Minggu, Januari 29, 2017

POLITIK MUSA

POLITIK MUSA

Sepulang solat zuhur, aku menghampiri si kecil Yahya di ayunan kecilnya. Bermaksud menimangnya, mulailah kulantunkan ta’awwudz dan al-Fâtihah untuk dilanjutkan dengan Surat al-Baqarah. Rumah yang dibacakan Surat al-Baqarah tidak akan dimasuki setan. Begitu kira-kira keterangan hadis di sebuah buku yang kubaca hari itu.

Belum selesai al-Fâtihah, si sulung Musa yang sejak tadi berlalu-lalang di sekitar kami tetapi akhirnya memutuskan untuk sejenak pergi ke ruang depan, muncul kembali. Jadi, ini yang dilakukannya saat menghilang tadi: mengambilkan mushaf untuk walidnya. Aku menerimanya dengan rasa takjub. Boca satu setengah tahun ini tahu walidnya sedang membacakan ayat Alquran. Ia tahu mushaf mana yang sering dibaca walid. Dan si Inara Musa ini juga tahu di mana walidnya meletakkan mushaf itu.

Jadi, bukan al-Baqarah sekarang yang akan walid bacakan untuk Isawi Yahya, tetapi terusan tilawah sebelumnya. Surat Thâhâ, surat kedua puluh. Mulai ayat ke-55. Rupanya itu bagian tengah kisah tentang Nabiyullâh Mûsâ ‘alaihissalâm lincah dan kuat itu, episode Mûsâ menghadapi Fir’aun. Dan di tengah kisah inilah terbaca olehku sebuah ayat yang menunjukkan bahwa Mûsâ adalah seorang aktivis politik. Bisa dilihat, antara lain dari ketakutan Fir’aun bahwa Mûsâ bersama kakaknya Hârûn, akan mengambil-alih kekuasaan mereka di negeri Mesir apabila ‘sihir’ Mûsâ berhasil mengalahkan para tukang sihir yang digalang kerajaan.

Simak ayat 62 sampai 64 berikut ini:

“62. Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).

63. mereka berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama.

64. Maka himpunkanlah segala daya (sihir) kamu sekalian, kemudian datanglah dengan berbaris. dan Sesungguhnya beruntunglah oran yang menang pada hari ini.
 

Perhatikan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Nabiyallâh Mûsâ dan Hârûn ‘alaihimassalâm dianggap oleh Fir’aun dapat mengancam kedudukannya, yang tidak lain merupakan kekuasaan politik. Aktivitas yang dapat melenyapkan kekuasaan politik mestilah aktivitas politik juga.

Bagaimanapun, kenyataan bahwa para Nabi itu berpolitik, seharusnya menjadi pengetahuan yang otomatis bagi kaum muslimin. Dan saat kaum muslimin mulai tidak menyadari hal itu, bahkan menolak kenyataan tersebut, kebenaran ini harus dinyatakan kembali. Terlebih junjungan kita Nabiyullâh Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam (seorang politisi dan negarawan tanpa tanding) telah menegaskan aktivitas politik para Nabi ini dalam sabdanya:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Adalah Bani Isrâ`îl diurus oleh para Nabi. Setiap wafat seorang Nabi, Nabi yang lain menggantikannya. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi lagi setelahku, namun akan ada para khalifah lalu mereka akan menjadi banyak.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikan hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang telah diamanah pengurusannya kepada mereka.”

Rasulullah Muhammad adalah politisi ulung. Kaum muslimin pun sudah seharusnya menjadi manusia-manusia yang, sekurang-kurangnya, melek politik. Bahkan Syaikh ‘Abdul Qadîm Zallûm di dalam kitab Afkâru Siyâsiyyah/Political Thought (terjemahnya ke dalam bahasa Indonesia pernah terbit dengan judul “Pemikiran Politik Islam” dan akan terbit lagi dalam waktu dekat, insya Allah) meletakkan satu tema berjudul: Keterlibatan dalam Politik adalah Kewajiban Setiap Muslim.

Wallâhu A’lamu.


Bantul, 01 Jumâdâ al-Ûlâ 1438 H/29 Januari 2017 M 07.14 WIB