Kamis, September 03, 2015

Kisah Tsa’labah

Kisah Tsa’labah

1. Salah satu kisah yang terkenal dan tersebar di tengah-tengah kaum muslimin adalah kisah tentang Tsa’labah yang enggan membayar zakat lalu diacuhkan oleh Rasulullah dan tiga khalifah sepeninggal beliau, yaitu Abû Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmân.

2. Ringkasan kisah tersebut adalah sebagai berikut: [Tsa’labah bin Hâthib al-Anshârî datang menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan berkata: Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar memberiku rejeki berupa harta. Rasulullah menjawab: Celaka engkau wahai Tsa’labah. Sedikit harta yang disyukuri itu lebih baik daripada banyak harta yang tidak kamu sanggupi kesyukurannya.

3. Setelah beberapa lama, Tsa’labah menemui beliau lagi dan mengulang kembali permintaannya, lalu Nabi bersabda: Tidakkah di dalam diriku telah adalah teladan yang baik? Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, seandainya aku ingin agar gunung-gunung mengalirkan emas dan perak untukku, niscaya akan mengalir.

4. Beberapa lama kemudian, Tsa’labah datang lagi dan mengulang permintaan yang sama dan berkata: Demi Dzat Yang Mengutusmu, jika Allah telah memberiku rejeki berupa harta, aku akan memberikan hak kepada setiap orang yang memilikinya. Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pun berdoa: Ya Allah, berikanlah Tsa’labah rejeki berupa harta.

5. Tsa’labah lalu menggembala kambing. Kambing itu berkembang biak bagaikan ulat. Saat itu ia masih bisa shalat Zuhur dan Asar bersama Rasulullah, sementara shalat lainnya ia kerjakan di tempat penggembalaannya. Seiring berkembangnya kambing gembalaannya, ia pun kemudian tidak lagi shalat bersama Rasulullah selain pada saat shalat Jumat. Lalu gembalaannya bertambah lebih banyak lagi, sehingga kini ia tidak lagi menghadiri shalat Jumat maupun shalat berjamaah.

6. Melihat hal itu, suatu hari Rasulullah bersabda: Apa yang dilakukan oleh Tsa’labah? Dijawab oleh orang-orang: Ia menggembala kambing yang memenuhi lembah. Rasul pun bersabda: Celakalah Tsa’labah... Celakalah Tsa’labah... Celakalah Tsa’labah...

7. Saat zakat telah diwajibkan, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirim dua orang untuk memungut zakat. Beliau bersabda kepada keduanya: Temuilah Tsa’labah bin Hâthib dan seorang lelaki dari Banî Sulaim. Pungutlah zakat dari keduanya. Maka dua orang ini pun pergi menemui Tsa’labah dan menyuruhnya untuk memungut zakat.

8. Berkatalah Tsa’labah: Ini tidak lain kecuali jizyah... Ini tidak lain kecuali saudaranya jizyah... Lalu meminta keduanya untuk menemuinya lagi saat sedang tidak sibuk. Lalu mereka berdua pergi ke lelaki Banî Sulaim. Ia menyerahkan yang terbaik yang ia punya. Lalu keduanya kembali kepada Tsa’labah. Tsa’labah kembali mengatakan: Ini tidak lain kecuali jizyah... Ini tidak lain kecuali saudaranya jizyah... pergilah sampai aku menentukan sikap.

9. Lalu kedua utusan itu pun kembali kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda sebelum menanyai keduanya: Wahai celakalah Tsa’labah. Sedangkan untuk lelaki dari Banî Sulaim, beliau mendoakan kebaikan. Lalu turunlah ayat 75 Surat at-Taubah:

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (٧٥)
Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.

10. Seorang kerabat Tsa’labah memberitahukan kepadanya bahwa Allah telah menurunkan ayat Alquran tentangnya. Maka Tsa’labah pergi menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan meminta beliau agar menerima zakatnya. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah melarangku menerima zakat darimu. Lalu beliau menaburkan tanah ke kepalanya, dan bersabda: Inilah amalmu yang telah aku perintahkan, tetapi engkau tidak mematuhinya.

11. Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam wafat, dan pengurusan negara digantikan oleh Abû Bakr, Tsa’labah datang menemuinya sambil membawa zakat, tetapi Abû Bakr tidak mau mengambilnya. Demikian pula ketika ‘Umar dan ‘Utsmân menjadi khalifah – semoga Allah meridhai mereka semua.]

12. Kisah ini dirilis oleh Ibnu Jarîr ath-Thabarî di dalam al-Jâmi’ul Bayân, ath-Thabrânî di dalam al-Mu’jam al-Kabîr, serta al-Wâhidî di dalam Asbâbun Nuzûl. Semua riwayat berasal dari jalur Ma’ân ibn Rifâ’ah dari Abû ‘Abdil Malik ‘Alî ibn Yazîd al-Alhânî dari al-Qâsim ibn ‘Abdirrahmân dari Abû Umâmah al-Bâhilî radhiyallâhu ‘anhu.

13. ‘Alî bin Yazîd, salah seorang perawi dalam sanad di atas, disepakati kelemahannya oleh para huffâzh (ittafaqat kalimatul huffâzh ‘alâ dha’fihi).

14. Kisah ini diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ. Sanadnya juga lemah seperti yang tadi. Juga diriwayatkan secara dari al-Hasan al-Bashrî secara mursal (sanadnya terhenti kepada tabiin – generasi setelah sahabat).

15. Para imam yang melemahkan kisah ini, antara lain: Imam Ibnu Hazm, al-Hâfizh al-Bayhaqî,  Imam al-Qurthubî, al-Hâfizh adz-Dzahabî, al-Hâfizh al-‘Iraqî, al-Hâfizh al-Haytsamî, al-Hâfizh Ibnu Hajar, al-‘Allâmah al-Munâwî, serta al-‘Allâmah al-Albânî. Semoga Allah merahmati mereka semua.

16. Kisah ini juga bertentangan dengan Alquran dan Assunnah yang mengajarkan diterimanya tobat orang yang bertobat, betapapun besar dosanya, selagi matahari belum terbit dari barat atau sebelum sekarat. Kisah tersebut sangat bertentangan dengan ajaran ini.

17. Kisah ini juga bertentangan dengan hadis riwayat Ahmad, Abû Dâwud, serta al-Hâkim dari Bahz ibn Hakîm dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mau membayar zakat hewan ternak akan diambil paksa separo hartanya:

18. “Untuk ternak onta, setiap empat puluh ekor, zakatnya satu bintu labûn. Jangan pisahkan satu onta pun dari perhitungannya. Siapa saja yang memberikan zakatnya karena mengharapkan pahala, maka dia mendapat pahalanya. Dan siapa saja yang menolak membayarnya, kami akan mengambilnya dan mengambil separo hartanya, sebagai salah satu hak dan kewajiban Tuhan kita ‘Azza wa Jalla. Keluarga Muhammad tidak punya hak sedikitpun darinya.”

19. Hadis ini dinyatakan sahih sanadnya oleh al-Hâkim dan disetujui oleh adz-Dzahabî. Sedangkan al-Albânî menghasankannya.