Ilmu Ekonomi Normatif versus Ilmu Ekonomi Positif
Salah satu hal pokok untuk membedakan dengan jelas dalam ilmu
pengetahuan seperti halnya ilmu ekonomi adalah antara pertimbangan nilai dan
pernyataan faktua. Di sini kita bedakan dengan jelas antara ilmu ekonomi
positif dan ilmu ekonomi normatif.
Ilmu ekonomi positif membahas deskripsi mengenai fakta,
situasi, dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Misalnya saja, berapakah
tingkat pengangguran hari ini? Bagaimana tingkat pengangguran yang tinggi dapat
mempengaruhi tingkat inflasi? Bagaimana prosesnya sehingga pajak bahan bakar
dapat mempengaruhi tingkat penggunaan bahan bakar tersebut? Contoh pertanyaan
seperti itu dapat dijawab hanya dengan mengacu pada fakta-fakta. Terkadang
pertanyaan bisa mudah atau sangat rumit, tetapi semuanya itu termasuk dalam
bidang ilmu ekonomi positif.;
Ilmu ekonomi normatif membahas pertimbangan nilai,
seperti misalnya: sampai seberapa jauhkah inflasi dapat diterima? Haruskah
sistem perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong
yang miskin? Anggaran biaya pertahanan negara seharusnya naik 3% atau 5% atau
10% per tahun? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak mengundang pertimbangan
etika dan moral. Orang bisa berdebat berlarut-larut mengenai hal-hal itu,
karena hal tersebut memang tidak akan dapat dipecahkan melalui ilmu pengetahuan
atau menunggu fakta. Tidak akan ada jawaban sederhana yang mengatakan benar
atau salah mengenai tingkat inflasi yang seharusnya, derajat kemiskinan yang
wajar, atau berapa besar anggaran pertahanan yang diperlukan. Semua masalah ini
dipecahkan melalui proses politis.
(Paul A Samuelson dan William D Nordhaus, Ekonomi, Alih Bahasa:
Jaka Wasana, Edisi Keduabelas, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Cetakan Ketujuh, Jakarta:
1993, hlm. 9)
Komentar:
1. Pembagian ilmu ekonomi menjadi
dua bagian di atas merupakan pengakuan bahwa ada bagian dari apa yang disebut
sebagai ilmu ekonomi yang dikenal hari ini yang tidak berdasarkan pada
fakta, melainkan pada norma.
2. Bahwa hal-hal dalam ilmu
ekonomi yang bersifat normatif (atau ilmu ekonomi normatif), menurut
Samuelson dan Nordhaus adalah tidak bisa ditentukan benar dan salahnya. Paradigma
ini seharusnya membatalkan sikap orang yang menyalahkan upaya pemberlakuan
norma-norma syariah dalam lapangan ekonomi secara menyeluruh.
3. Penentuan benar dan salah
dalam ilmu ekonomi normatif adalah melalui proses politis. Di sini
terlihat jelas bahwa berbicara tentang perekonomian tidak bisa lepas dari
politik. Ada hubungan yang erat antara keduanya. Maka sikap menerima ekonomi
syariah seraya mengabaikan politik syariah adalah sikap yang ambigu. Sikap
semacam itu menyalahi kenyataan yang diakui oleh pakar ekonomi sekuler dan
sudah pasti tertolak berdasarkan paradigma syariat.
4. Politiklah yang akan
menentukan norma mana yang akan dipakai untuk menghasilkan berbagai jawaban
mengenai pertanyaan-pertanyaan yang masuk dalam kategori ilmu ekonomi
normatif. Maka dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi yang seperti ini tidak
bebas nilai; pasti berpihak pada salah satu aliran dalam ekonomi.
5. Karena sumber norma di
dunia ini bisa disederhanakan menjadi dua saja, yaitu sekulerisme dan wahyu,
maka sebuah tatanan ekonomi yang tidak diatur oleh norma-norma wahyu pastilah sekuler.
6. Benar dan salahnya jawaban
atas soal-soal normatif dalam bidang ekonomi sesungguhnya bisa dinilai
berdasarkan kebenaran sumbernya.
7. Jika sekulerisme adalah
sebuah paham yang benar, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma sekuler
adalah benar. Sebaliknya, jika sekulerisme adalah pandangan hidup yang terbukti
kesalahan dan ketidakrasionalannya, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma
yang didapat dari wahyu itulah yang benar.
8. Menjadi penting untuk
benar-benar menyelidiki berdasarkan akal sehat: Apakah sekulerisme adalah
sebuah ideologi yang benar? Dari situlah kebenaran dan kesalahan segala
bangunan kebijakan ekonomi bisa dinilai.
Mataram Islam, Selasa, 12 Dzulhijjah 1440 H/Senin, 12 Agustus 2019 M 22.36
WIB