Kamis, Desember 06, 2012

Hukum Asal Air adalah Suci

Hukum Asal Air adalah Suci

2/2 – وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ». أَخْرَجَهُ الثَّلاَثَةُ, وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ.

Kosa Kata

عَنْ
رَضِيَ
أَبِيْ (أَبُوْ)
صَحَّحَ
وَ
Dari

(Dia telah) meridoi
Bapaknya …
Mensahihkan
Dan
طَهُوْر
المَاء
رَسُوْل
قال
هُِ/ـهُِ
Sangat suci

Air
Utusan
(Dia telah) berkata
-nya
الثَّلاَثَةُ
أَخْرَجَ
شَيْء
يُنَجِّس
لا
(yang) tiga
Merilis/mengeluarkan
Sesuatu
Menajiskan
Tidak

Penjelasan Sanad

01.  Abû Sa’îd adalah Sa’d ibn Mâlik ibn Sinân al-Khudrî al-Anshârî al-Khazrajî. Mengikuti 12 peperangan bersama Nabi. Perang perdana yang diikutinya adalah perang Khandaq pada tahun 5 H. Sebelumnya ia masih kecil. Ia banyak memiliki hafalan ilmu dari Nabi, serta termasuk ulama dan pemuka kalangan Anshâr. Wafat pada tahun 73 H dan dimakamkan di pemakaman Baqî’. (Minhatul ‘Allâm, hlm. 29)
02.  Beliau adalah seorang Sahabat Nabi. Sa’îd ibn al-Musayyab menyatakan bahwa Sahabat Nabi adalah orang yang bersahabat dengan beliau selama satu atau dua tahun atau pernah berperang bersama beliau sebanyak satu atau dua kali peperangan. (asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz` al-Awwal, hlm. 324)
03.  Hadis ini di-takhrîj (dirilis) oleh ats-Tsalâtsah (Tiga). Maksudnya adalah Abû Dâwud, at-Tirmidzî, dan an-Nasâ`î. [Istilah yang dipakai oleh Ibnu Hajar dalam kitab kitab Bulûghul Marâm adalah sebagai berikut: as-Sab’ah (Tujuh) adalah Ahmad, al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, Ibnu Mâjah, at-Tirmidzî, dan an-Nasâ`î). As-Sittah (Enam) adalah mereka (yang tersebut) kecuali Ahmad. Al-Khamsah adalah mereka (yang tersebut) kecuali al-Bukhârî dan Muslim—terkadang dikatakan al-Arba’ah wa Ahmad (Empat dan Ahmad). Al-Arba’ah (Empat) adalah mereka (yang tersebut) selain tiga Imam yang pertama. Ats-Tsalâtsah adalah mereka (yang tersebut) selain tiga yang pertama dan satu yang terakhir. Muttafaq ‘alaihi (Disepakati) adalah al-Bukhârî dan Muslim; kadang-kadang rawi lain tidak disebut jika sudah disebut keduanya. Adapun rawi selain itu akan ditegaskan nama rawinya.] (Lihat Bulûgh al-Marâm, hlm. 9-10; Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 28). Hadis ini juga di-takhrîj oleh Imam Ahmad.
04.  Salah satu jalur sanad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَقَالَ أَبُو أُسَامَةَ مَرَّةً عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَالنَّتْنُ وَلُحُومُ الْكِلَابِ قَالَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

05.  Abû Usâmah adalah Hammâd ibn Usâmah. Al-Walîd ibn Katsîr adalah al-Makhzûmî (dari suku Makhzûm). Sedangkan Muhammad ibn Ka’b adalah al-Qurazhî (dari suku Quraizhah). ‘Ubaidullâh ibn ‘Abdirrahmân ibn Râfi’ dinyatakan majhûl (tidak dikenal) oleh Ibnu Mandah. Di dalam kitab Taqrîb at-Tahdzîb, al-Hâfizh Ibnu Hajar menyatakan: Mastûr, sedangkan rijâl yang lain tsiqât, tergolong rijâl-nya syaikhain. Ibnu Hibbân menyebutkan biografinya (‘Ubaidullâh) di dalam kitab ats-Tsiqât, sebagai berikut:
[ 3904 ] عبيد الله بن عبد الله بن رافع بن خديج يروى عن أبيه روى عنه سليط بن أبي أيوب مات سنة إحدى عشرة ومائة وهو بن خمس وثمانين سنة وكنيته أبو الفضل
06.  Al-Mizzî menukil dari Imam Ahmad, bahwa beliau mensahihkannya. Ibnu Hajar menambahkan bahwa hadis ini disahihkan pula oleh Yahyâ ibn Sa’îd dan Abû Muhammad ibn Hazm. At-Tirmidzî mengatakan: Abû Usâmah membawakan hadis ini dengan (sanad) paling baik. Tidak seorang pun yang meriwayatkan hadis tentang sumur Budhâ’ah dari Abû Sa’îd yang lebih baik dari Abû Usâmah. Padahal hadis ini diriwayatkan tidak hanya dari satu jalur dari Abû Sa’îd. Menurut at-Tirmidzî, hadis ini sahih; derajatnya tidak jatuh karena pencacatan seorang periwayatnya. (Minhatul ‘Allâm, hlm. 30)

Penjelasan Matan
07.  Huruf ال dalam kalimat الماء طهور berfaidah lil istighrâq ‘alâ al-azhhar (mencakup sebagian besar). (Minhatul ‘Allâm, hlm. 31). Dengan demikian, maknanya adalah setiap air adalah sangat suci. Istilah thahûr dalam dalam istilah ahli fikih dimaknai sebagai thâhir muthahhir (suci lagi menyucikan—bisa digunakan untuk bersuci).
08.  Kata شيء dalam frasa لا ينجسه شيء adalah isim nakirah (kata benda indefinitive). Isim nakirah dalam bentuk kalimat negatif (nafî) bermakna umum, sehingga bermakna segala sesuatu. Frasa لا ينجسه شيء dengan demikian bermakna: Tidak dinajiskan oleh segala sesuatu. Zhâhir-nya, hadis ini bermakna bahwa air itu tidak menjadi najis dengan bercampurnya sesuatu apapun ke dalamnya, baik sesuatu itu sedikit ataupun banyak, juga meskipun sifat-sifatnya berubah. (Minhatul ‘Allâm, hlm. 31)
09.  Akan tetapi, keumuman makna tersebut di-takhshîsh. Imam an-Nawawî mengatakan: Ketahuilah bahwa hadis sumur Budhâ’ah itu umum yang menerima takhshîsh. Di-takhshîsh darinya, air yang berubah karena najis, maka ia najis berdasarkan Ijmâ’. Di-takhshîsh pula darinya, air (yang banyaknya) di bawah dua qullah jika bercampur dengan najis. Maka yang dimaksud (dengan Air dalam hadis ini) adalah air yang banyak yang sifatnya tidak berubah karena najis tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun. Demikianlah sifat sumur Budhâ’ah. Wallâhu A’lam. (Minhatul ‘Allâm, hlm. 31). Kiai Hassan Bandung menyatakan: Hadits ke 2 (yaitu hadis ini, pen.) muthlaq atau tidak terbatas, ya’ni, air pembersih yang di dalam satu bijana, umpamnya, tidak bisa najis walaupun dicampur dengan sebanyak-banyaknya kencing atau tahi, umpamanya. Yang demikian ini tidak bisa jadi, bahkan perlu ada pembatasnya. (Tarjamah Bulughul Maram, hlm. 30)
10.  Hadis ini termasuk jawâmi’ul kalim[], karena menunjukkan bahwa seluruh air, seperti air laut, air sungai, air sumur, air hujan, adalah suci dan tidak dapat dinajisi oleh sesuatu pun. Ini adalah hukum asal air, yaitu suci, sampai diketahui najisnya. (Minhatul ‘Allâm, hlm. 31). [Dalam sebuah hadis yang antara lain dinyatakan oleh Imam al-Bukhârî, Nabi bersabda bahwa beliau diutus dengan jawâmi’ul kalim. Maksudnya bahwa terdapat makna yang kaya di dalam sabda beliau yang sedikit. (Fathul Bârî, (6/165)—al-Maktabah asy-Syâmilah)]
11.  Ayat-ayat yang relevan dengan tema air antara lain surat al-Furqân: 38 dan al-Mu`minûn: 18.

Daftar Pustaka
‘Abdullâh ibn Shâlih al-Fauzân. Minhatul ‘Allâm fî Syarh Bulûgh al-Marâm. Juz 1. Dâr Ibn al-Jauzî, Damâm, 1427.
A. Hassan. Tarjamah Bulughul Maram. Penerbit Diponegoro Bandung, 2011.
Abû Hâtim Muhammad Ibnu Hibbân Ibn Ahmad at-Tamîmî al-Bustî. Ats-Tsiqât.
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî. Fathul Bârî [al-Maktabah asy-Syâmilah]. http://www.al-islam.com
__________________. Bulûghul Marâm min Adillah al-Ahkâm. Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Jakarta.
Taqyuddîn an-Nabhânî. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz` al-Awwal. Dârul Ummah, Beirut – Lubnân, 2003.