Minggu, Maret 11, 2018

Qoumas Situs NU Saja Mengakui Wajibnya Cadar Kok Mas


Qoumas Situs NU Saja Mengakui Wajibnya Cadar Kok Mas
Perbincangan tentang larangan mahasiswi bercadar terus bergulir. Ketua GP Ansor, Yaqut Kholil Qoumas, seperti diberitakan situs Bersama Dakwah (news.bersamadakwah.net, diakses 09/03/2018) menganjurkan agar mahasiswi yang tidak mau dilarang melepas cadarnya saat mengikuti kuliah, agar pindah.
Dengan nada meremehkan, dia seolah menganggap orang-orang pro-cadar tidak mengerti persoalan budaya, syar'i, dan sebagainya. Dia juga meminta agar larangan memakai cadar di UIN tidak usah diributkan. Alasannya, saat umrah, haji, dan sholat pun dilarang pakai cadar dan tidak diributkan.
Entah Yaqut tahu atau tidak, situs NU memiliki artikel yang kontras dengan pernyatannya yang terkesan galak tersebut. Pada hari Rabu, 20 April 2016 pukul 00:02 WIB, situs resmi NU, nu.or.id mengunggah sebuah soal jawab berjudul Hukum Memakai Cadar. Seseorang yang bernama Andri Hermawan dari Magelang menyampaikan sebuah pertanyaan mengenai status hukum cadar.
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Mahbub Ma’afi Ramdlan. Mahbub menjelaskan bahwa persoalan cadar terjadi silang pendapat di kalangan ahli fikih. Mazhab Hanafi melarang perempuan muda zaman sekarang membuka wajahnyauntuk menghindari fitnah. Berbeda halnya dengan Mazhab Maliki yang justru memakruhkan perempuan menutup wajah, baik di dalam maupun di luar shalat. Mazhab ini menganggap perbuatan tersebut berlebih-lebihan.
Keterangan yang diberikan Mahbub juga menyinggung soal perbedaan pendapat di kalangan mazhab Syafii seputar persoalan ini. Satu pendapat menyatakan wajib. Pendapat kedua menyatakan sunah. Sedangkan pendapat ketiga, agak sedikit mendekati pendapat mazhab Maliki, menyatakan bercadar adalah menyelisihi keutamaan.
Selain mengemukakan bebagai pendapat di antara ulama berbagai mazhab, Mahbub juga tampaknya memberikan pendapatnya sendiri. Mahbub mencoba bersikap bijak dengan mengajukan setidaknya tiga poin:
Pertama, kewajiban memakai cadar bagi wanita akan mengalami banyak kendala jika dipaksakan di Indonesia
Kedua, diperlukan kearifan dalam melihat perbedaan pandangan tentang cadar
Ketiga, perbedaan pendapat seputar cadar tidak perlu dipertentangkan dan dibenturkan, tetapi harus dibaca sesuai konteksnya masing-masing.
Komentar Mahbub tampak lebih sejuk dibandingkan komentar Qoumas, meskipun ada pula pernyataanya yang perlu dikritisi. Salah satu poin di atas seolah menyiratkan adanya upaya pihak tertentu yang ingin memaksakan kewajiban bercadar di Indonesia, padahal kenyataannya sama sekali tidak ada.
Justru yang sedang banyak dibincangkan sekarang adalah wacana memaksakan para perempuan yang meyakini kewajiban bercadar untuk menanggalkannya. Berkaca pada poin lain yang disampaikan Mahbub, justru hal ini kontraproduktif.
Sangat tidak arif, seorang rektor universitas Islam justru menghalangi kebebasan mahasiswinya untuk menganut pendapat fikih yang diyakininya. Juga tidak mengindahkan konteks, seorang ketua umum salah satu ormas Islam justru seolah mempersalahkan para muslimah yang mengamalkan keyakinan fikihnya untuk bercadar, bukan justru mempersalahkan pembuat kebijakan yang tidak benar.
Padahal, seperti yang diakui Mahbub, pendapat yang dijadikan pegangan (mu’tamad) dalam mazhab Syafii justru mewajibkan cadar. Jadi, meski terjadi perbedaan pendapat, kalaupun tidak sependapat dengan para ulama muktabar mazhab Syafii, mestinya pendapat ini harus dihargai dan tidak dihalangi apalagi diintimidasi.
Sumber Tulisan:
Hukum Memakai Cadar, nu.or.id, diakses tanggal 09/03/2018
GP Ansor: Kalau Ngotot Pakai Cadar, Pindah Aja!, news.bersamadakwah.net, diakses 09/03/2018

Cadar dalam Dua Kitab Mazhab Syafii



Mahasiswi bercadar melakukan aksi menentang pelarangan bercadar. (Sumber: lppmnuansa.org)
Sebagian masyarakat mungkin masih bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya duduk persoalan cadar menurut ajaran Islam? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, mengingat sementara pihak menuduhnya sebagai budaya Arab an sich, tanpa ada hubungannya dengan Islam.
Cadar dan Aurat
Hukum memakai cadar berkaitan erat dengan hukum aurat. Secara bahasa, penulis kitab Fathul Qarîb menjelaskan bahwa kata aurat berarti kekurangan. Secara istilah, syariat menyebut kata ini dengan maksud sesuatu yang wajib ditutup dan juga haram dilihat.

Ilustrasi: Seorang muslimah mengenakan cadar. (Sumber: anizahkhimar.com)
Sejuah mana batasan aurat yang dipahami seseorang akan mendorongnya untuk mengikuti cara berpakaian dengan model tertentu. Maka tulisan ini mencoba mengulik keterangan di dalam kitab-kitab standar dalam mazhab Syafii seputar tema aurat.
Pertama, kitab Fathul Qarîbil Mujîbi fî Syarhi Alfâzhit Taqrîb yang merupakan penjelasan atas kitab al-Ghâyah wat Taqrîb karya Qadhi Abu Syuja’. Saat menerangkan syarat-syarat shalat, penulis kitab ini menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah menutupi aurat dengan pakaian yang suci.
Kapan Menutup Aurat?
Sebelum menjelaskan bagian tubuh mana saja yang termasuk aurat, Imam Syamsuddin al-Ghazi menulis bahwa menutup aurat juga wajib dilakukan di luar shalat, bahkan saat di tempat sepi, kecuali jika ada kebutuhan seperti mandi dan sebagainya. Sedangkan untuk diri sendiri, maka tidak wajib menutup aurat, tetapi makruh memandang ke arahnya.
Lalu apa saja yang termasuk aurat?
Beliau lalu menerangkan bahwa aurat lelaki adalah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan merdeka dibedakan antara di dalam shalat dengan di luar shalat. Aurat perempuan di dalam shalat adalah selain muka dan dua sisi telapak tangan (sisi gelap dan sisi terang) sampai persendiannya. Sedangkan aurat perempuan merdeka di luar shalat adalah seluruh badannya. Adapun auratnya saat di tempat sepi adalah seperti aurat laki-laki. Selesai keterangan Imam Syamsuddin.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa menutup wajah dengan cadar dan telapak tangan dengan sarung tangan sesuai dengan yang diajarkan kitab fikih mazhab Syafii ini. Sebab, aurat perempuan di luar shalat adalah seluruh badannya.

Salah satu sampul kitab Safinatun Najah. (Dok. Shofhi Amhar)
Kedua, kitab Safînatun Najâh karya Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami. Penulis kitab ini menyatakan bahwa aurat itu ada empat macam, yaitu aurat laki-laki secara mutlak dan budak perempuan di dalam shalat, aurat perempuan merdeka di dalam shalat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan di hadapan lelaki asing, serta aurat perempuan merdeka dan sahaya di depan para mahramnya dan juga di depan perempuan lain.
Empat Kategori Aurat
Aurat bagi lelaki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Ini berlaku secara mutlak, baik di dalam maupun di luar shalat, baik dia merdeka ataupun budak, baik di depan perempuan maupun di depan sesama lelaki. Batasan aurat ini juga berlaku untuk budak perempuan di dalam shalat.
Aurat perempuan merdeka di dalam shalat adalah seluruh badannya, kecuali wajah dan telapak tangan. Jadi, perempuan merdeka membuka wajah dan telapak tangannya ketika shalat.
Sedangkan di luar shalat, wajah dan telapak tangan perempuan merdeka, di depan lelaki asing, wajib ditutup. Sebab, kitab ini menjelaskan bahwa aurat perempuan merdeka di depan lelaki asing adalah seluruh badannya.
Jadi sangat wajar jika ada kaum muslimah yang menutupi wajahnya dengan cadar dan telapak tangannya dengan sarung tangan. Sebab, menurut kitab mazhab Syafii ini, hal itu adalah wajib. Dan ini adalah syariat Islam bagi yang menganut pendapat ini. Jadi sungguh terlalu jika ada yang menyatakan bahwa cadar adalah semata-mata budaya Arab, meskipun yang menyatakannya adalah orang-orang yang bergelar profesor di lingkungan akademisi Islam kelas berat sekalipun.
Kategori terakhir dari empat macam aurat ini adalah aurat perempuan merdeka maupun sahaya di depan para mahramnya, yaitu bagian tubuh antara pusar dan lutut. Dengan ketentuan terakhir ini, maka seorang perempuan boleh menyusui, misalnya, di depan adik kandungnya, ayah kandungnya, mertuanya, dan sebagainya yang masih termasuk mahram.

Keterangan di dalam Kitab Safinatun Najah tentang empat jenis aurat. (Dok. Shofhi Amhar)
Sumber Bacaan:
Fathul Qarîbil Mujîbi fî Syarhi Alfâzhit Taqrîb karya Syaikh Syamsuddin al-Ghazzi. Bisa diunduh di riyadhalelm.com.
Safînatun Najâh karya Syaikh Salim bin Samir al-Hadhrami. Bisa diunduh di feqhup.com.
lppmnusa.org

Minggu, Maret 04, 2018

Jual Buku Jamaah, Imamah, Baiah - Inara Musa | Tokopedia

Jual Buku Jamaah, Imamah, Baiah - Inara Musa | Tokopedia: Jual Buku Jamaah, Imamah, Baiah ,FIKIH dengan harga Rp 35.000 dari toko online Inara Musa, Kota Yogyakarta. Cari product Islam lainya di Tokopedia. Jual beli online aman dan nyaman hanya di Tokopedia.