Minggu, Juni 30, 2013

Untuk Saudaraku yang Telah Pergi



Lelaki itu sesenggukan sampai beberapa langkah dari kuburan yang baru saja ditaburi bunga beberapa menit yang lalu.

"Diloske wae mas, ben lego," kata sesosok gempal pendek yang agak hitam itu. Beliau adalah salah satu petugas penguburan. Semoga Allah menyayanginya.

Aku menepuk-nepuk pundak lelaki tadi, sekedar memberi hiburan. Ia melangkah menjejeri wanita berbusana serba putih.

"Putrane panjenengan, bu. Putra ingkang soleh." Ia memberi persaksian. Dari lisan sang ibu, mengalir doa-doa kebaikan untuk putranya yang dipersaksikan itu.

Di luar komplek pemakaman, depan masjid tempat KKN-ku dulu semasa kuliah, aku menyalami para syabab, sebelum mereka menaiki mobil. Pulang kembali ke Serang. Sebelumnya, di makam tadi, kami sempat berkenalan.

"Beliau itu 'Abdurrahman bin 'Auf. Keikhlasannya luar biasa." Ujar seorang pria sebelum memasuki mobil berplat A itu, diselingi sedu-sedan sesaat, lalu mengusap air matanya. Kami bersalaman, berpelukan, lalu berpisah. Semoga Allah mengampuni kami semua.

Menilai kepribadian seseorang adalah dengan melihat unsur kepribadian itu sendiri, yaitu 'aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola jiwa). Dua unsur ini tidak melihat titel seseorang. Seorang sarjana hukum, yang mengenyam pendidikan hukum sekuler, tidak serta-merta menjadi berkepribadian sekuler, selama tidak menganut pola pikir sekuler yang ia dapatkan.

Sosok yang kini terbaring di pusara tadi, adalah seorang sarjana hukum. Malam sebelum pemakaman, seusai pengajian di masjid dekat rumah duka, kami menyempatkan diri mengunjungi keluarganya. Jenazah belum tiba dari Serang. Di sana kami berbincang dengan ibu dan adik iparnya.

"Dia aktif di masyarakat. Kegiatan-kegiatan RT rajin dia ikuti. Pak RTne remen." sang ibu menuturkan.

"Jika ada yang memberi pekerjaan di Jogja, saya tidak akan pergi merantau." ujar sang ibu lagi, menirukan putranya. Ia mengenang, "Ditawari kerja di Pengadilan, dia tidak mau. Takutnya nanti membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, katanya."

Tampak, jiwa tulusnya tertempa sejak lama. Mungkin karena jiwa tulusnya itulah, dakwah dengan mudah menyentuhnya. Gambaran pemikiran dan jiwa sekuler, tidak terlihat dalam dirinya. Terbukti, sampai akhir hayatnya, ia tercatat sebagai salah seorang penggerak di sebuah harakah yang bercita-cita melanjutkan kehidupan Islam.

Inilah catatanku untuk seorang lelaki yang belum pernah kukenal sebelumnya, belum pernah melihat wajahnya, namun kebaikannya membekas pada orang-orang dekatanya yang sempat aku temui. Selamat jalan, saudaraku. Semoga Allah mempersilakan jannah-Nya ditempati oleh engkau dan orang-orang yang mencintaimu.

Allâhummaghfi lahû wa-rhamhu wa'âfihi wa-'fu 'anhu. Allâhumma lâ tahrimnâ ajrahû walâ taftinna ba'dahu wa-ghfir lanâ walahû.

Condrowangsan, 30 Juni 2013

Selasa, Juni 25, 2013

Tidak Ada Paksaan dalam Agama



Syaikh Muhammad Asy-Syuwaikî ghafarallâhu lahu di dalam kitab Barâ`atul Millah al-Islâmiyyah min Iqtirâ`ât wa Adhâlîl al-Firqah al-Ahmâdiyyah al-Qadiyâniyyah (h. 244-246) menulis:

Adapun perkataan mereka untuk mengelabui manusia dengan menyatakan bahwa Islam tidak memperbolehkan menyulut peperangan untuk menyebarkan Islam. Mereka berdalih dengan sikap Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam pada periode Makkah, serta dengan Firman Allah Ta’âlâ pada surat al-Baqarah ayat 256:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan apapun dalam agama.

Maka jawabannya dari banyak segi.

Pertama, talbis ini tidak mengubah apapun bagi kaum Muslimin, karena sesungguhnya sikap Nabi shallallallâhu ‘alaihi wasallam pada periode Makkah dengan bersabar atas gangguan orang-orang kafir Makkah terhadap beliau dan tidak memerangi mereka adalah sebelum hijrah dan mendirikan Daulah, serta sebelum diwajibkannya jihad ofensif, jihad defensif, serta jihad wiqâ`î. Adapun setelah hijrah, tidak ada argumentasi yang mendukung bagi seorang pun untuk meninggalkan jihad dengan maknanya yang syar’i, kecuali apabila ia tergolong orang-orang yang memiliki uzur syar’i, sebagaimana ditunjukkan oleh nas-nas Quran dan hadis-hadis, belum lama ini.

Kedua, adapun ayat tersebut, ia tidaklah turun dalam tema perang dan jihad, melainkan dalam perkara khusus yang dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum Islam.  Ibnu Ishâq dan Ibnu Jarîr telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs –radhiyallâhu ‘anhu– tentang Firman Allah (لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ), ia berkata: (Turun berkenaan dengan seorang lelaki Anshâr dari Banî Sulaim ibn ‘Auf yang dipanggil dengan nama al-Hushain. Ia memiliki dua anak lelaki yang beragama Nasrani, sedangkan ia sendiri telah masuk Islam. Lalu ia bertanya kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam: Tidak bolehkah aku memaka keduanya? Sesungguhnya mereka mengabaikanku kecuali tetap memeluk agama Nasrani. Kemudian Allah menurunkan ayat itu dalam persoalan ini). Abû Dâwud, an-Nasâ`î, Ibnu Jarîr, dan yang lain meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata:

كَانَتْ الْمَرْأَةُ تَكُونُ مِقْلَاتًا فَتَجْعَلُ عَلَى نَفْسِهَا إِنْ عَاشَ لَهَا وَلَدٌ أَنْ تُهَوِّدَهُ فَلَمَّا أُجْلِيَتْ بَنُو النَّضِيرِ كَانَ فِيهِمْ مِنْ أَبْنَاءِ الْأَنْصَارِ فَقَالُوا لَا نَدَعُ أَبْنَاءَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنْ الْغَيِّ }

Pernah ada seorang perempuan yang anaknya yang dilahirkannya selalu meninggal, sehingga ia berjanji apabila ada salah seorang anak yang dilahirkannya hidup, ia akan meyahudikannya. Ketika Bani Nadhîr diusir, di antara mereka ada anak-anak kaum Anshâr, sehingga mereka: Kami tidak akan membiarkan anak-anak kami. Lalu turunlah ayat yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agama.

Apabila dikatakan bahwa ibroh diambil dari keumuman lafaz, bukan dari khususnya sebab, maka jawabannya: Keumuman ayat ini telah dikhususkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam Kitab-Nya yang mulia dalam persoalan memerangi para penyembah berhala, atau mereka masuk Islam. Allah Subhânahu di dalam surat al-Fath ayat 16:

سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ

Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).

Juga dikhususkan oleh Allah, memerangi Ahli Kitab atau mereka menyerahkan jizyah dan berhukum dengan syariat Allah. Itu terdapat di dalam surat at-Taubah, yang termasuk ayat terakhir yang turun dalam persoalan jihad. Allah Yang Mahasuci berfirman di dalam ayat 29:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.

Demikian pula, ayat ini dikhususkan oleh hadis yang telah lalu tentang tawaran kepada orang-orang kafir sebelum memerangi mereka, apakah mereka memilih Islam, membayar jizyah, atau diperangi.

Ayat ini juga dikhususkan oleh hadis al-Mughîrah radhiyallâhu ‘anhu dengan perkataannya kepada gubernurnya Kisra, sebagaimana terekam di dalam Shahîh al-Bukhârî:

فأمرنا نبينا رسول الله –صلى الله عليه وسلم- أن نقاتلكم حتى تعبدوا الله وحده أو تؤدوا الجزية
Nabi kami, Utusan Allah memerintahkan kepada kami untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah semata dan menunaikan jizyah.

Dengan semua itu, keumuman ayat tersebut harus dibawa kepada makna yang khusus untuk menghilangkan pertentangan.

Dengan mengumpulkan semua itu, maka harus dipahami bahwa nas-nas yang ada menunjukkan adanya perbedaan antara memaksa untuk masuk Islam dengan memaksa untuk membayar jizyah serta melaksanakan hukum. Pemaksaan yang pertama telah lewat dengan masuk Islamnya musyrikin jazirah Arab, dan yang kedua, tetap ada. Maka, kita tidak boleh memaksa seorang pun agar menjadi mukmin. Kita hanya boleh memaksa seseorang untuk membayar jizyah, kecuali Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm yang berdasarkan sebuah hadis, beliau meniadakah jizyah di akhir zaman. Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa kata wadh’ di dalam hadis tersebut bermakna menutup.

Miliran, 25 Juni 2013

Jumat, Juni 21, 2013

Siapakah yang Mengajarkan Quran kepada Muhammad?



Siapakah yang Mengajarkan Quran kepada Muhammad?

Orang-orang musyrik Makkah menuduh Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam mendapat pengajaran Quran dari orang lain, sebagaimana terbaca dalam Surat an-Nahl [59]:10. Siapakah orang yang dimaksud? Syaikh Hisyâm al-Badrânî di dalam kitab Tabshirah al-Afhâm, yang merupakan catatan kaki kitab Nizhâmul Islâm, menjelaskan:

النحل / 103. أُختلفَ في اسمِ الشَّخصِ الذي قالوا إنَّما يُعَلِّمُهُ، فقيلَ: هو غلامُ الفَاكِهِ بنِ المغيرةِ واسْمهُ جَبْرٌ، كان نصرانيّاً فأسْلَمَ، قال القرطبيُّ: وذكرَ النقَّاشُ أن مولَى جَبْرٍ كان يضربهُ ويقول لهُ: أنتَ تُعَلِّمُ مُحَمَّداً، فيقولُ: لاَ واللهِ بل هو يُعلِّمنِي ويهديَني. وقيلَ اسْمهُ يعيشُ عبدٌ لبَنِي الحضرمِيِّ كان رسولُ الله r يُلَقِّنُهُ القُرْآنَ. وقيل نصرانيّاً بِمكَّة اسْمهُ بَلْعَامُ، وكان غُلاماً يقرأُ القُرْآنَ. أو رجُلاً كان بِمكَّة يقالُ له أبو مَيْسَرَةَ وهو نصرانِيٌّ يتكلَّم بالروميَّة. وقيل عَدَّاسُ غلامُ عتبةَ بنِ ربيعةَ. وقيل عَابِسُ غلامُ حُويطِبَ بنِ عبدِ العزَّى ويسارُ أبو فُكيهَةَ مولَى ابنِ الحضرميِّ، وكانا قد أسْلَمَا. وهكذَا. وكلُّ هؤلاءِ كان رسولُ الله r يجالِسُهم يعلِّمُهم الإسلامَ، قال النَّحَّاسُ، وهذه الأقوالُ ليست بِمتناقضةٍ - أيْ أنَّ هؤلاءِ بزعمِ العرب أنَّهم يعلمونَ الرسولَ r القُرْآنَ - لأنه يجوزُ أن يكونوا أَوْمَأوُاْ إلى هؤلاءِ جميعاً، وزعمُوا أنَّهم يعلِّمونهُ. وَالْعُجْمَةُ: الإِخْفَاءُ وهي خلافُ الإِبَانَةِ، والأَعْجَمُ مَنْ فِي لِسَانِهِ ضَعْفُ إِبَانَةٍ وهو الذي لا يُفْصِحُ سواءً كان من العربِ أمِ من العَجَمِ. وكذلك الأعْجَمُ أو الأعجميُّ المنسوبُ إلى العَجَمِ وإن كانَ فصيحاً.

Diperselisihkan tentang nama orang yang mereka tuduh bahwa Beliau mendapatkan pengajaran Quran darinya tersebut. Ada yang mengatakan: Ia adalah budaknya al-Fâkih ibn al-Mughîrah yang bernama Jabr. Dia dulunya adalah seorang Nasrani yang kemudian masuk Islam. Al-Qurthubî menyatakan: an-Nuqqâsy menyebutkan bahwa tuannya Jabr sering memukulinya dan mengatakan kepadanya: Kamu mengajari Muhammad. Ia menjawab: Tidak. Demi Allah, Beliaulah yang mengajari dan menunjukiku. Ada pula yang mengatakan: Namanya adalah Ya’îsy, budak Bani al-Hadhramî, yang mana Rasulullah sering mentalqîn Quran kepadanya. Ada lagi yang mengatakan: Dia adalah seorang Nasrani yang tinggal di Makkah, namanya Bal’âm. Dia adalah seorang budak yang rutin membaca Quran. Atau seorang lelaki di Makkah yang dipanggil dengan sebutan Abû Maisarah; dia adalah seorang Nasrani yang berbicara dengan bahasa Romawi. Ada juga mengatakan bahwa dia adalah ‘Addâs, budaknya ‘Utbah ibn Rabî’ah. Juga ada yang menyebut ‘Âbis, budaknya Huwaithib ibn ‘Abdul ‘Uzzâ dan Yasâr Abû Fukaihah, mantan budak Ibnu al-Hadhramî. Keduanya telah masuk Islam. Demikianlah. Mereka semua adalah orang-orang yang bermajelis dengan Rasulullah dan Beliau mengajarkan Islam kepada mereka. An-Nahhâs mengatakan: Pendapat-pendapat ini tidak saling bertentangan –artinya, berdasarkan klaim orang-orang Arab, mereka semua mengajari Quran kepada Rasulullah– karena bisa saja orang-orang Arab itu mengisyaratkan kepada mereka semua yang telah disebutkan tadi, dan mengklaim bahwa mereka telah mengajari Beliau. Adapun yang ‘Ujmah (ke-‘ajam-an) adalah al-ikhfâ` ‘kesamaran’, lawan kata dari al-ibânah ‘kejelasan’. Al-A’jam adalah siapa saja yang bahasanya memiliki kekurangjelasan, yaitu tidak fasih; baik dari kalangan orang Arab maupun orang non-Arab. Demikianlah, al-A’jam atau al-A’jamî juga disematkan kepada orang non-Arab, meskipun fasih.

Dengan kenyataan tersebut, Allah Ta’âlâ membantah mereka di ayat yang sama. Dia Ta’âlâ berfirman:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

Dan sungguh Kami Mengetahui bahwa mereka mengatakan, Quran itu hanyalah ajaran yang diajarkan oleh seorang manusia. Bahasa orang yang dituduhkan kepadanya tersebut adalah A’jam, sedangkan Quran ini adalah bahasa Arab yang nyata. (an-Nahl [16]:103)

Berkaitan dengan ini, Syaikh Taqyuddîn an-Nabhânî di dalam Kitab Nizhâmul Islâm menulis:

Mengenai bukti bahwa Al-Quran itu datang dari Allah, dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dalam menentukan darimana asal Al-Quran, akan kita dapatkan tiga kemungkinan. Pertama, kitab itu adalah karangan orang Arab. Kedua, karangan Muhammad SAW. Ketiga, berasal dari Allah SWT. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari yang tiga ini. Sebab, Al-Quran adalah berciri khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya.

Kemungkinan pertama yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah karangan orang Arab, tidak dapat diterima. Sebab, Al-Quran sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat:

“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang (dapat) menyamainya” (TQS. Hud [11]: 13).

Di dalam ayat lain: “Katakanlah: (‘Kalau benar apa yang kamu katakan), maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya” (TQS. Yunus [10]: 38).

Orang-orang Arab telah berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak berhasil. Hal ini membuktikan bahwa Al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka. Mereka tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, kendati ada tantangan dari Al-Quran dan mereka telah berusaha menjawab tantangan itu.

Kemungkinan kedua yang mengatakan bahwa Al-Quran itu karangan Muhammad SAW, juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebab, Muhammad SAW adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetap ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad —yang juga termasuk salah seorang dari bangsa arab— tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Karena itu, jelas bahwa Al-Quran itu bukan karangannya. Terlebih lagi dengan adanya banyak hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad SAW -yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara yang tawatur- yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Quran, maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad SAW, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadits. Namun, ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain, karena merupakan bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al-Quran dengan gaya bahasa hadits, berarti Al-Quran itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Masing-masing dari keduanya terdapat perbedaan yang tegas dan jelas. Itulah sebabnya tidak seorang pun dari bangsa Arab —orang-orang yang paling tahu gaya dan sastra bahasa arab— pernah menuduh bahwa Al-Quran itu perkataan Muhammad SAW, atau mirip dengan gaya bicaranya.

Satu-satunya tuduhan yang mereka lontarkan adalah bahwa Al-Quran itu disadur Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani yang bernama Jabr. Tuduhan ini telah ditolak keras oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata: ‘Bahwasanya Al-Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non-Arab), sedangkan Al-Quran itu dalam bahasa arab yang jelas” (TQS. An-Nahl [16]: 103). Selesai kutipan.

Demikian, terbukti bahwa Quran bukan karya manusia. Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak mendapatkan pengajaran tentangnya dari manusia. Lalu dari siapa? Quran sendiri menjawabnya:

الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2)

Ar-Rahmân. Dia telah mengajarkan Quran. (TQS. Ar-Rahmân [55]:2)


Potorono, 13 Sya’bân 1434 H/21 Juni 2013

Sabtu, Juni 15, 2013

Pemanfaatan Harta Milik Umum dan Pendapatannya

Sehubungan dengan sedang maraknya perbincangan tentang rancana pemerintah menaikkan harga BBM, berikut saya kutipkan pembahasan terkait dari buku Sistem Keuangan Negara Khilafah, halaman 95 - 99 (penomomoran dalam tulisan ini oleh saya)



Pemanfaatan Harta Milik Umum dan Pendapatannya

01. Karena harta milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh kaum muslimin, dan mereka berserikat di dalamnya, maka berarti setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya. Tidak ada perbedaan apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, orang shalih ataupun orang jahat.

02. Pemanfaatan harta milik umum ini tidak sama. Ada yang sangat mudah dimanfaatkan oleh manusia secara langsung maupun dengan menggunakan alat. Tetapi, ada pula yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung.

03. Jenis pertama, seperti air, padang rumput, api, jalan-jalan umum, laut, sungai, danau, dan terusan/kanal yang besar. Seseorang dapat memanfaatkannya secara langsung, baik air, padang rumput, maupun api bagi dirinya; memanfaatkan sumur, mata air, dan sungai yang mengalir, mengambil airnya dan dialirkan untuk (keperluan) hewan serta ternak-ternaknya. Para penggembala juga dapat menggembalakan hewan dan ternaknya di padang-padang rumput, begitu juga tukang pengumupul kayu boleh mengambil kayu di sana.

04. Seseorang boleh memasang alat (hidran) pengatur air di sungai yang besar untuk keperluan menyirami tanaman dan pohon-pohon miliknya. Karena sungai yang besar, terbuka luas bagi seluruh manusia, sehingga pemasangan alat-alat tertentu di atasnya tidak akan membawa kerusakan bagi seorang pun dari kaum Muslimin. Setiap orang dapat memanfaat...See more

05. Jenis keuda dari harta milik umum, adalah yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung, dan memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, seperti minyak bumi, gas, dan barang tambang. Untuk itu negaralah yang mengambil alih penguasaan eksploitasinya mewakili kaum Muslimin. Kemudian menyimpan pendapatannya di Baitul Mal kaum Muslimin. Khalifah adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya, sesuai dengan ijtihadnya, yang dijamin hukum-hukum syara', dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum Muslimin.

06. Dimungkinkan untuk melakukan pembagian hasil barang tambang dan pendapatan milik umum dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

Pertama, dibelanjakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemilikan umum, yaitu untuk:

1) Seksi pemilikan umum, bangunannya, kantor-kantornya, catatan-catatannya, sistem pengawasannya, dan pegawainya.

2) Para peneliti, para penasihat, para teknisi, dan para pegawainya. Orang-orang yang membaktikan dirinya untuk penyelidikan dan penemuan, eksplorasi minyak bumi, gas, dan barang-barang tambang, serta dana untuk eksploitasinya, untuk produksinya dan proses penyelesaiannya hingga membuatnya layak untuk digunakan, juga untuk orang-orang yang memberikan jasanya menemukan sumber air serta penyalurannya, dan untuk pembangkit listrik serta jaringan kawatnya.

3) Membeli berbagai peralatan dan (membangun) industri, pemboran dan penyulingan minyak bumi dan gas, pemisah dan pembersiha bijih-bijih barang tambang, pemrosesan barang-barang tambang hingga layak digunakan. Juga digunakan untuk pembelian ala-alat industri yang biasa dipakai pada industri-industri harta milik umum, dan proses pemanfaatannya.

4) Untuk alat-alat yang bisa mengeluarkan air, memompanya, dan untuk pipa-pipa salurannya.

5) Pembangkit listrik, stasiun-stasiunnya, tiang-tiang penyangga dan kawat-kawatnya.

6) Untu membeli kereta api dan trem listrik.
Top of Form
Bottom of Form
07. Seluruh pengeluaran ini berhubungan dengan pemilikan umum, termasuk administrasi dan pemanfaatannya. Karena itu, pengeluarannya menggunakan pendapatan dari harta milik umum. Ini serupa dengan memberikan upah kepada para pengelola zakat yang berasal dari harta zakat itu sendiri, sebagaimana firman Allah:

وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا

Dan untuk para amilnya. (TQS. at-Taubah [9]:60)

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan bagian bagi mereka dari zakat tersebut sesuai dengan jasa mereka dalam melaksanakan tugasnya.

08. Kedua, dibagikan kepada individu-individu rakyat, yang memang merupakan pemiliki harta milik umum beserta pendapatannya. Khalifah tidak terikat oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini. Khalifah berhak membagikan harta milik umum seperti air, listrik, minyak bumi, gas, dan segala sesuatu yang diperlukan, kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka, secara gratis. Boleh saja Khalifah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya, atau dengan harga pasar. Ia juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada mereka. Semua tindakah tadi dipilihnya dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

09. Ketiga, anggaran belanja negara pada saat ini sanga berat dan besar, setelah meluasnya tanggung jawab dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi. Kadangkala pendapatan umum yang merupakan hak Baitul Mal seperti fai, jizyah, kharaj, 'usyur, dan khumus tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seperti yang pernah terjadi di masa lalu, yaitu masa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, masa Khulafaurrasyidin, masa Umawiyah, masa Abbasiyah, sampai masa Utsmaniyah, di mana sarana kehidupan semakin berkembang, demikian juga bentuk-bentuk madaniyah mengalami perkembangan yang sangat cepat terutama persenjataan perang dan segala sesuatu yang menyebabkan berkembangnya rasa takut yang berimplikasi pada bertambahnya pengeluaran.

10. Karenanya, negara harus mengupayakan cara lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan wajib Baitul Mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak. Kewajiban tersebut berpindah kepada kaum Muslimin pada saat Baitl Mal kosong. Pembelanjaan wajib itu meliputi anggaran belanja kantor-kantor pemerintah, santunan bagi para penguasa, gaji tentara dan pegawai, memperbanyak persediaan air, membangun jalan, mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, membangun masjid-masjid dan rumah sakit yang sangat dibutuhkan bagi seluruh umat, yang ketiadannya menyebabkan timbulnya kerusakan. Juga pembelanjaan untuk orang-orang fakir, miskin, ibnu sabil, anak-anak yatim, para janda, dan orang-orang jompo. Juga pembelanjaan untuk menunaikan kewajiban jihad, mempersiapkan tentara yang kuat, untuk meningkatkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam jihad, seperti industri berat yang memproduksi senjata-senjata canggih berupa bom atom atau lainnya seperti rudal, pseawat-pesawat tempur, tank-tank, meriam-meriam, kamp-kamp militer, dan lainnya, sebagai pelaksanaan atas Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahui mereka. (TQS. Al-Anfâl [8]:60)

Semua itu memerlukan dana yang sangat besar. Untuk membiayai perkara-perkara tersebut, Khalifah akan menempuh salah satu dari tiga cara berikut ini –tentunya selain dari hasil pembebasan-:

1.      Pinjaman dari negara-negara asing maupun lembaga keuangan internasional
2.      Penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, baik berupa minyak bumi, gas alam, maupun barang-barang tambang lainnya
3.      Menetapkan pajak (dharîbah) kepada umat.