Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Senin, Agustus 12, 2019

Ilmu Ekonomi Normatif versus Ilmu Ekonomi Positif


Ilmu Ekonomi Normatif versus Ilmu Ekonomi Positif

Salah satu hal pokok untuk membedakan dengan jelas dalam ilmu pengetahuan seperti halnya ilmu ekonomi adalah antara pertimbangan nilai dan pernyataan faktua. Di sini kita bedakan dengan jelas antara ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif.

Ilmu ekonomi positif membahas deskripsi mengenai fakta, situasi, dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Misalnya saja, berapakah tingkat pengangguran hari ini? Bagaimana tingkat pengangguran yang tinggi dapat mempengaruhi tingkat inflasi? Bagaimana prosesnya sehingga pajak bahan bakar dapat mempengaruhi tingkat penggunaan bahan bakar tersebut? Contoh pertanyaan seperti itu dapat dijawab hanya dengan mengacu pada fakta-fakta. Terkadang pertanyaan bisa mudah atau sangat rumit, tetapi semuanya itu termasuk dalam bidang ilmu ekonomi positif.;

Ilmu ekonomi normatif membahas pertimbangan nilai, seperti misalnya: sampai seberapa jauhkah inflasi dapat diterima? Haruskah sistem perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong yang miskin? Anggaran biaya pertahanan negara seharusnya naik 3% atau 5% atau 10% per tahun? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak mengundang pertimbangan etika dan moral. Orang bisa berdebat berlarut-larut mengenai hal-hal itu, karena hal tersebut memang tidak akan dapat dipecahkan melalui ilmu pengetahuan atau menunggu fakta. Tidak akan ada jawaban sederhana yang mengatakan benar atau salah mengenai tingkat inflasi yang seharusnya, derajat kemiskinan yang wajar, atau berapa besar anggaran pertahanan yang diperlukan. Semua masalah ini dipecahkan melalui proses politis.

(Paul A Samuelson dan William D Nordhaus, Ekonomi, Alih Bahasa: Jaka Wasana, Edisi Keduabelas, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Cetakan Ketujuh, Jakarta: 1993, hlm. 9)

Komentar:

1. Pembagian ilmu ekonomi menjadi dua bagian di atas merupakan pengakuan bahwa ada bagian dari apa yang disebut sebagai ilmu ekonomi yang dikenal hari ini yang tidak berdasarkan pada fakta, melainkan pada norma.

2. Bahwa hal-hal dalam ilmu ekonomi yang bersifat normatif (atau ilmu ekonomi normatif), menurut Samuelson dan Nordhaus adalah tidak bisa ditentukan benar dan salahnya. Paradigma ini seharusnya membatalkan sikap orang yang menyalahkan upaya pemberlakuan norma-norma syariah dalam lapangan ekonomi secara menyeluruh.

3. Penentuan benar dan salah dalam ilmu ekonomi normatif adalah melalui proses politis. Di sini terlihat jelas bahwa berbicara tentang perekonomian tidak bisa lepas dari politik. Ada hubungan yang erat antara keduanya. Maka sikap menerima ekonomi syariah seraya mengabaikan politik syariah adalah sikap yang ambigu. Sikap semacam itu menyalahi kenyataan yang diakui oleh pakar ekonomi sekuler dan sudah pasti tertolak berdasarkan paradigma syariat.

4. Politiklah yang akan menentukan norma mana yang akan dipakai untuk menghasilkan berbagai jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan yang masuk dalam kategori ilmu ekonomi normatif. Maka dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi yang seperti ini tidak bebas nilai; pasti berpihak pada salah satu aliran dalam ekonomi.

5. Karena sumber norma di dunia ini bisa disederhanakan menjadi dua saja, yaitu sekulerisme dan wahyu, maka sebuah tatanan ekonomi yang tidak diatur oleh norma-norma wahyu pastilah sekuler.

6. Benar dan salahnya jawaban atas soal-soal normatif dalam bidang ekonomi sesungguhnya bisa dinilai berdasarkan kebenaran sumbernya.

7. Jika sekulerisme adalah sebuah paham yang benar, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma sekuler adalah benar. Sebaliknya, jika sekulerisme adalah pandangan hidup yang terbukti kesalahan dan ketidakrasionalannya, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma yang didapat dari wahyu itulah yang benar.

8. Menjadi penting untuk benar-benar menyelidiki berdasarkan akal sehat: Apakah sekulerisme adalah sebuah ideologi yang benar? Dari situlah kebenaran dan kesalahan segala bangunan kebijakan ekonomi bisa dinilai.

Mataram Islam, Selasa, 12 Dzulhijjah 1440 H/Senin, 12 Agustus 2019 M 22.36 WIB

Minggu, Januari 29, 2017

POLITIK MUSA

POLITIK MUSA

Sepulang solat zuhur, aku menghampiri si kecil Yahya di ayunan kecilnya. Bermaksud menimangnya, mulailah kulantunkan ta’awwudz dan al-Fâtihah untuk dilanjutkan dengan Surat al-Baqarah. Rumah yang dibacakan Surat al-Baqarah tidak akan dimasuki setan. Begitu kira-kira keterangan hadis di sebuah buku yang kubaca hari itu.

Belum selesai al-Fâtihah, si sulung Musa yang sejak tadi berlalu-lalang di sekitar kami tetapi akhirnya memutuskan untuk sejenak pergi ke ruang depan, muncul kembali. Jadi, ini yang dilakukannya saat menghilang tadi: mengambilkan mushaf untuk walidnya. Aku menerimanya dengan rasa takjub. Boca satu setengah tahun ini tahu walidnya sedang membacakan ayat Alquran. Ia tahu mushaf mana yang sering dibaca walid. Dan si Inara Musa ini juga tahu di mana walidnya meletakkan mushaf itu.

Jadi, bukan al-Baqarah sekarang yang akan walid bacakan untuk Isawi Yahya, tetapi terusan tilawah sebelumnya. Surat Thâhâ, surat kedua puluh. Mulai ayat ke-55. Rupanya itu bagian tengah kisah tentang Nabiyullâh Mûsâ ‘alaihissalâm lincah dan kuat itu, episode Mûsâ menghadapi Fir’aun. Dan di tengah kisah inilah terbaca olehku sebuah ayat yang menunjukkan bahwa Mûsâ adalah seorang aktivis politik. Bisa dilihat, antara lain dari ketakutan Fir’aun bahwa Mûsâ bersama kakaknya Hârûn, akan mengambil-alih kekuasaan mereka di negeri Mesir apabila ‘sihir’ Mûsâ berhasil mengalahkan para tukang sihir yang digalang kerajaan.

Simak ayat 62 sampai 64 berikut ini:

“62. Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).

63. mereka berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama.

64. Maka himpunkanlah segala daya (sihir) kamu sekalian, kemudian datanglah dengan berbaris. dan Sesungguhnya beruntunglah oran yang menang pada hari ini.
 

Perhatikan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Nabiyallâh Mûsâ dan Hârûn ‘alaihimassalâm dianggap oleh Fir’aun dapat mengancam kedudukannya, yang tidak lain merupakan kekuasaan politik. Aktivitas yang dapat melenyapkan kekuasaan politik mestilah aktivitas politik juga.

Bagaimanapun, kenyataan bahwa para Nabi itu berpolitik, seharusnya menjadi pengetahuan yang otomatis bagi kaum muslimin. Dan saat kaum muslimin mulai tidak menyadari hal itu, bahkan menolak kenyataan tersebut, kebenaran ini harus dinyatakan kembali. Terlebih junjungan kita Nabiyullâh Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam (seorang politisi dan negarawan tanpa tanding) telah menegaskan aktivitas politik para Nabi ini dalam sabdanya:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Adalah Bani Isrâ`îl diurus oleh para Nabi. Setiap wafat seorang Nabi, Nabi yang lain menggantikannya. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi lagi setelahku, namun akan ada para khalifah lalu mereka akan menjadi banyak.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikan hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang telah diamanah pengurusannya kepada mereka.”

Rasulullah Muhammad adalah politisi ulung. Kaum muslimin pun sudah seharusnya menjadi manusia-manusia yang, sekurang-kurangnya, melek politik. Bahkan Syaikh ‘Abdul Qadîm Zallûm di dalam kitab Afkâru Siyâsiyyah/Political Thought (terjemahnya ke dalam bahasa Indonesia pernah terbit dengan judul “Pemikiran Politik Islam” dan akan terbit lagi dalam waktu dekat, insya Allah) meletakkan satu tema berjudul: Keterlibatan dalam Politik adalah Kewajiban Setiap Muslim.

Wallâhu A’lamu.


Bantul, 01 Jumâdâ al-Ûlâ 1438 H/29 Januari 2017 M 07.14 WIB

Jumat, November 11, 2011

Tanya Jawab Seputar Khilafah

Mugi Paring Kertapati

jawaban untuk beberapa pertanyaan yang diajukan oleh mas ÖVDI:

siapakah yg berhak menentukan kepemimpinan khilafah ini?

1. Syariat tidak menentukan individu tertentu untuk memegang kepemimpinan khilafah, hanya saja syariat menentukan syarat-syaratnya.

2. Syarat orang yang bisa menduduki jabatan khalifah ada 7: muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adil, dan mampu.

3. Adapun siapa individu yang akan menjadi khalifah diserahkan kepada aspirasi umat tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan syariat seperti di atas.

bgmana caranya?

4. Caranya adalah dengan penjaringan aspirasi. Bisa dengan pemungutan suara, survei, dan lain-lain, sebagaiman pernah dilakukan oleh dewan formatur pada masa ‘Umar ra.

apakah diatur juga pemilihanny scra syariat?

5. Syariat yang baku untuk memilih seorang khalifah adalah dengan bai’at. Dengan bai’at, seseorang sah menjadi khalifah. Sedangkan tanpa bai’at, seseorang tidak sah menjadi khalifah.

bole kasih liat dalilnya

6. Dalil pengangkatan khalifah melalui bai’at antara lain hadis: jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.

semoga bisa menjadi bahan diskusi yang baik, sehingga kelak kita bisa bersama-sama untuk memperjuangkan syariat Allah yang demikian indah ini.

Like • • Unfollow Post • November 7 at 11:51am near Jakarta

ÖVDI brarti sama dunk ama pemilu?

trus yg membaiat itu siapa sajakah?

msalah hadithnya saya tanya tatacra pengangkatan khalifah itu gmana?

November 7 at 11:53am • Like

o

Mugi Paring Kertapati

brarti sama dunk ama pemilu?

7. Pemilu dalam sistem demokrasi dengan tatacara pemilihan khalifah memiliki beberapa perbedaan mendasar. Antara lain: orang yang berhak memilih dan dipilih dalam sistem demokrasi adalah semua warga Negara, seda...See More

November 7 at 12:01pm • Like

o

Mugi Paring Kertapati terima kasih, Cpt. Ranger, sudah mau berkomentar. lain bisa dicoba lebih baik lagi. diskusi ini diarahkan untuk menjadi diskusi yang baik, diskusi yang saling menhargai, bukan mencap ini dan itu tanpa argumentasi. kalau tidak bisa berdiskusi dengan baik, terpaksa saya hapus. insya Allah.

November 7 at 12:05pm • Like • 1

o

ÖVDI

7. Pemilu dalam sistem demokrasi dengan tatacara pemilihan khalifah memiliki beberapa perbedaan mendasar. Antara lain: orang yang berhak memilih dan dipilih dalam sistem demokrasi adalah semua warga Negara, sedangkan di dalam Islam hanya orang Islam saja yang berhak. Di dalam demokrasi, pemilu itu harus, sedangkan di dalam Islam,

^

^

trus bgmana dgn org yg non-islam?apakah mereka juga diharuskan punya pemimpin atau khalifah sndiri dalam negara islam?

trus bgmana juga jika kita tinggal dinegara mayoritas non muslim?apakah kita juga diwajibkan membikin kekhalifahan n memilih kepala negara juga?

tu hanyalah salah satu cara.

trus yg membaiat itu siapa sajakah?

8. Bai’at ada dua: baiat in’iqad dan baiat tha’at. Yang pertama dilakukan oleh sebagian orang saja, sedangkan yang kedua oleh seluruh kaum muslimin.

^

^

kalau sebagian org?siapa sajakah itu?apakah harus ada pemilihan lagi utk org2 sebagian trsebut?

kalau seluruh org itu juga bgmana jika ada segelintir org yg tdk setuju?apakah batal atau bgmana?

msalah hadithnya saya tanya tatacra pengangkatan khalifah itu gmana?

9. Pada masa khalifah Abu Bakar, dipilih secara mufakat di Saqifah Bani Sa’idah. Pada masa ‘Umar melalui wasiat dari Abu Bakar dan disetujui oleh kaum muslimin. Pada masa ‘Utsman dipilih melalui dewan formatur dengan memperhatikan aspirasi umat. Pada masa ‘Ali dipilih secara mufakat oleh umat yang mendesak beliau menduduki jabatan khalifah.

^

^

kok cra pemilihannya beda2? trus yg pakem yg dibolehkan rasul yg mana?krna mpe sekrg saya blum nemuin dalilnya cara pemilihan khalifah yg diconothkan rasul....

kemudian bgmana dgn bani umayah?abasiyah?ustmaniyah?apakah sesuai dgn keempat cara diatas?

November 7 at 12:06pm • Like

o

Mugi Paring Kertapati oke, terimakasih untuk pertanyaannya. insya Allah akan saya jawab. untuk sementara saya break dulu. belum bisa janji sampai kapan. alhamdulillah diskusi kita sejauh ini masih berjalan dengan baik. mudah-mudahan tidak dirusuhi pihak-pihak yang malah mengganggu fokus diskusi kita.

November 7 at 12:12pm • Like

o

ÖVDI ok seppp

November 7 at 12:13pm • Like

o

Cpt. Ranger Mau pake cuman tetap aja esensinya sama

November 7 at 12:19pm via mobile • Like

o

ÖVDI up

November 7 at 12:36pm • Like

o

AS Mas Mugi Paring Kertapati : Bertanya sma ustadsnya dulu kali...:-)

Tuesday at 3:48pm • Like

o

Mugi Paring Kertapati Asrul Syam: ya ndak apa-apa. tidak ada salahnya bertanya kalau tidak tahu.

Tuesday at 11:37pm • Like

o

Mugi Paring Kertapati

trus bgmana dgn org yg non-islam?

10. Orang-orang non-Islam diperlakukan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

11. Kiranya kita sepakati dulu bahwa segala sesuatunya harus kita kembalikan kepada titah Allah dan Rasul-Nya.

apakah mereka juga diharuskan punya pemimpin atau khalifah sndiri dalam negara islam?

12. Tidak.

trus bgmana juga jika kita tinggal dinegara mayoritas non muslim?

13. Negara yang penduduknya mayoritas non-muslim bisa juga berada di bawah pemerintahan Islam yang mengatur mereka dengan syariat Islam. Jadi tidak masalah.

apakah kita juga diwajibkan membikin kekhalifahan n memilih kepala negara juga?

14. Kepala negaranya satu saja. Sehingga untuk daerah yang mayoritas penduduknya non-muslim, akan diajak bergabung dengan kekhalifahan yang sudah ada.

kalau sebagian org?siapa sajakah itu?

15. Orang-orang yang dipilih oleh umat.

apakah harus ada pemilihan lagi utk org2 sebagian trsebut?

16. Ya. Tetapi tidak selalu harus formal dan saklek seperti dalam pemilu.

kalau seluruh org itu juga bgmana jika ada segelintir org yg tdk setuju?apakah batal atau bgmana?

17. Ketidaksetujuan segelintir orang tidak serta-merta membatalkan bai’at yang telah terlaksana dengan sempurna.

kok cra pemilihannya beda2?

18. Tidak ada masalah. Namanya juga uslub (cara), secara syar’i memang boleh berbeda.

trus yg pakem yg dibolehkan rasul yg mana?

19. Dalam persoalan uslub tidak ada pakem. Yang penting tidak bertentangan dengan hukum syara’.

krna mpe sekrg saya blum nemuin dalilnya cara pemilihan khalifah yg diconothkan rasul....

20. Cara pemilihan khalifah dicontohkan oleh para sahabat. Ijma’ sahabat termasuk bagian dari dalil juga. Jadi kalau tidak ditemukan dalam sunnah Rasul, bisa merujuk ke ijma’ sahabat.

kemudian bgmana dgn bani umayah?abasiyah?ustmaniyah?apakah sesuai dgn keempat cara diatas?

21. Dari sisi cara ada kekeliruan. Tetapi kekeliruan tersebut tidak merusak akad bai’at yang diberikan kepada mereka.

Wednesday at 12:11am • Like

o

AS Mugi Paring Kertapati: semua yang antum tuliskan diatas adalah hal-hal yang "mungkin" dilakukan ketika khilafah itu berdiri.

Tapi bagaimna cara/metode mendirikan khilafah itu??

Apakah mengikuti cara Rasulullah???

Tunjukkan dalil2nya jika HTI megikuti cra/metode Rasulllah untuk mendirikan khilafah itu??

Wednesday at 6:06am • Like

o

Mugi Paring Kertapati ini pembahsan yang berbeda lagi. insya Allah bisa kita bahas di kesempatan terpisah.

15 minutes ago • Like

Kamis, April 28, 2011

Apakah KHILAFAH Merupakan Harga Mati...?? (Tanggapan Balik Untuk Saudara Kahfi Nur Hidayat)

Ada manfaatnya juga iseng-iseng googling dengan katakunci nama sendiri. Nama saya muncul di beberapa tempat. Yang paling menarik adalah rekaman diskusi saya dengan saudara saya, Kahfi Nur Hidayat. Judulnya tersebut: Apakah KHILAFAH Merupakan Harga Mati...?? Seingat saya, tanggapan terakhir dalam rekaman tersebut sudah saya jawab. Saya sendiri juga ragu. Saya baru agak yakin bahwa saya sudah menaggapi diskusi tersebut ketika membaca ulang bagian yang menyebut-nyebut Bunda ‘Aisyah dan Imam Abu Hanifah.

Entahlah, mungkin ingatan saya yang salah, ada persoalan teknis sehingga tanggapan saya tidak muncul, atau yang lain. Kalaupun memang saya sudah menanggapi, toh tidak ada salahnya kalau saya tanggapi ulang. Tanggapan saya ditandai dengan dua kurung siku. Berikut selengkapnya.

1. Dalam Islam ada hukum yang sifatnya tswabit dan mutaghayirat. Tsawabit artinya tetap dan tidak berubah-rubah; contoh ini meliputi hal-hal yang sudah qathi -pasti-, sampai akhir zaman tidak akan pernah mengalami perubahan. Misalnya tentang wajibnya shalat, haramnya khamer dan zina, wajibnya berbuat adil, saling menghormati, persamaan, dll.. Sampai hari kiyamat hal ini tidak akan pernah mengalami perubahan..


[Saya tidak sependapat dengan pembagian hukum seperti itu. Apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya akan tetap haram sampai hari kiamat, tanpa ada perubahan. Demikian pula hukum-hukum yang lain: Wajib, Sunah, Mubah, Makruh. Hukum-hukum yang dianggap berubah oleh sebagian orang, sebetulnya ia merupakan hukum yang tetap.]


Kemudian kedua adalah hukum yg mutaghayirat; adalah yang bisa berubah-ubah, sifatnya elastis, temporar mengikuti perubahan zaman sesuai dengan maslahat manusia. Contohnya lebih pada masalah-masalah muamalah duniawiyah, termasuk juga sistem pemerintahan.

[Agar lebih jelas, langsung saja berikan contoh kasusnya. Pernyataan ‘lebih pada masalah-masalah duniawiyah, termasuk juga sistem pemerintahan’ tidak memadai sebagai contoh, karena sulit untuk dibahas ketepatan atau kekeliruannya sebagai hukum yang berubah]


Jadi, tidak benar kalau kemudian Mas Shafi menganggap hasil ijtihad manusia -sistem pemerintahan- adalah hal yang 'mana suka' atau 'suka-suka gue'. Sepanjang hasil olah manusia tersebut dibangun dari nilai-nilai tsawabit (keadilan, kebebasan, persamaan), sah-sah saja untuk dijadikan sistem pemrintahan di ZAMAN mapanpun dan TEMPAT manapun..

[Nilai tsawabit yang disebutkan (keadilan, kebebasan, dan persamaan) masih sangat umum dan rawan ditarik ke kanan dan ke kiri sehingga perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan kata-kata tersebut. Masing-masing ideologi mengartikan ketiga hal tersebut dengan pengertian yang berbeda-beda. Dalam konteks pemerintahan, misalnya, demokrasi menganggap bahwa menyerahkan hak memilih dan dipilih menjadi pemimpin pemerintahan hanya kepada kaum muslimin tidaklah adil. Sebaliknya, Islam memandang bahwa yang adil justru ketika yang berhak memilih dan dipilih adalah hanya orang yang beragama Islam. Nah, karena itu silakan diperjelas.]


2. Satu hal yang harus kita akui -imani- bahwa setelah Nabi Saw. wafat, nash agama tidak akan pernah turun lagi ke manusia, syariatnya adalah penutup syariat langit. Jadi, nash agama (qur'an-hadits) sangat terbatas, sedangkan permasalahan manusia akan terus muncul dan berkembang sampai hari kiyamat. Oleh karena itu, Allah hanya meletakkan kaedah-kaedah umum dalam nash agama, dan menjadi tugas manusia untuk terus menggali hukum-hukum dari kaedah umum tadi. Karena itu dalam Islam kita mengenal ada konsep 'ijtihad'; yaitu mencari hukum yang tidak ada nashnya dalam alquran dan hadits..

[Sepakat. Namun sebagai catatan, problematika umat manusia pun sebenarnya terbatas. Keterbatasannya terletak pada kenyataan bahwa problematika tersebut muncul dari potensi manusia yang juga terbatas.]

Dan dalam sistem pemerintahan, tidak ada satu nash-pun baik dari hadits yang secara sharih (terang-terangan) mengatakan untuk mendirikan negara dengan sistem khilafah..

[Pernah baca al-Baqarah: 41-50? Atau pernah dengar hadis ini من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية ? Kalau dua nash tersebut belum cukup, maka tidak ada kecukupan dalil bagi kita untuk menyatakan bahwasanya Islam mengajarkan tauhid, sebab tidak ada satu pun kata at-tauhîd di dalam Quran maupun Sunnah.]


Oleh karena itu, kita memasukkan dan mengembalikan persoalan ini ke nash yang sifatnya mutaghayirat (bisa berubah), yaitu dengan memberikan keluasan ruang kepada manusia untuk mencari formulasi yang memang sesuai dengan maslahat zamannya.

[Agar mudah untuk kita bahas, mari kita ambil satu contoh saja dulu. Di dalam ilmu pemerintahan, kita mengenal istilah ‘kedaulatan’. Di dalam demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan di dalam sistem Khilafah, kedaulatan adalah di tangan asy-Syâri’ (Sang Pembuat syariat). Apakah persoalan kedaulatan ini termasuk wilayah mutaghayyirat? Jika iya, sungguh ini sebuah kebatilan yang nyata, yang merongrong syariat Allah yang menyatakan tidak ada hak membuat hukum kecuali pada Allah. Namun jika hal ini termasuk perkara yang tsawabit, dengan teori pembagian tsawabit dan mutaghayyirat yang lemah ini pun, kita bisa melihat bahwa bahwa dalam hal pemerintahan pun ternyata ada perkara yang tsawabit. Dan sayangya, perkara yang tsawabit ini meruntuhkan bangunan konsep demokrasi secara telak.]


Dari sinilah kemudian saya menyimpulkan bahwa persoalan khilafah pada dasarnya hanyalah penamaan saja. Saya memandang khilafah lebih pada jauhar (esensi/isi/kandungan), yaitu tegaknya keadilan, persamaan, dll sesuai dengan fitrah manusia. Dan sistem tersebut bisa kita namai dengan imamah, jumhuriyah (republik) atau yg lain..

[Mas Kahfi, lagi-lagi saya harus tegaskan, bahwa penamaan bukanlah perkara yang ‘hanya’. Meski demikian, saya sepakat kita tidak harus menggunakan istilah Khilafah. Hal yang sangat penting adalah istilah yang kita pakai hendaknya tidak menimbulkan kebingungan konseptual. Misalnya kita menamakan sistem pemerintahan Islam dengan republik. Ini jelas akan menimbulkan kebingungan konseptual. Sebab, di dalam republik, kedaulatan itu di tangan rakyat, sedangkan Islam memandang bahwa kedaulatan adalah di tangan syariat.]


Sedikit kita menengok sejarah.

Pada masa khalifah Ali ra. terjadi peperangan antara Ali ra. dengan Aisyah ra.. Pertanyaanya: Kalau memang khailafah ini merupakan kewajiban mutlaq dari Allah kepada manusia, lantas kenapa Aisyah dan Ali terlibat perang -perang Jamal-..?? Bukankah menentang dan menghalang-halangi pemerintahan khalifah termasuk kafir dan akan diadzab Allah dengan sepedih-pedih adzab (lihat kembali di quotation Mas Shafi)..?? Apakah Aisyah termasuk kafir karena memerangi khalifah Ali ra..??

[Mas Kahfi, buktikan dulu bahwa bunda ‘Aisyah terlibat perang dengan Imam ‘Ali karena beliau tidak menyetujui Khilafah dan atau kekhalifahan ‘Ali—radhiyallâhu ‘anhumâ. Sangat berbeda antara melakukan koreksi kepada penguasa dengan menolak Khilafah itu sendiri.]


Satu abad sesudahnya,
Imam Abu Hanifah secara jelas mengatakan penolakannya pada khilafah Umawiyah karena sang "KHALIFAH" bertindak despotis/tiran, lalai pada rakyat, hidup glamor dls.. Apakah kemudian Imam Abu Hanifah disebut kafir karenga tidak mengakui khilafah..?? Jika mengikuti pendapatnya kawan-kawan HT, tentu Aisyah ra. dan Imam Abu Hanifah sudah kafir dan akan diadzab dengan sepedih-pedih adzab..

[Jika mengikuti pendapatnya kawan-kawan HT, bunda ‘Aisyah maupun Imam Abu Hanifah sama-sama tidak kafir. Pertama, karena kawan-kawan HT tidak pernah mengkafirkan orang yang menolak wajibnya Khilafah—meskipun kemungkinan menjadi kafir itu ada. Kedua, tidak ada bukti baik yang samar apalagi yang jelas bahwa bunda ‘Aisyah dan Imam Abu Hanifah menolak kewajiban Khilafah. Yang mereka lakukan hanyalah upaya muhasabah terhadap para penguasa yang berdasarkan ijtihad beliau-beliau itu—untuk kasus bunda ‘Aisyah, di tengah perjalanan beliau menyadari kekeliruan pendapatnya—telah melakukan penyimpangan.]

Saya nukilkan kembali quotation dari Mas Shafi:
وإقامة خليفة فرض على المسلمين كافة في أقطار العالم. والقيام به – كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين – هو أمر محتم لا تخيير فيه ولا هوادة في شأنه, والتقصير في القيام به معصية من أكبر المعاصي يعذب الله أشد العذاب
(Dan menegakkan khilafah merupakan kewajiban setiap kaum muslimin. Dan menegakkannya -khilafah- seperti halnya kewajiban menegakkan kewajiban2 yg lain yg diwajibkan Allah terhadap muslimin. Yaitu sebagai satu perkara yang wajib -pasti- tidak ada pilihan dan toleransi. Dan segala upaya minimalisasi -menggagalkan/menghalangi- terhadap prses penegakan khilafah merupakan perbuatan maksiyat yang paling besar dan akan diadzab Allah dengan sepedih adzab..)"


[Dengan kutipan ini, saya tidak menemukan sama sekali suatu pernyataan yang aneh dan menyalahi dalil, apalagi hujjah untuk mengkafirkan ulama besar. Lalu bagaimana mas Kahfi bisa membuat kesimpulan-kesimpulan yang abnormal seperti di atas?]

4. Iya, saya setuju bahwa salah satu fungsi dari nama adalah utk membedakan. Tetapi sekali lagi Mas Shafi, saya meyakini bahwa permasalahan formulasi bentuk pemerintahan ini adalah ruang ijtihad manusia, ketika ijtihad tadi bisa melahirkan formulasi yang berada dalam nilai-nilai Islam, tentu sah-sah saja donk untuk menamainya dengan selain khilafah...?? Misalnya dinamai dengan "Demokrasi Islam" sebagaimana yang saat ini sedang digagas oleh para pemikir Islam..

[Penjelasan saya di atas mengenai peristilahan, insya Allah sudah memadai. Lagipula, mas Kahfi terlihat mengalami kontradiksi. Di satu sisi mengakui bahwa fungsi nama adalah untuk membedakan, di sisi lain menyatakan kebolehan menamakan sistem pemerintahan Islam dengan “demokrasi Islam”; dua istilah yang justru bertolak-belakang sebagaimana telah saya jelaskan.]


3. Mas Shafi menulis " kaidah-kaidah ataupun nilai-nail dasar itu tidak akan dapat diwujudkan dengan baik dan benar tanpa sistem yang baik dan benar pula"..
Sekararang pertanyaan saya: "Kaedah sistem yang baik itu apa..??"


[Sistem yang baik adalah sistem yang dibuat oleh sumber kebaikan, yaitu Allah Ta’ala.]

...Apakah satu sistem yang baik itu lantas ia kebal dari kepentingan-kepentingan individu -nafsu- manusia dalam mencari kepentingan..??


[Ya. Harus.]

..Apakah sistem yang baik itu tidak bisa dirong-rong...??..

[Bisa. Sebagaimana al-Haqq tidak pernah berhenti dirongrong oleh al-Bathil. Namun demikian, bukan berarti al-Haqq itu tidak ada dan tidak perlu diperjuangkan.]

Apakah Mas Shafi menafikan bahwa sistem yang muncul belakangan (baik yang sudah ada maupun yang akan muncul) pasti tidak baik..???..


[Maksudnya? Saya tidak menangkap maksud pertanyaan ini. Saya menafikan kebaikan sistem yang tidak dianggap baik oleh syariat, baik yang muncul depanan maupun belakangan. Semoga ini bisa menjawab.]

Sekian dulu Mas, dan sepertinya untuk dua hari ke depan saya sibuk banget dan lebih banyak di sekretariat.. InsalLah setelah itu akan kita sambung lagi diskusi hangat ini..


[Insya Allah]

Semoga bermanfaat..


[Aamiin. Semoga mas Kahfi terbuka hatinya untuk menjadi pejuang syariat Islam dan salah satu kontributor peruntuh sistem kufur demokrasi kelak di kemudian hari. Semakin cepat semakin baik.:)]

Nuwun Mas..


[Samisami.]

:)


[^_^]

To be continued..


[Kebaikan layak dilanjutkan, kekufuran (termasuk demokrasi) segera saja ditinggalkan.]


(Cairo International Islamic Hostel, 10 Juli 2010)

[Padepokan Panatagama, 27 April 2011. Teriring doa untuk Suci dan adik-adiknya: ‘Semoga Allah berkenan mengembalikan kalian.’]