Selasa, Desember 27, 2011

Jiha Bertanya Tentang Marfu'

“Di dalam kitab Dalâilun Nubuwwah karya Imam al-Baihaqi disebutkan riwayat dari Sayyidina Ali bin Thalib. Beliau mengatakan, Ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab, beliau keluar, bersama aku dan Abu Bakar, ke Mina, sampai mendorong kami memasuki majelis dari majelis-majelis arab.


Jiha keluar dari balik tirai, membawa sebuah nampan berisi dua gelas teh dan beberapa makanan ringan.

“Silakan dinikmati dulu tehnya,” Abu Jiha mempersilakan. Jiha, seperti biasa, duduk manis di samping Romonya setelah menghidangkan teh.

“Oh iya, terima kasih, mas.” Segera Jubilo menyeruput.

“Jadi, Rasulullah menawarkan diri kepada kabilah-kabilah arab untuk menyerahkan kekuasaan kepada beliau itu ada riwayatnya. Thalabun Nushrah itu bukan mengada-ada.”

“Tetapi, bukankah riwayat tadi itu bukan sabda Nabi, melainkan pernyataan Ali? bagaimanapun kata-kata Ali ibn Abi Thalib ra tidak sederajat dengan Quran dan Sunnah, kecuali bila anda pengikut Syiah.

“Oh, ini tidak ada hubungannya dengan Syiah. Riwayat tersebut memang perkataan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu. Dalam klasifikasi para ulama, hadis yang disandarkan pada Sahabat Nabi disebut hadis mauquf. Sedangkan hadis yang disandarkan kepada Nabi disebut hadis marfu’. Nah, marfû’ ini ada dua. Pertama, marfu’ haqiqi. Yang kedua, marfû’ hukmî. Perkataan Imam Ali tadi termasuk marfu’ hukmi, yaitu hadis marfu’ yang tidak tegas penyandarannya kepada Nabi, melainkan dengan perantaraan qarinah alias indikator lain. Indikator tersebut misalnya perkataan umirna bikadza ‘kami diperintahkan begini’, atau perkataan nuhina bikadza ‘kami dilarang berbuat begitu’. Sedangkan dalam perkataan Imam Ali di atas, terdapat indikator yang menunjukkan bahwa riwayat itu marfu’, yaitu perkataan beliau: Ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya. Perkataan semacam ini tidak mungkin beliau karang, melainkan pasti berasal dari Nabi Muhammad yang mendapat wahyu dari Allah.”

“Di mana saya bisa temukan keterangan semacam itu?”

“Hampir di setiap kitab ilmu hadis dibahas tentang hal ini, yaitu ketika membahas hadis marfu’ dan hadis mauquf.

“Romo, bukannya marfu’ itu kalimat yang dibaca rafa’ ya?” tiba-tiba Jiha ikut nimbrung.
Abu Jiha tersenyum. “Iya, sayang. Tetapi marfu’ yang kita bahas kemarin itu istilah dalam ilmu nahwu. Sedangkan Romo sama Om Jubilo sekarang sedang membahas ilmu hadis.”

“Antum punya bukunya kan, mas? Kalau boleh, saya pinjam. Hehe,,”

“Oh, boleh. Sebentar saya ambilkan. Tapi tolong kembalikan dalam sepekan, ya… Oya, the sama seneknya dihabiskan dulu.” Abu Jiha masuk ke dalam.

Sementara Romonya masuk, Jiha bersuara, “Om, kalau marfu’ itu kalimat yang dibaca rafa’, terus kalau mauquf itu kalimat yang dibaca apa ya?”

“Hahaha,, kan tadi Romo Jiha sudah bilang, kita sedang bicara ilmu hadis, bukan ilmu nahwu yang membahas I’rob. Istilah mauquf itu istilah ilmu hadis. Ilmu nahwu tidak mengenal istilah mauquf sebagai salah satu I’rob. Jadi beda.”

“O..” mulut Jiha membundar.

“Mengerti, kan?”

Dengan innocent Jiha menjawab, “Ndak.” Dan mereka berdua tertawa.

Sabtu, Desember 24, 2011

Dzikir dan Doa




Doa Keluar Rumah
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ قَالَ يُقَالُ حِينَئِذٍ هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِيَ (رواه أبو داود)
Dari Anas bin Mâlik bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila salah seorang keluar dari rumahnya lalu berkata: Bismillâhi tawakkaltu ‘alaLlâhi lâ haula walâ quwwata illâ billâh (Dengan Nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah). Beliau bersabda: Dikatakan kepadanya: Ketika itu kamu ditunjuki, dicukupkan, dan dijaga. Maka ketika para setan bersandar kepadanya, setan yang lain berkata: Bagaimana kalian ini dengan seorang yang sungguh telah ditunjuki, dicukupkan, dan dijaga? (HR. Abû Dâwud)
Dzikir Pagi dan Sore
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مَنْ قَالَ إِذَا أَصْبَحَ وَإِذَا أَمْسَى حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَبْعَ مَرَّاتٍ كَفَاهُ اللَّهُ مَا أَهَمَّهُ صَادِقًا كَانَ بِهَا أَوْ كَاذِبًا. (رواه مسلم)
Dari Abû Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata: Siapa saja yang berkata ketika pagi dan ketika sore: HasbiyaLlâhu lâ ilâha illâ Huwa ‘alaHi tawakkaltu waHuwa Rabbul ‘arsyil ‘Azhîm (Cukuplah Allah bagiku, tiada Ilâh yang berhak selain Dia, kepada-Nya lah aku bertawakal, dan Dialah Rabb ‘Arsy yang agung) tujuh kali, Allah akan mencukupinya dari apa yang menggelisahkannya. (HR. Muslim)
Doa Bepergian
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيرِهِ خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ}
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ (رواه مسلم)
Bahwa Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam apabila duduk di atas untanya untuk keluar safar, beliau bertakbir tiga kali kemudian berkata: Subhânalladzî sakhkhara lanâ hadzâ wamâ kunnâ lahû muqrinîn wa innâ ilâ Rabbînâ lamunqalibûn; Allâhumma innâ nas`aluka fî safarinâ hadzâ al-birra wattaqwâ wa minal ‘amali mâ tardhâ. Allâhumma hawwin ‘alainâ safaranâ hadzâ wa-thwi ‘annâ bu’dahu. Allâhumma Antash-Shâhibu fî as-Safar wal-Khalîfatu fî al-Ahli. Allâhumma innî a’ûdzu bika min wi’tsâ`is-Safari wa Ka`âbatil –manzhari wa sû`il-munqalibi fî al-mâli wal-ahli ({Mahasuci Dzat yang menundukkan bagi kami [kendaraan] ini padahal kami sebelumnya tidak mampu [menundukkannya]. Dan kepada Rabb kami, pasti kami kembali}. Ya Allah sesungguhnya kami meminta kepadamu kebaikan dan takwa dalam perjalanan ini, amal yang Engkau ridhai. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkan jauhnya. Ya Allah Engkaulah Teman dalam perjalanan, Khalifah bagi keluarga [yang ditinggalkan]. Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dalam perjalanan, kesedihan pandangan, buruknya kebangkrutan dalam harta dan keluarga). Apabila beliau pulang, beliau kembali mengucapkannya dan berkata: Âyibûna tâ`ibûna ‘âbidûna li Rabbinâ hâmidûn (Kami adalah orang yang kembali, bertobat, menyembah, serta memuji Rabb kami). (HR. Muslim)

Jumat, Desember 09, 2011

Hukum dalam Alquran

Kata hukum di dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki beberapa arti, sebagai berikut:

hukum n 1 peraturan yg dibuat oleh penguasa

(pemerintah) atau adat yg berlaku

bagi semua orang dl suatu masyarakat

(negara); 2 undang-undang, peraturan,

dsb untuk mengatur pergaulan hidup dl

masyarakat; 3 patokan (kaidah, ketentuan)

mengenai suatu peristiwa (alam dsb)

yg tertentu; 4 keputusan (pertimbangan)

yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan);

vonis;

Kata ini, bersama dengan kata lain yang banyak sekali jumlahnya dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, adalah serapan dari bahasa Arab, yang merupakan bahasa resmi bagi kaum muslimin dan Negara Islam. Masyarakat nusantara, memang pernah dalam waktu yang lama bernaung di bawah sistem pemerintahan yang menjalankan hukum-hukum Islam.

Islam mengajarkan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak membuat hukum kecuali Allah. Islam mengharamkan seseorang memutuskan hukum dengan apa yang tidak diturunkan oleh-Nya. Karenanya, untuk memberikan keputusan hukum, seseorang harus selalu merujuk kepada wahyu Allah, yang termaktub dalam dalil-dalil syar’i, berupa Alquran, Assunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Keputusan hukum tidak diakui sebagai keputusan syar’i kecuali melalui penggalian (istinbath) dalil-dalil. Dikenal pula apa yang disebut dengan ijtihad dalam perkara-perkara yang zhanni.

Namun sangat disayangkan, ajaran Islam nan agung dalam perkara hukum tersebut saat ini diabaikan oleh para penguasa di negeri-negeri Islam, tak terkecuali penguasa negeri Islam nusantara. Maka tak heran jika kemudian bangkit pergerakan-pergerakan Islam yang menyerukan agar kaum muslimin di Indonesia, terutama para penguasanya, kembali kepada Islam dengan menerapkan hukum-hukum-Nya dalam kehidupan bernegara. Meski sebagian kaum muslimin sendiri ada yang menolaknya, atau sebagian pihak—dengan bahasa yang lebih halus—menyatakan bahwa masyarakat belum siap, namun tidak bisa dipungkiri bahwa urusan penerapan hukum Islam ini merupakan perkara yang sangat penting di dalam Islam. Ini terlihat dalam banyaknya ayat-ayat yang membicarakan hal ini.

Bentuk paling sederhana dari kata ‘hukum’ di dalam bahasa arab terdiri dari tiga huruf yaitu h-k-m. Meski tidak seluruhnya berbicara dalam kontek kewajiban menerapkan hukum Allah di muka bumi, banyak sekali kita temukan ayat-ayat Alquran yang mengandung kata dan derivasi kata h-k-m. Kiranya merupakan sesuatu yang bermanfaat—in syâ`allâh—jika memiliki kesempatan untuk mengkaji ayat-ayat tersebut. Semoga Allah menghendaki kebaikan untuk kami.

Di dalam Surat al-Baqarah

Lafazh h-k-m dengan seluruh derivasi dan maknanya disebutkan di dalam Alquran lebih dari 190 kali. Belasan di antaranya terdapat di dalam surat al-Baqarah, yang diawali dengan ayat ke-32, ketika para Malaikat menyebut Allah sebagai al-‘Alîm al-Hakîm. Berikut senarai perkataan para ulama mufasirin mengenai makna al-‘Alîm al-Hakîm di dalam ayat tersebut.

Imam al-Mâwardî berkata di dalam kitab an-Nukat wa al-‘Uyûn:

Firman-Nya ‘Azza wa Jalla: {Innaka Anta-l-‘Alîmu-l-Hakîm } ‘Sesungguhnya Engkau adalah al-‘Alîm al-Hakîm’. Al-‘Alîm adalah Yang Mengetahui tanpa belajar. Sedangkan tentang makna al-Hakîm ada tiga pendapat:

Pertama: al-Hakîm adalah Mahabijaksana dalam seluruh perbuatan-Nya.

Kedua: al-Hakîm adalah Pencegah dari kerusakan. Karenanya, Hakamatu-l-Lijâm (tali kekang) dinamakan demikian karena benda itu dapat mencegah kuda agar tidak berlari kencang. Jarîr berkata:

Apakah Banî Hanîfah mencegah orang-orang bodoh kalian?

Sesungguhnya aku khawatir atas kalian, bahwa dia akan marah

Ketiga: al-Hakîm adalah Yang Mahatepat dalam menetapkan kebenaran. Karenanya, al-Qâdhî (hakim) dinamakan juga hâkim karena tepat dalam menetapkan kebenaran dalam keputusannya. Ini pendapat Abû al’Abbâs al-Mubarrad.

Penulis kitab Tafsîr al-Jalâlain berkata:

{al-‘Alîm al-Hakîm}, yaitu Yang tidak ada sesuatu pun yang keluar dari Ilmu dan Hikmah-Nya.

Imam as-Suyûthî berkata di dalam kitab ad-Durr al-Mantsûr:

Ibnu Jarîr mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbâs mengenai Firman-Nya {Innaka Anta-l-‘Alîmu-l-Hakîm} , ia berkata: al-‘Alîm yang sungguh sempurna ilmu-Nya dan {a-l-Hakîm} yang sungguh sempurna hukum (keputusan)-Nya.

Imam Ibnul Jauzî berkata di dalam Zâdu-l-Masîr:

Al-‘Alîm bermakna: al-‘Âlim (Yang mengetahui), yang datang dalam binâ` <<Fa’îl>> untuk makna menyangatkan (lil mubâlaghah). Tentang makna al-Hakîm, ada dua pendapat. Pertama, al-Hakîm bermakna al-Hâkim; dinyatakan oleh Ibnu Qutaibah. Kedua, bermakna Yang tepat, teliti, sempurna dalam segala sesuatu; dinyatakan oleh al-Khaththâbî.

Imam As-Samarqandî berkata di dalam kitab Bahrul ‘Ulûm:

Firman-Nya Ta’âlâ: {Innaka Anta-l-‘Alîmu-l-Hakîm}, bermakna ‘Engkaulah Yang Mahatahu terhadap apa yang ada di langit dan di bumi, Mahabijaksana dalam urusan-Mu, apabila Engkau memutuskan untuk menjadikan seseorang selain kami sebagai khalifah di muka bumi.’ Dikatakan {al-‘Alîm al-Hakîm} ditinjau dari segi hikmah yang mengetahui segala sesuatu dengan hakikat-hakikatnya. Dan adalah keputusan-Nya sesuai dengan ilmu.

Imam Al-Baidhâwî berkata dalam kitab Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl:

{Innaka Anta-l-‘Alîm} ‘Sesungguhnya Engkau Mahatahu’, Yang tidak tersamar sedikit pun sesuatu yang samar. {al-Hakîm} ‘Yang tepat, teliti, sempurna dalam segala ciptaan-Nya, Yang tidak berbuat kecuali sesuatu yangmengandung hikmah yang cukup (bâlighah)’.

Imam An-Nasafî berkata di dalam kitab Madârik at-Tanzîl wa Haqâ`iq at-Ta`wîl:

{Innaka Anta-l-‘Alîm} ‘Sesungguhnya Engkau Mahatahu’ tanpa diberi tahu, {al-Hakîm} ‘Mahabijaksana’ dalam segala Yang Engkau putuskan dan Engkau takdirkan.

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabarî berkata di dalam Jamî’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân:

Pendapat mengenai tafsir Firman-Nya: {Innaka Anta-l-‘Alîmu-l-Hakîm}

Abû Ja’far berkata: Tafsir ayat tersebut: Bahwasanya Engkau, wahai Rabb kami, adalah al-‘Alîm (Mahatahu) tanpa perlu belajar terhadap semua yang sudah ada maupun yang belum ada, dan Engkaulah Yang mengetahui perkara-perkara gaib di hadapan seluruh makhluk-Mu. Mereka (para malaikat) menafikan adanya ilmu yang mereka miliki (berasal) dari mereka sendiri kecuali apa yang telah diajarkan Rabb mereka kepada mereka dengan mengatakan Lâ ‘ilm lanâ illâ mâ ‘allamtanâ ‘tidak ada ilmu bagi kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami’. Mereka lalu menetapkan ilmu yang mereka nafikan (berasal) dari diri mereka sendiri itu adalah milik Rabb mereka dengan perkataan mereka Innaka Anta-l-‘Alîmu-l-Hakîm ‘Sesungguhnya Engkau adalah Yang Mahatahu lagi Mahabijaksana.’ Maksud mereka, Engkau (Allah) adalah al- Âlim (Yang mengetahui) tanpa pengajaran, sedangkan siapa saja selain Engkau tidak mengetahui sesuatu pun kecuali dengan pengajaran pihak lain kepadanya. Al-Hakîm adalah Pemilik Hikmah, sebagaimana terdapat dalam riwayat:

Al-Mutsanna telah menceritakan kepadaku, ia berkata: ‘Abdullâh bin Shâlih telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu’âwiyah telah menceritakan kepadaku, dari ‘Alî, dari Ibnu ‘Abbâs: al-‘Alîm adalah Yang sungguh sempurna dalam ilmu-Nya, dan al-Hakîm adalah Yang sungguh sempurnah hukum-Nya.

Dikatakan pula, sesungguhnya makna al-Hakîm adalah al-Hâkim (Yang Bijaksana), sebagaimana al-‘Alîm bermakna al-‘Âlim, dan al-Khabîr bermakna al-Khâbir.