib itu.



“Kita mulai dari awal saja ya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita mendapat ilmu. Ayat pertama dalam Alquran adalah bismillaahirrahmaanirrahiim. Kita sering menyebutnya basmalah. Dalam ayat ini terdapat lima kata, yaitu huruf baa` yang dibaca bi, ism, Allaah, ar-Rahmaan, dan ar-Rahiim.



Kita bahas kata Allaah saja dulu ya. Soalnya tadi sebelum magrib Jiha tanya, kenapa kok kata Allaah dalam surat an-Nashr dibaca hi, kasroh, sedangkan dalam surat al-Ikhlas dibaca hu, domah.. kita lihat, di sini juga kata Allaah dibaca kasroh, jadi bunyinya hi. Tidak hanya kata Allah, kata yang lain dalam basmalah juga dibaca kasroh, yaitu bi dan ismi yang penulisannya digabungkan jadi bismi, Allaahi, ar-Rahmaani, dan ar-Rahiimi. Semua itu karena kata-kata tersebut berada dalam posisi Jar.



Begitu juga kata Allaah di dalam surat al-Ikhlas dibaca kasroh karena dalam posisi Jar.”



“Jar itu apa, Romo?,” tanya Jiha. Hihi, tumben memanggil saya Romo di depan Bundanya. Memang terkadang demikian. Tetapi lebih sering memanggil saya Abi, kalau Bundanya ada.



“Jar itu salah satu jenis perubahan bunyi akhir kata dalam bahasa Arab. Dengan kata lain, salah satu jenis I’rob.”



“Jenis I’rob itu ada berapa sih, Romo?”



“Jenis I’rob ada empat, yaitu Rofa’, Nasob, Jar, sama Jazm. Dihapalkan ya…”



“Ulang, Abi.”



“Rofa’, Nasob, Jar, Jazm”



“Rofa’, Nasob, Jar, Jazm”.



“Pintar!” Senyum. “Baik, untuk tatabahasanya cukup dulu ya. Kalau Jiha belum ngantuk, kita bisa lanjutkan selepas isya. Sekarang kita lanjutkan ke hal yang lain.”


Terdengar adzan Isya. “Hmm,, karena sudah Isya, untuk hari ini kita cukupkan sekian saja dulu. Besok insya Allah kita lanjutkan dengan membahas lafazh Allah. Kita akhiri dengan doa kafaratul majlis.”