Jumat, November 08, 2013

Tanggapan Atas Gagasan Aris Arif Mundayat; Komentar Sebuah Wawancara

Komentar Atas Gagasan Aris Arif Mundayat; Komentar Atas Wawancara

Oleh: Shofhi Amhar

Pengantar

Pengaruh pemikiran Barat sudah sedemikian menyebar dan meracuni sebagian putra-putri kaum muslimin. Ketika membaca Majalah Suara Muhammadiyah, penulis menemukan salah satu tulisan yang merupakan hasil wawancara Deni al Asy’ari dengan Dr. Aris Arif Mundiyat yang merupakan Ketua Program Studi HAM dan Demokrasi UGM serta Kepala Pusat Studi Asia Tenggara UGM. Transkrip wawancara tersebut diberi judul: Indonesia Perlu Terapkan Islam Yang Terbuka dan Non Rezimented.
Penulis membaca, lontaran-lontaran yang dikemukakan oleh Dr. Aris tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh Islam. Karena pada dasarnya sesuatu yang salah itu harus diluruskan, maka saya mencoba menulis komentar ini, agar dapat diambil manfaat oleh para pembacanya. Berikut adalah pernyataan-pernyataan Dr. Aris Arif Mundayat, menyusul kemudian komentar saya pada setiap jawabannya untuk satu pertanyaan.

Universalisme dan Partikularisme Islam
Deni: Islam merupakan agama yang bersifat universal yang berlaku bagi setiap zaman dan waktu, bagaimana anda mamaknai konsep ini dalam konteks keberagamaan dan kebangsaan?


Aris: Konsep universalisme Islam sesungguhnya terkandung dalam nilai-nilai yang substantif pada ajaran Islam, dalam muatan ajaran tersebut, secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, baik itu agama Budha, Hindu, Kristen maupun agama lainnya. Karena tidak ada ajaran Islam yang mengandung ajaran yang buruk. Oleh karenanya semua nilai kebaikan tersebut merupakan nilai-nilai yang universal yang juga terkandung dalam paham atau agama lain.  Walaupun ada aspek-aspek yang tidak sesuai dengan Islam dari beberapa ajaran lain, namun secara universal pasti ada antara masing-masing ajaran yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam konteks itulah saya melihat pengertian universalisme Islam itu bisa dimaknai.


Komentar:

Paragraf di atas mengandung kontradiksi. Di satu sisi menyatakan bahwa Islam mengandung nilai-nilai substantif yang secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, namun di sisi lain dinyatakan pula bahwa ada aspek-aspek dari paham atau agama lain yang tidak sesuai dengan Islam.
Kerancuan itu terjadi karena cakupan dan batasan dari beberapa konsep yang dikemukakan tidak jelas atau bahkan kabur sama sekali, karena tidak adanya penjelasan. Apa saja “nilai-nilai substantif” yang dinyatakan bisa diterima oleh ajaran agama mana pun itu? Kita ambil salah satu contoh ajaran Islam: Tauhid. Apakah tauhid, di dalam Islam dan bagi kaum muslimin merupakan salah satu nilai substantif? Jika tauhid tidak dianggap salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, maka bubar agama ini. Bahkan murtadlah orang yang menyatakannya. Lalu apakah tauhid bisa diterima oleh seluruh seluruh agama semisal Budha, Hindu, Kristen, dan Agama lainnya? Jika iya, maka tentu mereka tidak akan berbetah-betah memeluk agamanya, sebab dengan tetap memeluk agamanya berarti mereka sedang enggan memeluk salah satu nilai substantif dari ajaran Islam, bahkan pada bagiannya yang paling fundamental.


Deni: Dalam Kondisi  sekarang ini, sebagian besar umat Islam ada yang mencoba menarik nilai universal Islam ini ke arah partikularistik yang bersifat Arabisme. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi?


Aris: Fenomena seperti ini bisa terjadi karena kondisi dan konteks perkembangan globalisasi. Sebagaimana yang diketahui, bahwa setelah globalisasi fase pertama, yang ditandai dengan ekspansi Cina dan India dalam mempengaruhi Asia Tenggara, Dunia Arab memang pernah berjaya pada fase globalisasi selanjutnya atau pada tahap kedua. Bahwa globalisasi pada tahap kedua ini, globalisasi bersentuhan dengan dunia Arab, kemudian di sana mulai masuk dunia perdagangan Arab di situ, keberadaan dunia Arab dalam hal ini secara tidak langsung telah menggeser ekonomi perdagangan Cina dan India yang telah masuk pada globalisasi tahap pertama di Asia Tenggara. Bahkan dunia Arab melalui perdagangannya mampu mendominasi dan memarginalkan elemen-elemen India dan Cina di wilayah Asia Tenggara.

Pada konteks itulah kemudian masuk Islam di dalamnya. Pada saat Islam masuk serta mendominasi dunia ekonomi di wilayah Asia tengara dan Asia selatan, disitu dominasi dunia Arab begitu kuat dengan menggunakan bendera Islam dalam proses perdagangan. Di sana terjadi proses konversi dari Hindu dan Budha ke Islam. Kemudian pada era gelombang globalisasi era kedua ini pula mereka bersentuhan dengan kolonialisme, dalam konteks ini kita bisa melihat bagaimana Islam memberikan kontribusi terhadap kebangkitan rasa nasionalisme pada wilayah Asia Tenggara ketika berhadapan dengan dengan kolonialisme.

Khusus untuk wilayah Indonesia dan Malaysia, Islam mampu menjadi simbol yang kuat untuk mempersatukan wilayah yang ada di negara ini. Sehingga Indonesia dan Malaysia memiliki semangat yang sama dalam melawan kolonialisme pada saat itu, kalau Indonesia melawan jajahan Belanda, sedangkan Malaysia melawan jajahan Inggris. Untuk wilayah Indonesia sendiri, fenomena kuatnya pengaruh Islam atau Arab ini bisa dilihat di  wilayah Riau, Sumatera Barat, dan Aceh, sedangkan pada wilayah lain seperti di Jawa memang masih cenderung bersifat sinkretis. Selanjutnya dalam hubungan ini, memang sudah ada benih anti barat, tetapi di zaman itu Arabisasi memang tidak terlalu begitu kuat, karena memang Islam pada waktu itu sedang mencoba mengambil hati orang-orang yang ada di wilayah Indonesia, Malaysia dan beberapa daerah di wilayah Asia tenggara.

Akan tetapi harus diakui, bahwa pada saat itu represi terhadap Islam memang sangat kuat, apalagi saat itu ekonomi masih dikuasai oleh Kolonial. Oleh karenannya, pada saat itu terjadi proses dekolonialisasi yang cukup hebat, namun seiring dengan itu, posisi Islam pun semakin menguat sebagai basis kekuatan masyarakat.
Kemudian ketika Islam mulai menguat, maka tahap selanjutnya Islam meletakkan dirinya sebagai simbol oposisional terhadap Barat/kolonial. Tapi Islam di zaman itu masih Islam yang mengakomodir elemen-elemen lokal. Sementara dalam proses globalisasi pada tahap gelombang ketiga, yang ditandai dengan proses menguatnya kolonialisasi yang dilakukan melalui proses media, modal dan sebagainya, Barat sangat berkepentingan di balik semua itu.

Namun, untuk memberikan perlawanan yang massif, Islam sesungguhnya pada saat itu belum memiliki basis ekonomi yang kuat, padahal dia berdasarkan pengalaman masa kolonial dan pasca kolonial, dia sudah menjadi simbol yang berseberangan dan oposisional terhadap barat. Oleh karenanya, untuk memperkuat arus oposisional Islam ini, orang kemudian mencari upaya pemurnian Islam sebagai simbol yang lebih kuat dalam berseberangan dengan Barat. Namun model pemurnian ini cenderung dengan upaya penyerapan tradisi atau paham Arabisme, seperti berpakaian, gaya hidup atau tampilan yang bersifat fisik. Disinilah paham Arabisme itu muncul sebagai penguatan terhadap oposisional Islam.

Komentar:

Ada beberapa hal yang ingin saya catat. Pertama, disadari atau tidak, ada kesan bahwa pak Doktor menempatkan Islam sebagai sesuatu di luar dirinya, atau dengan kata lain, beliau bukan bagian dari Islam. Beberapa kalimatnya mencerminkan seperti itu. Sikap seperti ini bagi seorang muslim cukup disayangkan. Kedua, apa yang disebut sebagai paham Arabisme dalam jawaban di atas tidak cukup jelas, sehingga bisa mengundang beragam interpretasi. Padahal kejelasan ini penting, agar tidak terjadi kerancuan pemahaman bagi sidang pembaca, apalagi ternyata kemudian dikait-kaitkan dengan “pemurnian Islam”, sebuah kata yang juga menjadi image persyarikatan Muhammadiyah. Mengaitkan pemurnian Islam dengan Arabisme, yang dinyatakan sebagai penyerapan tradisi seperti berpakaian, gaya hidup, tampilan fisik, dll, tentu saja mengundang beragam tanya: Siapa aktor “pemurnian Islam” yang beliau maksud? Selanjutnya, apakah pakaian (misal: kewajiban menutup aurat, mengenakan jilbab), gaya hidup (misal: rajin sedekah, shalat sunnah, dll), serta tampilan yang bersifat fisik (misal: memakai peci, sorban, mengenakan wewangian, siwak, dll) merupakan sesuatu yang terlarang di dalam Islam? Jika mau jujur, hal-hal tersebut paling rendah berkualitas mubah alias sah-sah saja, sebagian sunah, dan bahkan sebagian lain wajib. Apakah memahamkan kepada masyarakat bahwa sesuatu yang wajib itu harus dilaksanakan, menganjurkan mereka untuk melakukan hal-hal yang disukai (mandub), mempersilakan untuk memilih di antara perkara-perkara mubah ini yang kemudian disebut sebagai paham Arabisme? Jika iya, maka tak ada yang salah sama sekali dengan paham Arabisme. Hanya saja, makna seperti ini tidak pantas disebut Arabisme. Namun jika yang dimaksud adalah mengambil semua yang berbau Arab tanpa menimbang lagi apakah diajarkan oleh Islam atau tidak, maka siapa pun yang menyatakan adanya fenomena Arabisme perlu mendatangkan bukti. Semua orang harus menentang paham Arabisme dalam maknanya yang kedua.

Hanya saja, untuk meluruskan pemahaman, perlu dikemukakan di sini bahwa Islam tidaklah dapat dipisahkan dari bahasa Arab, sebab bahasa Arab adalah bahasa Alquran, bahasa Assunnah, serta bahasa sebagian besar literatur-literatur ke-Islaman. Pengambilan kesimpulan (istinbâth) dan penggalian (ijtihâd) hukum tidak bisa dilakukan tanpa memahami bahasa Arab. Karenya, Islam tidak boleh dijauhkan dari kharisma bahasa Arab. Menjauhkan kaum muslimin dari bahasa Arab dengan sengaja adalah sebuah kejahatan.

Deni: Namun apakah Arabisme yang muncul saat itu betul-betul merepresentasikan universalisme Islam yang hadir sebagai solusi?

Aris: Jadi ketika Arabisme ini masuk dan diterapkan, maka jangan ia dilihat sebagai Islam, sebab ketika terjadi dominasi Arabisme ini, justru saya melihat Islam kehilangan nilai-nilai rahmatan lil’alaminnya. Karena Arab bukanlah merepresentasikan secara total konsep rahmatan lil ‘alamin tersebut, namun yang rahmatanlil’alamin adalah Islam.

Bahkan dengan adanya paham Arabisme ini, membuat nilai-nilai universal Islam itu semakin berkurang, karena orang tidak bisa lagi memisahkan antara Islam dan Arab itu sendiri. Seolah-olah antara Islam dan Arab menjadi sesuatu yang menyatu, padahal meletakkan paham yang demikian, merupakan sesuatu yang bisa berbahaya, karena ada elemen-elemen lokal yang juga sesuai dengan cara berpikir dan prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajaran Islam. Jadi ketika Arabisme masuk maka tidak ada bedanya dengan dominasi barat melalui media dan kapitalisme. Karena dia memarginalkan elemen-elemen lokal.  Oleh karenanya ketika Arabisme masuk, maka rahmatan lil’alamin Islam akan menjadi hilang. Karena orang melihat antara Arab dan Islam sama, padahal itu sesuatu yang berbeda.

Komentar:

Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, tentang makna universalisme Islam dan konsep rahmatan lil ‘âlamîn. Kedua, gagasan pemisahan antara Islam dan Arab. Ketiga, tentang elemen-elemen lokal.

Pertama, tentang universalisme Islam. Istilah atau konsep tertentu yang disandarkan kepada Islam harus didasarkan kepada dalil-dalil maupun karakteristik dalil-dalil yang diakui oleh Islam. Dengan kata lain, bahwa konsep dimaksud pada asalnya memang bukan berasal dari pandangan hidup selain Islam, melainkan berasal dari Islam itu sendiri. Perlakuan yang sama juga perlu dikenakan pada makna unversalisme Islam. Dalil-dalil yang sesuai dengan makna ‘universal’ menunjukkan bahwa Islam itu agama yang universal dalam arti: 1) ajarannya berlaku sampai akhir zaman, 2) ajarannya berlaku untuk seluruh umat manusia, 3) ajarannya sesuai dengan fitrah manusia seluruhnya. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa seluruh manusia akan dapat menerima Islam sebagai agama mereka. Taruhlah, misalnya, seluruh manusia di muka bumi ini menolak Islam, tak ada satu pun di antara mereka yang memeluk dan mengakuinya, hal itu sama sekali tidak menghilangkan sifat Islam yang universal dalam ketiga maknanya tadi. Sebab penolakan mereka itu bisa terjadi karena bisikan setan, menuruti hawa nafsu, serta kesombongan. Adapun sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka benar bahwa yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam, bukan Arab. Perlu juga ditekankan, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan agama dan ideologi lain di luar Islam semisal Hindu, Budha, Kristen, sekulerisme, kapitalisme, sosialis, dan lain-lain, juga bukan sesuatu yang diklaim sebagai nilai-nilai substantif oleh sebagian orang yang pada kenyataannya justru disanggah oleh dalil. Lagi, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan ‘nilai-nilai substantif’ yang sering justru mereduksi ajaran-ajaran Islam yang bersifat pasti sekalipun.

Kedua, tentang pemisahan Islam dengan Arab. Benar, bahwa Islam bukan Arab. Segala tradisi yang dicela oleh Islam, entah Arab ataukah Jawa, maka ia tercela. Sebaliknya, tradisi yang tidak dicela oleh syariat, maka ia tidak tercela; tidak peduli apakah tradisi itu berasal dari timur ataukah barat. Inilah pandangan Islam mengenai tradisi. Namun perlu diperhatikan bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab, sebagaimana dijelaskan di atas. Ini sekaligus juga menjadi jawaban tentang kekhawatiran tergerusnya elemen-elemen lokal, bahwa selagi elemen-elemen lokal tidak dicela oleh Islam, maka sah-sah saja jika tetap ingin dipelihara.


(Bersambung, in syâ Allâh)

10 Shafar 1431 H

Rabu, November 06, 2013

Penggunaan Kata Ganti ‘Kami’ untuk Orang Pertama Tunggal Menunjukkan Pengagungan

استخدام المتكلم ضمير (نحن) دليل علة تعظيمه
Penggunaan Kata Ganti ‘Kami’ untuk Orang Pertama Tunggal Menunjukkan Pengagungan

السبت 2 رجب 1424 - 30-8-2003 
Sabtu, 2 Rajab 1424 – 30/8/2003

رقم الفتوى: 36693
Nomor Fatw: 36693

Klasifikasi: Seleksi Tafsir Ayat

السؤال
Soal

ما حكمة استعمال الضمير (نحن) في الآيات القرآنية التالية؟ - (نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ). - (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا). - (أَأَنْتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنْ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزِلُونَ). - (أَأَنْتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ). والسلام عليكم.

Apa hikmah penggunaan dhamîr (nahnu) [kata ganti ‘kami’] dalam ayat-ayat berikut ini?

(نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ) [الإنسان, 76:28]

[نحن: kami, خلقنا : kami telah ciptakan, و: dan, شددنا: kuatkan, أسر: anggota badan, هم: mereka]

(إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا) [الإنسان, 76:23]

[إِنَّا : sesungguhnya kami, نحن: kami, نزلنا : kami telah turunkan, عليك : kepadamu, تنزيلا: penurunan]

(أَأَنْتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنْ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزِلُونَ) [الواقعة, 56:69]

[أ : apakah, أنتم : kalian, أنزلتموه : kalian menurunkannya, من : dari, المزن : awan yang berair, أم : ataukah, المنزلون : para penurun (yang melakukan usaha penurunan)]

(أَأَنْتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ) (الواقعة, 56:59)
[تخلقونه : kalian menciptakannya, الخالقون : para pencipta]

Wassalâm.

الإجابــة

Jawaban

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد: فالضمير (نحن) جمع (أنا) من غير لفظه، وهو يستخدم في الأصل لجماعة المتكلمين من الذكور، ولجماعة الإناث أو لهما معاً، فيقول الذكور: نحن مسلمون، وتقول الإناث: نحن مسلمات. فإذا استخدم المتكلم المفرد ضمير الجمع (نحن) كان ذلك دليلاً على تعظيم المتكلم نفسه، واستخدام الضمير (نحن) في الآيات المذكورة في السؤال مع أن المتكلم واحد وهو الله سبحانه للدلالة على تعظيم الله لنفسه، وهو بحق صاحب العظمة والجلال. والله أعلم.

Alhamdu lillâhi washshalâtu wassalâmu ‘alâ Rasûlillâhi wa ‘alâ âlihi washahbihi ammâ ba’du:

Dhamîr (Nahnu) adalah jamak dari (Ana), pada asalnya digunakan untuk orang-pertama-banyak laki-laki maupun perempuan atau keduanya secara bersamaan. Para lelaki bisa mengatakan: Nahnu muslimûn (kami adalah orang-orang muslim). Para perempuan juga bisa mengatakan: Nahnu muslimât. Jika orang pertama satu orang menggunakan kata ganti jamak (Nahnu), hal itu menunjukkan bahwa orang pertama tersebut memuliakan dirinya sendiri. Dan penggunaan Dhamîr (Nahnu) di dalam ayat-ayat yang tersebut di dalam pertanyaan, padahal yang berbicara adalah satu, yaitu Allah yang Mahasuci, itu untuk menunjukkan pengagungan Allah kepada Diri-Nya Sendiri. Dialah yang hakikat-Nya memiliki keagungan dan kebesaran. Wallâhu A’lamu.

Sabtu, November 02, 2013

Khutbah Jumat: Halqah Ideologis dan Pendidikan Keluarga

Siswa SMP yang berzina di depan teman-temannya, direkam kamera, ada juga yang ‘menjual’ sebayanya kepada para lelaki hidung belang. Juga data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan  Perempuan dan Anak (PT2TP2A) Jawa Barat yang menyebutkan sekitar 7000 remaja putri di bawah usia 18 tahun menjadi pelacur, 28% di antaranya masih duduk di bangku SMP dan SMA.

Tampaknya perzinaan menjadi hal yang biasa saja bagi sebagian remaja. Padahal, zina termasuk salah satu dosa besar. Bahkan Allah menyandingkan pelaku zina dengan pelaku syirik. Lelaki pezina tidak akan berzina kecuali dengan perempuan pezina atau wanita musyrik. Demikian pula perempuan pezina tidak akan dizinai oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik. Sedangkan kaum mukminin tidak akan melakukannya. Demikian sebagaimana yang dipahami dari Surat an-Nur ayat 3.

Kondisi semacam itu tentu sangat memprihatinkan. Salah satu sebab maraknya tindakan asusila oleh para remaja adalah kurangnya kesadaran hubungan dengan Allah di dalam diri mereka. Mereka telah dijauhkan dari pemahaman bahwa amal setiap manusia semestinya diikat dengan syariat. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi waâlihi wasallam mengajarkan bahwa amal apa saja yang tidak ada ketetapannya, ia tertolak. Kaidah tentang perbuatan menyebutkan bahwa hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syar’i.

Secara praktis, ketika hendak melakukan suatu perbuatan, seorang muslim mencari tahu tentang hukum perbuatan tersebut, apakah wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Jika wajib, akan dijalankan. Jika haram, akan ditinggalkan. Seorang muslim minimal melakukan dua hal tersebut; menjalankan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Jadi, ketika telah menginjak usia baligh, semestinya seorang muslim sudah mengetahui apa saja yang wajib dan apa saja yang haram. Dalam kaitannya dengan remaja masa kini, bagaimana mungkin mereka memahami hal-hal tersebut, jika di rumahnya mereka tidak diajari, sedangkan di sekolah pun tidak bisa diharapkan.

Maka, alangkah baiknya jika di setiap rumah seorang ada kajian, minimal sepekan sekali, yang bisa difokuskan untuk membahas tafsir, hadis, atau pemikiran Islam, fikih halal-haram, dan sebagainya. Dengan begitu, diharapkan akan tumbuh suasana keilmuan di dalam setiap rumah, yang pada gilirannya akan membentuk pola pikir, pola jiwa, serta sikap yang sesuai standar kepribadian Islam.

Tetapi itu pun rasanya belum cukup. Sebab, pergaulan di tengah-tengah masyarakat yang tidak Islami seperti saat ini bisa merusak apa saja yang telah susah-payah dibangun di dalam rumah. Karenanya, melakukan upaya untuk mengubah masyarakat pun harus dilakukan. Tentu diperlukan ilmu. Dalam rangka itulah, kami telah mengadakan kajian-kajian yang bisa diikut oleh seluruh kaum muslimin. Kami mengajak dan memfasilitasi siapa saja muslim yang peduli dan ingin mengkaji persoalan ini, untuk bergabung dengan halqah-halqah yang kami adakan setiap pekan. Kami mengundang para jamaah sekalian untuk mempelajari Islam lebih dalam dan mendiskusikan persoalan-persoalan keumatan, sehingga dengan itu kita bisa berperan serta dalam menyelamatkan generasi muda  dari bencana dunia dan akhirat yang mengancam mereka.

Dimodifikasi dari khutbah Jumat di Masjid Dalilatul Iman, 27 Dzulhijjah 1434 H/01 Oktober 2013 M


Miliran, 28 Dzulhijjah 1434 H/02 Oktober 2013 M 06:15 WIB