Rabu, Juni 27, 2018

Berubah Sejak dalam Pikiran (1)

Berubah Sejak dalam Pikiran (1)

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahullâh telah memberikan satu pengajaran penting di dalam kitab Nizhâmul Islâm bahwa kebangkitan manusia terkait erat dengan pemikirannya. Di sana beliau memberikan alasan yang rasional berupa fakta bahwa perilaku manusia sangat tergantung dengan pemahaman yang dimilikinya. Dan segala contoh tentang fakta itu sangat mudah kita dapati di dalam kehidupan sehari-sehari.

Mengenai pampers, misalnya, dua keluarga bisa memiliki perilaku yang berbeda akibat pemahamannya juga berbeda. Isteri saya jarang sekali memakaikan pampers kepada dua bayi kami, kecuali pada kondisi tertentu. Itu karena ia memahami bahwa sering-sering memakai pampers tidak baik untuk kesehatan, menyebabkan anak tidak terlatih untuk buang air di jamban, dan juga tidak kalah pentingnya: tidak hemat. Dampak dari kebijakan ini terlihat dengan jelas pada si sulung. Meski kadang-kadang tetap mengompol, namun lebih sering dia sudah terbiasa bilang jika mau pipis sehingga hampir selalu pipis di kamar mandi. Bahkan ketika dalam kondisi dipakaikan pampers sekalipun, jika terasa mau pipis, sering kali pampers-nya dia minta dibuka. Jika bepergian dan harus memakai pampers, sampai di rumah selalu minta dibuka. Dia tidak nyaman pakai pampers.
Memang ada dampak buruknya, yaitu risiko bertebarannya najis di mana-mana. Tetapi kami memahami bahwa repot adalah risiko punya anak. Jadi tidak mengapa kami harus rajin mengepel atau mengganti tempat-tempat yang terpapar najis.

Kebijakan kami ini berbeda dengan salah seorang tetangga kami. Karena memahami bahwa memakai pampers untuk bayi itu lebih aman dan lebih terjaga dari najis, maka anaknya dipakaikan pampers sepanjang hari.

Contoh di atas memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana pemikiran dan pemahaman sangat berpengaruh pada perilaku seseorang atau sekelompok orang.

Kembali ke pengajaran Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani. Selain membawakan argumentasi rasional berupa fakta dalam kehidupan, beliau juga membawakan sebuah ayat untuk mendukung prinsip bahwa “perubahan harus dimulai sejak dari pikiran”, yaitu Surat ar-Ra’du ayat 11. Tetapi jujur, bertahun-tahun saya tidak benar-benar memahami mengapa beliau menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang ‘perubahan pemikiran’. Saya selalu bertanya-tanya: apa hubungannya ayat ini dengan pemikiran?


Sampai suatu hari, ketika pada suatu kesempatan, Ustadz Subhan menyinggung makna ayat tersebut dengan menyebut-nyebut keterangan Ustadz Hafidz Abdurrahman di dalam buku Islam Politik dan Spiritual, misteri tersebut mulai tersibak satu demi satu. Ditambah kemudian di dalam sebuah forum saya memberanikan diri untuk bertanya mengenai hal ini, persoalannya menjadi tampak semakin jelas.

Senin, Juni 18, 2018

“Masya Allah” Kapan Diucapkan?

“Masya Allah” Kapan Diucapkan?


Sering kita mendengar orang mengucapkan masya Allah (Arab: ما شاء الله). Mungkin kita sendiri juga suka mengucapkannya. Namun apakah ucapan tersebut telah disertai kesadaran tentang makna dan faidahnya? Tidak kalah pentingnya juga, kapan sebaiknya kita mengucapkannya?

Bagi saya pribadi, pertanyaan ini sudah terbersit sejak lama, lalu diperkuat saat ada yang mengucapkan Subhânallâh yang konon tertukar momennya dengan Masya Allah. Ada anggapan dari sebagian pihak bahwa Subhânallâh diucapkan saat melihat sesuatu yang tidak disukai. Sedangkan apabila melihat sesuatu yang disukai, maka yang diucapkan adalah Masya Allah. Benarkah anggapan demikian? Saat di sebuah grup WA yang saya kelola ada pertanyaan tentang kapan kita mengucapkan dua kalimat tersebut, saya tertarik untuk melakukan riset kecil tentang hal ini.

Karena membahas dua kalimat sekaligus mungkin akan terlalu panjang, maka untuk masing-masing kalimat akan dibuat tulisan terpisah. Kebetulan –tidak ada yang kebetulan dalam ilmu Allah– tidak lama sebelum ada pertanyaan di GWA yang saya sebutkan di atas, saya membaca bahasan tentang ucapan Masya Allah  di buku berjudul Kisah Orang-Orang Zhalim karya Hamid Ahmad ath-Thahir. Karenanya bahasan ini saya dahulukan. Sebagian penjelasan dari buku tersebut akan saya sarikan, insya Allah.

Makna Masya Allah

Ejaan masya Allah adalah ejaan yang telah terserap dalam Bahasa Indonesia. Dalam bahasa aslinya, yaitu Bahasa Arab, kalimat ini terpisah dengan dua spasi, karena memang terdiri dari tiga kata, yaitu mâ, syâ`a, dan Allãh.

artinya [sesuatu], [apa], atau [apa saja].

Syâ`a bermakna [telah menghendaki]

Kata Allãh dalam kalimat ini berkedudukan sebagai Subjek.

Maka maknanya adalah sesuatu yang telah Allah kehendaki.

Saat kita melihat sesuatu lalu mengucapkan Masya Allah, sesungguhnya kita menyatakan: [ini adalah sesuatu yang Allah kehendaki], meskipun kita tidak menzahirkan kata ini.

Anjuran Mengucapkan Masya Allah

Dahulu ada orang yang kaya raya memiliki dua buah kebun yang artistik dan sangat menawan, sebagaimana diceritakan di dalam Surat Al Kahfi mulai ayat 32. Sayangnya, dia meyakini bahwa semuanya itu tidak akan sirna. Tidak akan pernah ada kiamat. Kehidupannya yang penuh kemewahan semacam itu akan berkekalan semata-mata. Bahkan jika dia meninggal, Allah akan memberinya yang lebih baik dari itu.

Sikap semacam itu disayangkan oleh teman pemilik kebun yang diajak berkunjung. Bentuk keprihatinan sang tamu terhadap kawannya tersebut adalah dengan menyatakan bahwa ketika memasuki kebun tersebut, seharusnya dia mengucapkan Mâ syâ`aLlâhu lâ quwwata illâh billâh (ini adalah sesuatu yang Allah kehendaki. Sama sekali tidak ada kekuatan untuk memilikinya kecuali berasal dari Allah). Lihat teks aslinya di Surat al Kahfi ayat 39. Kalimat ini mengandung kesadaran bahwa semua kekayaan tersebut semata-mata berasal dari Allah.

Kapan Masya Allah Diucapkan?

Ada beberapa momen yang kita dapatkan dari hadis dan pernyataan ulama tentang kapan kalimat masya Allah diucapkan. Berikut beberapa di antaranya.

1. Saat memasuki rumah

Asyhab meriwayatkan pernyataan dari Imam Malik bahwasanya beliau menganjurkan agar setiap orang yang masuk ke dalam rumahnya untuk mengucapkan kata-kata tersebut. “Bagi setiap orang yang memasuki kediamannya, sebaiknya ia mengucapkan kalimat tadi.” Maksudnya kalimat di dalam Surat Al Kahfi ayat 39, yaitu: mâ syâ`Allâhu lâ quwwata illâ billâh.

Oleh seorang ulama bernama Wahb bin Munabbih, kalimat ini bahkan ditulis di pintu rumahnya.

2. Ketika memiliki sebuah hajat

Di dalam kitab Zawâiduz Zuhdi karya Abdullah bin Ahmad terdapat riwayat tentang terkabulnya doa Nabiyullah Musa ‘alaihissalâm yang telah lama tidak dipenuhi oleh Allah. Setelah Nabi Musa mengkonfirmasi hal tersebut kepada Allah, Allah menjawab bahwa disegerakannya hajat-hajat yang beliau minta adalah karena beliau mengucapkan masya Allah.

3. Ketika melihat sesuatu yang mengagumkan

Sahabat Nabi yang meninggal paling akhir, Anas bin Malik –semoga Allah meridhoi beliau– meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang melihat sesuatu yang mengagumkannya lalu ia mengucapkan [mâ syâ`aLlâhu lâ quwwata illâ billâh], niscaya ia tidak akan terserang penyakit ‘Ain*

* ‘Ain berarti mata. Maksud dari penyakit ‘Ain adalah musibah yang diperantarai oleh kekaguman atau kedengkian seseorang terhadap sesuatu. Ada orang-orang yang berpotensi memberikan penyakit ‘Ain kepada orang lain. Misalnya si A melihat si B. si A terkagum terhadap pakaian yang dikenakannya. Maka si B bisa jadi mendapat celaka karena kekaguman si A tersebut. Bisa juga jika si A melihat si B, lalu ia dengki dan membenci si B, maka si B bisa terkena penyakit ‘Ain dari si A. Dengan demikian, penyakit ‘Ain bisa terjadi karena kekaguman yang menimbulkan rasa suka atau kedengkian yang menimbulkan rasa dengki. Kecelakaan yang menimpa si B bisa jadi tidak disadari oleh si A dan juga bukan karena kehendaknya. Namun karena si A memiliki potensi ‘Ain, maka si B terkena celaka –dengan izin Allah. Maka untuk mencegah terjadinya penyakit ‘Ain, salah satunya dianjurkan kepada seseorang yang terkagum tentang sesuatu agar mengucapkan masya Allah seperti terlihat di dalam riwayat di atas. Di dalam hadis yang lain disebutkan pula ucapan lain, yaitu bârakallâhu fîk atau yang semisal denganya.

Wallâhu A’lam.

Kunjungi FP Bahasa Arab Santai



Jumat, Juni 08, 2018

Belajar Bahasa Arab dari Surat Al Fatihah

Belajar Bahasa Arab dari Surat Al Fatihah

Pengantar

Surat al Fatihah adalah surat yang paling banyak dibaca oleh seluruh kaum muslimin di muka bumi ini. Bagaimana tidak, Surat inilah satu-satunya surat yang wajib dibaca pada setiap shalat, baik fardu maupun sunah. Didaulat sebagai intisarinya Alquran, akan sayang apabila kita melewatkan untuk memahami kandungan ayat demi ayat di dalam Surat yang agung ini.

Sementara itu, kemampuan berbahasa Arab merupakan salah satu kebutuhan kaum muslimin dewasa ini (juga merupakan kebutuhan umat sepanjang zaman), baik kebutuhan ideologis, spiritual, politik, maupun akademis. Maka, pembelajaran Bahasa Arab harus terus-menerus didorong sedemikian rupa agar tetap wujud di tengah-tengah umat, bahkan sedaya upaya ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya.

Oleh karena itu kami terpanggil untuk menyusun pembelajaran Bahasa Arab yang dipandu oleh ayat-ayat Alquran, yang dalam kesempatan ini berpandukan kata demi kata, atau frasa demi frasa, dan sebagainya, dari Surat al-Fatihah. Semoga upaya ini dijadikan oleh Allah sebagai amal saleh yang ikhlas semata-mata mengharap rido-Nya, sekaligus menjadi wasilah bagi kesejahteraan kaum muslimin dunia dan akhirat, jiwa dan raga, lahir dan batin.

Bantul Mataram Islam, Rabu, 22 Ramadhan 1438 H/07 Juni 2018 M 07.07 WIB

Pengantar ini telah dimuat di akun plukme saya dengan judul Belajar Bahasa Arab dari Surat Al Fatihah.

File PDF akan diungah secara bertahap di sini atau https://bit.ly/2kTWO9Z. Silakan diunduh. Gratis.