Masuk Islamnya Abû Bakr
Apabila kita membaca kisah masuk Islamnya Abû Bakr, mungkin
akan muncul kesan bahwa beliau radhiyallâhu ‘anhu masuk Islam tanpa
melakukan perenungan terlebih dulu. Benarkah kesan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan itu, sahaya menyempatkan diri
mengais-ngais timbunan ilmu dari beberapa kitab yang relevan dengan ini,
sebatas kemampuan dan kesempatan yang sahaya punya. Kesimpulan yang sahaya
dapatkan – yang akan dapat dibaca di sela-sela terjemah dari beberapa literatur
di bawah – menyodorkan gambaran yang sebaliknya. Berikut sahaya ketengahkan
beberapa keterangan yang dapat mengubah persepsi bahwa Khalifah pertama kaum
muslimin itu masuk Islam secara asal masuk tanpa berpikir, yang sebagian besar
dari tulisan ini hanyalah nukilan dari sumber-sumber yang sahaya sebutkan.
Ibnu ‘Asâkir meriwayatkan dari Ka’b – semoga Allah Ta’âlâ
merahmatinya – ia berkata:
“Sebab masuk Islamnya Abû Bakr ash-Shiddîq – semoga Allah
Ta’âlâ meridhainya – adalah wahyu dari langit. Beliau adalah seorang pedagang
yang berniaga di Syâm. Beliau mengalami sebuah mimpi, lalu menceritakan
mimpinya tersebut kepada Rahib Buhairâ.
Rahib Buhairâ :
Dari mana engkau?
Abû Bakr :
Dari Makkah.
Rahib Buhairâ :
Dari suku apa?
Abû Bakr :
Quraisy.
Rahib Buhairâ :
Apa pekerjaanmu?
Abû Bakr :
Pedagang.
Rahib Buhairâ: Mahabenar Allah Ta’âlâ atas mimpimu.
Sesungguhnya akan diangkat seorang Nabi dari kaummu. Kamu akan menjadi pembantu
pada masa hidupnya dan menjadi khalifahnya setelah ia meninggal.
Lalu Abû Bakr merahasiakannya sampai Nabi shallallâhu
‘alaihi wasallam diutus.
Abû Bakr berkata kepada beliau: Wahai Muhammad, apa bukti
dari apa yang engkau dakwakan? Beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab:
Mimpi yang engkau alami di Syâm.
Lalu Abû Bakr memeluk beliau, mencium dahinya, dan berkata: Aku
bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Kisah ini dinukil dari kitab Subulul Hudâ wa ar-Rasyâd.
Apa mimpi yang dialami oleh Abû Bakr? Di dalam kitab ar-Rawdh
al-Unf diterangkan sebagai berikut:
Ibnu Ishâq berkata: Kemudian Abû Bakr ibn Abî Quhâfah
masuk Islam. Namanya adalah ‘Atîq. Sedangkan nama Abû Quhâfah adalah ‘Utsmân
ibn ‘Âmir ibn ‘Amr ibn Ka’b ibn Sa’d ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu`ay ibn
Ghâlib ibn Fihr. Ibnu Hisyâm menyatakan: nama Abû Bakr adalah ‘Abdullâh,
sedangkan ‘Atîq adalah gelar (laqab) karena kebagusan wajah dan
ketampanannya. (Penulis kitab masih memiliki penjelasan lebih panjang seputar
nama Abû Bakr pada pasal yang lain, tetapi kami tidak mecantumkannya di sini).
Ibnu Ishâq berkata: Ketika Abû Bakr radhiyallâhu
‘anhu masuk Islam, ia menampakkan keislamannya dan mengajak orang lain
untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia sebelumnya adalah orang yang
menjalin hubungan erat dengan kaumnya, dicintai, dan lemah lembut. Ia adalah
orang yang paling terhormat nasabnya di antara kaum Quraisy dan paling mengerti
tentang kaumnya, juga mengerti kebaikan dan keburukan mereka. Ia merupakan
pedagang yang memiliki akhlak dan kemakrufan. Para tokoh kaumnya sering datang
kepadanya dan berinteraksi dengannya terkait dengan berbagai urusan, disebabkan
ilmu yang dimilikinya, perdagangannya, serta persahabatannya. Hal itu
dijadikannya sebagai wasilah untuk mendakwahi siapa saja di antara kaumnya yang
percaya kepadanya, yang sering berinteraksi dan berteman dengannya, supaya
mereka beriman kepada Allah dan memeluk Islam.
Az-Zubair menyebutkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wasallam mengajaknya masuk Islam. Ia tidak ragu-ragu (menerima ajakan
tersebut). Di antara sebab-sebab taufik Allah kepadanya –sebagaimana yang ia
sebutkan– adalah sebuah mimpi yang ia alami sebelumnya.
Di dalam mimpi tersebut ia melihat rembulan turun ke Makkah.
Kemudian ia melihatnya pecah dan terpencar ke seluruh tempat dan rumah-rumah di
Makkah. Lalu sebagian pecahan rembulan tadi masuk ke setiap rumah, kemudian
seakan-akan dikumpulkan di pangkuannya.
Mimpi itu diceritakannya kepada sebagian Ahli Kitab yang
menafsirkan mimpi tersebut kepadanya. Tafsirnya adalah bahwa nabi yang
ditunggu-tunggu, yang telah tiba zamannya, akan kamu ikuti, dan kamu akan
menjadi manusia yang paling bahagia karenanya.
Maka ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengajaknya
masuk Islam, beliau tidak menunda-nundanya (untuk menerima ajakan itu).
Dalam syair pujian Hassân (ibn Tsâbit) yang di dalamnya
dituturkan tentangnya (Abû Bakr) dan telah didengar oleh Nabi shallallâhu
‘alaihi wasallam sedangkan beliau tidak mengingkarinya, terdapat bukti
bahwa Abû Bakr adalah lelaki pertama yang masuk Islam. Di dalam syair tersebut
terdapat bait-bait berikut:
خَيْرُ الْبَرّيّةِ أَتْقَاهَا ، وَأَفْضَلَهَا
... بَعْدَ النّبِيّ وَأَوْفَاهَا بِمَا حَمَلَا
وَالثّانِي التّالِي الْمَحْمُودُ مَشْهَدُهُ
... وَأَوّلُ النّاسِ قَدَمَا صَدّقَ الرّسُلَا
Selesai keterangan dari ar-Rawdh al-Unf.
Mengenai bait-bait syair tersebut, beberapa kitab hadis
menyebutkannya, antara lain terdapat di dalam al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhain
karya Imam al-Hâkim.
Keterangan-keterangan di atas cukup bagi kita untuk
menyimpulkan bahwa Abû Bakr tidak beriman begitu saja, melainkan memiliki
alasan yang kuat untuk itu, yang telah dipikirkan dan disiapkannya sebelum
datangnya ajakan dari Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam; bahkan
mungkin sebelum beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam diutus menjadi
Rasul. Kesimpulan ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Abû Bakr radhiyallâhu
‘anhu telah memahami dengan baik kebatilan agama Jahiliyah yang dipeluk
oleh masyarakatnya.
Mari kita simak apa yang diterangkan di dalam kitab berjudul ash-Shâhib
wal Khalîfah Abû Bakr ash-Shiddîq karya Syaikh Râghib as-Sirjânî, bahwa
sebelum masuk Islam, Abû Bakr telah mengetahui kebatilan agama orang-orang
musyrik. Syaikh as-Sirjânî mengujarkan:
Kemudian marilah kita berpikir bersama ash-Shiddîq, agama
seperti apa kiranya yang akan aku tinggalkan sehingga aku perlu berpindah
kepada agama baru ini? Apakah aku akan meninggalkan agamanya orang-orang
Quraisy? Seperti apa agama mereka itu? Apa yang mereka agungkan? Kepada tuhan
apa mereka bersujud? Apakah ash-Shiddîq akan meninggalkan Islam untuk
mengagungkan Lâta, ‘Uzzâ, Manâh, dan Hubal? Mustahil!
Ash-Shiddîq senantiasa memandang rendah batu-batu itu,
sebagaimana ia ceritakan. Ia berkata: Saat aku telah mendekati dewasa, Abû
Quhâfah menuntun tanganku menuju sebuah kamar yang di dalamnya banyak berhala.
Lalu ia berkata kepadaku: Inilah tuhan-tuhanmu yang tinggi nan luhur. Lalu ia
pergi meninggalkanku seorang diri.
Ash-Shiddîq lalu berkata: Lalu aku mendekati berhala itu,
dan aku katakan: Aku lapar, berilah aku makan. Tetapi berhala itu tidak
menjawabku.
Tentu saja ash-Shiddîq bertanya untuk mengolok-oloknya. Ia
tidak perlu menunggu jawaban dari berhala-berhala itu. Semua manusia juga tahu
hal itu.
Ash-Shiddîq berkata lagi: Aku berkata lagi kepadanya: Aku
telanjang, maka berilah aku pakaian. Dia tetap tidak menjawabku. Lalu aku
melemparkan batu besar ke mukanya.
Sejak ia mencapai dewasa, keyakinan seperti itu tetap ada di
dalam dirinya, bahwa berhala-berhala ini tidak dapat memberi manfaat maupun
mudarat. Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu wa ardhâhu mengetahui dengan
yakin bahwa berhala-berhala ini bukanlah tuhan-tuhan. Ash-Shiddîq radhiyallâhu
‘anhu wa ardhâhu memiliki kecerdasan yang tinggi. Kebodohan berhala-berhala
itu tidak tertutup di dalam benaknya. Karena bagaimana mungkin akal sehat
menerima bahwa sebuah berhala dapat mencipta dan membentuk rupa, menunjuki dan
mengasihi, serta memberi rejeki dan menolong? Bagaimana mungkin itu masuk akal?
Bagaimana bisa masuk di akal, seekor sapi dapat membuat syariat? Bagaimana bisa
masuk akal sebatang pohon dapat memutuskan dan mengatur? Berbagai perkara ini
tidak mungkin terlintas dalam benak orang yang jenius lagi benar semacam dia radhiyallâhu ‘anhu?
Sederhananya, ia telah mengetahui bahwa agama Quraisy adalah
agama yang munkar, dan bahwa Islam adalah agama yang benar. Sederhananya pula,
ia mengetahui bahwa alam ini memiliki pencipta dan bahwa Muhammad shallallâhu
‘alaihi wasallam adalah seorang rasul.
Ketika pemikiran ini telah jelas di mata ash-Shiddîq radhiyallâhu
‘anhu, melihat kebenaran Islam dan kebatilan Jahiliyah, serta mengetahui
perbedaan antara keduanya, maka sejak kesempatan pertama, ia memutuskan untuk
mengganti kebatilan dengan kebenaran, membuang kemungkaran dan mengokohkan yang
makruf. Ia memutuskan untuk melakukannya, apapun risiko dan pengorbanannya.
Maka ia memutuskan untuk masuk Islam, meskipun Makkah dan masyarakat Arab,
bahkan seluruh dunia, akan memeranginya. Ia memutuskan itu semua, karena ia
adalah seorang yang berjiwa positif. Seorang yang positif hatinya akan menolak
ketika melihat kemungkaran dan tidak ambil peduli terhadap risikonya. Hatinya
tidak akan bisa rehat, anggota badannya tidak dapat tenang, kecuali apabila ia
melakukan aktivitas mengubah kemungkaran itu menjadi kemakrufan. Demi Allah,
ini adalah sifat teragung yang dimiliki oleh Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu
wa ardhâhu – semoga Allah rido kepadanya dan ia pun rido kepada-Nya.
Di dalam kitab yang sama (ash-Shâhib wal
Khalîfah Abû Bakr ash-Shiddîq) juga diterangkan dengan sangat baik alasan
masuk Islamnya Abû Bakr, yang menunjukkan dengan jelas bahwa beliau masuk
Islam, bukannya tanpa berpikir, melainkan beliau telah memikirkannya
sebelumnya. Berbagai alasan yang seharusnya beliau pikirkan untuk memutuskan
menerima dakwah Nabi justru telah sempurna dimilikinya, sehingga ketika ajakan
itu tiba, beliau tidak lagi menunda-nundanya.
Berikut dituturkan oleh Syaikh Râghib as-Sirjânî:
Hal pertama yang menyita perhatian kita kepada ash-Shiddîq radhiyallâhu
‘anhu adalah kesegeraan beliau masuk Islam.
Sebagaimana diketahui, beliau adalah orang yang pertama masuk
Islam. Beliau tidak ragu dan tidak menimbang-nimbang lagi. Beliau tidak
mengatakan: Saya memerlukan waktu sehari atau dua hari untuk berpikir.
Tetapi beliau benar-benar bersegera. Ini adalah perkara yang sangat menyita
perhatian. Padahal keislamannya akan mengubah kesibukannya, mengubah rumah
tangganya, atau bahkan mengubah negerinya; juga mengubah akidah yang telah
dipeluknya selama 38 tahun. Ya, ash-Shiddîq ketika masuk Islam telah berumur 38
tahun.
Terkadang, sebagian orang berpendirian, adalah suatu
kebijaksanaan apabila seseorang merenung dengan amat-sangat tentang suatu
perkara, dan tidak terburu-buru. Ia butuh waktu yang lama untuk merenung
sebelum mengajukan langkah dalam menjalani kehidupan, lebih-lebih apabila itu
adalah langkah yang sangat menentukan.
Pendirian tersebut
terkadang benar pada sebagian kondisi, tetapi pada kondisi lain, ketika
kebenaran tampak begitu jelas terang-benderang seterang mentari di siang
bolong, saat itu sikap mempertimbangkan adalah kebodohan, sikap berhati-hati
merupakan bentuk kemalasan, serta sikap banyak berpikir adalah tercela. Sikap
seperti itu terjadi pada kaumnya Nabi Nûh ‘alaihissalâm:
مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ
[هود:27]
27. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya:
"Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa)
seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan
orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja." (Hûd
[11]:27)
Maknanya, orang-orang yang menyatakan pendapat mereka sejak
kesempatan pertama tanpa proses berpikir dan penelitian itulah yang
mengikutimu. Maknanya lagi, mereka mencela orang-orang itu karena mereka
bersegera beriman kepada Nûh ‘alaihishshalâtu
wassalâm tanpa merenungkannya pelan-pelan dan tanpa berpikir lebih dulu.
Subhânallâh! Mahasuci Allah!
Mereka itu seperti orang yang mengatakan kepada yang lain: Apa pendapatmu
tentang mentari, apakah ia telah terbit? Ditanya begitu, ia malah menjawab:
Biarkan aku, beri aku kesempatan untuk berpikir dan merenung. Sedangkan
yang bertanya berkata lagi: Wahai lihatlah, kamu tinggal melihat, apakah
mentari telah terbit? Jika belum, berarti belum terbit.
Apa pendapat kalian tentang seorang yang kehausan dan berada
di pinggir jurang kebinasaan, lalu melihat mata air tawar yang jernih di padang
pasir. Wahai lihatlah, andai dia duduk dan berkata: Aku akan mengambil
rentang waktu barang sehari atau dua hari untuk berpikir, apakah aku akan
meminumnya atau tidak?
Seandainya dia benar-benar melakukannya, niscaya dia akan mati
sebelum meminumnya. Yang terjadi pada banyak orang, juga pada banyak di antara
kita, sering kali kita berpikir dulu
untuk melakukan kebaikan, sehingga kita senantiasa berpikir tentang kebaikan
itu sehari, dua hari, tiga hari, sebulan, bahkan setahun, kemudian kita mati
sebelum melakukan kebaikan ini.
Ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu wa ardhâhu adalah orang
yang berada di dalam kehausan jahiliyah, lalu melihat mata air Islam. Lalu atas
alasan apa ia tidak meminumnya (dengan segera)? Ash-Shiddîq radhiyallâhu
‘anhu wa ardhâhu telah melihat kebenaran dengan bentuk ini secara sempurna,
lalu mengapa dia harus ragu dan menunggu? Ragu-ragu bukan merupakan
kebijaksanaan dalam perkara-perkara semacam ini. Seorang lelaki yang bijak lagi
berakal menawarinya Islam dengan lemah lembut menyegarkan dan jelas dari mulut
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam lalu Allah menyinari hatinya
dengan cahaya hidayah, lalu mengapa dia tidak berislam? Dan mengapa tidak mengikuti
kebenaran sejak kesempatan pertama?
Imam al-Bukhârî meriwayatkan dari Abû ad-Dardâ` radhiyallâhu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Apakah kalian meninggalkan seorang sahabat untukku? Beliau shallallâhu
‘alaihi wasallam mengucapkannya dua kali, ketika suatu kali terjadi
perselisihan antara ash-Shiddîq radhiyallâhu ‘anhu dengan salah seorang
Sahabat radhiyallâhu ‘anhum ajma’în.
Mengapa ash-Shiddîq memiliki kedudukan tinggi di sisi
Rasulullah ini? Perhatikanlah berbagai hal yang membuatnya pantas ini:
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: Aku berkata: Wahai
manusia, sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang diutus kepada kalian semua.
Lalu kalian berkata: Kamu bohong. Sedangkan Abû Bakr mengatakan: Engkau benar.
Jadi, itu adalah sebuah keutamaan. Tidak ragu lagi, ini adalah
kesegeraan dalam memeluk Islam yang paling segera. Hari demi hari berjalan,
orang-orang yang mendustakan sebelumnya kemudian membenarkan beliau, tetapi Abû
Bakr ash-Shiddîq adalah pemenang dalam pahala adu cepat ini.
Orang-orang ada yang membenarkan beliau setelah beberapa hari
sejak mendengar ajakan dakwah. Ada yang beriman setelah beberapa bulan. Ada
pula yang baru beriman setelah beberapa tahun. Bahkan ada yang harus menunggu
sampai Fathu Makkah, kemudian beriman. Lalu semua orang beriman, semua orang
membenarkan. Tetapi ash-Shiddîq memenangi perlombaan ini. allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ
* أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ
* فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
[الواقعة:10
- 12]
Hari-hari yang berlalu tidak akan kembali lagi selama-lamanya
sampai hari kiamat. Tidak diragukan bahwa orang-orang yang terlambat masuk
Islam beberapa hari, beberapa bulan, beberapa tahun, hati mereka diterkam oleh
penyesalan terhadap hari-hari yang terbuang di dalam gelapnya kekafiran. Tetapi
penyesalan itu tidak dapat mengembalikan hari-hari mereka. Kita juga sering
menyesal atas hari-hari yang tidak kita isi dengan amal-amal kebaikan untuk
diri kita sendiri, sedangkan hari demi hari terus berlalu. Dan tidak diragukan
bahwa orang yang bersegera dalam melakukan berbagai kebaikan telah mengambil
manfaat dari hari-hari yang dihabiskannya di dalam iman itu.
Pada akhirnya, hari-hari berlalu dengan melakukan ini dan itu.
Kita tidak mengatakan perkataan ini demi sejarah. Pada
faktanya, di dalam kehidupan kita, alangkah seringnya kita ragu-ragu dalam
melakukan berbagai amal kebaikan, menundanya sehari atau dua hari, kemudian
kita melakukan kebaikan tersebut setelahnya itu, atau kita tidak melakukannya
sama sekali, sehingga hari demi hari berlalu dan perlombaan telah selesai.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
لا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُوْلَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
[الحديد:10].
Berbagai amal itu memiliki dua pahala: pahala amal itu sendiri
dan pahala bersegera melakukannya. Dan terkadang pahala bersegera itu lebih
besar dibandingkan pahala amal itu sendiri; karena hal itu menyerupai sunnah
hasanah (tradisi yang baik) yang bisa ditiru oleh orang lain,
sehingga orang lain mengikutimu dalam melakukan kebaikan tersebut.
Imam Muslim rahimahullâhu telah meriwayatkan
dari Jarîr ibn ‘Abdillâh:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Siapa saja yang melakukan sunnah yang baik di dalam
Islam, maka baginya pahala melakukannya itu dan juga pahala orang-orang yang
melakukannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa
saja yang melakukan sunnah yang buruk di dalam Islam, maka baginya dosa
melakukannya dan juga dosa orang-orang yang melakukannya setelahnya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikit pun.
Bukit Rivaria, 05 Syawwâl 1436 H/21 Juli 2015 M 09:43 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar