Minggu, September 29, 2013

EMPIRISME VS RASIONALISME

EMPIRISME VS RASIONALISME

by Irfan Habibie Martanegara on Monday, December 26, 2011 at 6:54am

???? ********shared Satrio *******'s status update.
Satrio *******
But super smart theist (read: Aristotle parrot), if it is possible for God to exist uncreated, then surely it is also possible for the universe to exist without it being created?
Like · · Unfollow post · Share · Friday at 20:35 ·
Didu ***** likes this.

Irfan Habibie Martanegara
saya coba jawab ya. universe yang kita lihat saat ini sifatnya impersonal. sedang tuhan didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki personalitas. ciri personalitas tuhan adalah punya kehendak.

dari sains kita bisa ketahui bahwa alam semesta ini sekarang ini dimulai dengan big bang. sebelum big bang alam semesta ini berupa suatu titik singular yang katanya vakum tapi massa yang besar dan volume yang sangat kecil. konsep waktu belum ada saat itu.

pertanyaannya bagaimana bisa sesuatu yang impersonal (tidak punya kehendak) itu meledak (melakukan perubahan) padahal sebelumnya dia tetap seperti itu? perubahan alam semesta menunjukkan adanya personalitas yang merupakan ciri dari tuhan.

gimana?
Friday at 21:07 · Like

Satrio *******
Semua yang berubah di dunia ini punya kehendak... Apakah ini berarti matahari punya kehendak, pantat saya yang kentut punya kehendak, bumi berrevolusi punya kehendak? Seandainya yang penting adalah perubahan dari kondisi diam ke bergerak atau ke diam lagi, apakah seandainya sebuah asteroid menabrak Jupiter, dengan kata lain dari bergerak menjadi diam, maka asteroid itu punya kehendak?

Dan... ummmmmm.... kalau konsep waktu tidak ada ya berarti kata "sebelumnya" tidak ada artinya sama sekali.

Lagipula itu jawaban yang menghindari asal argumennya. Kita tidak membicarakan apakah sesuatu bisa berubah dan bagaimana ia berubah. Kita mempertanyakan: Kalau kita bertanya mengapa segala sesuatu harus ada penyebabnya, kenapa bukan pertanyaan sahih untuk menanyakan apa penyebab adanya Tuhan?

Kalau menggunakan jawaban ngelesnya Aristoteles, karena kita harus stop di satu titik. Oke. Stop di big bang. Kenapa itu tidak valid?
Friday at 22:07 · Like

Irfan Habibie Martanegara
semua yang ada di alam semesta ini ga bisa lepas dari hukum alam. perubahan yang terjadi pada matahari, bumi, pantat itu ga lepas dari hukum alam. asteroid bergerak sesuai dengan hukum alam dan hukum alam pula jupiter bergerak karena tabrakan asteroid.

kalau pakai logika aristoteles pertanyaannya kenapa asteroidnya bergerak, apa penggerak asteroid, kemudia penggerak asteorid itu siapa yang menggerakkan dan seterusnya, hingga berhenti di suatu titik.

oke lah saya coba rapikan ulang argumennya.
premis 1: setiap yang bergerak digerakkan oleh yang lain.
premis 2: konsep ketakterhinggaan adalah konsep yang tidak eksis dalam dunia natural kita.

kalau berhenti pada big bang, melanggar premis 1. kalau tidak ada ujungnya, melanggar premis 2.

kesimpulan: alam semesta ini pertama kali digerakkan oleh sesuatu yang berasal dari luar dunia natural.
Friday at 22:19 · Like

Satrio *******
Wait what ini super konyol 2012. Premis 1 dan 2 hanya melahirkan kesimpulan itu kalau ada premis 3: Ada dunia di luar dunia kita.

Dan bukti ilmiah apa sih yang membuktikan premis 1 & 2? Pengamatan sehari-hari?

Siapa yang menggerakkan "sesuatu dari luar dunia natural"? Kenapa dia tidak tunduk pada prinsip premis 1: Setiap yang bergerak digerakkan oleh yang lain?
Friday at 22:25 · Like

Irfan Habibie Martanegara
sesuatu di luar dunia kita adalah keharusan logis jika premis satu dan dua benar. sesuatu itu harus ada untuk menggerakkan pertama kali alam semesta ini. keberadaannya tidak dibuktikan secara empiris, tapi rasional.

sebelum dibahas lebih lanjut yang lain2nya. kita perlu sepakati dulu premis satu dan dua. bagaimana menurut anda?
Friday at 22:32 · Like

Satrio *******
What is this I don't even... Dunia lain dibuktikan dengan rasional? WHAT? Ini pemikiran scholastic yang sudah "membuktikan" bahwa seluruh benda angkasa mengorbit bumi dengan orbit berbentuk lingkaran... Kita tidak boleh membuktikan adanya sesuatu dengan hanya pemikiran "rasional", sebelum ada bukti empiris ya itu hanya sekedar postulat saja, bukan pasti nyata. Keberadaan fisik yang niscaya itu omong kosong.

Saya tidak tahu. Tidak ada bukti. Premis 1 dan 2 bukan pernyataan yang dibuktikan kebenarannya secara filosofis, tapi secara empiris.

Premis 2 tampaknya tidak benar.

Tidak ada alasan kenapa alam semesta ini tidak dapat sepenuhnya langgeng. Saya masih tidak yakin ide bahwa suatu saaat akan ada Great Contraction itu valid.

Beberapa partikel hampir sama sekali tidak terpengaruh oleh gravitasi dan gaya-gaya lainnya (misalnya neutrino). Neutrino yang ditembakkan dari bumi akan terus dan terus dan terus berjalan. Apakah alam semesta ini ada batasnya? Kita tidak tahu, tapi tidak ada alasan kenapa alam semesta ini harus ada batasnya.
Friday at 22:42 · Like

Irfan Habibie Martanegara
ok. saya bahas premis dua dulu. kalau kita berjalan lurus terus kita mungkin bisa berjalan tiada henti. artinya mungkin akan ada akhir yang tak terhingga. tapi ini adalah ketakterhinggaaan potensial, bukan aktual. sebab saya harus MULAI berjalan. nanti ada great contraction kemudian ada big bang lagi, kemudian kontraksi lagi kemudian meledak lagi dan seterusnya itu mungkin, tapi harus ada big bang pertama agar proses tersebut berjalan.

(ini mungkin yang juga menjelaskan mengapa surga dan neraka, kalo ada, itu secara potensial abadi)
Friday at 22:48 · Like

Satrio *******
No. Ketika dikatakan bahwa saya harus MULAI berjalan untuk membuat sesuatu yang tidak terhingga, ini sudah asumsi.

Contoh: set bilangan ini juga tidak terhingga:

(...,-4,-3,-2,1,0,1,2,3,...)

Set ini tidak punya awal, tidak punya akhir. Nah, sekarang set bilangan tentu saja merupakan sesuatu yang abstrak. Tapi adakah BUKTI bahwa sesuatu yang tidak terhingga harus dimulai di dunia nyata? Atau ini hanya asumsi?
Friday at 23:05 · Like

???? ********
(seru melihat percakapan ini)
Saturday at 07:12 · Like

Irfan Habibie Martanegara
mungkin saya perlu sedikit perjelas tentang tak terhingga potensial. tak terhingga potensial itu tiap kita berhenti untuk mengukur waktu pasti jumlahnya terhingga. mungkin sangat besar saat itu tapi tetap saja terhingga.

dan saya kira yang justru anda yang harus membuktikan jika memang ada sesuatu yang tak terhingga secara aktual, bukan potensial, di dunia natural ini.

tapi baik saya coba buktikan bahwa alam semesta ini harus memiliki awal dengan menggunakan analogi.

misalkan saya adalah seorang tentara yang sedang latihan menembak. saya baru diperkenankan menembak bila tentara di samping saya menembak dan tentara tersebut juga baru diperkenankan menembak setelah tentara di sebelahnya lagi menembak. begitu seterusnya.

pertanyaannya akankah saya pernah kebagian giliran menembak bila di samping saya ada sejumlah tak terhingga tentara? tidak. saya tidak akan dapat giliran menembak. saya baru akan dapat giliran menembak jika sebelum saya ada sejumlah tertentu saja tentara meski jumlahnya sangat banyak.

nah sekarang pertanyaannya, akankah kita bisa berdiskusi sekarang saat ini bila sejarah masa lalu alam semesta itu tak terhingga? tidak. bahkan bumi pun tidak akan pernah dapat giliran untuk terbentuk bila sejarah alam semesta sebelumnya itu tak terhingga.
Saturday at 07:36 · Like

Irfan Habibie Martanegara
????, maaf ya menuhin wallnya.
Saturday at 07:36 · Like

Satrio *******
Analogi aneh. Hanya ada sejumlah tentara di dunia ini, tentu saja ini bukan set yang tak terhingga. Yang menyebabkan analogi ini tampak tidak masuk akal bukan properti sesuatu yang tidak terhingga, melainkan properti jumlah manusia yang masih ada, yang tentu saja terbatas. Jadi analogi ini pun bukan aktual melainkan abstrak.

Kenapa ini bukan set yang tidak valid?

(..., -3,-2,-1,0)

Again, ini asumsi lagi. Cara berpikir tentang set ini begini: kenapa saat ini saya menembak? Karena sebelum saya ada yang menembak dan seterusnya.

Kalau pertanyaannya dibalik, ya ini sama konyolnya dengan mengetes set (1,2,3,...) Dengan "sebelum ~ itu (~ minus 1) ya?". Absurd. ~ bukan bilangan
Saturday at 08:23 · Like

Satrio *******
Sekali lagi, saya menolak untuk mengklaim apakah premis 1 atau 2 benar. Meskipun saya duga keduanya salah, ini pembuktian yang sama sekali tidak ilmiah. Premis 1 dan 2 hanya bisa benar atau salah secara empiris, tidak secara rasional.
Saturday at 09:49 · Like

Irfan Habibie Martanegara
mmm, kalau mau lanjut diskusi kita perlu beralih bicara epistemologi. menurut anda apa rasionalitas itu bisa jadi sumber pengetahuan atau tidak? jika ya, kapan rasionalitas itu bisa dipakai?
Saturday at 14:32 · Like

Satrio *******
Rasionalitas dipakai dalam hal membuktikan suatu pernyataan secara logika formal benar atau tidak. Apakah pernyataan itu berkorespondensi dengan kenyataan itu urusan sains ilmiah, bukan urusan rasio. Kecuali dalam theisme, saya tidak pernah mendengar bahwa sesuatu itu "niscaya" ada. Wtf does that even mean? Bahwa zebra itu "pasti" ada itu tidak ada artinya. Argumen keniscayaan eksistensi ini cuma selundupan saja, karena dalam membicarakan eksistensi logika yang dipakai seharusnya logika ilmiah yang induktif, bukan deduktif. Kesimpulannya adalah "more probable than not" bukan "pasti".

Masalah dari kedua premis ini adalah rasionalitasnya saja sangat aneh. Dari tadi tidak ada deduksi yang membuktikan bahwa premis 1 dan 2 benar. Yang ada hanya analogi yang aneh dan keniscayaan "common sense". Tidak perlu mundur sampai epistemologi segala.
Saturday at 14:47 · Like

Irfan Habibie Martanegara
mmm, saya sekarang ini hanya membaca tulisan anda. saya tidak pernah bertemu dengan anda sebelumnya. tapi saya yakin anda eksis hanya dari tulisan ana. dan saya merasa anda itu "pasti" ada, tidak hanya sekadar "mungkin" ada.

Saturday at 15:58 · Like

Selasa, September 17, 2013

ABDUL MALIK BIN MARWAN MENCAMPAKKAN MUSHAF

ABDUL MALIK BIN MARWAN MENCAMPAKKAN MUSHAF

Blog kiayimassudarto.blogspot.com/2011/04/kebenaran-yang-hilang-ii-sebuah.html menulis:

Abdul Malik pernah diminta untuk memutuskan perkara sambil diajukan kepadanya sebongkah mushaf al-Qur’an. Yang terjadi Abdul Malik justru mencampakannya sambil berkata, ini persentuhanku yang terakhir denganmu.”

Saya belum mengetahui secara persis sumber asli dari nukilan tersebut. Tetapi tampaknya itu terinspirasi dari riwayat yang ada di dalam beberapa kitab, antara lain Târîkh al-Khulafâ`-nya Imam as-Suyûthî. Ketika mengisahkan tentang Abdul Malik bin Marwan, Imam menulis:

وقال ابن أبي عائشة: أفضى الأمر إلى عبد الملك والمصحف في حجره فأطبقه وقال: هذا آخر العهد بك.


Menurut Kamus Bahasa Arab v2.0 yang dibuat oleh Asep Hibban, kata أفضى memiliki makna sebagai berikut:
[luas, lapang; meluaskan, melapangkan; memberitahukan; (menjadi) fakir, miskin. Sedangkan kata أفضى إلى bisa bermakna sampai, mencapai, mendatangkan.]

Sedangkan kata أطبق, juru terjemahnya mbah gugel menerangkan kata ini bermakna antara lain sebagai berikut:

Clenching (mengepalkan)
Apply (menerapkan)
Enforce (melaksanakan)
Effect (efek)
Live (hidup)
Close (menutup)
Clench (mengepalkan)
Practise (berlatih

Adapun العهد memiliki beberapa arti, yang menurut hemat saya paling tepat dalam kontek pernyataan Ibnu Marwan di atas bermakna: masa.

Secara keseluruhan, terjemah riwayat tersebut kira-kira sebagai berikut:

“Ibnu Abî ‘Âisyah berkata: Telah sampai kepada Abdul Malik bin Marwan suatu urusan, sedangkan mushaf berada di pangkuannya. Ia berkata: Ini adalah akhir masa kebersamaanku denganmu.”

Maknanya, kesibukannya sebagai khalifah akan menjauhkannya dari membaca Alquran dengan memangku mushaf. Imam as-Suyuthi tampaknya meletakkan riwayat ini di dalam kitabnya dalam kontek pujian. Berbeda sekali dengan apa  yang dikutip di blog tersebut.

Bagaimana pun, riwayat ini masih dipertanyakan kevalidannya, karena adanya ketidaksezamanan antara Ibnu Marwan dengan para perawi terdekat.

Wallâhu A’lamu.

Miliran, 11 Dzulqa’dah 1434 H/17 September 2013 M 07:06
[Masih menerima masukan dan koreksi]

Senin, September 16, 2013

Berbakti kepada Orang Tua (1)

بسم الله الرحمن الرحيم

Berbakti kepada Orang Tua (1)
(بر الوالدين)

Al-Faqîr yang sangat membutuhkan kasih sayang Allah Ta’âlâ, asy-Syaikh al-Imâm al-‘Allâmah, Jamâluddîn, Abû al-Faraj, ‘Abdurrahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad ibn al-Jauzî—semoga Allah memberi kita manfaat darinya, Âmîn—berkata:

الحمد لله الذي أمر بالبر, ونهى عن العقوق, وصلاته وسلامه على سيدنا محمد الصادق المصدوق, وعلى آله وأتباعه يوم إستيفاء الحقوق.
Segala puji bagi Allah yang memerintahkan untuk melakukan kebaikan dan melarang melakukan kedurhakaan. Shalawat dan salamnya semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Muhammad yang jujur lagi dapat dipercaya, kepada keluarga beliau dan para pengikut beliau hingga hari dipenuhinya segala hak.

أما بعد: فإني رأيت شبيبة من أهل زماننا لا يلتفتون إلى بر الوالدين، ولا يرونه لازماً لزوم الدين، يرفعون أصواتهم على الآباء والأمهات، وكأنهم لا يعتقدون طاعتهم من الواجبات، ويقطعون الأرحام التي أمر الله سبحانه بوصلها في الذكر، ونهى عن قطعها بأبلغ الزجر، وربما قابلوها بالهجر والجهر، وقد أعرضوا عن مواساة الفقراء مما يرزقون، وكأنهم لا يصدقون بثواب ما يتصدقون، قد التفتوا بالكلية عن فعل المعروف، كأنه في الشرع، والعقل ليس بمعروف. وكل هذه الأشياء تحث عليها المعقولات، وتبالغ في ذكر ثوابها وعقابها المنقولات.
Ammâ ba’du. Aku sungguh telah melihat pemuda pada zaman kita tidak lagi menaruh perhatian kepada kedua orang tuanya, serta tidak melihatnya sebagai suatu kewajiban yang diwajibkan oleh Agama. Mereka meninggikan suara mereka kepada bapak dan ibu mereka. Seakan-akan mereka tidak meyakini bahwa menaati mereka adalah bagian dari kewajiban. Mereka memutus silaturahim yang Allah Yang Mahasuci perintahkan di dalam Alquran untuk disambung sekaligus melarang untuk memutuskannya dengan ancaman yang paling menohok. Seringkali mereka menghadapi kerabat dengan pengucilan dan kata-kata keras. Mereka juga menolak untuk menolong kaum fakir dari rejeki yang diberikan kepada mereka. Seakan-akan mereka tidak membenarkan pahala atas apa yang mereka sedekahkan. Sungguh mereka telah berpaling dari melakukan aktivitas yang makruf seluruhnya, seakan-akan semua itu menurut pandangan syariat maupun akal bukanlah hal yang makruf. Padahal semua itu dianjurkan oleh berbagai hasil perenungan akal yang jernih (ma’qûlât) nan dianjurkan oleh pelbagai nukilan wahyu (manqûlât).

فرأيت أن أجمع كتاباً في هذه الفنون من اللوازم، ليتنبه الغافل، ويتذكر الحازم، وقد رتبته فصولاً وأبواباً، والله الموفق لما يكون صواباً.
Maka aku melihat perlunya menyusun sebuah kitab dalam bidang-bidang yang sangat penting ini, untuk memberitahu yang lalai dan mengingatkan kembali orang yang teguh hati. Aku telah menyusunnya menjadi beberapa pasal dan bab. Allah lah yang memberi taufik terhadap terhadap segala yang benar (dalam kitab ini).

ذكر المعقول في بر الوالدين وصلة الرحم
غير خاف على عاقل حق المنعم، ولا منعم بعد الحق تعالى على العبد كالوالدين، فقد تحملت الأم بحمله أثقالاً كثيرة، ولقيت وقت وضعه مزعجات مثيرة، وبالغت في تربيته، وسهرت في مداراته، وأعرضت عن جميع شهواتها، وقدمته على نفسها في كل حال.
Paparan Rasional tentang Berbakti kepada Kedua Orang Tua dan Silaturahim

Hak pihak yang memberi nikmat tidaklah samar bagi orang yang berakal. Setelah Allah, tidak ada yang memberi nikmat kepada seorang hamba seperti apa yang dilakukan oleh dua orang tua. Ibunya telah menanggung beban yang teramat berat dengan mengandungnya.  Ia menemui kegelisahan yang teramat memilukan saat melahirkannya. Ia bersungguh-sungguh dalam mendidik buah hatinya, sering begadang hanya untuk melayani dan melayaninya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan ia mengesampingkan seluruh kesenangannya dan mendahulukan dirinya sendiri dalam segala hal.

وقد ضم الأب إلى التسبب في إيجاده محبته بعد وجوده، وشفقته، وتربيته بالكسب له والإنفاق عليه.
Ayahnya telah menghimpun segala daya untuk menyediakan prasarana untuk menghadirkannya ke dunia, serta mencintainya setelah ia lahir, mengasihinya, dan mendidiknya dengan cara bekerja untuk menghidupi dan menafkahinya.


والعاقل يعرف حق المحسن، ويجتهد في مكافأته، وجهل الإنسان بحقوق المنعم من أخس صفاته، لا سيما إذا أضاف إلى جحد الحق المقابلة بسوء المنقلب.
Seorang yang berakal tahu hak orang yang berbuat baik kepadanya, serta bersungguh-sungguh untuk membalas hutang budinya. Sayangnya manusia lupa atas hak-hak pemberi nikmat karena kerendahan sifat-sifatnya, apalagi bila sampai mengingkari haknya dan justru membalasnya dengan keburukan yang sangat bertolak-belakang dengan hutang budinya.

وليعلم البار بالوالدين أنه مهما بالغ في برهما لم يف بشكرهما.
Hendaklah diketahui, berbuat baik dan bakti kepada dua orang tua, meskipun berkelimpahan dan penuh kesungguhan, tidaklah mencukupi sebagai balas budi kepada keduanya.


عن زرعة بن إبراهيم، أن رجلاً أتى عمر رضي الله عنه، فقال: إن لي أماً بلغ بها الكبر، وأنها لا تقضي حاجتها إلا وظهري مطية لها، وأوضئها، وأصرف وجهي عنها، فهل أديت حقها؟ قال: لا. قال: أليس قد حملتها على ظهري، وحبست نفي عليها؟ قال: (إنها كانت تصنع ذلك بك، وهي تتمنى بقاءك، وأنت تتمنى فراقها).
Dari Zur’ah ibn Ibrâhîm, bahwasanya ada seorang lelaki mendatangi ‘Umar radhiyalllâhu ‘anhu, ia berkata: Aku mempunyai ibu yang sudah lanjut usia. Ia tidak bisa mengerjakan keperluannya sendiri kecuali punggungku menjadi tunggangannya. Aku memandikannya. Aku juga menceriakan wajahku di depannya. Apakah aku telah membalas budinya? ‘Umar menjawab: Tidak. Ia berkata lagi: Bukankah aku sudah menggendongnya dengan punggungku, dan menahan diri untuk tidak menelantarkannya? ‘Umar menjawab: (Sungguh ia pun melakukannya ketika kamu kecil, dan ia berharap engkau tetap hidup, sedangkan kamu berharap untuk berharap untuk berpisah dengannya!).

ورأى عمر - رضي الله عنه - رجلاً يحمل أمه، وقد جعل لها مثل الحوية على ظهره، يطوف بها حول البيت وهو يقول:
أَحمِلُ أُمي وَهِيَ الحَمالَة ... تُرضِعُني الدِرَةَ وَالعَلالَة
فقال عمر: (الآن أكون أدركت أمي، فوليت منها مثل ما وليت أحب إلي من حمر النعم).
‘Umar radhiyallâhu ‘anhu melihat seorang lelaki yang menggendong ibunya. Ia memposisikannya seperti hawiyyah di atas punggungnya, berthawaf dengannya mengelilingi Baitullah, sambil bersenandung:

أَحمِلُ أُمي وَهِيَ الحَمالَة ... تُرضِعُني الدِرَةَ وَالعَلالَة

Aku menggendong ibuku, dan ia pun pernah menggendong diriku ini
Ia menyusuiku berlimpah-limpah dan berulang kali

‘Umar berkata: Seandainya ibuku masih hidup, lalu aku mengurusnya seperti kamu mengurus ibumu, itu lebih aku sukai daripada onta merah.

وقال رجل لعبد الله بن عمر رضي الله عنهما: حملت أمي على رقبتي من خراسان حتى قضيت بها المناسك، أتراني جزيتها؟ قال: (لا، ولا طلقة من طلقاتها).
Seorang lelaki berkata kepada ‘Abdullâh ibn ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ: Aku menggendong ibuku dari Khurasan sampai aku (tiba di Makkah) dan menunaikan manasik haji, apakah engkau berpendapat aku sudah membalas budinya? Ia berkata: Tidak. Engkau juga belum membalas satu atom dari atom-atom budinya.

ويقاس على قرب الوالدين من الولد قرب ذوي الرجل والقرابة. فينبغي ألا يقصر الإنسان في رعاية حقه.
Kedekatan antara dua orang tua dengan anaknya diqiyaskan kepada kaum lelaki dengan hubungan kerabat. Maka sepatutnya manusia tidak bersambalewa dalam mengurus hak orangtuanya.

(Diterjemahkan dari sebuah kitab berjudul Birrul Wâlidain karya al-Imâm Ibnul Jauzî rahimahullâh. Penerjemah: Shofhi Amhar.)


Parean, 11 Syawwâl 1434 H/18 Agustus 2013 H 11:51 WIB

Minggu, September 15, 2013

DAKWAH KEPADA ISLAM DENGAN BENTUK YANG TERBUKA DAN UMUM

JAWABAN PERTANYAAN
tentang
DAKWAH KEPADA ISLAM DENGAN BENTUK YANG TERBUKA DAN UMUM

Soal: Kita mengatakan di dalam kitab at-Takattul  pada akhir halaman 4: “Orang-orang yang beraktivitas di dalam pergerakan-pergerakan Islam menyeru kepada Islam dengan bentuk yang terbuka dan umum…”
Persoalannya di sini:
Apa makna menyeru kepada Islam dengan bentuk yang terbuka dan umum? Dan bagaimana dakwah yang seperti itu beserta contoh-contohnya?
Apa dalil yang menunjukkan tidak bolehnya dakwah yang dilakukan oleh pergerakan-pergerakan untuk Islam dengan bentuk yang terbuka dan umum?

Jawab:
Sesungguhnya dakwah dalam bentuk terbuka maknanya adalah dakwah tersebut tidak terkristalisasi dan memiliki batasan, sehingga bisa mencegah apa yang bukan bagian dari dakwah kepada dakwah, bahkan menjadikan dakwah memiliki berbagai macam pintu yang bisa dimasuki pemikiran-pemikiran yang lain dengan alasan tidak bertentangan dengan dakwah, ada maslahat di dalamnya, dan sebagainya.

Maka siapa saja yang dakwahnya tidak terkristalisasi pemikirannya dan tidak jelas pemahaman-pemahamannya, serta tidak dibatasi tujuannya…, maka ia tidak akan pernah memahami bahwasanya demokrasi adalah sistem kufur. Ia tidak akan memahami bahwa sosialisme bukanlah dari Islam. Ia juga tidak akan mengetahui kejahatan membuat hukum melalui parlemen. Demikian pula ia tidak akan memahami apa yang boleh diambil dari ilmu-ilmu dan industri-industri yang berasal dari asing dan apa yang tidak boleh diambil seperti peradaban dan pemahaman-pemahaman tentang kehidupan, meskipun kadang mereka tetap shalat dan berpuasa. Hal itu karena ia menyeru kepada Islam dalam bentuk yang terbuka. Dan inilah yang menimpa umat di masa-masa akhir Daulah, ketika secara jelas tidak ada pembedaan oleh ulama kaum muslimin saat itu antara apa yang boleh diambil dari Barat berupa ilmu-ilmu, industri-industri, dan penemuan-penemuan ilmiah, dan antara apa yang boleh diambil dari peradaban dan pemahaman-pemahaman tentang kehidupan.

Sungguh telah ada contoh-contoh yang menempuh metode seperti mereka yang membawa pemikiran kompromi antara Islam dan Barat di dalam tsaqafah dan sains, di dalam hadhârah dan madaniyah, dan mereka itulah yang dinamakan dengan ulama kebangkitan, ulama reformis (ishlâh), atau ulama modernis. Dari para ulama seperti merekalah muncul pemahaman Islam yang terbuka, dengan membuka pintu air pemahaman Islam, sehingga dimasuki apa-apa yang bukan bagian darinya, kaidah-kaidah syariat tidak lagi menjadi batasan di dalam pemahaman, dan pencegah keluar dari syariat malah menjadi kunci yang membuka pintu ini. Dan menjadilah Islam di sisi mereka ditafsirkan dengan apa-apa yang tidak dibawa oleh nash-nashnya untuk menyesuaikan dengan masyarakat saat ini dan pemikiran umum. Dengan jalan tersebut, diungkapkanlah kaidah-kaidah kulliyah yang tidak ada sanadnya sama sekali secara syar’i. Sesuai dengan pandangan ini misalnya kaidah (Tidak bisa dipungkiri perubahan hukum-hukum karena perubahan zaman dan tempat) dan kaidah (‘Âdah muhakkamah), serta (Apa yang kaum Muslimin pandang baik, maka di sisi Allah hal itu adalah baik)… dan mereka menafsirkan banyak nash-nash syar’iyah dengan tafsir yang justru dimaksudkan untuk melumpuhkan syariat seperti perkataan bahwa jihad hanya defensif saja, poligami tidak boleh terjadi kecuali dengan sebab-sebab tertentu, dan lain-lain…

Ini tentang dakwah dengan bentuk yang terbuka

Adapun “umum” maka yang dimaksud ialah menyeru kepada Islam secara umum tanpa menjelaskan solusi-solusinya, sehingga mengatakan, misalnya “Islam adalah solusi”, “Islam menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat”, “Islam adalah sistem terbaik”, dan yang semisalnya. Namun ketika Anda menanyainya solusi Islam tentang sistem-sistem kehidupan, ia diam. Dan ketika Anda menanyainya tentang negara Islam yang akan menerapkan berbagai sistem, ia menahan diri. Dan ketika Anda menanyainya bagaimana metode mengubah sistem yang ada sekarang kepada sistem Islam, ia bingung, tal’atsam (gagap) sambil memandang ke sekelilingnya. Ini jika ia tidak menjauh dari Anda mendahului angin untuk mencari selamat.

Adapun apa dalil yang menunjukkan ketidakbolehan dakwah Islam dalam bentuk yang umum dan terbuka, maka sesungguhnya hal dalilnya melimpah di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah Subhânahu:

{إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلَامُ}
‘Agama yang Allah ridhai hanyalah Islam’

}وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ}
‘Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai dîn, tidak akan pernah diterima darinya’

Demikian pula dapat disebutkan ayat-ayat hukum, ekonomi, ayat-ayat yang berkaitan dengan perkawinan, ketiadaan loyalitas kepada orang-orang kafir, merajam pezina, potong tangan bagi pencuri, kemudian dijelaskan bahwasanya sistem Islam berbeda dan tidak bercampur dengan selainnya.

{حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ}
‘Hingga terpisah jelas yang najis dengan yang baik’ (3.179)

{ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ}
‘Kemudian Kami jadikan engkau berada di atas suatu jalan dari urusan agama, maka ikutilah syariat itu dan jangalah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui’ (45.18)

{ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا}
‘Bagi setiap (umat) Kami jadikan syariat dan metodenya sendiri-sendiri’ (5.58)

Dan banyak lagi yang lain di dalam Kitabullâh Subhânah dan Sunnah Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wasallam.

20 Jumâdî al-Ûlâ 1430 H

16/5/2009

Rabu, September 04, 2013

AGNES MONICA 35 RIBU

AGNES MONICA 35 RIBU

Beli roti sobek seharga 35 ribu, oleh kasir ditawari, "Agnes Monica-nya mas. Mumpung masih ada. Cuma 35 ribu." Saya diam. “Gak doyan,” dalam hati. Kaki segera melangkah pergi. Kasir buru-buru mengucapkan salam perpisahan khas swalayan itu.

Di jalan saya terngiang. Bukan tentang Agnes Monica, tapi tentang uang 35 ribu itu. Ingatan saya kembali: Uang berbeda dengan barang.

Seandainya tadi saya beli DVD yang ditawarkan itu, hampir pasti ia akan tidak berguna. Mungkin saya akan membuangnya ke tempat sampah. Selesai. Tidak akan ada masalah apa-apa. Tetapi uang yang Rp 35 ribu tadi, meski saat ini sudah tidak ada di tangan saya, tapi ia akan dan harus terus beredar. Tidak boleh berhenti. Uang bagi ekonomi, seperti darah bagi tubuh: Tersendat isyarat tak sehat, berhenti berarti mati. Maka, Syariat Islam mengharamkan penimbunan emas dan perak (yang merupakan mata uang syar’i), meskipun dizakati. Demikian dawuh Syaikh Taqyuddin an-Nabhani.

Bagaimana dengan menabung? Boleh. Lalu apa bedanya menabung dengan menimbun? Bedanya: Menabung harus punya tujuan. Misal: Punya uang sepuluh juta, kemudian ditabung untuk menikah tahun depan. Ini namanya menabung. Boleh. Atau untuk keperluan lain: Berhaji, umrah, menikah lagi, dan sebagainya. Itu juga boleh, karena tujuannya jelas. Sedangkan menimbun, adalah menyimpan tanpa tujuan. Misal: Dapat hadiah 1.000 gr emas. Bingung mau diapakan. Akhirnya diputuskan untuk disimpan. Tujuannya apa? Ya tidak ada. Pokoknya disimpan saja. Ini tidak boleh, alias haram.

Lalu harus bagaimana? Investasikan! Belikan tanah, rumah, atau jadikan modal usaha. Boleh juga untuk membiayai saya untuk sebuah keperluan yang menjadi rahasia kita berdua, kalau emasnya ada.

Begitu bukan, mas @#YangMauDimentionSedangMen_deacitve_kanAkunnya

Miliran, 28 Syawwâl 1434 H/4 September 2013 M 08:14


(Dimuat untuk dikoreksi)

Minggu, September 01, 2013

RANTAI MOTORKU YANG PUTUS dan MISS WORLD

RANTAI MOTORKU YANG PUTUS dan MISS WORLD

Kemarin malam motor saya larikan ke arah selatan Jogja. Malam itu adalah jatah saya mengisi kajian malam Sabtu. Seperti isi khutbah siang tadi yang mengkritik agenda maksiat bernama Miss World dan para pembelanya (baik suka maupun tidak dengan acara tersebut), kali ini juga sudah diniatkan untuk membuka kajian dengan membacakan beberapa ayat yang ada kaitannya dengan nahi mungkar. Sayangnya, rantai motor saya putus di tengah jalan, sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Terpaksa saya meminta bantuan mas Beni dan mas Danang. Semoga Allah membalas kebaikan keduanya.

Karena tidak ada jadi mengisi kajian, saya tuliskan di sini saja apa yang ingin disampaikan malam itu. Kira-kira begini ceritanya:

Bagi sebagian orang, aksi berbagai elemen umat Islam menolak Miss World mungkin terlambat atau malah sia-sia. Pertama, karena ditolak ataupun tidak, mereka tidak mau tahu. Tidak berpengaruh. Telinga mereka sudah tuli. Kedua, panitia sudah berjuang selama tiga tahun untuk bisa menyelenggarakannya. Ketika panitia sudah mendapat hak penyelenggaran kontes asusila itu, masa iya mau membatalkan begitu saja karena adanya penolakan. Menolak sekarang itu terlambat. Seharusnya sejak dulu menolaknya. Ketiga, Miss World tidak melanggar hukum positif yang manapun. Jadi, jangan memaksakan kehendak. Negara ini bukan negara Islam, tapi negara demokrasi. Sah-sah saja orang menggunakan haknya untuk berekspresi.

Maka, saya ingin mengutip buku berjudul Amar Ma’ruf Nahi Mungkar (Perintah Kepada Kebaikan larangan dari Kemungkaran) buah karya Ibnu Taimiyah yang diterjemahkan oleh Akhmad Hasan, diterbitkan Departemen Urusan Keislaman, Wakaf, Da’wah, dan Pengarahan Kerajaan Arab Saudi, cetakan kedua, tahun 1421. Buku tersebut diberi kata pengantar oleh Dr. Muhammad Jamil Ghazy, yang mengulas beberapa ayat Alquran. Antara lain beliau menulis sebagai berikut:

Ayat Ketujuh:

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (163) وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (164) فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (165) فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ (166)
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikian Kami mencoba mereka karena berlaku fasik.

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkat: ‘Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat keras?’ Mereka menjawab: ‘Agar kami punya alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhan kalian dan supaya mereka bertakwa.’

Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka: ‘Jadilah kera yang hina!’.” (QS al-A’râf [7]:163-166)

Golongan yang Tiga

Ayat di atas menunjukkan, penduduk negeri itu terbagi tiga golonganL satu golongan berbuat mungkar, dan berbua durhaka dengan berburu di laut hari Sabtu; satu golongan melarang perbuatan yang dilakukan oleh golongan pertama dan menjauhi mereka; dan golongan ketiga berdiam diri, tidak melakukan perbuatan itu dan tidak melarangnya, tapi ia berkata kepada golongan (kedua) yang menentang: “Mengapa kalian mencegah mereka, padahal kalian sudah tahu mereka dicap sebagai orang-orang celaka, bahwa tersebab kesombongan mereka terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya – akan mendapat siksa dari Allah, karena cegahan kalian terhadap mereka itu tidak ada gunanya.”

Golongan kedua (yang menentang) menjawab: “Kami melakukan itu sebagai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kami karena perjanjian amar ma’ruf nahi mungkar yang telah dibuat-Nya dengan kami.” Kemudian Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menetapkan keselamatan bagi orang-orang yang melarang, dan kecelakaan bagi orang-orang zhalim.

Ibnu Katsir berkata: “Dan Allah tidak berbicara tentang orang-orang yang diam; karena balasan itu tergantung jenis amal perbuatan. Maka mereka tidak patut mendapat pujian, dan mereka tidak bebuat dosa besar sehingga perlu dicaci.”

Nasib Golongan yang Diam

Ar-Razi berkata: “Dan ketahuilah, sesungguhnya lafaz ayat ini menunjukkan, golongan yang melanggar aturan itu celaka, dan golongan yang mencegah dari yang mungkar selamat. Adapun orang-orang yang mengatakan: لم تعظون (mengapa kalian menasihati ...), para ulama tafsir berbeda pendapat, termasuk golongan manakah mereka itu?”

Ada riwayat dari Ibnu Abbas, tentang mereka, tidak dapat diberi keterangan yang jelas (tawaqquf), (karena kita harus bergantung pada keterangan asy-Syari’).

Dari Ibnu Abbas juga diterima riwayat:

“Celakalah dua golongan, dan selamatlah golongan yang melarang. Ibnu Abbas apabila membaca ayat itu, beliau menangis, dan berkata: ‘Sesungguhnya mereka yang tidak mencegah dari mungkar ini, celaka. Dan kami melihat beberapa hal yang kami mengingkarinya, kemudian kami dian dan tidak berkomentar apa-apa.’”

Al-Hasan berkata: Golongan yang diam, selamat. Maka dua golongan selamat, dan satu golongan lainnya celaka.

Para ulama yang berpendapat bahwa mereka selamat berhujjah bahwa perkataa mereka (لم تعظون قوما الله مهلكم أو معذبهم عذابا) ‘mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasa mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat keras’ menunjukkan mereka sangat menentang, dan tidak ikut memberi nasihat karena yakin, nasihatnya tidak akan digubris dan berbekas. Jika ada pertanyaan: Tidak memberi nasihat adalah maksiat, dan mencegah memberi nasihat juga maksiat. Maka mereka yang berbuat demikian tentu termasuk dalam firman Allah yang bermaksud: “... dan Kami timpakan kepada mereka orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan merkea selalu berbuat fasik.” Kami menjawab: Itu tidak mesti. Karena mencegah dari yang mungkar hanya kewajiban kifayah, yaitu jika sebagian telah ada yang melakukan, maka lepaslah kewajiban itu dari yang lain.[1]

Alasan Kepada Tuhanmu

Firman Allah:
قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
(mereka menjawab: “Agar Kami mempunyai alasan kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa.”) menunjukkan kewajiban mencegah dari yang mungkar tidak gugur meski diketahui cegahan itu tidak akan berhasil. Karena adanya penerimaan dan kepatuhan bukan termasuk syarat. Maka kalau hanya menjalankan suatu rukun dari rukun-rukun agama agama, dan cemburu kalau hukum-hukum Allah dan larangan-larangan-Nya dilanggar, tentu cukup sebagai hasilnya!

(Tulisan ini semoga masih Bersambung...)

Miliran, 25 Syawwâl 1434 H/1 September 2013 M 06:53




[1] Komentar: Kewajiban kifayah tidak gugur selama tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari kewajiban tersebut belum tercapai. Wallâhu A’lamu.