Kisah Tsa’labah
1. Salah satu kisah yang terkenal dan tersebar di
tengah-tengah kaum muslimin adalah kisah tentang Tsa’labah yang enggan membayar
zakat lalu diacuhkan oleh Rasulullah dan tiga khalifah sepeninggal beliau,
yaitu Abû Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmân.
2. Ringkasan kisah tersebut adalah sebagai berikut:
[Tsa’labah bin Hâthib al-Anshârî datang menemui Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wasallam dan berkata: Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah
agar memberiku rejeki berupa harta. Rasulullah menjawab: Celaka engkau
wahai Tsa’labah. Sedikit harta yang disyukuri itu lebih baik
daripada banyak harta yang tidak kamu sanggupi kesyukurannya.
3. Setelah beberapa lama, Tsa’labah menemui beliau lagi
dan mengulang kembali permintaannya, lalu Nabi bersabda: Tidakkah di dalam
diriku telah adalah teladan yang baik? Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya,
seandainya aku ingin agar gunung-gunung mengalirkan emas dan perak
untukku, niscaya akan mengalir.
4. Beberapa lama kemudian, Tsa’labah datang lagi dan
mengulang permintaan yang sama dan berkata: Demi Dzat Yang
Mengutusmu, jika Allah telah memberiku rejeki berupa harta, aku akan memberikan
hak kepada setiap orang yang memilikinya. Maka Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wasallam pun berdoa: Ya Allah, berikanlah Tsa’labah rejeki
berupa harta.
5. Tsa’labah lalu menggembala kambing. Kambing itu
berkembang biak bagaikan ulat. Saat itu ia masih bisa shalat Zuhur dan Asar
bersama Rasulullah, sementara shalat lainnya ia kerjakan di tempat
penggembalaannya. Seiring berkembangnya kambing gembalaannya, ia pun kemudian
tidak lagi shalat bersama Rasulullah selain pada saat shalat Jumat. Lalu
gembalaannya bertambah lebih banyak lagi, sehingga kini ia tidak lagi
menghadiri shalat Jumat maupun shalat berjamaah.
6. Melihat hal itu, suatu hari Rasulullah bersabda: Apa
yang dilakukan oleh Tsa’labah? Dijawab oleh orang-orang: Ia menggembala
kambing yang memenuhi lembah. Rasul pun bersabda: Celakalah Tsa’labah...
Celakalah Tsa’labah... Celakalah Tsa’labah...
7. Saat zakat telah diwajibkan, Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wasallam mengirim dua orang untuk memungut zakat. Beliau bersabda
kepada keduanya: Temuilah Tsa’labah bin Hâthib dan seorang lelaki
dari Banî Sulaim. Pungutlah zakat dari keduanya. Maka dua orang ini pun
pergi menemui Tsa’labah dan menyuruhnya untuk memungut zakat.
8. Berkatalah Tsa’labah: Ini tidak lain kecuali
jizyah... Ini tidak lain kecuali saudaranya jizyah... Lalu meminta keduanya
untuk menemuinya lagi saat sedang tidak sibuk. Lalu mereka berdua pergi ke
lelaki Banî Sulaim. Ia menyerahkan yang terbaik yang ia punya. Lalu keduanya
kembali kepada Tsa’labah. Tsa’labah kembali mengatakan: Ini tidak lain
kecuali jizyah... Ini tidak lain kecuali saudaranya jizyah... pergilah sampai
aku menentukan sikap.
9. Lalu kedua utusan itu pun kembali kepada Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wasallam. Beliau bersabda sebelum menanyai keduanya: Wahai
celakalah Tsa’labah. Sedangkan untuk lelaki dari Banî Sulaim, beliau
mendoakan kebaikan. Lalu turunlah ayat 75 Surat at-Taubah:
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ
لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ
(٧٥)
Dan di antara mereka ada orang yang telah
berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah kami
termasuk orang-orang yang saleh.
10. Seorang kerabat Tsa’labah memberitahukan kepadanya
bahwa Allah telah menurunkan ayat Alquran tentangnya. Maka Tsa’labah pergi
menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan meminta beliau agar
menerima zakatnya. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah melarangku
menerima zakat darimu. Lalu beliau menaburkan tanah ke kepalanya, dan
bersabda: Inilah amalmu yang telah aku perintahkan, tetapi engkau tidak
mematuhinya.
11. Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam wafat,
dan pengurusan negara digantikan oleh Abû Bakr, Tsa’labah datang menemuinya
sambil membawa zakat, tetapi Abû Bakr tidak mau mengambilnya. Demikian pula
ketika ‘Umar dan ‘Utsmân menjadi khalifah – semoga Allah meridhai mereka semua.]
12. Kisah ini dirilis oleh Ibnu Jarîr ath-Thabarî di
dalam al-Jâmi’ul Bayân, ath-Thabrânî di dalam al-Mu’jam al-Kabîr, serta
al-Wâhidî di dalam Asbâbun Nuzûl. Semua riwayat berasal dari
jalur Ma’ân ibn Rifâ’ah dari Abû ‘Abdil Malik ‘Alî ibn Yazîd al-Alhânî dari
al-Qâsim ibn ‘Abdirrahmân dari Abû Umâmah al-Bâhilî radhiyallâhu ‘anhu.
13. ‘Alî bin Yazîd, salah seorang perawi dalam sanad di
atas, disepakati kelemahannya oleh para huffâzh (ittafaqat
kalimatul huffâzh ‘alâ dha’fihi).
14. Kisah ini diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu
‘anhumâ. Sanadnya juga lemah seperti yang tadi. Juga diriwayatkan secara
dari al-Hasan al-Bashrî secara mursal (sanadnya terhenti kepada
tabiin – generasi setelah sahabat).
15. Para imam yang melemahkan kisah ini, antara lain:
Imam Ibnu Hazm, al-Hâfizh al-Bayhaqî,
Imam al-Qurthubî, al-Hâfizh adz-Dzahabî, al-Hâfizh
al-‘Iraqî, al-Hâfizh al-Haytsamî, al-Hâfizh Ibnu Hajar,
al-‘Allâmah al-Munâwî, serta al-‘Allâmah al-Albânî. Semoga Allah merahmati
mereka semua.
16. Kisah ini juga bertentangan dengan Alquran dan
Assunnah yang mengajarkan diterimanya tobat orang yang bertobat, betapapun
besar dosanya, selagi matahari belum terbit dari barat atau sebelum sekarat.
Kisah tersebut sangat bertentangan dengan ajaran ini.
17. Kisah ini juga bertentangan dengan hadis riwayat Ahmad,
Abû Dâwud, serta al-Hâkim dari Bahz ibn Hakîm dari bapaknya dari
kakeknya dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan
bahwa orang yang tidak mau membayar zakat hewan ternak akan diambil paksa
separo hartanya:
18. “Untuk ternak onta, setiap empat puluh ekor, zakatnya
satu bintu labûn. Jangan pisahkan satu onta pun dari perhitungannya. Siapa saja
yang memberikan zakatnya karena mengharapkan pahala, maka dia mendapat
pahalanya. Dan siapa saja yang menolak membayarnya, kami akan mengambilnya dan
mengambil separo hartanya, sebagai salah satu hak dan kewajiban Tuhan kita ‘Azza
wa Jalla. Keluarga Muhammad tidak punya hak sedikitpun darinya.”
19. Hadis ini dinyatakan sahih sanadnya oleh al-Hâkim
dan disetujui oleh adz-Dzahabî. Sedangkan al-Albânî menghasankannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar