Minggu, Mei 29, 2016

Ekstrimisme Agama


Ekstrimisme agama. Istilah itu sering didengar. Biasa digunakan untuk menyudutkan dan menolak formalisasi ajaran agama, khususnya Islam. Tapi dari seorang teman di facebook, saya baru tahu artinya - setidaknya versi dia. Menurutnya, yang dimaksud ekstrimisme agama adalah "memaksakan kehadiran agama Islam secara formal dalam lingkup publik yang heterogen."

Kata "memaksa" bisa jadi adalah kata yang tepat dalam perbincangan mengenai negara. Sebab negara sendiri memang merupakan "institusi pemaksa" dalam sebagian atau keseluruhan maknanya; untuk sebagian (mayoritas/minoritas) atau keseluruhan warga negaranya. Dalam menuntut ketaatan, sedikit atau banyak, negara membutuhkan pemaksaan. Maka tak adil jika "formalisasi agama" dianggap "ekstrimisme" tetapi jika "formalisasi sekulerisme" dianggap kewajaran. Sebab, baik "negara sekuler" maupun "negara Islam", keduanya sama-sama memaksa.


Begitu juga tentang heterogenitas. Tidak ada, pada faktanya, negara yang menerapkan aturan publik yang heterogen karena warganya heterogen pula. Yang namanya aturan publik, pasti satu, bersumber dari satu pandangan hidup tertentu. Dan yang namanya pandangan hidup, tidak bisa netral.

Muslim Sekuler

Anda Muslim?

Ya.

Mengapa Anda melakukan korupsi?

Apa hubungannya agama saya dengan korupsi yang saya lakukan?

Bukankah Islam melarang Anda melakukan korupsi?

Korupsi itu urusan muamalah, Bung. Itu wilayah publik. Jangan masukkan agama dalam ranah publik.

Ada ayat di dalam Alquran yang melarang Anda untuk memakan harta dengan jalan yang batil. Bagaimana menurut Anda?

Jangan memahami ayat secara tekstual. Ayat itu bisa diinterpretasi macam-macam. Semua orang bebas menafsirkan Alquran.

Apakah Anda tidak takut adzab Allah di akhirat kelak?

Zaman sekarang sudah tidak relevan lagi berbicara adzab akhirat. Orang-orang sudah sampai bulan, Anda masih bicara akhirat. Pola pikir mistis begini yang membuat orang Islam tidak kunjung maju.

Jadi, Anda menganggap korupsi yang Anda lakukan itu sah-sah saja?

Tentu saja tidak. Hukum di negeri ini menyatakan korupsi adalah tindakan kriminal. Jadi, kalau Anda mau bicara soal korupsi, jangan kaitkan dengan agama. Itu tidak relevan. Anda mestinya bicara soal KUHP.

Lalu, mengapa Anda masih tetap melakukan korupsi?

Begini, bung, biar saya jelaskan. Teman-teman saya banyak yang korupsi. Saya lihat mereka bisa terus melakukannya tanpa tertangkap pihak berwenang. Saya ini, nasib saya saja yang kebetulan baru sial. Saya kurang hati-hati. Coba kalau saya sudah berpengalaman, mungkin nasib saya tidak akan seapes ini. Inilah, bung, salah satu keuntungan menjadi sekuler. Anda hanya cukup merasa takut kalau Anda dipenjara karena melanggar hukum. Anda tidak perlu takut hukuman Tuhan, tak perlu takut dosa. Anda hanya perlu takut jika Anda melanggar hukum, ketahuan, lalu dipenjara. Tapi hal itu bisa diatasi dengan pengalaman yang Anda miliki. Percayalah.

Padepokan Panatagama, 8 Juni 2010