Jumat, Juni 12, 2015

Konsep Kenabian Ahmadiyah dan Ahlus Sunnah

Konsep Kenabian Ahmadiyah dan Ahlus Sunnah

Muhammad Shadiq bin Barakatullah dalam buku Penjelasan Ahmadiyah menyatakan di halaman 111:

“Jamaah Ahmadiyah mempunyai keyakinan bahwa pengakuan Ahlis-Sunnah Wal-Jamaah itulah yang betul, karena pengakuan itu dibenarkan oleh ayat-ayat Al-Quran, Hadits-hadits Nabi dan kata-kata Waliyullah, sedang Ahmadiyah bersedia untuk mengemukakannya dimana diperlukan.”

Sebelumnya, Muhammad Shadiq membagi pemahaman kaum muslimin tentang kenabian menjadi tiga. Berikut penjelasannya secara lengkap:

“(1) Golongan Al-Jahamiyah dan orang-orang Mu’tazilah yang setuju dengan golongan itu mengakukan bahwa tidak akan ada sembarang Nabi sesudah Nabi Muhammas S.a.w baik yang membawa syari’at baru maupun yang tidak membawa syariat baru. Karena itu mereka mendustakan semua Hadits yang menerangkan Nabi Isa a.s. akan datang di kemudian waktu.

(2) Golongan al-Manshuriyah, Al-Khithabiyah, Al-Bazi’iyah dan Al-Yazidiyah dan lain-lain yang mengakukan bahwa sembarang Nabi boleh datang sehingga satu golongan “Al-Bahaiyah” namanya percaya kepada kitab “AL-BAYAN” yang memansukhkan Al-Quranul-Majid bahkan mereka percaya kepada satu kitab lagi “AL-AQDAS” namanya, yang memansukhkan Al-Quranul-Majid dan “AL-BAYAN” sekaligus. Akan tetapi mereka tidak berani menyiarkan kitab-kitab itu, kecuali hanya kepada orang-orang yang sudah setuju dengan mereka saja, sebab kedua kitab itu mengandung bermacam-macam perkara yang karut-marut.

(3) Golongan Ahli-Sunna Wal-Jamaah mengakukan bahwa Nabi yang membawa syari’at baru tidak akan diutus lagi. Adapun Nabi pengikut yang diperintah memajukan syari’at Islam itu boleh diutus. Hal ini nanti akan dijelaskan dengan keterangan-keterangan insya Allah.” (halaman 110-111)

Dengan keterangan tersebut, penulis Ahmadiyah berusaha untuk memberitahu pembaca bahwa konsep kenabian yang mereka pahami sama dengan yang dipahami oleh Ahlu Sunnah wal Jamaah. Untuk meyakinkan hal ini, mereka pun membawakan perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bernada “dimungkinkan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad”. Bahkan, untuk menguatkan kesamaan tersebut, penulis Ahmadiyah menyatakan dengan nada menyayangkan:

“Orang-orang Islam di masa sekarang kebanyakan mau mengikuti arti yang digunakan oleh golongan Al-Jahamiyah dan Al-Mu’tazilah, pada hal arti itu bertentangan dengan arti yang telah dijelaskan oleh semua Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah di masa dahulu.”

Kemudian penulis Ahmadiyah ini membawakan sepuluh poin yang berisi perkataan para ulama, yaitu: (1) Hadhrat Mulla Ali al-Qari, (2) Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawiy, (3) Hadhrat As-Sayyid Abdul-Karim Al-Jailani, (4) Hadhrat Ibnu Arabi, (5) Hadhrat Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, (6) Allamah Ibnu Khaldun, (7) Hadhrat Imam Zurqani, (8) Sayyidatuna ‘Aisyah r.a., (9) Hadhrat Mughirah bin Syu’bah, serta (10) Semua Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jamaah yang telah menulis Tafsirul-Quranil-Majid. Di dalam poin kesepuluh tersebut, disebutkan keterangan dari Tafsîr al-Jalâlain, Jâmi’ul Bayân, serta al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.

Mempertimbangkan pernyataan poin (10) yang bombastis karena membawa-bawa nama ‘semua Imam Ahlis-Sunnah’, maka dalam kesempatan ringkas ini akan diketengahkan perkataan-perkataan dari sumber yang mereka kutip, yang cukup untuk membuktikan sejauh mana kebenaran pendakuan mereka, dengan mempertimbangkan kesesuaian pernyataan beliau-beliau itu dengan pernyataan penulis Ahmadiyah pada akhir halaman 116:

“Kalau musuh-musuh Ahmadiyah hendak mengkafirkan kami, karena mengatakan arti Khâtaman-Nabiyyîn tersebut, maka sudah tentu para Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah akan menjadi kafir dan murtad bersama-sama Ahmadiyah. Sebaliknya, kalau para Imam itu benar, maka tidak ada jalan bagi ulama untuk mengkafirkan Ahmadiyah.”

Benarkah logika berpikir yang mereka bangun itu? Perlu diketahui, bahwa Ahmadiyah berpandangan, setelah Nabi Muhammad, masih mungkin ada Nabi, namun tidak membawa syariat. Jumlah Nabi tersebut tidak dibatasi hanya satu orang saja, dan Nabi tersebut sama sekali bukanlah ‘Îsâ ‘alaihissalâm yang diutus kepada Bani Israil. Maka, ada tiga persoalan yang perlu dijawab oleh kaum Ahmadiyah, jika mereka mau jujur.

Jika kaum Ahmadiyah menolak dikafirkan karena mereka merasa bahwa pemahamannya sesuai dengan pandangan para Imam Ahlus Sunnah, maka benarkah para Imam Ahlus Sunnah berpandangan masih mungkin ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam?

Jika kaum Ahmadiyah menuntut perlakuan yang sama terhadap para Imam Ahlus Sunnah karena mereka berpandangan masih bolehnya ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam sebagaimana Ahmadiyah yang dikafirkan karena hal tersebut, maka benarkah para Imam tersebut berpandangan bahwa Nabi yang dikabarkan oleh Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam akan turun di akhir zaman adalah Nabi baru dan bukannya ‘Îsâ ‘alaihissalâm yang merupakan Nabi terakhir bagi Banî Isrâîl?

Dan terakhir, jika kaum Ahmadiyah berkeyakinan bahwa orang yang meyakini adanya manusia yang diangkat sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam wafat tidak bisa dikafirkan, maka benarkah para Imam yang namanya mereka catut itu berkeyakinan sama dengan mereka?

Kita akan dapatkan keterangan-keterangan tentang hal itu sebentar lagi, In syâ`allâh.

Mengenai kutipan dalam tafsir Al-Jalalain, penulis Ahmadiyah menyatakan:

“... tatkala awal menerangkan tafsir Khâtaman-Nabiyyîn, maka mereka telah menjelaskan pula kedatangan Nabi Isa a.s. di akhir zaman dan mereka berkata:

وإذا نزل السيد عيسى يحكم بشريعته
Apabila Isa a.s. akan turun, maka beliau akan mengikuti dan berhukum kepada syariat Nabi Muhammad s.a.w. (Tafsîr al-Jalâlain)

Pernyataan yang dikutip oleh penulis Ahmadiyah di atas adalah bagian akhir dari pernyataan penulis Tafsîr al-Jalâlain. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

{ مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ } فليس أبا زيد أي والده فلا يحرم عليه التزوّج بزوجته زينب { ولكن } كان { رَّسُولَ الله وَخَاتَمَ النبيين } فلا يكون له ابن رجل بعده يكون نبياً . وفي قراءة بفتح التاء كآلة الختم : أي به ختموا { وَكَانَ الله بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيماً } منه بأن لا نبيّ بعده ، وإذا نزل السيد عيسى يحكم بشريعته .

Artinya: {Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah seorang dari para lelaki kalian} maka beliau bukanlah bapaknya Zaid, yaitu bukan ayahnya, sehingga tidak haram bagi beliau untuk menikahi (mantan) isteri Zaid, Zainab {tetapi} beliau adalah {Utusan Allah dan Khâtimun-Nabiyyîn} maka tidak akan memiliki anak; seorang laki-laki yang akan menjadi Nabi setelahnya. Dalam satu qirâ`ah, dengan tâ` dibaca fathah, seperti alat untuk mengakhiri, artinya: dengan beliau para Nabi telah berakhir. {Dan adalah Allah Maha Mengetauhi tentang segala sesuatu} antar lain bahwasanya tidak ada lagi Nabi setelahnya, dan apabila Tuan ‘Îsâ turun, ia akan berhukum dengan syariatnya.

Pernyataan (tidak akan memiliki anak; seorang laki-laki yang akan menjadi Nabi setelahnya) menunjukkan bahwa penulis Tafsîr al-Jalâlain berpandangan bahwa tidak akan ada orang setelah beliau yang akan menjadi Nabi. Adapun pernyataan yang dikutip penulis Ahmadiyah (dan apabila Tuan ‘Îsâ turun, ia akan berhukum dengan syariatnya) tidak dapat menjadi bukti bahwa penulis Tafsîr al-Jalâlain berpandangan bisa ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam.  Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm, meskipun akan datang lagi sebelum hari kiamat, namun beliau bukanlah ‘lelaki setelah beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam’, melainkan ‘lelaki sebelum beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam’ atau lengkapnya ‘lelaki sebelum dan sesudah beliau sekaligus’.

Adapun keterangan berikut yang dinyatakan terdapat dalam kitab Jâmi’ul Bayân karya Ibnu Jarîr ath-Thabarî, maka penulis tidak menemukan keterangan seperti ini dalam kitab tersebut:

وعيسى ينزل بدينه مؤيدا له
Isa a.s. akan turun dengan agama Nabi Muhammad s.a.w dan akan menguatkannya dan akan menolongnya.

Dan kalaupun pernyataan tersebut benar ada –dan memang maknanya benar, hanya saja tidak ditemukan dalam Jâmi’ul Bayân karya Imam ath-Thabari; rupanya yang dimaksud bukan Jâmi’ul Bayân karya beliau, melainkan karya ulama yang lain–, maka tidak serta-merta membenarkan pandangan mereka bahwa penulis kitab tersebut berpandangan akan ada Nabi yang diutus setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam selain ‘Îsâ ‘alaihissalâm. Bahkan, keterangan dari kitab Jâmi’ul Bayân mengenai tafsir Surat al-Ahzâb [33]:40 justru menolak anggapan mereka terhadap Imam ath-Thabarî tentang hal tersebut. Mari kita baca keterangan beliau tentang kemungkinan ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam berikut:

يقول تعالى ذكره: ما كان أيها الناس محمد أبا زيد بن حارثة، ولا أبا أحد من رجالكم (1) الذين لم يلده محمد؛ فيحرم عليه نكاح زوجته بعد فراقه إياها، ولكنه رسول الله وخاتم النبيين، الذي ختم النبوة فطبع عليها، فلا تفتح لأحد بعده إلى قيام الساعة، وكان الله بكل شيء من أعمالكم ومقالكم وغير ذلك ذا علم لا يخفى عليه شيء.

Artinya: Dzat yang Sebutannya Mahatinggi berfirman: Bukanlah, wahai manusia, Muhammad itu seorang bapak dari Zaid bin Hâritsah, bukan juga bapak dari salah seorang di antara para lelaki kalian yang tidak dilahirkan oleh Muhammad; sehingga haram menikahi isterinya setelah ia menceraikan isterinya itu, tetapi ia adalah Rasulullah dan Khâtamun Nabiyyîn, yang mengakhiri kenabian sehingga ia menutup kenabian itu. Maka tidak terbuka bagi seorang pun setelahnya sampai hari kiamat. Dan adalah Allah, atas segala sesuatu dari amal-amal, perkataan kalian, dan lain, memiliki ilmu; tidak samar bagi-Nya sesuatu pun.

Perhatikan pernyataan yang ditebalkan. Amat terang bahwa Imam Abû Ja’far tidak berpandangan bahwa ada kemungkinan akan ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam. Ini satu soal.

Soal lainnya, penulis Ahmadiyah perlu jujur, ‘Îsâ yang diyakini oleh Imam Ibnu Jarîr akan turun itu Nabi ‘Îsâ Isrâilî yang mereka yakini telah meninggal, ataukah orang lain? Jika ternyata yang diyakini oleh Imam Ibnu Jarîr tidak seperti yang mereka yakini, mereka harus berlapang dada dengan kenyataan bahwa mereka tidak bisa disamakan dengan para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Wallâhu A’lamu.

Sedayu, 19 Sya’bân 1436 H/06 Juni 2015 M 12.16 WIB