Senin, Juli 27, 2015

Masuk Islamnya Abu Bakar

Masuk Islamnya Abû Bakr

Apabila kita membaca kisah masuk Islamnya Abû Bakr, mungkin akan muncul kesan bahwa beliau radhiyallâhu ‘anhu masuk Islam tanpa melakukan perenungan terlebih dulu. Benarkah kesan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan itu, sahaya menyempatkan diri mengais-ngais timbunan ilmu dari beberapa kitab yang relevan dengan ini, sebatas kemampuan dan kesempatan yang sahaya punya. Kesimpulan yang sahaya dapatkan – yang akan dapat dibaca di sela-sela terjemah dari beberapa literatur di bawah – menyodorkan gambaran yang sebaliknya. Berikut sahaya ketengahkan beberapa keterangan yang dapat mengubah persepsi bahwa Khalifah pertama kaum muslimin itu masuk Islam secara asal masuk tanpa berpikir, yang sebagian besar dari tulisan ini hanyalah nukilan dari sumber-sumber yang sahaya sebutkan.

Ibnu ‘Asâkir meriwayatkan dari Ka’b – semoga Allah Ta’âlâ merahmatinya – ia berkata:

“Sebab masuk Islamnya Abû Bakr ash-Shiddîq – semoga Allah Ta’âlâ meridhainya – adalah wahyu dari langit. Beliau adalah seorang pedagang yang berniaga di Syâm. Beliau mengalami sebuah mimpi, lalu menceritakan mimpinya tersebut kepada Rahib Buhairâ.

Rahib Buhairâ    : Dari mana engkau?

Abû Bakr           : Dari Makkah.

Rahib Buhairâ   : Dari suku apa?

Abû Bakr          : Quraisy.

Rahib Buhairâ  : Apa pekerjaanmu?

Abû Bakr         : Pedagang.

Rahib Buhairâ: Mahabenar Allah Ta’âlâ atas mimpimu. Sesungguhnya akan diangkat seorang Nabi dari kaummu. Kamu akan menjadi pembantu pada masa hidupnya dan menjadi khalifahnya setelah ia meninggal.

Lalu Abû Bakr merahasiakannya sampai Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam diutus.

Abû Bakr berkata kepada beliau: Wahai Muhammad, apa bukti dari apa yang engkau dakwakan? Beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab: Mimpi yang engkau alami di Syâm.

Lalu Abû Bakr memeluk beliau, mencium dahinya, dan berkata: Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.

Kisah ini dinukil dari kitab Subulul Hudâ wa ar-Rasyâd.

Apa mimpi yang dialami oleh Abû Bakr? Di dalam kitab ar-Rawdh al-Unf diterangkan sebagai berikut:

Ibnu Ishâq berkata: Kemudian Abû Bakr ibn Abî Quhâfah masuk Islam. Namanya adalah ‘Atîq. Sedangkan nama Abû Quhâfah adalah ‘Utsmân ibn ‘Âmir ibn ‘Amr ibn Ka’b ibn Sa’d ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu`ay ibn Ghâlib ibn Fihr. Ibnu Hisyâm menyatakan: nama Abû Bakr adalah ‘Abdullâh, sedangkan ‘Atîq adalah gelar (laqab) karena kebagusan wajah dan ketampanannya. (Penulis kitab masih memiliki penjelasan lebih panjang seputar nama Abû Bakr pada pasal yang lain, tetapi kami tidak mecantumkannya di sini).

Ibnu Ishâq berkata: Ketika Abû Bakr radhiyallâhu ‘anhu masuk Islam, ia menampakkan keislamannya dan mengajak orang lain untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia sebelumnya adalah orang yang menjalin hubungan erat dengan kaumnya, dicintai, dan lemah lembut. Ia adalah orang yang paling terhormat nasabnya di antara kaum Quraisy dan paling mengerti tentang kaumnya, juga mengerti kebaikan dan keburukan mereka. Ia merupakan pedagang yang memiliki akhlak dan kemakrufan. Para tokoh kaumnya sering datang kepadanya dan berinteraksi dengannya terkait dengan berbagai urusan, disebabkan ilmu yang dimilikinya, perdagangannya, serta persahabatannya. Hal itu dijadikannya sebagai wasilah untuk mendakwahi siapa saja di antara kaumnya yang percaya kepadanya, yang sering berinteraksi dan berteman dengannya, supaya mereka beriman kepada Allah dan memeluk Islam.

Az-Zubair menyebutkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengajaknya masuk Islam. Ia tidak ragu-ragu (menerima ajakan tersebut). Di antara sebab-sebab taufik Allah kepadanya –sebagaimana yang ia sebutkan– adalah sebuah mimpi yang ia alami sebelumnya.

Di dalam mimpi tersebut ia melihat rembulan turun ke Makkah. Kemudian ia melihatnya pecah dan terpencar ke seluruh tempat dan rumah-rumah di Makkah. Lalu sebagian pecahan rembulan tadi masuk ke setiap rumah, kemudian seakan-akan dikumpulkan di pangkuannya.

Mimpi itu diceritakannya kepada sebagian Ahli Kitab yang menafsirkan mimpi tersebut kepadanya. Tafsirnya adalah bahwa nabi yang ditunggu-tunggu, yang telah tiba zamannya, akan kamu ikuti, dan kamu akan menjadi manusia yang paling bahagia karenanya.

Maka ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengajaknya masuk Islam, beliau tidak menunda-nundanya (untuk menerima ajakan itu).

Dalam syair pujian Hassân (ibn Tsâbit) yang di dalamnya dituturkan tentangnya (Abû Bakr) dan telah didengar oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam sedangkan beliau tidak mengingkarinya, terdapat bukti bahwa Abû Bakr adalah lelaki pertama yang masuk Islam. Di dalam syair tersebut terdapat bait-bait berikut:

خَيْرُ الْبَرّيّةِ أَتْقَاهَا ، وَأَفْضَلَهَا ... بَعْدَ النّبِيّ وَأَوْفَاهَا بِمَا حَمَلَا
وَالثّانِي التّالِي الْمَحْمُودُ مَشْهَدُهُ ... وَأَوّلُ النّاسِ قَدَمَا صَدّقَ الرّسُلَا

Selesai keterangan dari ar-Rawdh al-Unf.

Mengenai bait-bait syair tersebut, beberapa kitab hadis menyebutkannya, antara lain terdapat di dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhain karya Imam al-Hâkim.

Keterangan-keterangan di atas cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa Abû Bakr tidak beriman begitu saja, melainkan memiliki alasan yang kuat untuk itu, yang telah dipikirkan dan disiapkannya sebelum datangnya ajakan dari Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam; bahkan mungkin sebelum beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam diutus menjadi Rasul. Kesimpulan ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Abû Bakr radhiyallâhu ‘anhu telah memahami dengan baik kebatilan agama Jahiliyah yang dipeluk oleh masyarakatnya.

Mari kita simak apa yang diterangkan di dalam kitab berjudul ash-Shâhib wal Khalîfah Abû Bakr ash-Shiddîq karya Syaikh Râghib as-Sirjânî, bahwa sebelum masuk Islam, Abû Bakr telah mengetahui kebatilan agama orang-orang musyrik. Syaikh as-Sirjânî mengujarkan:

Kemudian marilah kita berpikir bersama ash-Shiddîq, agama seperti apa kiranya yang akan aku tinggalkan sehingga aku perlu berpindah kepada agama baru ini? Apakah aku akan meninggalkan agamanya orang-orang Quraisy? Seperti apa agama mereka itu? Apa yang mereka agungkan? Kepada tuhan apa mereka bersujud? Apakah ash-Shiddîq akan meninggalkan Islam untuk mengagungkan Lâta, ‘Uzzâ, Manâh, dan Hubal? Mustahil!

Ash-Shiddîq senantiasa memandang rendah batu-batu itu, sebagaimana ia ceritakan. Ia berkata: Saat aku telah mendekati dewasa, Abû Quhâfah menuntun tanganku menuju sebuah kamar yang di dalamnya banyak berhala. Lalu ia berkata kepadaku: Inilah tuhan-tuhanmu yang tinggi nan luhur. Lalu ia pergi meninggalkanku seorang diri.

Ash-Shiddîq lalu berkata: Lalu aku mendekati berhala itu, dan aku katakan: Aku lapar, berilah aku makan. Tetapi berhala itu tidak menjawabku.

Tentu saja ash-Shiddîq bertanya untuk mengolok-oloknya. Ia tidak perlu menunggu jawaban dari berhala-berhala itu. Semua manusia juga tahu hal itu.

Ash-Shiddîq berkata lagi: Aku berkata lagi kepadanya: Aku telanjang, maka berilah aku pakaian. Dia tetap tidak menjawabku. Lalu aku melemparkan batu besar ke mukanya.

Sejak ia mencapai dewasa, keyakinan seperti itu tetap ada di dalam dirinya, bahwa berhala-berhala ini tidak dapat memberi manfaat maupun mudarat. Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu wa ardhâhu mengetahui dengan yakin bahwa berhala-berhala ini bukanlah tuhan-tuhan. Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu wa ardhâhu memiliki kecerdasan yang tinggi. Kebodohan berhala-berhala itu tidak tertutup di dalam benaknya. Karena bagaimana mungkin akal sehat menerima bahwa sebuah berhala dapat mencipta dan membentuk rupa, menunjuki dan mengasihi, serta memberi rejeki dan menolong? Bagaimana mungkin itu masuk akal? Bagaimana bisa masuk di akal, seekor sapi dapat membuat syariat? Bagaimana bisa masuk akal sebatang pohon dapat memutuskan dan mengatur? Berbagai perkara ini tidak mungkin terlintas dalam benak orang yang jenius  lagi benar semacam dia radhiyallâhu ‘anhu?

Sederhananya, ia telah mengetahui bahwa agama Quraisy adalah agama yang munkar, dan bahwa Islam adalah agama yang benar. Sederhananya pula, ia mengetahui bahwa alam ini memiliki pencipta dan bahwa Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul.

Ketika pemikiran ini telah jelas di mata ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu, melihat kebenaran Islam dan kebatilan Jahiliyah, serta mengetahui perbedaan antara keduanya, maka sejak kesempatan pertama, ia memutuskan untuk mengganti kebatilan dengan kebenaran, membuang kemungkaran dan mengokohkan yang makruf. Ia memutuskan untuk melakukannya, apapun risiko dan pengorbanannya. Maka ia memutuskan untuk masuk Islam, meskipun Makkah dan masyarakat Arab, bahkan seluruh dunia, akan memeranginya. Ia memutuskan itu semua, karena ia adalah seorang yang berjiwa positif. Seorang yang positif hatinya akan menolak ketika melihat kemungkaran dan tidak ambil peduli terhadap risikonya. Hatinya tidak akan bisa rehat, anggota badannya tidak dapat tenang, kecuali apabila ia melakukan aktivitas mengubah kemungkaran itu menjadi kemakrufan. Demi Allah, ini adalah sifat teragung yang dimiliki oleh Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu wa ardhâhu – semoga Allah rido kepadanya dan ia pun rido kepada-Nya.

Di dalam kitab yang sama (ash-Shâhib wal Khalîfah Abû Bakr ash-Shiddîq) juga diterangkan dengan sangat baik alasan masuk Islamnya Abû Bakr, yang menunjukkan dengan jelas bahwa beliau masuk Islam, bukannya tanpa berpikir, melainkan beliau telah memikirkannya sebelumnya. Berbagai alasan yang seharusnya beliau pikirkan untuk memutuskan menerima dakwah Nabi justru telah sempurna dimilikinya, sehingga ketika ajakan itu tiba, beliau tidak lagi menunda-nundanya.

Berikut dituturkan oleh Syaikh Râghib as-Sirjânî:

Hal pertama yang menyita perhatian kita kepada ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu adalah kesegeraan beliau masuk Islam.

Sebagaimana diketahui, beliau adalah orang yang pertama masuk Islam. Beliau tidak ragu dan tidak menimbang-nimbang lagi. Beliau tidak mengatakan: Saya memerlukan waktu sehari atau dua hari untuk berpikir. Tetapi beliau benar-benar bersegera. Ini adalah perkara yang sangat menyita perhatian. Padahal keislamannya akan mengubah kesibukannya, mengubah rumah tangganya, atau bahkan mengubah negerinya; juga mengubah akidah yang telah dipeluknya selama 38 tahun. Ya, ash-Shiddîq ketika masuk Islam telah berumur 38 tahun.

Terkadang, sebagian orang berpendirian, adalah suatu kebijaksanaan apabila seseorang merenung dengan amat-sangat tentang suatu perkara, dan tidak terburu-buru. Ia butuh waktu yang lama untuk merenung sebelum mengajukan langkah dalam menjalani kehidupan, lebih-lebih apabila itu adalah langkah yang sangat menentukan.

Pendirian tersebut  terkadang benar pada sebagian kondisi, tetapi pada kondisi lain, ketika kebenaran tampak begitu jelas terang-benderang seterang mentari di siang bolong, saat itu sikap mempertimbangkan adalah kebodohan, sikap berhati-hati merupakan bentuk kemalasan, serta sikap banyak berpikir adalah tercela. Sikap seperti itu terjadi pada kaumnya Nabi Nûh ‘alaihissalâm:

مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ [هود:27]

27. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja." (Hûd [11]:27)

Maknanya, orang-orang yang menyatakan pendapat mereka sejak kesempatan pertama tanpa proses berpikir dan penelitian itulah yang mengikutimu. Maknanya lagi, mereka mencela orang-orang itu karena mereka bersegera beriman kepada Nûh  ‘alaihishshalâtu wassalâm tanpa merenungkannya pelan-pelan dan tanpa berpikir lebih dulu.

Subhânallâh! Mahasuci Allah! Mereka itu seperti orang yang mengatakan kepada yang lain: Apa pendapatmu tentang mentari, apakah ia telah terbit? Ditanya begitu, ia malah menjawab: Biarkan aku, beri aku kesempatan untuk berpikir dan merenung. Sedangkan yang bertanya berkata lagi: Wahai lihatlah, kamu tinggal melihat, apakah mentari telah terbit? Jika belum, berarti belum terbit.

Apa pendapat kalian tentang seorang yang kehausan dan berada di pinggir jurang kebinasaan, lalu melihat mata air tawar yang jernih di padang pasir. Wahai lihatlah, andai dia duduk dan berkata: Aku akan mengambil rentang waktu barang sehari atau dua hari untuk berpikir, apakah aku akan meminumnya atau tidak?

Seandainya dia benar-benar melakukannya, niscaya dia akan mati sebelum meminumnya. Yang terjadi pada banyak orang, juga pada banyak di antara kita,  sering kali kita berpikir dulu untuk melakukan kebaikan, sehingga kita senantiasa berpikir tentang kebaikan itu sehari, dua hari, tiga hari, sebulan, bahkan setahun, kemudian kita mati sebelum melakukan kebaikan ini.

Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu wa ardhâhu adalah orang yang berada di dalam kehausan jahiliyah, lalu melihat mata air Islam. Lalu atas alasan apa ia tidak meminumnya (dengan segera)? Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu wa ardhâhu telah melihat kebenaran dengan bentuk ini secara sempurna, lalu mengapa dia harus ragu dan menunggu? Ragu-ragu bukan merupakan kebijaksanaan dalam perkara-perkara semacam ini. Seorang lelaki yang bijak lagi berakal menawarinya Islam dengan lemah lembut menyegarkan dan jelas dari mulut Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam lalu Allah menyinari hatinya dengan cahaya hidayah, lalu mengapa dia tidak berislam? Dan mengapa tidak mengikuti kebenaran sejak kesempatan pertama?

Imam al-Bukhârî meriwayatkan dari Abû ad-Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: Apakah kalian meninggalkan seorang sahabat untukku? Beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam mengucapkannya dua kali, ketika suatu kali terjadi perselisihan antara ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu dengan salah seorang Sahabat radhiyallâhu ‘anhum ajma’în.

Mengapa ash-Shiddîq memiliki kedudukan tinggi di sisi Rasulullah ini? Perhatikanlah berbagai hal yang membuatnya pantas ini: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku berkata: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang diutus kepada kalian semua. Lalu kalian berkata: Kamu bohong. Sedangkan Abû Bakr mengatakan: Engkau benar.

Jadi, itu adalah sebuah keutamaan. Tidak ragu lagi, ini adalah kesegeraan dalam memeluk Islam yang paling segera. Hari demi hari berjalan, orang-orang yang mendustakan sebelumnya kemudian membenarkan beliau, tetapi Abû Bakr ash-Shiddîq adalah pemenang dalam pahala adu cepat ini.

Orang-orang ada yang membenarkan beliau setelah beberapa hari sejak mendengar ajakan dakwah. Ada yang beriman setelah beberapa bulan. Ada pula yang baru beriman setelah beberapa tahun. Bahkan ada yang harus menunggu sampai Fathu Makkah, kemudian beriman. Lalu semua orang beriman, semua orang membenarkan. Tetapi ash-Shiddîq memenangi perlombaan ini. allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ * أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ * فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ [الواقعة:10 - 12]

Hari-hari yang berlalu tidak akan kembali lagi selama-lamanya sampai hari kiamat. Tidak diragukan bahwa orang-orang yang terlambat masuk Islam beberapa hari, beberapa bulan, beberapa tahun, hati mereka diterkam oleh penyesalan terhadap hari-hari yang terbuang di dalam gelapnya kekafiran. Tetapi penyesalan itu tidak dapat mengembalikan hari-hari mereka. Kita juga sering menyesal atas hari-hari yang tidak kita isi dengan amal-amal kebaikan untuk diri kita sendiri, sedangkan hari demi hari terus berlalu. Dan tidak diragukan bahwa orang yang bersegera dalam melakukan berbagai kebaikan telah mengambil manfaat dari hari-hari yang dihabiskannya di dalam iman itu.

Pada akhirnya, hari-hari berlalu dengan melakukan ini dan itu.

Kita tidak mengatakan perkataan ini demi sejarah. Pada faktanya, di dalam kehidupan kita, alangkah seringnya kita ragu-ragu dalam melakukan berbagai amal kebaikan, menundanya sehari atau dua hari, kemudian kita melakukan kebaikan tersebut setelahnya itu, atau kita tidak melakukannya sama sekali, sehingga hari demi hari berlalu dan perlombaan telah selesai.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

لا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُوْلَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [الحديد:10].

Berbagai amal itu memiliki dua pahala: pahala amal itu sendiri dan pahala bersegera melakukannya. Dan terkadang pahala bersegera itu lebih besar dibandingkan pahala amal itu sendiri; karena hal itu menyerupai sunnah hasanah (tradisi yang baik) yang bisa ditiru oleh orang lain, sehingga orang lain mengikutimu dalam melakukan kebaikan tersebut.

Imam Muslim rahimahullâhu telah meriwayatkan dari Jarîr ibn ‘Abdillâh:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Siapa saja yang melakukan sunnah yang baik di dalam Islam, maka baginya pahala melakukannya itu dan juga pahala orang-orang yang melakukannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa saja yang melakukan sunnah yang buruk di dalam Islam, maka baginya dosa melakukannya dan juga dosa orang-orang yang melakukannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.

Bukit Rivaria, 05 Syawwâl 1436 H/21 Juli 2015 M 09:43 WIB


Ia Berpikir Maka Ia Kafir?

Ia Berpikir Maka Ia Kafir?

Seseorang perlu berpikir untuk sampai kepada keimanan. Ayat-ayat Alquran banyak mendorong manusia untuk berpikir guna mendapatkannya. Tetapi malam itu ada sebuah pertanyaan tentang sebuah fenomena yang rupanya sedang dibicarakan cukup luas di dunia maya.

Seorang aktor yang murtad. Ia mengaku telah memikirkannya selama enam tahun sebelum memutuskan murtad. Pertanyaannya: Jika keimanan harus diperoleh dengan proses berpikir, lalu mengapa sang aktor itu malah murtad setelah berpikir? Lalu berpikir yang seperti apa yang dapat menghasilkan keimanan? Dan bagaimana pula dengan kisah masuk Islamnya Abu Bakar yang seolah tanpa proses berpikir lebih dulu, melainkan langsung percaya saja dan masuk Islam? Mengenai pertanyaan terakhir, in syâ Allâh akan dibahas di dalam artikel lain, dengan judul Masuk Islamnya Abû Bakr. Artikel ini sedikit-banyak akan menjawab dua pertanyaan pertama.

Berpikir adalah mengaitkan fakta dengan informasi yang didapatkan sebelumnya. Prosesnya melibatkan indera dan otak. Akurasi fakta yang sampai ke dalam otak maupun informasi yang ada di dalam otak akan menentukan akurasi hasil pemikiran seseorang. Satu lagi yang tak kalah penting dalam menentukan kualitas pemikiran seseorang adalah mutu pengaitan antara fakta terindera dengan informasi awal tersebut.

Dalam menghukumi fakta kebenaran suatu agama, seseorang yang benaknya meyakini informasi bahwa semua agama sama, atau meyakini bahwa manusia boleh memilih agama apa saja yang diinginkannya, atau meyakini bahwa memeluk-agama-atau-tidak adalah hak asasi manusia (HAM), akan berbeda dengan seseorang yang informasi awal yang dimiliki dan diyakininya adalah bahwa kebenaran suatu agama itu berbeda-beda (ada yang salah, ada yang benar), manusia hanya boleh memilih agama yang telah dipilihkan oleh Sang Pencipta, serta hak dan kewajiban asasi manusia adalah bertindak sesuai dengan bimbingan-Nya. Dan lain-lain.

Seseorang yang mengenyam kekeliruan informasi awal yang kompleks akan lebih susah untuk berpikir benar dibandingkan orang-orang yang memiliki hanya sedikit saja kekeliruan informasi. Tetapi dalam kasus seseorang mau mencari kebenaran, berbagai kekeliruan informasi awal yang dimiliki oleh benaknya, sebanyak apapun, dapat dengan mudah dibersihkan –bi idznillâh— dengan membenahi dasar dari segala pemikirannya, yaitu pemahaman yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan.

Kasus aktor yang murtad dapat kita bahas dalam kerangka ini. Pertama-pertama kita bisa menyelidikinya dengan mengajukan pertanyaan: Perenungan seperti apa yang membuat sang aktor murtad? Dengan pasti kita akan menemukan berbagai kekeliruan informasi yang dia enyam, apabila kita bisa mendapatkan keterangan-keterangan darinya mengenai hal itu.

Namun dalam kondisi tidak terdeskripsikannya makhluk yang ia sebut sebagai ‘perenungan selama enam tahun’ itu, kita dapat membahas hasil pemikirannya, dan menelaah: Apakah itu cermin berpikir yang benar? Jawaban atas pertanyaan itu bisa kita telusuri dengan menetapkan pemahaman yang benar dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, terutama soal asal keberadaan kita. Dari mana kita berasal? Ini adalah pertanyaan kunci yang perlu kita jawab.

Pencermatan terhadap sebagian saja dari alam semesta, manusia, dan kehidupan, akan mengantarkan pada kesimpulan yang jelas dan pasti mengenai hal ini. Kita ambil satu contoh, yaitu tentang kejadian manusia.

Saat mengerjakan tulisan ini, Musa, putra pertama kami, menangis. Saat ini usianya tepat 32 hari. Itu berarti 33 hari yang lalu ia masih berada di dalam kandungan. Usia kandungannya tepat 38 pekan. Artinya, 266 hari sebelumnya ia masih berada di dalam tubuh saya. Sejak kapan ia ada di sana? Saya tidak tahu. Dari sangat banyak teman sejalannya, saya juga tidak bisa menentukan dia yang harus jadi manusia utuh. Sungguh saya tidak bisa memilih siapa di antara mereka harus dilahirkan ke muka bumi. Meski bahan baku Musa yang berasal dari saya itu akhirnya bersemayam di tubuh istri saya, dia pun tidak dapat menentukan bahwa ia pasti akan jadi manusia utuh, berkelamin lelaki, dan memiliki hidung seperti bapaknya. Kami hanya sejak awal memanggilnya Musa, sebagai doa karena keinginan ibunya agar anak pertamanya adalah lelaki. Dan meski benar dia terlahir sebagai lelaki, tetapi tampak hidungnya tak semancung ayahnya. Bukti bahwa kami bukanlah pihak yang mewujudkannya sedemikian rupa.

Lalu bagaimana ia bisa terwujud? Apakah ada yang mewujudkannya, atau tidak ada? Hanya ada dua kemungkinan itu, tidak ada yang lain. Lalu kemungkinan mana yang benar? Apakah benar Musa – juga setiap anak manusia yang lain – tak ada yang menciptakan sebagaimana yang diyakini oleh kaum ateis?

Kenyataan yang tak bisa dibantah oleh siapapun adalah: Manusia tumbuh dari benih yang ditanam oleh seorang lelaki (bapaknya) ke dalam rahim seorang perempuan (ibunya). Benih itu adalah sesuatu yang lebih lemah dibandingkan bapak dan ibunya. Ibu dan bapaknya secara umum memiliki kualitas yang lebih dibandingkan benih itu. Sesuatu yang tidak ada, tidak mungkin mengadakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada, juga tidak mungkin menjalankan proses apapun. Karenanya, bayi yang tumbuh dan berkembang di dalam rahim ibunya pasti ditumbuhkan dan dikembangkan oleh SESUATU YANG ADA, tidak mungkin muncul dari ketiadaan.

Lalu apa atau siapakah SESUATU YANG ADA, yang menumbuh-kembangkan benih menjadi janin di dalam rahim? Jelas ia bukan bapaknya, ibunya, atau dirinya sendiri. Maka pasti SESUATU YANG ADA itu adalah sesuatu yang di luar ketiganya, dan memiliki kualitas yang lebih dibandingkan ketiganya. Jadi siapakah Dia?

Kita bisa meneruskan penalaran seperti di atas untuk sampai kepada kesimpulan yang benar mengenai keimanan. Itulah salah satu contoh bagaimana menalar keberadaan Sang Pencipta. namun pembahasan tentang siapa Dia dalam konteks ini tidak harus dibahas panjang-lebar, karena pada dasarnya agama yang dianut sang aktor setelah murtad juga mengakui adanya Sang Pencipta. Dalam kitab suci mereka (versi Arab atau Indonesia), Sang Pencipta juga disebut Allah, sebagaimana di dalam Islam.

Sebagai suatu ajaran yang sama-sama mengakui adanya Sang Pencipta, tentu kebenaran yang berasal dari-Nya menduduki peran yang penting. Maka perenungan yang harus dilakukan  selanjutnya untuk mendapatkan hakikat kebenaran beralih kepada sejauh mana ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing agama bersumber dari-Nya. Kita bisa menilik kitab suci masing-masing untuk menjawab persoalan ini.

Pertanyaan pentingnya: Benarkah kitab suci agama yang saat ini dianut oleh sang aktor adalah berasal dari Sang Pencipta? Pertanyaan yang sama dapat diajukan untuk kitab suci agama yang ditinggalkannya. Sangat penting untuk membahasnya. Mari kita mulai memberikan sekedar contoh apa yang patut dipikirkan mengenai hal ini.

Pertimbangkan fakta-fakta di bawah ini dengan baik, dan cobalah renungkan.

1. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor menyatakan: kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya. Pernyataan itu dapat ditemukan dengan segera setelah Pembukaan dalam kitab suci. Adakah pernyataan ‘keaslian’ semacam itu ada pada kitab suci agama yang sekarang dianut sang aktor?

2. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor sejak diturunkan sampai saat ini dilafazkan dengan bahasa Arab. Itu menandakan konsistensi sekaligus jaminan keaslian, validitas dan otentisitas kitab ini dari dulu sampai sekarang. Apakah konsistensi seperti ini ditemukan juga di dalam kitab suci agama yang dianut sang aktor saat ini?

3. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor memiliki rantai periwayatan yang jelas. Para penghafal Alquran memiliki sanad yang bersambung kepada Rasulullah, manusia penutur pertamanya. Adakah hal yang sama ada pada kitab suci yang dianutnya sekarang?

4. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor menantang para pengingkarnya untuk membuat satu surat saja yang memiliki kualitas yang setara dengan satu surat di dalamnya. Apakah kitab suci agama sang aktor saat ini memiliki hal yang sama?

Jika sang aktor mengaku telah memikirkan kemurtadannya selama enam tahun, setidaknya empat fakta di atas mestinya ia perhatikan baik-baik, di luar berbagai fakta lain yang dapat dibandingkan mengenai validitas dan otentisistas sumber masing-masing agama. Itulah yang dituntut untuk dilakukan dalam konteks memilih dua agama yang sama-sama mengakui keberadaan Sang Pencipta. Jika penelusuran dan pembandingan terhadap sumber ajaran justru tidak dilakukan, diduga kuat bahwa yang dilakukan oleh sang aktor adalah berkhayal, bukan berpikir. Atau, yang dia lakukan hanyalah membandingkan dan merenungkan: agama mana yang lebih cocok dengan selera nafsunya?

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)

Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Surat al-Jâtsiyah [45]:23)

Mulai ditulis di Sedayu, Bantul, DIY, pada 04 Ramadhân 1436 H


Selesai ditulis di Bukit Rivaria, Sawangan, Depok, Jawa Barat, pada hari Jumat, 01 Syawwâl 1436 H/17 Juli 2015 pukul 16.37 WIB