Kamis, Maret 21, 2013

Wajibkah Padi Dizakati?


Zakat Tetumbuhan

(اخبرنا) علي بن احمد بن عبدان انبأ أبو القاسم سليمان بن احمد اللخمي ثنا علي بن عبد العزيز ثنا أبو حذيفة ثنا سفيان عن طلحة بن يحيى عن ابي بردة عن ابي موسى ومعاذ بن جبل ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثهما إلى اليمن فامرهما ان يعلما الناس امر دينهم وقال لا تأخذا الصدقة الا من هذه الاصناف الاربعة الشعير والحنطة والزبيب والتمر (السنن الكبرى للبيهقي, الجزء 4)

‘Alî ibn Muhammad ibn ‘Abdân menceritakan kepada kami, Abû al-Qâsim Sulaymân ibn Ahmad al-Lakhamî memberitakan kepada kami, ‘Alî ibn ‘Abdul ‘Azîz menceritakan kepada kami, Abû Hudzaifah menceritakan kepada kami, Sufyân menceritakan kepada kami, dari Thalhah ibn Yahyâ, dari Abû Burdah, dari Abû Mûsâ dan Mu’âdz ibn Jabal, bahwa Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus keduanya ke Yaman, lalu memerintahkan keduanya untuk mengajari masyarakat tentang perkara agama mereka dan bersabda: Janganlah kalian berdua mengambil shadaqah kecuali dari empat macam: sya’îr (gandum), hinthah (jewawut), zabîb (kismis), dan tamr (kurma). (Imam al-Bayhaqî, as-Sunan al-Kubrâ, Juz 4).

Riwâyah

01. Takhrîj.

Hadis ini telah dirilis oleh ad-Dâruquthnî, al-Hâkim, dan al-Bayhaqî dari jalur Sufyân, dari Thalhah ibn Yahyâ, dari Abû Burdah, dari Abû Mûsâ dan Mu’âdz ibn Jabal radhiyallâhu ‘anhumâ.

02. Status

Al-Hâkim berkata: Isnâdnya shahîh. Adz-Dzahabî mendiamkan hal itu. Al-Bayhaqî berkata: Para perawinya shahîh, dan ia muttashil.

Dirâyah

01. Hadis di atas adalah dalil bahwa sya’îr (gandum), hinthah (jewawut), zabîb (kismis), dan tamr (kurma) wajib diambil zakatnya. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

02. Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban zakat untuk tetumbuhan selain empat tersebut. Mereka terbagi ke dalam tiga pendapat. Pertama, tidak dipungut zakatnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, al-Hasan al-Bashrî, al-Hasan ibn Shâlih, Sufyân ats-Tsaurî, asy-Sya’bî, dan Ibnu Sîrîn. Imam Ahmad menurut satu riwayat juga berpendapat demikian. Pendapat ini dipegang pula oleh Abû ‘Ubaid, ash-Shun’ânî, asy-Syawkânî, dan al-Albâni, serta ‘Abdul Qadîm Zallûm. Kedua, dipungut zakatnya. Ini adalah pendapat jumhûr dari kalangan Syâfi’iyyah, Mâlikiyyah, Hânâbilah, meskipun mereka berbeda pendapat tentang ‘illah-nya. Ketiga, diambil zakatnya dari setiap tetumbuhan yang ditumbuhkan oleh bumi yang ditanam oleh manusia. Ini adalah pendapat Abû Hanîfah, Dâwud azh-Zhahirî, dan Ibnu Hazm.

03. Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, berdasarkan beberapa argumentasi berikut.

04. Pertama, hadis ini menggunakan lâ nahiyyah (yang bermakna melarang; diterjemahkan dengan: jangan) yang diikuti dengan huruf illâ (diterjemahkan: kecuali, selain, melainkan). Ungkapan semacam itu bermakna pembatasan, yaitu yang diperintahkan untuk dipungut zakatnya adalah empat tanaman dan buah-buahan yang disebutkan saja, yaitu jewawut, gandum, kismis, dan kurma. Di dalam hadis yang lain, pembatasannya menggunakan kata innamâ, yang juga merupakan adâtul hashri (huruf yang digunakan untuk membatasi).

05. Kedua, lafal-lafal yang digunakan dalam hadis di atas adalah ism jâmid (tidak derivatif), sehingga tidak dapat diambil qiyâs-nya. Jadi, lafal-lafal jewawut, gandum, kurma, dan kismis tidak mencakup yang lain kecuali tumbuhan-tumbuhan yang ditunjuk oleh kata-kata tersebut semata.

Penjelasan Tambahan

01. Qiyâs adalah salah satu dalil syariat di antara dalil-dalil lain, yaitu Alquran, Assunnah, Ijmak Sahabat.

02. Di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdhah pada hal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih di dalam Al-Quran atau Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan Ijtihad dan Istinbath dari pada Nash-nash yang ada, melalui persamaan ‘illat; sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama-‘ulama Salaf dan Khalaf.

03. Qiyâs yang dimaksud di sini adalah qiyâs yang memenuhi kriteria syariat, yaitu memenuhi empat rukun qiyâs: al-Ashlu (dalil pokok yang akan diqiyâskan kepadanya), al-Far’u (cabang kasus yang akan diqiyâskan), al-Hukmusy asy-Syar’iyyu al-Khâshsh bil Ashl (Hukum syariat mengenai dalil pokok), serta al-‘Illah (alasan atas hukum yang mencakup dalil pokok maupun cabang kasus).

Pustaka

01. Minhatul ‘Allâm fî Syarhi Bulûghil Marâm, ‘Abdullâh ibn Shâlih al-Fawzân, Juz 4. Dâru Ibnil Jawzî, 1428 H.

02. Subulussalâm al-Mûshilah ilâ Bulûghil Marâm. Muhammad ibn Ismâ’îl al-Amîr ash-Shun’ânî, Juz 4. Dâru Ibnil Jawzî. Jeddah-Riyâdh, 1421 H.

03.   Taysîrul Wushûl ilâ al-Ushûl; Dirâsât fî Ushûlil Fiqhi. ‘Athâ` ibn Khalîl. Dârul Ummah. Beirut, 1421 H/2000 M.

04.   Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, ‘Abdul Qadîm Zallûm. Dârul ‘Ilmi al-Malâyîn. 1425 H/2004 M.

05. Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 1387 H/1967 M.