Senin, Oktober 13, 2014

Mencari “tuhan” dalam “Penelitian Ilmiah” Kita

Mencari “tuhan” dalam “Penelitian Ilmiah” Kita

Seorang Begawan menyatakan, “tuhannya (dengan t kecil) peneliti hanya ada dua, yang pertama logika, dan yang kedua data.” Sahaya sepakat dengannya, bahwa sebuah penelitian perlu data dan logika, tetapi belum menemukan kecerdasan dalam istilah ‘tuhan (dengan t kecil)’ yang dipilihnya. Terlebih, penuhanan terhadap logika dan data ternyata demi penelitian ilmiah yang dilakukan bisa terbit di jurnal-jurnal ilmiah standar, maka “tuhan” yang lebih tinggi bagi penelitian ilmiah semacam itu bukan lagi logika dan data, melainkan jurnal-jurnal ilmiah standar.

Kalimat Lâ ilâha illâ Allâh konon oleh Begawan lain diterjemahkan sebagai Tiada tuhan (“t” kecil) kecuali Tuhan (“T” besar). Dengan pernyataan tersebut, “t” kecil justru ditiadakan. Artinya, bagi seorang muslim –peneliti sekalipun— tidak boleh ada tuhan (dengan “t” kecil). Yang boleh ada hanyalah Tuhan (dengan “T” besar). Karenanya, logika dan data –jika dianggap sebagai tuhan (dengan “t” kecil)— juga harus ditiadakan. Tentu sikap semacam itu tidak tepat.

Logika dan data sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, tetapi bukan sebagai T/tuhan (baik dengan “t” kecil maupun “T” besar). Keduanya hanyalah sarana untuk mencapai kesimpulan yang benar atau mendekati kebenaran.

Seputar Penelitian Kurma

Seorang Begawan menertawakan pandangan Begawan lainnya tentang makna “Integrasi dan Interkoneksi”, ketika Begawan lain itu memberikan contoh tentang penelitian kurma yang diinspirasi dari Alquran (Maryam diperintahkan untuk memakan buah kurma saat merasakan perutnya sakit hendak melahirkan ‘Îsâ). Sang Begawan menjamin, jika penelitian tentang kurma yang pernah dilakukan oleh seorang mahasiswa dari Malang, dikirimkan ke jurnal ilmiah manapun yang standar, pasti ditolak.

Di sisi lain, Sang Begawan juga menyatakan bahwa peneliti yang baik adalah pengkhayal yang baik; dia harus mampu mengkhayal dengan baik. Teori dibutuhkan oleh seorang peneliti agar khayalannya tidak dianggap tidak berdasar.

Apakah seorang peneliti boleh mengandalkan khayalannya, tetapi tidak boleh mengambil inspirasi dari Alquran dalam penelitiannya?

Mungkin sahaya salah paham dan akan “dibodohkan” oleh Sang Begawan seperti yang berulang dilakukannya kepada para penanya, lantas mengadu kepada Bapak Kaprodi pula.

Nyuwun ngapunten.


Karangkajen, Senin, 19 Dzulhijjah 1435 H/13 Oktober 2014 M 07:26