Sabtu, Juli 23, 2011

Kutiba ‘Alaikum (1)

Setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Tidak ada yang tersembunyi di sisi-Nya amal seberat biji sawi pun. Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ () وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ ()

“Maka siapa saja yang beramal baik seberat biji sawi, niscaya dia akam melihatnya. Dan siapa saja yang beramal buruk seberat biji sawi, niscaya dia akan melihatnya.” (az-Zalzalah [99]:7-8)

Karena setiap amal manusia, baik yang terpuji maupun tercela akan dihisab; dimintai pertanggungjawaban, maka setiap muslim diperintahkan untuk melakukan berbagai aktivitasnya sesuai dengan ketentuan hukum syara’. Hukum syara’ ada lima: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Agar aktivitas seorang muslim selamat dari dosa sekaligus mendapat pahala, ia mesti mengerjakan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Namun sebaliknya, jika seseorang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan keharaman, ia tidak akan mendapat pahala dan justru memperoleh dosa, yang berarti berhak atasnya siksa dari Allah.

Karena itu, mengetahui hal-hal apa saja yang diwajibkan oleh Allah atas manusia, serta hal-hal apa saja yang Allah haramkan, adalah perkara yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan perkara-perkara yang sunah, maka mengerjakan hal-hal tersebut akan menambah kecintaan Allah kepada hamba yang mengerjakannya. Demikian pula sebaliknya, akan tumbuh rasa cinta seorang hamba kepada Allah, karena cinta-Nya tersebut.

Tulisan ini tidak hendak mengurai segala hal yang wajib dan haram, tidak pula hal-hal yang sunah, makruh, maupun mubah. Uraian lebih lengkap mengenai hal-hal tersebut bisa dilihat di dalam kitab-kitab fikih yang telah ditulis oleh para ulama secara panjang lebar. Tulisan ini hanya ingin memaparkan beberapa kewajiban yang di dalam al-Qur`ân diutarakan dengan lafazh kutiba ‘alaikum.

Lafazh kutiba secara bahasa berarti dituliskan. Lafazh ini adalah salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa suatu perkara hukumnya wajib. Artinya, jika suatu perkara syariat dinyatakan dengan lafazh tersebut di dalam nash-nash syar’i, maka menjalankan perkara tersebut akan mendatangkan pahala, sedangkan jika ditinggalkan, pelakunya akan memperoleh hukuman dari Allah.

Al-Qur`ân menyebut lafazh kutiba ‘alaikum (artinya: diwajibkan atas kalian) sebanyak lima kali, semuanya di dalam surat al-Baqarah. Kelima ayat tersebut secara berurutan membahas tentang empat tema, yaitu qishâsh, wasiat, shaum, serta qitâl. Pembahasan dalam tulisan ini akan diawali dengan ayat yang berada di tengah, yaitu ayat 183, disusul dengan ayat-ayat selanjutnya, yang menjelaskan tentang kewajiban menjalankan ibadah shaum.

Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ()أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ()
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan shiyâm atas kalian sebagaiaman diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (Yaitu) beberapa hari yang ditentukan. Maka siapa saja di antara kalian sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah menggantinya di hari-hari yang lain. Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya, membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin. Maka siapa saja yang menambah kebaikan, maka itu lebih baik baginya. Dan kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (al-Baqarah [2]:183)

Ayat ini secara jelas mewajibkan orang-orang yang beriman untuk menjalankan ibadah shaum (puasa). Puasa yang dimaksud di dalam ayat ini adalah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat 185. Demikian pula yang dimaksud dengan beberapa hari yang ditentukan adalah hari-hari di bulan Ramadhan. Ini pendapat mayoritas ulama. Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa puasa yang dimaksud adalah puasa tiga hari setiap pertengahan bulan, sebelum akhirnya dinasakh dengan puasa Ramadhan. Namun pendapat ini lemah, karena tidak ada riwayat yang bisa dijadikan argumentasi adanya kewajiban puasa di dalam Islam selain puasa Ramadhan. Mengenai hal ini, Imam ath-Thabarî—Imamnya para mufassir—menyatakan di dalam kitab Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur`ân, juz 3, hlm. 417:
وأولى ذلك بالصواب عندي قولُ من قال: عنى الله جل ثناؤه بقوله:"(أيامًا معدودات)، أيامَ شهر رمضان. وذلك أنه لم يأت خبرٌ تَقوم به حُجة بأنّ صومًا فُرِض على أهل الإسلام غيرَ صوم شهر رمضان، ثم نسخ بصوم شهر رمضان، وأن الله تعالى قَد بيَّن في سياق الآية، أنّ الصيامَ الذي أوجبه جل ثناؤه علينا هو صيام شهر رمضان دون غيره من الأوقات، بإبانته، عن الأيام التي أخبر أنه كتب علينا صومَها بقوله:"شهرُ رَمضان الذي أنزلَ فيه القرآن". فمن ادعى أن صومًا كان قد لزم المسلمين فرضُه غير صوم شهر رمضان الذين هم مجمعون على وجوب فرض صومه -ثم نسخ ذلك- سئل البرهانَ على ذلك من خبر تقوم به حُجة، إذ كان لا يعلم ذلك إلا بخبر يقطع العذرَ.
Dan yang paling benar dalam hal ini menurut saya adalah pendapat yang menyatakan: Allah yang Mahaagung pujian kepada-Nya memaksudkan dengan firman-Nya: ‘beberapa hari yang ditentukan adalah hari-hari bulan Ramadhan’. Mengenai hal itu, tidak ada berita yang dengannya bisa tegak hujjah adanya puasa yang difardhukan kepada pemeluk Islam selain puasa bulan Ramadhan yang kemudian dinasakh dengan puasa bulan Ramadhan. Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan di dalam kontek ayat (siyâqul âyah), bahwa puasa yang Dia Yang Agung pujian kepada-Nya wajibkan kepada kita adalah puasa Ramadhan, tidak pada waktu-waktu yang lain dengan penjelasan-Nya tentang hari-hari yang Dia kabarkan bahwasanya wajib bagi kita mempuasainya dengan firman-Nya: ‘Bulan Ramadhan yang diturunkan al-Qur`ân di dalamnya.’ Siapa saja yang mendakwa bahwa puasa pernah diwajibakan kepada kaum muslimin selain puasa bulan Ramadhan yang mereka bersepakat atas wajibnya menjalankan puasa di dalamnya—kemudian hal itu dinasakh—maka kepadanya ditanyakan burhân terkait hal tersebut, yaitu berita yang dengannya bisa tegak hujjah, karena ia tidak bisa mengetahui hal tersebut kecuali dengan berita yang bisa menggugurkan ‘udzur.’
Firman-Nya: يأيها terdiri dari tiga kata, yaitu يا yang merupakan harf an- nidâ` (huruf untuk menyeru), أَيُّ yang merupakan isim yang berarti: mana saja, serta huruf ها harf at-tanbîh (huruf untuk memberi peringatan). Jika memperhatikan makna-makna penyusunnya, maka kalimat يأيها tidak cukup diartikan dengan wahai. Kalimat يأيها الذين آمنوا lebih lengkapnya bermakna: Wahai siapa saja orangnya yang telah beriman, perhatikanlah!
Selanjutnya, setelah Allah menyeru orang-orang beriman, Dia Yang Mahaagung lagi Mahatinggi menyatakan hal apa yang mesti diperhatikan, yaitu bahwa Dia telah mewajibkan agar mereka berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. Kesamaan antara puasa umat Islam dengan umat-umat sebelumnya adalah dari sisi kewajibannya, bukan dari sisi batasan bulannya.

Bahwa puasa hukumnya wajib, ditunjukkan dengan beberapa indikasi, sebagaimana dijelaskan antara lain oleh Syaikh ‘Athâ` bin Khalîl Abû Rusytah di dalam kitab beliau at-Taisîr fî Ushûl at-Tafsîr, antara lain:

Pertama, kalimat كتب عليكم الصيام (diwajibkan atas kalian berpuasa) adalah kalimat berita dalam bentuk perintah yang bermakna: berpuasalah kalian! Dengan demikian, ayat ini memerintahkan orang-orang yang telah beriman untuk berpuasa dengan lafazh yang menunjukkan bahwa hal tersebut adalah wajib, yaitu lafazh kutiba. Satu indikasi ini saja cukup untuk menyatakan bahwa berpuasa hukumnya wajib.

Kedua, adanya perintah untuk mengganti (qadhâ`) puasa bagi orang-orang yang sakit dan musafir yang tidak berpuasa. Hal ini menunjukkan bahwa perintah yang dituntut oleh ayat tersebut adalah tuntutan yang pasti (jazm), yang mengantarkan pada hukum wajib. Sebab, jika tuntutan tersebut tidak wajib, niscaya tidak akan ada perintah untuk menggantinya.

Ketiga, perintah untuk berpuasa diulangi lagi pada ayat 185 dengan firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka siapa saja di antara kalian yang hadir (di daerah tempat tinggalnya), maka puasailah bulan itu.”

Perintah ini kemudian diikuti lagi dengan perintah untuk mengganti puasa bagi orang-orang yang meninggalkannya. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa perintah untuk berpuasa adalah tuntutan yang bersifat pasti. Artinya, berpuasa hukumnya fardhu.

Keempat, indikasi dari hadits-hadits Nabi. Terdapat banyak hadits Nabi, antara lain hadits Sayyidina ‘Umar yang meriwayatkan jawaban Rasulullah atas pertanyaan tentang apa itu Islam yang diajukan oleh Jibrîl ‘alaihissalâm. Beliau menjawab, (Islam adalah, red.) “Persaksian bahwasanya Tiada Ilâh yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat yang diwajibkan, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, serta haji ke Rumah Allah bagi siapa saja yang mampu menempuh perjalanan ke sana.” Tema pertanyaannya adalah Islam, yang Islam itu sendiri merupakan fardhu atas manusia berdasarkan firman-Nya:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya Dîn (yang diridhai) di sisi Allah adalah Islam.” (Âl ‘Imrân [3]:19)

Penyebutan puasa di dalam jawaban Rasulullah mengenai Islam menunjukkan bahwa puasa adalah fardhu dan kewajiban yang agung.

Demikian pula terdapat riwayat yang sangat masyhur:
بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأنَّ محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت من استطاع إليه سبيلا. (رواه البخاري ومسلم)

“Islam dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tiada Ilâh yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, serta haji ke Baitullah siapa saja yang mampu menempuh perjalanan ke sana.” (HR. al-Bukhârî dan Muslim)

Sesuatu yang bangunan Islam tidak akan tegak tanpanya adalah sifat yang dapat dipahami sebagai sesuatu yang menunjukkan tuntutan pasti (harus dijalankan). Karena lima hal ini disebutkan di dalam nash, bahwasanya Islam dibangun di atasnya, itu artinya, kelima hal tersebut adalah rukun-rukun Islam, dan selanjutnya: puasa merupakan fardhu.

Demikian uraian singkat mengenai salahsatu kewajiban di dalam Islam yang di dalam al-Qur`ân perintahnya dinyatakan dengan lafazh kutiba ‘alaikum di dalam ayat 183 surat al-Baqarah. Masih terdapat empat ayat lain yang kewajibannya dinyatakan dengan lafazh yang sama. Dua ayat terletak sebelumnya dan dua ayat lain terdapat setelahnya. Namun sebelum membahas keempat ayat tersebut, ada baiknya dipahami bahwasanya seluruh isi al-Qur`ân wajib diimani seluruhnya, untuk selanjutnya, menjalankan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalamnya. Beriman kepada sebagian dan mengingakari sebagian yang lain hanya akan membuat seseorang jatuh ke dalam siksa-Nya yang paling keras.

Allah Ta’âlâ berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Apakah kalian beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi siapa yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah terhadap apa yang kalian perbuat.” (al-Baqarah [2]:85)

Sungguh mengherankan jika memperlakukan berbagai kewajiban yang diajarkan oleh al-Qur`ân dengan cara yang berbeda tanpa alasan syar’i, sementara semuanya adalah wajib. Jika puasa dilakukan karena ia merupakan kewajiban karena diperintahkan dengan lafazh kutiba ‘alaikum, semestinya kewajiban lain yang diungkapkan dengan lafazh yang sama juga dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Tidak hanya itu, kewajiban yang diungkapkan dengan lafazh lain pun sudah semestinya diindahkan. Tulisan ini membahas kewajiban-kewajiban dengan lafazh kutiba ‘alaikum sekedar untuk menjadi cermin apakah selama ini perlakuan terhadap berbagai ayat tersebut sudah adil dan proporsional, padahal, bahkan, diungkapkan dengan lafazh-lafazh yang sama? Semoga Allah Ta’ala berkenan memberikan hidayah taufiknya kepada saya dan para pembaca sekalian, mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya hingga ajal menjelang.

Rujukan

‘Athâ` bin Khalîl Abû Rusytah. At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr. Dâr al-Ummah, Beirût: 1427 H/2006 M.

Mahmûd bin ‘Abdurrâhîm ash-Shâfî. Al-Jadwal fî I’râb al-Qur`ân (.bok). Dâr ar-Rasyîd Mu`assasah al-Îmân, Damsyiq: 1418 H.

Muhyiddîn Darwîsy. I’râb al-Qur`ân (.bok). Dâr al-Irsyâd li Syu`ûn al-Jâmi’ah, Humsh: 1425 H.

Ibn Umm Qâsim al-Murâdî. Al-Janâ ad-Dânî fî Hurûf al-Ma’ânî (MS). http://www.alwarraq.com.

Ibn Hisyâm. Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb (MS). http://www.alwarraq.com.

Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmulî Abû Ja’far ath-Thabarî. Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân. Mu`assasah ar-Risâlah, tk: 1420 H/2000 M. http://qurancomplex.com.

Rabu, Juli 20, 2011

Hubungan Antarnegara dalam Islam: Jihad

3261 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ أَمْلَاهُ عَلَيْنَا إِمْلَاءً ح و حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَاشِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ فَلَا تَجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّةَ اللَّهِ وَلَا ذِمَّةَ نَبِيِّهِ وَلَكِنْ اجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ وَذِمَّةَ أَصْحَابِكَ فَإِنَّكُمْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ وَذِمَمَ أَصْحَابِكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اللَّهِ وَذِمَّةَ رَسُولِهِ وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِكَ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللَّهِ فِيهِمْ أَمْ لَا
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ هَذَا أَوْ نَحْوَهُ وَزَادَ إِسْحَقُ فِي آخِرِ حَدِيثِهِ عَنْ يَحْيَى بْنِ آدَمَ قَالَ فَذَكَرْتُ هَذَا الْحَدِيثَ لِمُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ قَالَ يَحْيَى يَعْنِي أَنَّ عَلْقَمَةَ يَقُولُهُ لِابْنِ حَيَّانَ فَقَالَ حَدَّثَنِي مُسْلِمُ بْنُ هَيْصَمٍ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ مُقَرِّنٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ و حَدَّثَنِي حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنِي عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ بُرَيْدَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَمِيرًا أَوْ سَرِيَّةً دَعَاهُ فَأَوْصَاهُ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِمَعْنَى حَدِيثِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ الْفَرَّاءُ عَنْ الْحُسَيْنِ بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ شُعْبَةَ بِهَذَا
(صحيح مسلم)


Ketika berdiskusi di sebuah jejaring sosial, saya mengutip sebagian hadis di atas untuk menunjukkan bahwa Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk hubungan antarnegara. Di luar dugaan, seorang teman diskusi membantahnya dengan menyatakan:


Anda lucu sekali. Hadis yang Anda cantumkan 'khitab'nya tidak terlalu tepat jika mengatur hubungan antara Negara. Hadis tertsebut adalah adab berperang, atau dalam fikih, yang tertulis di hadis di atas dinamakan Ahkam al-Harb. Coba Anda tengok buku Wahbah Zuhaili yang berjudul Ahkam al-Harb, sekedar untuk membuka wawasan saja. Abu Bakar yang memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat, ketika memerangi orang yang keluar dari Islam, atau konteks perang Mu'awiyah dan Ali yang sama-sama Islam. Imam Ali mengatakan dalam konteks yang serupa (Adab al-Qital), "manusia di depanmu ada dua; saudaramu seagama, atau sama-sama makhluk Tuhan. Bisa diaplikasikan dalam konteks Negara, jika memang sebuah Negara hendak mengadakan peperangan. Sebagaimana ia juga bisa diterapkan untuk sekelompok masyarakat yang hendak berperang, atau qabilah/suku, dll. Tidak tertentu pada apa dan bagaimana sistem pemerintahan dari Negara tersebut. Bukan hanya Negara, karena perang bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Coba berikan pada saya sistem administrasi suatu Negara dari al-Qur'an atau al-Hadis jika memang Islam mengaturnya? Menteri dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Ekonomi? Setahu saya, Khilafah Islamiyyah baru mengalami perluasan dalam berbagai lini setelah masa dinasti Umawi dan Abbasiyyah. Artinya rasul tidak mengaturnya. Pada masa Khalifah Rasyidah juga sudah ada beberapa yang mengambil dari luar. Umar yang mengadopsi diwan dari sistem politik Persia. Bahkan, as-Sijn (penjara) juga diadopsi oleh Umar. Ibnu Khillikan mengatakan, Ummayah mengadopsi "Hijabah", Abbasiyyah mengadopsi sistem Wizarah. Ini membuktikan, bahwa untuk urusan dunia, Islam menyerahkan pada ijtihad manusia yang disandarkan pada kemaslahatan.

Jika Anda membaca buku Sa'id Ramadhan al-Bhouti, bertajuk al-Jihad fi al-Islam, Negara tersusun dari rakyat, Tanah yang ditempati, serta kekuasaan/hukum yang mengaturnya (yang sudah terformalkan). Jika kemudian Ada hukum Islam yang hanya terbatas mengatur rakyatnya saja, atau tanahnya saja, maka itu hanya mengatur bagian dari Negara, bukan Negara. Karena saya bisa saja mengatakan hukum wakaf/puasa/shalat, dll adalah hukum yang mengatur hubungan antara Negara karena hukum wakaf/shalat/puasa mukhatabnya umat Islam. Dan umat Islam adalah penduduk Negara. Ini ngawur namanya. Tidak pakai kaidah dalam menerapkan dalil.


Maka inilah jawaban saya:


Terimakasih telah memberikan pujian lucu kepada saya.^_^ Saya tidak menolak bahwa itu adalah ahkamul harb, karena memang hadis tersebut berbicara soal peperangan. Mau lihat di kitab mana pun, kita patut tertawa kalau tiba-tiba ada yang menyatakan bahwa hadis ini tidak berbicara hukum-hukum peperangan. Karena pernyataan itu berarti menegasi isi hadis yang sangat jelas tersebut. Tetapi jika ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut berbicara begini dan begitu tanpa negasi bahwa hal itu merupakan ahkamul harb, maka patut diperhatikan apakah pernyataannya tersebut sesuai dengan fakta dalil atau tidak. Dan pernyataan saya sesuai dengan fakta. Dalam hadis tersebut, Rasulullah memerintahkan untuk melakukan dua tawaran yang tidak akan dilakukan peperangan sebelum ditawarkan dua hal ini. Pertama menawarkan *orang-orang kafir* masuk Islam dan berhijrah ke dârul muhâjirîn. Jika mereka menolak, maka tawaran kedua adalah diterapkan hukum Allah atas mereka. Jika tawaran kedua ini pun ditolak, maka mereka akan diperangi. Terlihat di sini bahwa peperangan yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah peperangan yang dilakukan dengan negara-negara kufur di luar darul muhajirin. Itu artinya peperangan ini adalah peperangan yang dilakukan antar-negara. Lalu di mana kekurangtepatan pernyataan saya bahwa hadis ini merupakan salah satu dalil tentang pengaturan Islam mengenai hubungan antarnegara (yang dalam hal ini adalah hubungan negara Islam dengan negara selainnya)? Dan ini berbeda kontek dengan peperangan sayyidina Abu Bakr terhadap pengemplang zakat, para murtad, apalagi dengan perang fitnah antara sayyidina Ali dengan sayyidina Mu’awiyah.

Tampaknya sang teman menggeneralisasi hadis ini untuk semua kontek peperangan. Jelas keliru. Sebab hadis tersebut menunjukkan tujuan-tujuan yang jelas dari peperangan tersebut, sekaligus menegaskan jenis peperangan apa yang dimaksudkan. Kalau hadis tersebut ingin ditarik ke makna yang keluar dari konteknya (yaitu peperangan antara negara Islam dengan wilayah yang belum masuk ke darul kufur) sehingga meliputi peperangan antarsuku dalam satu negara, misalnya, tentu hal ini sangat bertentangan dengan pernyataan-pernyataan di dalam hadis tersebut yang menunjukkan konsekuensi-konsekuensi tertentu dari setiap tawaran. Jika kontek hadis tersebut general untuk setiap bentuk peperangan, lalu apakah jika suku Jawa dengan suku Batak berperang, suku Batak menang, maka yang kalah harus membayar jizyah? Tentu saja tidak demikian. Demikian pula sama sekali keliru jika dikatakan bahwa peperangan yang dimaksud dalam hadis di atas bisa dilakukan oleh negara dengan sistem apa saja. Sebab bagaimana mungkin sebuah negara yang tidak menjalankan hukum Allah akan menuntut penerapan hukum Allah bagi daerah taklukannya? Kalaupun memang benar bahwa peperangan bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja seperti yang ia katakan—dan saya menolak pernyataan ini—maka, kalau pun memang benar demikian, sungguh peperangan yang dimaksud di sini bukanlah peperangan apa saja, di mana saja, dan oleh siapa saja itu. Penjelasan seperti ini justru belum pernah saya dengar dari seorang ahli ilmu pun.

Mengenai Struktur Negara yang digali dari dalil-dalil syar’i, bisa baca buku “Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan & Administrasi)” yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir pada tahun 1426 H/2005 M. Dalam kesempatan ini saya belum bisa banyak mengulas, karena perlu mereview lagi sajian dalam buku tersebut.

Mengenai pernyataannya:

“Jika Anda membaca buku Sa'id Ramadhan al-Bhouti, bertajuk al-Jihad fi al-Islam, Negara tersusun dari rakyat, Tanah yang ditempati, serta kekuasaan/hukum yang mengaturnya (yang sudah terformalkan). Jika kemudian Ada hukum Islam yang hanya terbatas mengatur rakyatnya saja, atau tanahnya saja, maka itu hanya mengatur bagian dari Negara, bukan Negara.”,

Saya hampir sepakat dengan kesimpulan di atas, kecuali bahwa ia memilih kata “hanya” sedangkan saya memilih kata “seluruh”, sehingga kalimat: ([hukum Islam, red.] hanya mengatur bagian dari Negara, bukan Negara) tidaklah tepat. Lebih tepat dikatakan: ([hukum Islam, red.] mengatur seluruh bagian dari Negara, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam mengatur Negara). Ini karena Islam tidak hanya mengatur rakyat dan tanah yang ditempati saja, melainkan mengatur pula kekuasaan/hukum yang mengaturnya. Jika demikian, tidak rasional lagi jika kita mengatakan bahwa Islam tidak mengatur negara.

Kalau saya mengatakan bahwa hukum wakaf/puasa/shalat, dll adalah hukum yang mengatur hubungan antarnegara, saya memang akan mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa saya ngawur. Barangkali saya akan mewajibkan untuk lari keliling Mandala Krida sebanyak 10x agar bisa memaafkan diri sendiri. Sebab jelas-jelas tidak ada hubungan yang dituntut oleh kata “antar” dalam hukum-hukum tersebut, yaitu hubungan sekurang-kurangnya dua negara. Namun sebaliknya, hadis yang saya kemukakan di muka jelas-jelas memiliki hubungan yang dituntut oleh kata “antar”, sehingga ngawurlah saya jika menolak jika ada yang menyebutkan bahwa di dalam hadis tersebut terdapat hukum yang mengatur hubungan antarnegara. Maka perhatikanlah siapa yang tidak pakai kaidah dalam menerapkan dalil dan siapa pula yang ngawur. Jika makhluk yang bernama ngawur itu ditanya, saya yakin ia akan menjawab dengan tegas bahwa dirinya tidak ada pada diri saya dalam kasus ini. Maka hendaklah orang yang mengaku memiliki akal merenungkannya.