Al-Fariyani; Muslim Pembelajar
Menegakkan Khilafah adalah Prioritas
Jumat, Oktober 09, 2020
H. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI STEI HAMFARA Yogyakarta ppt download
H. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI STEI HAMFARA Yogyakarta ppt download: POKOK BAHASAN 1. PENGERTIAN SYIRKAH 2. HUKUM SYIRKAH 3. RUKUN & SYARAT SYIRKAH 4. MACAM-MACAM SYIRKAH ISLAMI 4.1. SYIRKAH AMLAK 4.2. SYIRKAH AKAD (1) SYIRKAH INAN (2) SYIRKAH ABDAN (3) SYIRKAH MUDHARABAH (4) SYIRKAH WUJUH (5) SYIRKAH MUFAWADHAH 5. SYIRKAH KAPITALIS : PT & KOPERASI.
Senin, Agustus 12, 2019
Ilmu Ekonomi Normatif versus Ilmu Ekonomi Positif
Ilmu Ekonomi Normatif versus Ilmu Ekonomi Positif
Salah satu hal pokok untuk membedakan dengan jelas dalam ilmu
pengetahuan seperti halnya ilmu ekonomi adalah antara pertimbangan nilai dan
pernyataan faktua. Di sini kita bedakan dengan jelas antara ilmu ekonomi
positif dan ilmu ekonomi normatif.
Ilmu ekonomi positif membahas deskripsi mengenai fakta,
situasi, dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Misalnya saja, berapakah
tingkat pengangguran hari ini? Bagaimana tingkat pengangguran yang tinggi dapat
mempengaruhi tingkat inflasi? Bagaimana prosesnya sehingga pajak bahan bakar
dapat mempengaruhi tingkat penggunaan bahan bakar tersebut? Contoh pertanyaan
seperti itu dapat dijawab hanya dengan mengacu pada fakta-fakta. Terkadang
pertanyaan bisa mudah atau sangat rumit, tetapi semuanya itu termasuk dalam
bidang ilmu ekonomi positif.;
Ilmu ekonomi normatif membahas pertimbangan nilai,
seperti misalnya: sampai seberapa jauhkah inflasi dapat diterima? Haruskah
sistem perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong
yang miskin? Anggaran biaya pertahanan negara seharusnya naik 3% atau 5% atau
10% per tahun? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak mengundang pertimbangan
etika dan moral. Orang bisa berdebat berlarut-larut mengenai hal-hal itu,
karena hal tersebut memang tidak akan dapat dipecahkan melalui ilmu pengetahuan
atau menunggu fakta. Tidak akan ada jawaban sederhana yang mengatakan benar
atau salah mengenai tingkat inflasi yang seharusnya, derajat kemiskinan yang
wajar, atau berapa besar anggaran pertahanan yang diperlukan. Semua masalah ini
dipecahkan melalui proses politis.
(Paul A Samuelson dan William D Nordhaus, Ekonomi, Alih Bahasa:
Jaka Wasana, Edisi Keduabelas, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Cetakan Ketujuh, Jakarta:
1993, hlm. 9)
Komentar:
1. Pembagian ilmu ekonomi menjadi
dua bagian di atas merupakan pengakuan bahwa ada bagian dari apa yang disebut
sebagai ilmu ekonomi yang dikenal hari ini yang tidak berdasarkan pada
fakta, melainkan pada norma.
2. Bahwa hal-hal dalam ilmu
ekonomi yang bersifat normatif (atau ilmu ekonomi normatif), menurut
Samuelson dan Nordhaus adalah tidak bisa ditentukan benar dan salahnya. Paradigma
ini seharusnya membatalkan sikap orang yang menyalahkan upaya pemberlakuan
norma-norma syariah dalam lapangan ekonomi secara menyeluruh.
3. Penentuan benar dan salah
dalam ilmu ekonomi normatif adalah melalui proses politis. Di sini
terlihat jelas bahwa berbicara tentang perekonomian tidak bisa lepas dari
politik. Ada hubungan yang erat antara keduanya. Maka sikap menerima ekonomi
syariah seraya mengabaikan politik syariah adalah sikap yang ambigu. Sikap
semacam itu menyalahi kenyataan yang diakui oleh pakar ekonomi sekuler dan
sudah pasti tertolak berdasarkan paradigma syariat.
4. Politiklah yang akan
menentukan norma mana yang akan dipakai untuk menghasilkan berbagai jawaban
mengenai pertanyaan-pertanyaan yang masuk dalam kategori ilmu ekonomi
normatif. Maka dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi yang seperti ini tidak
bebas nilai; pasti berpihak pada salah satu aliran dalam ekonomi.
5. Karena sumber norma di
dunia ini bisa disederhanakan menjadi dua saja, yaitu sekulerisme dan wahyu,
maka sebuah tatanan ekonomi yang tidak diatur oleh norma-norma wahyu pastilah sekuler.
6. Benar dan salahnya jawaban
atas soal-soal normatif dalam bidang ekonomi sesungguhnya bisa dinilai
berdasarkan kebenaran sumbernya.
7. Jika sekulerisme adalah
sebuah paham yang benar, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma sekuler
adalah benar. Sebaliknya, jika sekulerisme adalah pandangan hidup yang terbukti
kesalahan dan ketidakrasionalannya, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma
yang didapat dari wahyu itulah yang benar.
8. Menjadi penting untuk
benar-benar menyelidiki berdasarkan akal sehat: Apakah sekulerisme adalah
sebuah ideologi yang benar? Dari situlah kebenaran dan kesalahan segala
bangunan kebijakan ekonomi bisa dinilai.
Mataram Islam, Selasa, 12 Dzulhijjah 1440 H/Senin, 12 Agustus 2019 M 22.36
WIB
Kamis, Maret 21, 2019
Senin, November 12, 2018
Mengapa Kata Min di dalam Surat Âli Imrân Ayat 104 Bermakna Sebagian Bukan Bermakna Penjelasan? (Soal Jawab Amir Ketiga Hizbut Tahrir Internasional) [1/3]
Mengapa Kata Min di dalam Surat
Âli Imrân Ayat 104 Bermakna Sebagian Bukan Bermakna Penjelasan? (Soal Jawab Amir Ketiga Hizbut Tahrir Internasional) [1/3]
Soal: Di
tengah saya belajar tafsir ayat yang mulia:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
{Dan hendaklah ada dari kalian ummah yang menyeru
kepada al-Khair, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung}, dan mempelajari
bagaimana kata dari (من) itu bermakna sebagian,
Firman Allah berikut menghentikan saya:
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
{Dan menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar}.
Amal ini,
yaitu amar makruf nahi mungkar dituntut dari setiap muslimin. Pelaksanaannya
mungkin untuk dilakukan oleh individu-individu, tetapi mungkin juga dilakukan
oleh kelompok-kelompok. Lalu bagaimana kemudian kita bisa mengatakan bahwasanya
diperlukan jama’ah mutakattilah di antara kaum muslimin yang
melaksanakannya sehingga kata (من) di situ dianggap bermakna
‘untuk sebagian’ (lit tab’îdh)?
Kemudian antara
kata ‘dari’ (من) at-tab’îdhiyah (bermakna
sebagian) dan al-bayâniyah (bermakna menjelaskan) kadang-kadang sulit
dibedakan satu sama lain. Tidakkah orang Arab menggunakan artikel-artikel tertentu
yang menyertai kata (من) al-bayaniyah atau
at-tab’idhiyah di dalam bahasa mereka untuk membedakan antara keduanya
dengan bentuk yang jelas?
Saya berharap
kejelasan persoalan ini. Semoga Allah membalas Antum dengan kebaikan.
Jawaban:
Kata (من) memiliki beberapa makna, di antaranya:
Li at-tab’îdh (bermakna sebagian).
Misalnya di dalam ayat:
مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ
{Dari mereka ada yang Allah berbicara (kepada mereka)}
(al-Baqarah ayat 253)
Maknanya: sebagian
dari mereka ada yang Allah berbicara (kepada mereka). Misal yang lain
adalah ayat:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا
مِمَّا تُحِبُّونَ
{Tidak akan kalian memperoleh kebaikan sampai kalian
menginfakkan sebagian dari apa yang kalian cintai} (Âli ‘Imrân
ayat 92)
Makna (من) yang lain adalah lil bayân (untuk
menjelaskan), misalnya di dalam ayat:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ
{Maka jauhilah
najis, yaitu berhala-berhala} (al-Hajj [22]:30)
dan semisal ayat:
يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ
مِنْ ذَهَبٍ
{mereka didandani di dalam surga dengan gelang dari mas.} (al-Kahfi:31).
Tetapi banyak kasus yang dikatakan sulit dibedakan antara
yang bermakna sebagian dengan yang bermakna penjelasan ini.
Tetapi siyâqul kalâm (kontek pembicaraan) dan indikasi-indikasinya
akan menjelaskan makna yang dimaksud.
Sekarang
perhatikan ayat yang mulia ini:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
{Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar} (Ali ‘Imran:104)
Pertama: Dari
sisi siyâq (kontek) ayat yang mulia ini, ayat sebelum dan ayat
sesudahnya, yaitu dari sisi lafaz yang mengawali seruan di dalam ayat-ayat yang
mulia tersebut, sebelum dan sesudahnya ada ayat-ayat sebagai berikut:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا
وَلَا تَفَرَّقُوا ... وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ ... وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا...
{Dan
berpegang teguhlah dengan tali Allah seluruhnya … dan hendaklah ada dari kalian,
umat … Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang terpecah-belah dan
berbeda-beda pendapat}. (Âli ‘Imran:103, 104, 105)
Sesungguhnya lafaz
yang mengawali seruan pada ayat sebelumnya adalah berbentuk jamak: ‘Dan
berpegang teguhlah [kalian]’. Dan pada ayat setelahnya demikian pula,
berbentuk jamak: ‘dan janganlah [kalian] menjadi...’
Tetapi ayat yang menjadi tema pembahasan ini terletak di antara dua jamak,
berupa seruan dengan lafaz berbentuk mufrad (tunggal): dan hendaklah [kamu]
menjadi, dan bukan dan hendaklah [kalian] menjadi.
Di dalam fiqhul
lughah, apabila siyâq memiliki perbedaan seperti ini, yaitu lafaz
jamak, lalu mufrad (tunggal), kemudian jamak lagi, ini bermakna bahwa
permulaan seruan dengan lafaz tunggal itu memiliki suatu maksud, dan maksud
tersebut bukanlah seperti maksud pada ayat sebelum dan sesudahnya.
Seruan di
dalam ayat sebelumnya dimulai dengan lafaz jamak untuk kaum muslimin berupa
seruan agar berpegang teguh, di dalam ayat setelahnya, dengan lafaz jamak
berupa seruan untuk kaum muslimin agar tidak bercerai-berai.
Adapun ayat yang berada di antara keduanya dimulai dengan lafaz mufrad
untuk kaum muslimin, yaitu bukan untuk keseluruhannya.
Dan tidak bisa
dikatakan mengapa kita mengatakan bahwa: dan hendaklah [kamu] itu
lafaz mufrad, padahal lafaz tersebut kembali kepada ummah,
sedangkan ummah adalah jamaah, bukan individu?
Jawaban untuk
itu adalah bahwa kita berbicara dari sisi lafaz yang digunakan untuk memulai
seruan, tidak terpengaruh oleh lafaz yang mengikutinya. Sebagai contoh, ayat
yang mulia:
هَذَا فَوْجٌ
{Ini
adalah suatu rombongan…} (Shâd:59).
Lafaz rombongan
itu menunjukkan lebih dari satu orang, tetapi ini tidak bermakna bahwa lafaz ini
menjadi lafaz jamak, tetapi tetap menjadi lafaz tunggal meskipun jika diikuti oleh
lafaz yang maknanya jamak. Demikian pula ketika saya mengatakan kepada Anda: “Kalian,
semoga Allah memuliakan kalian, adalah seorang yang berpengetahuan lagi
unggulan.” Kata kalian di sini adalah lafaz jamak meskipun diikuti
oleh kata yang bermakna tunggal ‘seorang yang berpengetahuan lagi unggulan’.
Seperti itulah,
lafaz dan menjadilah kalian adalah lafaz mufrad, sehingga ayat:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ ...
tidaklah
bermakna jadilah kalian. Ta`nîts (feminin) dan tazkîr (maskulin)nya
tidak berpengaruh terhadap penisbatan kata umat setelahnya.
Karena lafaz tersebut tetap sebagai lafaz mufrad: dan menjadilah kamu
dan bukan dan menjadilah kalian.
Kita di sini
sedang mendiskusikan segi lafaz, yaitu nasqul kalâm. Maka temanya
berkaitan dengan perbedaan nasqul kalâm dari segi tiga lafaz ini, yang
dengan itulah seruan dimulai, di dalam tiga ayat:
وَاعْتَصِمُوا, وَلْتَكُنْ, وَلَا تَكُونُوا
{Dan
berpegangteguhlah kalian, dan menjadilah kamu, dan janganlah kalian menjadi.}
Agar jelas bentuk
perbedaan nasqul kalâm-nya, ambillah sebagai misal, Firman-Nya Ta’ala:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآَخِرِ ...
{Bukanlah
suatu kebaikan kalian menghadap wajah-wajah kalian ke arah timur dan barat.
Tetapi kebaikan adalah siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir…}
… sampai
Firman-Nya Ta’ala:
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ
{dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan}
(al-Baqarah:177)
Anda amati di
sini bahwa khabar (predikat; bagian kalimat yang berfaidah menerangkan) dari
(لكن) itu di-rafa’-kan. Demikian pula
kata (الموقنون). Tetapi kata
setelahnya dinashabkan (والصابرين),
sehingga berbeda dengan khabarnya (ولكن).
Demikian pula dengan lafaz yang berbeda dengan al-ma’thûf ‘alaihi (والموفون). Perbedaan nasqul kalâm ini di
dalam fiqh al-lughah bermakna bahwa nashab (والصابرين) adalah perkara yang dimaksudkan untuk rafa’
dari kata sya`nihim, dan bahwa mereka dikhususkan dengan pujian
tambahan dari lafaz sebelum mereka. Yaitu bahwasanya perbedaan nasqul kalâm di
sisi mereka menjadikan mereka yang dimaksud bukanlah orang-orang sebelumnya.
Demikianlah untuk setiap perbedaan nasqul kalâm dalam bahasa Arab yang fashîh,
sesungguhnya terdapat penjelasan makna seperti ini di dalam fiqhul
lughah.
Termasuk ke
dalam contoh ini adalah apa yang terdapat di dalam ayat yang mulia tersebut
berupa perbedaan nasqul kalâm yang itu bermakna bahwa seruan ayat yang
di tengah maksudnya berbeda dengan seruan dari ayat sebelum dan sesudahnya,
sehingga ayat yang di tengah tersebut bukan seruan untuk keseluruhan melainkan
seruan untuk sebagian dari kaum muslimin, yaitu bahwa (من) berdasarkan siyâqnya adalah bermakna littab’îdh (untuk
sebagian), bukan lil bayân (untuk keseluruhan).
Rabu, Oktober 24, 2018
Unduh Gratis Diskusi tentang Darwin dan Evolusi
Asssalamu ‘alaikum warahmatullah.
Pada tahun 2003, di milis insists terjadi diskusi sangat bergizi tentang evolusi. Pengulas utama diskusi ini adalah pakar Filsafat Sains dari Malaysia, Dr Adi Setia. Beliau mengulas berbagai sisi evolusi yang sangat jarang padahal penting untuk kita ketahui. Mengingat begitu pentingnya diskusi ini untuk wawasan kaum muslimin khususnya dan umat manusia pada umumnya, kami mendokumentasikan diskusi tersebut dalam sebuah berkas berbentuk pdf.
Beberapa kutipan dari diskusi tersebut bisa dibaca di sini.
Bagi yang berminat mendapatkan berkas dimaksud, silakan akses bit.ly/DarwinDanEvolusi.
Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah.
Label:
adi setia,
ateis tidak punya bukti evolusi,
darwin,
diskusi,
evolusi,
evolusi runtuh,
evolusi tak terbukti,
evolusi tidak ilmiah,
insists,
teori evolusi
Langganan:
Postingan (Atom)