Minggu, Mei 15, 2011

Khilafah Tak Cocok Diterapkan di Indonesia

“Mau ke mana, Romo?”

“Ke tempat paman Yudi.”

“Jiha ikut.”

“Hayu…”

“Ada dik Haru kan?”

“Mana Romo tahu? Tapi biasanya sih kalau jam segini, ada.”

[…]

“Sehat, Yud?”

“Alhamdulillah… seperti yang mas lihat.”

“Paman, dik Haru ada ndak?” Jiha menyela.

“Ada. Itu di dalam sama bibi Khoms.” Jiha nyelonong masuk.

“Bagaimana aktivitasmu, mas?”

“Yah, seperti biasa. Alhamdulillah masih diizinkan Allah untuk menjalankan berbagai kewajiban, meskipun dengan kadar yang sangat terbatas dan kurang di sana-sini. Kita tidak boleh lelah untuk bercita-cita melihat umat Islam bersatu, Yud.”

“Tapi apa itu mungkin, mas?”

“Sangat mungkin, Yud. Kaum muslimin seluruh dunia bisa bersatu. Secara potensial sangat bisa. Tetapi, kita perlu upaya serius untuk meyakinkan umat bahwa mereka tidak hanya perlu bersatu, melainkan wajib bersatu dalam satu negara. Tinggal, apa kita mau ambil peran dalam upaya itu atau tidak.”

“Sulit, mas. Khilafah tidak cocok diterapkan di Indonesia.”

“Lalu cocoknya diterapkan di mana?”

“Di pribadi masing-masing.”

“Bagaimana kalau pribadinya adalah pribadi orang Indonesia, apakah cocok?”

“Manusia itu memiliki dua potensi, ‘Abdun dan Khalîfah. Jadi sudah sangat jelas.”

“Kalau begitu sudah sangat jelas. Khilafah cocok diterapkan di Indonesia, secara bahwa manusia Indonesia juga memiliki dua potensi tersebut.”

“Maksud saya, tidak cocok menjadi sistem politik di Indonesia.”

“Kenapa bisa, untuk pribadinya cocok, sedangkan untuk sistem politiknya tidak cocok?”

“Mas bisa lihat sendiri realitas di Indonesia.”

“Realitasnya, manusia di Indonesia memiliki potensi yang sama dengan manusia lainnya di seluruh penjuru bumi. Yudi katakan sendiri tadi, bahwa manusia punya dua potensi ‘Abdun dan Khalîfah.”

SBY Kafir

“Mas, sudah baca koran? Ustadz Abu mengafirkan SBY.”
“Sudah. Iya.”
“Bagaimana menurut mas?”
“Kok menurut saya. SBY komentar belum? Saya kan suamimu, bukan SBY. Seharusnya dia dong yang ditanya dulu.”
“Barangkali SBY belum mendengar, jadi belum bisa komentar.”
“Bisa jadi juga tidak mau mendengarkan. Apa SBY peduli dengan status keimanannya?”
“Lho, kok tanya saya? Saya kan istrinya njenengan, bukan istrinya SBY.”
“Hobinya plagiat kata-kata orang.”
“Bukan plagiat, tapi mengutip sebagian. Mengutip kata-kata suaminya masa ndak boleh.”
“Siapa yang bilang ndak boleh?”
“Ndak ada.”
“Ya sudah.”
“Ya memang sudah. Terus bagaimana?”
“Ya terus kalau SBY tidak terima dibilang kafir oleh Ustadz Abu, tinggal ajukan saja gugatan ke mahkamah syariah, agar persoalannya menjadi jelas.”
“Memangnya di Indonesia ada mahkamah syariah?”
“Lho, urusan kafir-mengkafirkan ya harus dibawa ke mahkamah syariah dong… Apa pengadilan positif di negeri ini mengatur pasal kafir-mengkafirkan?”
“Iya juga. Mengapa orang pada meributkan ya? Toh di negeri ini tidak ada pasal yang mengatur tentang kafir-mengkafirkan. Eh, tapi mas, apakah dengan demikian, kita boleh mengkafirkan orang seenaknya?”
“Siapa bilang?”
“Yah, jawabannya begitu terus.”
“Mana ada? Jawaban saya bervariasi kok.”
“Ih… mas ini. Jadi apa jawabannya? Apakah kita boleh sembarangan mengkafir-kafirkan orang? Dan apakah SBY itu benar-benar kafir”
“Saya tidak punya kapasitas untuk menentukan SBY kafir atau tidak. Yang berhak menentukan adalah para ulama, bukan bocah dolan seperti saya. Sejauh ini para ulama juga belum ada yang menanggapi pernyataan ustadz Abu tersebut. Kalaupun ada, dilihat dari kekuatan hukum pernyataan tersebut, sama saja seperti pernyataan ustadz Abu. Tidak mengikat. Karena mereka bukan hakim. Makanya, semestinya urusan ini diselesaikan di pengadilan. Ustadz Abu silakan berargumentasi di situ berdasarkan dalil-dalil. Ulama yang kontra beliau juga silakan berargumentasi di situ berdasarkan dalil-dalil dan fakta ucapan dan perilaku SBY. Dan SBY, juga jelas mesti mempertanggungjawabkan pernyataan yang pernah dinyatakannya bahwa dia adalah seorang pluralis dan syariat Islam bertentangan dengan pluralisme.”