Kamis, April 28, 2011

Apakah KHILAFAH Merupakan Harga Mati...?? (Tanggapan Balik Untuk Saudara Kahfi Nur Hidayat)

Ada manfaatnya juga iseng-iseng googling dengan katakunci nama sendiri. Nama saya muncul di beberapa tempat. Yang paling menarik adalah rekaman diskusi saya dengan saudara saya, Kahfi Nur Hidayat. Judulnya tersebut: Apakah KHILAFAH Merupakan Harga Mati...?? Seingat saya, tanggapan terakhir dalam rekaman tersebut sudah saya jawab. Saya sendiri juga ragu. Saya baru agak yakin bahwa saya sudah menaggapi diskusi tersebut ketika membaca ulang bagian yang menyebut-nyebut Bunda ‘Aisyah dan Imam Abu Hanifah.

Entahlah, mungkin ingatan saya yang salah, ada persoalan teknis sehingga tanggapan saya tidak muncul, atau yang lain. Kalaupun memang saya sudah menanggapi, toh tidak ada salahnya kalau saya tanggapi ulang. Tanggapan saya ditandai dengan dua kurung siku. Berikut selengkapnya.

1. Dalam Islam ada hukum yang sifatnya tswabit dan mutaghayirat. Tsawabit artinya tetap dan tidak berubah-rubah; contoh ini meliputi hal-hal yang sudah qathi -pasti-, sampai akhir zaman tidak akan pernah mengalami perubahan. Misalnya tentang wajibnya shalat, haramnya khamer dan zina, wajibnya berbuat adil, saling menghormati, persamaan, dll.. Sampai hari kiyamat hal ini tidak akan pernah mengalami perubahan..


[Saya tidak sependapat dengan pembagian hukum seperti itu. Apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya akan tetap haram sampai hari kiamat, tanpa ada perubahan. Demikian pula hukum-hukum yang lain: Wajib, Sunah, Mubah, Makruh. Hukum-hukum yang dianggap berubah oleh sebagian orang, sebetulnya ia merupakan hukum yang tetap.]


Kemudian kedua adalah hukum yg mutaghayirat; adalah yang bisa berubah-ubah, sifatnya elastis, temporar mengikuti perubahan zaman sesuai dengan maslahat manusia. Contohnya lebih pada masalah-masalah muamalah duniawiyah, termasuk juga sistem pemerintahan.

[Agar lebih jelas, langsung saja berikan contoh kasusnya. Pernyataan ‘lebih pada masalah-masalah duniawiyah, termasuk juga sistem pemerintahan’ tidak memadai sebagai contoh, karena sulit untuk dibahas ketepatan atau kekeliruannya sebagai hukum yang berubah]


Jadi, tidak benar kalau kemudian Mas Shafi menganggap hasil ijtihad manusia -sistem pemerintahan- adalah hal yang 'mana suka' atau 'suka-suka gue'. Sepanjang hasil olah manusia tersebut dibangun dari nilai-nilai tsawabit (keadilan, kebebasan, persamaan), sah-sah saja untuk dijadikan sistem pemrintahan di ZAMAN mapanpun dan TEMPAT manapun..

[Nilai tsawabit yang disebutkan (keadilan, kebebasan, dan persamaan) masih sangat umum dan rawan ditarik ke kanan dan ke kiri sehingga perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan kata-kata tersebut. Masing-masing ideologi mengartikan ketiga hal tersebut dengan pengertian yang berbeda-beda. Dalam konteks pemerintahan, misalnya, demokrasi menganggap bahwa menyerahkan hak memilih dan dipilih menjadi pemimpin pemerintahan hanya kepada kaum muslimin tidaklah adil. Sebaliknya, Islam memandang bahwa yang adil justru ketika yang berhak memilih dan dipilih adalah hanya orang yang beragama Islam. Nah, karena itu silakan diperjelas.]


2. Satu hal yang harus kita akui -imani- bahwa setelah Nabi Saw. wafat, nash agama tidak akan pernah turun lagi ke manusia, syariatnya adalah penutup syariat langit. Jadi, nash agama (qur'an-hadits) sangat terbatas, sedangkan permasalahan manusia akan terus muncul dan berkembang sampai hari kiyamat. Oleh karena itu, Allah hanya meletakkan kaedah-kaedah umum dalam nash agama, dan menjadi tugas manusia untuk terus menggali hukum-hukum dari kaedah umum tadi. Karena itu dalam Islam kita mengenal ada konsep 'ijtihad'; yaitu mencari hukum yang tidak ada nashnya dalam alquran dan hadits..

[Sepakat. Namun sebagai catatan, problematika umat manusia pun sebenarnya terbatas. Keterbatasannya terletak pada kenyataan bahwa problematika tersebut muncul dari potensi manusia yang juga terbatas.]

Dan dalam sistem pemerintahan, tidak ada satu nash-pun baik dari hadits yang secara sharih (terang-terangan) mengatakan untuk mendirikan negara dengan sistem khilafah..

[Pernah baca al-Baqarah: 41-50? Atau pernah dengar hadis ini من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية ? Kalau dua nash tersebut belum cukup, maka tidak ada kecukupan dalil bagi kita untuk menyatakan bahwasanya Islam mengajarkan tauhid, sebab tidak ada satu pun kata at-tauhîd di dalam Quran maupun Sunnah.]


Oleh karena itu, kita memasukkan dan mengembalikan persoalan ini ke nash yang sifatnya mutaghayirat (bisa berubah), yaitu dengan memberikan keluasan ruang kepada manusia untuk mencari formulasi yang memang sesuai dengan maslahat zamannya.

[Agar mudah untuk kita bahas, mari kita ambil satu contoh saja dulu. Di dalam ilmu pemerintahan, kita mengenal istilah ‘kedaulatan’. Di dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan di dalam sistem Khilafah, kedaulatan adalah di tangan asy-Syâri’ (Sang Pembuat syariat). Apakah persoalan kedaulatan ini termasuk wilayah mutaghayyirat? Jika iya, sungguh ini sebuah kebatilan yang nyata, yang merongrong syariat Allah yang menyatakan tidak ada hak membuat hukum kecuali pada Allah. Namun jika hal ini termasuk perkara yang tsawabit, dengan teori pembagian tsawabit dan mutaghayyirat yang lemah ini pun, kita bisa melihat bahwa bahwa dalam hal pemerintahan pun ternyata ada perkara yang tsawabit. Dan sayangya, perkara yang tsawabit ini meruntuhkan bangunan konsep demokrasi secara telak.]


Dari sinilah kemudian saya menyimpulkan bahwa persoalan khilafah pada dasarnya hanyalah penamaan saja. Saya memandang khilafah lebih pada jauhar (esensi/isi/kandungan), yaitu tegaknya keadilan, persamaan, dll sesuai dengan fitrah manusia. Dan sistem tersebut bisa kita namai dengan imamah, jumhuriyah (republik) atau yg lain..

[Mas Kahfi, lagi-lagi saya harus tegaskan, bahwa penamaan bukanlah perkara yang ‘hanya’. Meski demikian, saya sepakat kita tidak harus menggunakan istilah Khilafah. Hal yang sangat penting adalah istilah yang kita pakai hendaknya tidak menimbulkan kebingungan konseptual. Misalnya kita menamakan sistem pemerintahan Islam dengan republik. Ini jelas akan menimbulkan kebingungan konseptual. Sebab, di dalam republik, kedaulatan itu di tangan rakyat, sedangkan Islam memandang bahwa kedaulatan adalah di tangan syariat.]


Sedikit kita menengok sejarah.

Pada masa khalifah Ali ra. terjadi peperangan antara Ali ra. dengan Aisyah ra.. Pertanyaanya: Kalau memang khailafah ini merupakan kewajiban mutlaq dari Allah kepada manusia, lantas kenapa Aisyah dan Ali terlibat perang -perang Jamal-..?? Bukankah menentang dan menghalang-halangi pemerintahan khalifah termasuk kafir dan akan diadzab Allah dengan sepedih-pedih adzab (lihat kembali di quotation Mas Shafi)..?? Apakah Aisyah termasuk kafir karena memerangi khalifah Ali ra..??

[Mas Kahfi, buktikan dulu bahwa bunda ‘Aisyah terlibat perang dengan Imam ‘Ali karena beliau tidak menyetujui Khilafah dan atau kekhalifahan ‘Ali—radhiyallâhu ‘anhumâ. Sangat berbeda antara melakukan koreksi kepada penguasa dengan menolak Khilafah itu sendiri.]


Satu abad sesudahnya,
Imam Abu Hanifah secara jelas mengatakan penolakannya pada khilafah Umawiyah karena sang "KHALIFAH" bertindak despotis/tiran, lalai pada rakyat, hidup glamor dls.. Apakah kemudian Imam Abu Hanifah disebut kafir karenga tidak mengakui khilafah..?? Jika mengikuti pendapatnya kawan-kawan HT, tentu Aisyah ra. dan Imam Abu Hanifah sudah kafir dan akan diadzab dengan sepedih-pedih adzab..

[Jika mengikuti pendapatnya kawan-kawan HT, bunda ‘Aisyah maupun Imam Abu Hanifah sama-sama tidak kafir. Pertama, karena kawan-kawan HT tidak pernah mengkafirkan orang yang menolak wajibnya Khilafah—meskipun kemungkinan menjadi kafir itu ada. Kedua, tidak ada bukti baik yang samar apalagi yang jelas bahwa bunda ‘Aisyah dan Imam Abu Hanifah menolak kewajiban Khilafah. Yang mereka lakukan hanyalah upaya muhasabah terhadap para penguasa yang berdasarkan ijtihad beliau-beliau itu—untuk kasus bunda ‘Aisyah, di tengah perjalanan beliau menyadari kekeliruan pendapatnya—telah melakukan penyimpangan.]

Saya nukilkan kembali quotation dari Mas Shafi:
وإقامة خليفة فرض على المسلمين كافة في أقطار العالم. والقيام به – كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين – هو أمر محتم لا تخيير فيه ولا هوادة في شأنه, والتقصير في القيام به معصية من أكبر المعاصي يعذب الله أشد العذاب
(Dan menegakkan khilafah merupakan kewajiban setiap kaum muslimin. Dan menegakkannya -khilafah- seperti halnya kewajiban menegakkan kewajiban2 yg lain yg diwajibkan Allah terhadap muslimin. Yaitu sebagai satu perkara yang wajib -pasti- tidak ada pilihan dan toleransi. Dan segala upaya minimalisasi -menggagalkan/menghalangi- terhadap prses penegakan khilafah merupakan perbuatan maksiyat yang paling besar dan akan diadzab Allah dengan sepedih adzab..)"


[Dengan kutipan ini, saya tidak menemukan sama sekali suatu pernyataan yang aneh dan menyalahi dalil, apalagi hujjah untuk mengkafirkan ulama besar. Lalu bagaimana mas Kahfi bisa membuat kesimpulan-kesimpulan yang abnormal seperti di atas?]

4. Iya, saya setuju bahwa salah satu fungsi dari nama adalah utk membedakan. Tetapi sekali lagi Mas Shafi, saya meyakini bahwa permasalahan formulasi bentuk pemerintahan ini adalah ruang ijtihad manusia, ketika ijtihad tadi bisa melahirkan formulasi yang berada dalam nilai-nilai Islam, tentu sah-sah saja donk untuk menamainya dengan selain khilafah...?? Misalnya dinamai dengan "Demokrasi Islam" sebagaimana yang saat ini sedang digagas oleh para pemikir Islam..

[Penjelasan saya di atas mengenai peristilahan, insya Allah sudah memadai. Lagipula, mas Kahfi terlihat mengalami kontradiksi. Di satu sisi mengakui bahwa fungsi nama adalah untuk membedakan, di sisi lain menyatakan kebolehan menamakan sistem pemerintahan Islam dengan “demokrasi Islam”; dua istilah yang justru bertolak-belakang sebagaimana telah saya jelaskan.]


3. Mas Shafi menulis " kaidah-kaidah ataupun nilai-nail dasar itu tidak akan dapat diwujudkan dengan baik dan benar tanpa sistem yang baik dan benar pula"..
Sekararang pertanyaan saya: "Kaedah sistem yang baik itu apa..??"


[Sistem yang baik adalah sistem yang dibuat oleh sumber kebaikan, yaitu Allah Ta’ala.]

...Apakah satu sistem yang baik itu lantas ia kebal dari kepentingan-kepentingan individu -nafsu- manusia dalam mencari kepentingan..??


[Ya. Harus.]

..Apakah sistem yang baik itu tidak bisa dirong-rong...??..

[Bisa. Sebagaimana al-Haqq tidak pernah berhenti dirongrong oleh al-Bathil. Namun demikian, bukan berarti al-Haqq itu tidak ada dan tidak perlu diperjuangkan.]

Apakah Mas Shafi menafikan bahwa sistem yang muncul belakangan (baik yang sudah ada maupun yang akan muncul) pasti tidak baik..???..


[Maksudnya? Saya tidak menangkap maksud pertanyaan ini. Saya menafikan kebaikan sistem yang tidak dianggap baik oleh syariat, baik yang muncul depanan maupun belakangan. Semoga ini bisa menjawab.]

Sekian dulu Mas, dan sepertinya untuk dua hari ke depan saya sibuk banget dan lebih banyak di sekretariat.. InsalLah setelah itu akan kita sambung lagi diskusi hangat ini..


[Insya Allah]

Semoga bermanfaat..


[Aamiin. Semoga mas Kahfi terbuka hatinya untuk menjadi pejuang syariat Islam dan salah satu kontributor peruntuh sistem kufur demokrasi kelak di kemudian hari. Semakin cepat semakin baik.:)]

Nuwun Mas..


[Samisami.]

:)


[^_^]

To be continued..


[Kebaikan layak dilanjutkan, kekufuran (termasuk demokrasi) segera saja ditinggalkan.]


(Cairo International Islamic Hostel, 10 Juli 2010)

[Padepokan Panatagama, 27 April 2011. Teriring doa untuk Suci dan adik-adiknya: ‘Semoga Allah berkenan mengembalikan kalian.’]

Pajak Agawe Santoso

“Pajak Agawe Santoso.” Jiha mengeja banner besar di selatan PLN jalan Wonosari. Sesampai di rumah, ia bertanya, “Pajak Agawe Santoso itu bahasa Arabnya apa, Romo?”.
Beberapa hari ini hampir semua kalimat yang menurutnya menarik ditanyakan apa bahasa Arabnya. Romonya jelas kewalahan. Lha wong mufradatnya pas-pasan. “Sebentar, Romo berpikir dulu.” Bertopang dagu, Jiha pun sabar menunggu.
“Hmm,,, begini saja: الضَّرِيْبَةُ مُعْتَمِرَةٌ”
“Adh-Dhariibatu mu’tamiratun. Tulisannya bagaimana, Abi?” Panggilan Jiha ke saya berubah. Saya hampir yakin ini pertanda bundanya datang, seperti biasa.
“Begini.” Saya mulai menulis di papan tulis: alif-lam-dhod-ro`-ya`-ba`-ta`, kemudian mim-‘ain-ta`-mim-ra`-ta`, jadilah: الضريبة معتمرة. Ummu Jiha memposisikan diri di depan papan tulis, mendampingi Jiha.
“Jiha tahu.” Penuh semangat, “adh-Dhoriibatu itu I’robnya rafa’. Mu’tamirotun juga, I’robnya rofa’.”
“Pinter.”
“Tapi kok cuma dua kata, Abi? Pajak Agawe Santoso kan tiga kata.”
“Hehe, kan ndak harus persis. Adh-Dhariibatu mu’tamiratun itu arti harfiyahnya Pajak itu memakmurkan.”
“Menyesatkan.” Nadasya ‘Anil Haqq, istri saya, berkomentar datar.
“Apanya yang menyesatkan, Bunda?” Jiha bertanya heran.
“Nanti Bunda jelaskan. Sekarang Jiha mandi dulu.”
Meskipun kata-katanya datar-datar saja, Bunda Jiha sebetulnya menyimpan kekesalan yang sangat terhadap propaganda wajib pajak yang terus dilakukan para penguasa. Syariat jelas tidak menoleransi pungutan pajak oleh para penguasa saat ini yang jauh melanggar syarat-syarat yang diatur dalam Islam. Pemahaman tentang hukum syara’ itu kemudian ditambah usaha laundry kecil-kecilannya yang kemarin didatangi pegawai pemda karena belum ada izin dan terancam pidana ringan jika tidak segera diurus. Izin usaha pasti ada kaitannya dengan pajak juga. Wallâhu a’lam. Keprihatinan terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum syara’ oleh pemerintah entah kapan berakhirnya. Tetapi di sudut lain, saya bersyukur Jiha punya bunda seperti Nadasya. Di tengah lingkungan yang lebih sering tidak mendukung, ia selalu memberikan pengarahan kepada putrinya untuk berpikir dan bertindak sesuai titah Sang Pencipta dan utusan-Nya. Bahkan untuk perkara satu kalimat yang hampir saja meracuni putrinya seperti jargon pajak tadi pun, ia sangat peka.

Rabu, April 27, 2011

Catatan Kecil Diskusi Psikologi (Bagian 1)

Apakah pejuang psikologi Islam adalah pejuang akidah? Pertanyaan tersebut adalah salah satu pertanyaan yang terngiang di benak saya ketika mengikuti sebuah diskusi tentang psikologi. Sayangnya waktu yang tersedia terbatas, sehingga belum ada cukup kesempatan untuk mendiskusikan lebih lanjut pertanyaan di atas. Untuk itulah saya merasa perlu untuk mengurai beberapa hal dalam tulisan ini. Saya membagi tulisan ini menjadi beberapa bagian dengan maksud agar tidak terlalu panjang sehingga lebih mudah dinikmati, dipahami, dan didiskusikan.

Identitas Manusia

Setiap manusia, pada faktanya, memiliki berbagai identitas yang melekat padanya: warna kulit, suku, ras, agama, ideologi, dan sebagainya. Jika kita perhatikan, ada perbedaan antara tiga identitas yang disebutkan pertama dengan dua identitas yang disebutkan terakhir. Perbedaan itu terletak pada kemungkinan memilih berbagai identitas tersebut. Seseorang tidak bisa memilih warna kulit, suku, dan ras yang melekat padanya. Sementara agama dan ideologi dapat dipilih berdasarkan kesadaran. Identitas yang melekat pada manusia sejak lahir, tanpa bisa diubah, tentu bukanlah identitas yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kemuliaan seseorang. Kemuliaan seseorang terletak pada apa yang dipilihnya secara sadar. Kesadaran yang benar akan didapatkan melalui proses berpikir yang dilakukan secara benar.

Benar dan Salah

Saya merasa perlu untuk mengulangi: kesadaran yang benar akan didapatkan melalui proses berpikir yang dilakukan secara benar. Barangkali kita sering—di era posmodernisme—mendengar bahwa benar dan salah adalah sesuatu yang relatif dan bahwa mencari dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang tidak terlalu penting. Disadari atau tidak, anggapan bahwa kebenaran itu bersifat relatif merupakan suatu sikap anti-realitas. Sebagai jawaban terhadap sikap anti-realitas tersebut, cukuplah dikatakan bahwa dunia ini dipenuhi dengan fakta dan realitas yang tidak bisa disangkal. Sejak masa kanak-kanak, manusia telah menyadari keberadaan berbagai realitas di sekitarnya, sekalipun ia tidak mampu menjelaskan atau mendefinisikan hakikat realitas tersebut. Dengan penginderaan yang berulang-ulang, keberadaan realitas tersebut menjadi pasti dan jelas. Dugaan bahwa gambaran itu hanya ilusi belaka pun segera menghilang. Bulan atau gunung yang diindera oleh manusia tetap tampak sebagaimana bulan atau gunung yang mereka indera setiap waktu. Apabila gambaran itu memang hanya ilusi belaka yang muncul dari imajinasinya, maka manusia—yang memegang kendali penuh atas imajinasinya—tentu dapat menentukan bentuk dan karakteristik ilusi ‘bulan dan bintang’ tersebut sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi, menurut pandangan dirinya maupun pandangan orang lain, ternyata gambaran bulan dan gunung itu tetap sama. Ini berarti bahwa keberadaan realitas tersebut tidak tergantung pada imajinasi manusia, dan bukan sesuatu hal yang bersifat relatif sebagaimana imajinasi seseorang.

Memang ada peluang terjadi perbedaan dalam memandang suatu hal. Tetapi bukan berarti benar dan salah itu tidak ada. Dalam banyak hal—jika tidak semua—pendapat yang benar dan pendapat yang salah tetap bisa ditentukan, selama metode berpikir yang ditempuh adalah metode yang benar.

Metode Berpikir

Sebagaimana dijelaskan di atas, penilaian benar dan salah tentang sesuatu tergantung benar dan salah metode berpikir yang digunakan. Untuk mendapatkan pengetahuan yang valid, manusia perlu berpikir dengan metode berpikir yang valid. Namun terlebih dulu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan berpikir dan apa saja komponennya.

Jika kita memperhatikan dengan cemerlang mengenai fakta tentang aktivitas berpikir yang dilakukan oleh manusia, dapat disimpulkan bahwasanya berpikir adalah pemindahan fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Karena itu, tidak bisa tidak, harus terpenuhi empat komponen berikut ini agar manusia bisa melakukan aktivitas berpikir: fakta, indera, otak, dan informasi terdahulu. Dengan keempat komponen ini, disertai dengan usaha mengaitkan antara fakta dengan informasi sebelumnya, manusia dapat sampai kepada sebuah pengetahuan. Tanpa keempat komponen ini, manusia mustahil melakukan akitivitas berpikir.

Sebagai contoh, seseorang yang tidak pernah belajar tulisan Jepang, kemudian disodori huruf-huruf kanji, dapat dipastikan tidak dapat membacanya. Hal itu karena, meskipun inderanya menangkap fakta berupa huuf-huruf kanji, namun ia belum pernah mendapatkan informasi terdahulu mengenai cara membacanya. Ia tidak dapat melakukan aktivitas berpikir untuk membaca huruf-huruf kanji tersebut. Dari sini, aktivitas berpikir sebenarnya merupakan hal yang sederhana.

Akan tetapi, meskipun sederhana, aktivitas berpikir merupakan suatu hal yang sangat istimewa. Dengan berpikir, seseorang dapat mengetahui hakikat sebuah kebenaran. Seseorang yang melihat bekas tapak kaki gajah di suatu tempat, dapat dengan pasti mengetahui bahwa pernah ada gajah yang lewat di tempat tersebut. Pengetahuannya akan keberadaan gajah yang pernah lewat di tempat tersebut adalah karena orang tadi melakukan aktivitas berpikir. Pengetahuan yang ia dapatkan, meski dengan aktivitas berpikir yang sederhana seperti itu, adalah pengetahuan yang valid. Inilah metode berpikir yang paling asasi. Inilah yang disebut dengan metode rasional.

Selain itu, ada juga metode berpikir yang biasa disebut sebagai metode ilmiah. Metode ilmiah adalah metode tertentu dalam pengkajian yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dari sesuatu melalui jalan percobaan atas sesuatu itu. Metode ini tidak dapat digunakan kecuali dalam pengkajian objek-objek material yang dapat diindera. Metode ilmiah tidak mungkin digunakan dalam pengkajian pemikiran-pemikiran. Jadi, metode ini khusus untuk ilmu-ilmu eksperimental. Metode ilmiah dilakukan dengan cara memperlakukan materi (objek) dalam kondisi-kondisi dan faktor-faktor baru yang bukan kondisi dan faktornya yang asli (alami), dan melakukan pengamatan (observasi) terhadap materi tersebut serta berbagai kondisi dan faktornya yang ada, baik yang alami maupun yang telah mengalami perlakuan. Dari proses terhadap materi ini lalu ditarik kesimpulan berupa fakta material yang dapat diindera, seperti halnya yang ada di laboratorium-laboratorium.
Metode ilmiah adalah metode berpikir yang benar, tetapi bukan asas dalam berpikir. Sebab, metode ilmiah tidak dapat diterapkan dalam semua objek.

Beriman Secara Sadar

Berpikir, sebagaimana diterangkan di atas, merupakan aktivitas yang sederhana. Namun, meskipun sederhana, dengan berpikir, seseorang bisa mengenal mana yang benar dan mana yang salah. Karena itu, tidak mengherankan, bahkan menjadi sebuah keniscayaan bahwa keimanan harus diperoleh secara sadar, yaitu dengan aktivitas berpikir.

Seseorang harus benar-benar menggunakan potensi rasionalnya untuk menjawab persoalan paling mendasar, yaitu tentang hakikat keberadaannya di dunia ini: dari mana ia berasal, apa keberadaannya di dunia ini, serta akan ke mana setelah kehidupannya berakhir? Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara benar dan melalui proses berpikir, lalu mengikuti konsekuensi-konsekuensinya, seseorang akan mencapai keimanan secara sadar. Seseorang yang beriman secara sadar dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar akan menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam mengelola pemikiran dan tingkah lakunya.

Alamat-Alamat I'rob

“Romo, kapan lagi belajar nahwunya?”

“Kapan-kapan.”

“Waaaaaaa…! Ummi Jiha……, Abi jahat…..!” Jiha berteriak keras sekali.

“Hus, berisik. Jahat kenapa sih?” Nadasya datang dari arah dapur membawa lauk. “Pasti Jiha menagih macam-macam. Orang Abu Jiha baru datang.”

“Salah!” Manyun. “Jiha tu cuma menagih satu macam. Abi kan janjinya mau mengajari Jiha tanda-tanda I’rob yang lain.”

“Tapi Romo janjinya kalau Jiha sudah hafal semua tanda asalnya lho…”

“Sudah! Dari dulu juga kan sudah.”

“Coba kalau masih ingat.”

“Ih, nyebelin.”

“Lho, mana ada I’rob yang tandanya nyebelin. Jiha ngarang.” Jiha tambah manyun. “Daripada cemberut begitu, temani Romo sama Bunda makan dulu.”

“Iya, Jiha belum makan sejak tadi siang.”

[…]

“Abi, putu.”

“Lho, nasinya dihabiskan dulu.”

“Mang...” teriak Jiha tak lama setelah beranjak dari kursinya. Mamang penjual putu pun putar haluan memenuhi panggilan Jiha. Dengan innocent Jiha kembali duduk. “Tenang, Ummi, Jiha akan habiskan.”

“Yah, begitulah Jiha. Mirip sekali dengan Walidnya.” Komentar Nadasya. Jiha hanya nyengir.

“Tapi Abi bilang, Jiha cantik mirip Ummi.”

“Betul itu. Tidak perlu dikatakan pun, Ummu Jiha memang cantik.” Hahaha, saya tidak bisa menahan tawa mendengar para narsisowati junior dan senior itu bertingkah.

[…]

“Pinten, mas?”

“Tigang ewu, pak.”

“O nggih, sekedap.” Saya rogoh kantong. “Njenengan suka ikut pengajian, mas?”

“Dereng nate, pak. Pulangnya malam terus.”

“Jam berapa?”

“Kemarin jam sepuluh. Tambah susah sekarang, pak.”

“Apanya?”

“Ya ini, cari rizki.” Sedikit tersenyum.

“O… katanya pemerintah malah mau menaikkan bbm lagi. Ada pengaruhnya, mas?”

“Pasti ada, pak. Habis di minyak tanah saja.”

“Oh, pake minyak tanah ya?”

“Iya. Sehari sepuluh ribu pasti habis.”

Saya tercenung. Ini keluhan khas para pedagang kecil. Namanya Abdurrahim. Masih sangat muda. Keluarganya banyak yang seprofesi. Saya kenal beberapa di antaranya karena Jiha hobi sekali menghentikan mereka yang sering lewat dan menghabiskan beberapa potong kue putu hangat di depan rumah.

“Pareng, pak.”

“Oh, monggo… monggo.”

Orang-orang itu adalah di antara yang Nabi berharap memiliki rasa cinta kepada mereka. Allaahumma innii as`aluka fi’lal khairaat, wa tarkal munkaraat, wa hubbal masaakiin, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu pekerjaan yang baik-baik, meninggalkan hal-hal yang mungkar, serta rasa cinta kepada orang-orang miskin’, sabda beliau dalam doanya. Doa beliau dikabulkan, tentu saja. Karena beliau adalah orang yang paling cinta kepada kaum miskin. Berkebalikan dengan pemerintah kaum muslimin saat ini. Jangankan soal ekonomi, soal akidah yang menjadi tanggungjawab mereka saja, mereka lalai. Sungguh memprihatinkan bahwa di Kulonprogo terdapat sebuah daerah yang warga muslimnya hanya tersisa empat belas kepala keluarga dari 163. Dan ternyata masih ada yang lebih parah.

Sungguh buruk, sebagai bukti lain ketidakpedulian pemerintah terhadap keterjagaan iman warganya, pemerintah samapai saat ini masih mengasaskan pengasuhan dan perwalian seorang anak muslim kepada keluarganya, meskipun kafir. Padahal orang fasik saja tidak berhak mendapat wewenang mengasuh.

[…]

“Romo, ayo.”

“Emh… tenang, Romo sudah siapkan. Tolong Jiha ambil printer.”

“Siap.”

“Nah, ini ada beberapa lembar latihan. Jiha kerjakan dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa untuk menghayati dan mengamalkan secara murni dan konsekuen. Romo mau ke RT 11 dulu.”

“Ada apa, Romo?”

“Pak Wagino, beliau kesulitan membayar uang sekolah putranya.”

“Romo mau minjemin?”

“Tidak selalu harus, Jiha. Kadang-kadang seseorang hanya butuh didengarkan keluhannya. Bagi sebagian orang itu sudah cukup meringankan. Syukur-syukur kita bisa membantu lebih. Romo pamit dulu ya…”

[…]

“Terima kasih ya nak, sudah mau berkunjung.”

“Ah, njenengan ini seperti orang lain saja. Njenengan itu sudah sangat banyak membantu saya. Saya justru belum bisa membantu apa-apa.”

“Yah, minta doanya saja, nak, semoga proposalnya lolos.”

“Insya Allah, pak.”

“Mesti banyak istighfar, bangsa kita ini, ya nak. Rakyat masih banyak yang susah, eh, anggota DPR malah mau membangun gedung baru, menghabiskan uang rakyat. Malah ada yang bilang harus realistis segala, tidak mau disamakan dengan orang-orang miskin yang tinggal di gubuk-gubuk becek. Memangnya gedung DPR yang sekarang itu kalau hujan bocor apa ya, nak?”

“Setahu saya tidak, pak. Tingkah mereka dari dulu kan memang begitu. Sejak awal saya sudah tidak percaya dengan demokrasi kok, pak.”

“Lha kenapa, nak?”

“Sebenarnya demokrasi itu kan bertentangan dengan Alquran, pak.”

“Iya ya, nak. Kalau orang Islam sendiri sudah tidak menjadikan Alquran sebagai pegangan, memang repot. Kata ustadz Tolib, banyak hukum-hukum yang diajarkan Alquran yang tidak diterapkan. Saya pikir kok pantes kalau kehidupan masyarakat kok tidak semakin baik, ya. Kalau tidak salah, di Alquran kan ada ayat yang menerangkan bahwa Alquran itu adalah sebab kemuliaan manusia ya, nak? Pantas negeri ini begini-begini terus, lha wong ayat-ayat Alquran banyak yang ditinggalkan.”