Tampilkan postingan dengan label ekonomi islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi islam. Tampilkan semua postingan

Senin, Agustus 12, 2019

Ilmu Ekonomi Normatif versus Ilmu Ekonomi Positif


Ilmu Ekonomi Normatif versus Ilmu Ekonomi Positif

Salah satu hal pokok untuk membedakan dengan jelas dalam ilmu pengetahuan seperti halnya ilmu ekonomi adalah antara pertimbangan nilai dan pernyataan faktua. Di sini kita bedakan dengan jelas antara ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif.

Ilmu ekonomi positif membahas deskripsi mengenai fakta, situasi, dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Misalnya saja, berapakah tingkat pengangguran hari ini? Bagaimana tingkat pengangguran yang tinggi dapat mempengaruhi tingkat inflasi? Bagaimana prosesnya sehingga pajak bahan bakar dapat mempengaruhi tingkat penggunaan bahan bakar tersebut? Contoh pertanyaan seperti itu dapat dijawab hanya dengan mengacu pada fakta-fakta. Terkadang pertanyaan bisa mudah atau sangat rumit, tetapi semuanya itu termasuk dalam bidang ilmu ekonomi positif.;

Ilmu ekonomi normatif membahas pertimbangan nilai, seperti misalnya: sampai seberapa jauhkah inflasi dapat diterima? Haruskah sistem perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong yang miskin? Anggaran biaya pertahanan negara seharusnya naik 3% atau 5% atau 10% per tahun? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak mengundang pertimbangan etika dan moral. Orang bisa berdebat berlarut-larut mengenai hal-hal itu, karena hal tersebut memang tidak akan dapat dipecahkan melalui ilmu pengetahuan atau menunggu fakta. Tidak akan ada jawaban sederhana yang mengatakan benar atau salah mengenai tingkat inflasi yang seharusnya, derajat kemiskinan yang wajar, atau berapa besar anggaran pertahanan yang diperlukan. Semua masalah ini dipecahkan melalui proses politis.

(Paul A Samuelson dan William D Nordhaus, Ekonomi, Alih Bahasa: Jaka Wasana, Edisi Keduabelas, Jilid 1, Penerbit Erlangga, Cetakan Ketujuh, Jakarta: 1993, hlm. 9)

Komentar:

1. Pembagian ilmu ekonomi menjadi dua bagian di atas merupakan pengakuan bahwa ada bagian dari apa yang disebut sebagai ilmu ekonomi yang dikenal hari ini yang tidak berdasarkan pada fakta, melainkan pada norma.

2. Bahwa hal-hal dalam ilmu ekonomi yang bersifat normatif (atau ilmu ekonomi normatif), menurut Samuelson dan Nordhaus adalah tidak bisa ditentukan benar dan salahnya. Paradigma ini seharusnya membatalkan sikap orang yang menyalahkan upaya pemberlakuan norma-norma syariah dalam lapangan ekonomi secara menyeluruh.

3. Penentuan benar dan salah dalam ilmu ekonomi normatif adalah melalui proses politis. Di sini terlihat jelas bahwa berbicara tentang perekonomian tidak bisa lepas dari politik. Ada hubungan yang erat antara keduanya. Maka sikap menerima ekonomi syariah seraya mengabaikan politik syariah adalah sikap yang ambigu. Sikap semacam itu menyalahi kenyataan yang diakui oleh pakar ekonomi sekuler dan sudah pasti tertolak berdasarkan paradigma syariat.

4. Politiklah yang akan menentukan norma mana yang akan dipakai untuk menghasilkan berbagai jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan yang masuk dalam kategori ilmu ekonomi normatif. Maka dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi yang seperti ini tidak bebas nilai; pasti berpihak pada salah satu aliran dalam ekonomi.

5. Karena sumber norma di dunia ini bisa disederhanakan menjadi dua saja, yaitu sekulerisme dan wahyu, maka sebuah tatanan ekonomi yang tidak diatur oleh norma-norma wahyu pastilah sekuler.

6. Benar dan salahnya jawaban atas soal-soal normatif dalam bidang ekonomi sesungguhnya bisa dinilai berdasarkan kebenaran sumbernya.

7. Jika sekulerisme adalah sebuah paham yang benar, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma sekuler adalah benar. Sebaliknya, jika sekulerisme adalah pandangan hidup yang terbukti kesalahan dan ketidakrasionalannya, maka mengatur ekonomi berdasarkan norma-norma yang didapat dari wahyu itulah yang benar.

8. Menjadi penting untuk benar-benar menyelidiki berdasarkan akal sehat: Apakah sekulerisme adalah sebuah ideologi yang benar? Dari situlah kebenaran dan kesalahan segala bangunan kebijakan ekonomi bisa dinilai.

Mataram Islam, Selasa, 12 Dzulhijjah 1440 H/Senin, 12 Agustus 2019 M 22.36 WIB

Sabtu, Juni 15, 2013

Pemanfaatan Harta Milik Umum dan Pendapatannya

Sehubungan dengan sedang maraknya perbincangan tentang rancana pemerintah menaikkan harga BBM, berikut saya kutipkan pembahasan terkait dari buku Sistem Keuangan Negara Khilafah, halaman 95 - 99 (penomomoran dalam tulisan ini oleh saya)



Pemanfaatan Harta Milik Umum dan Pendapatannya

01. Karena harta milik umum dan pendapatannya menjadi milik seluruh kaum muslimin, dan mereka berserikat di dalamnya, maka berarti setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan sekaligus pendapatannya. Tidak ada perbedaan apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, orang shalih ataupun orang jahat.

02. Pemanfaatan harta milik umum ini tidak sama. Ada yang sangat mudah dimanfaatkan oleh manusia secara langsung maupun dengan menggunakan alat. Tetapi, ada pula yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung.

03. Jenis pertama, seperti air, padang rumput, api, jalan-jalan umum, laut, sungai, danau, dan terusan/kanal yang besar. Seseorang dapat memanfaatkannya secara langsung, baik air, padang rumput, maupun api bagi dirinya; memanfaatkan sumur, mata air, dan sungai yang mengalir, mengambil airnya dan dialirkan untuk (keperluan) hewan serta ternak-ternaknya. Para penggembala juga dapat menggembalakan hewan dan ternaknya di padang-padang rumput, begitu juga tukang pengumupul kayu boleh mengambil kayu di sana.

04. Seseorang boleh memasang alat (hidran) pengatur air di sungai yang besar untuk keperluan menyirami tanaman dan pohon-pohon miliknya. Karena sungai yang besar, terbuka luas bagi seluruh manusia, sehingga pemasangan alat-alat tertentu di atasnya tidak akan membawa kerusakan bagi seorang pun dari kaum Muslimin. Setiap orang dapat memanfaat...See more

05. Jenis keuda dari harta milik umum, adalah yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung, dan memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, seperti minyak bumi, gas, dan barang tambang. Untuk itu negaralah yang mengambil alih penguasaan eksploitasinya mewakili kaum Muslimin. Kemudian menyimpan pendapatannya di Baitul Mal kaum Muslimin. Khalifah adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatannya, sesuai dengan ijtihadnya, yang dijamin hukum-hukum syara', dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum Muslimin.

06. Dimungkinkan untuk melakukan pembagian hasil barang tambang dan pendapatan milik umum dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

Pertama, dibelanjakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemilikan umum, yaitu untuk:

1) Seksi pemilikan umum, bangunannya, kantor-kantornya, catatan-catatannya, sistem pengawasannya, dan pegawainya.

2) Para peneliti, para penasihat, para teknisi, dan para pegawainya. Orang-orang yang membaktikan dirinya untuk penyelidikan dan penemuan, eksplorasi minyak bumi, gas, dan barang-barang tambang, serta dana untuk eksploitasinya, untuk produksinya dan proses penyelesaiannya hingga membuatnya layak untuk digunakan, juga untuk orang-orang yang memberikan jasanya menemukan sumber air serta penyalurannya, dan untuk pembangkit listrik serta jaringan kawatnya.

3) Membeli berbagai peralatan dan (membangun) industri, pemboran dan penyulingan minyak bumi dan gas, pemisah dan pembersiha bijih-bijih barang tambang, pemrosesan barang-barang tambang hingga layak digunakan. Juga digunakan untuk pembelian ala-alat industri yang biasa dipakai pada industri-industri harta milik umum, dan proses pemanfaatannya.

4) Untuk alat-alat yang bisa mengeluarkan air, memompanya, dan untuk pipa-pipa salurannya.

5) Pembangkit listrik, stasiun-stasiunnya, tiang-tiang penyangga dan kawat-kawatnya.

6) Untu membeli kereta api dan trem listrik.
Top of Form
Bottom of Form
07. Seluruh pengeluaran ini berhubungan dengan pemilikan umum, termasuk administrasi dan pemanfaatannya. Karena itu, pengeluarannya menggunakan pendapatan dari harta milik umum. Ini serupa dengan memberikan upah kepada para pengelola zakat yang berasal dari harta zakat itu sendiri, sebagaimana firman Allah:

وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا

Dan untuk para amilnya. (TQS. at-Taubah [9]:60)

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan bagian bagi mereka dari zakat tersebut sesuai dengan jasa mereka dalam melaksanakan tugasnya.

08. Kedua, dibagikan kepada individu-individu rakyat, yang memang merupakan pemiliki harta milik umum beserta pendapatannya. Khalifah tidak terikat oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini. Khalifah berhak membagikan harta milik umum seperti air, listrik, minyak bumi, gas, dan segala sesuatu yang diperlukan, kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus di rumah-rumah mereka dan pasar-pasar mereka, secara gratis. Boleh saja Khalifah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah-murahnya, atau dengan harga pasar. Ia juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada mereka. Semua tindakah tadi dipilihnya dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

09. Ketiga, anggaran belanja negara pada saat ini sanga berat dan besar, setelah meluasnya tanggung jawab dan bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi. Kadangkala pendapatan umum yang merupakan hak Baitul Mal seperti fai, jizyah, kharaj, 'usyur, dan khumus tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seperti yang pernah terjadi di masa lalu, yaitu masa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, masa Khulafaurrasyidin, masa Umawiyah, masa Abbasiyah, sampai masa Utsmaniyah, di mana sarana kehidupan semakin berkembang, demikian juga bentuk-bentuk madaniyah mengalami perkembangan yang sangat cepat terutama persenjataan perang dan segala sesuatu yang menyebabkan berkembangnya rasa takut yang berimplikasi pada bertambahnya pengeluaran.

10. Karenanya, negara harus mengupayakan cara lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan wajib Baitul Mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak. Kewajiban tersebut berpindah kepada kaum Muslimin pada saat Baitl Mal kosong. Pembelanjaan wajib itu meliputi anggaran belanja kantor-kantor pemerintah, santunan bagi para penguasa, gaji tentara dan pegawai, memperbanyak persediaan air, membangun jalan, mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, membangun masjid-masjid dan rumah sakit yang sangat dibutuhkan bagi seluruh umat, yang ketiadannya menyebabkan timbulnya kerusakan. Juga pembelanjaan untuk orang-orang fakir, miskin, ibnu sabil, anak-anak yatim, para janda, dan orang-orang jompo. Juga pembelanjaan untuk menunaikan kewajiban jihad, mempersiapkan tentara yang kuat, untuk meningkatkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam jihad, seperti industri berat yang memproduksi senjata-senjata canggih berupa bom atom atau lainnya seperti rudal, pseawat-pesawat tempur, tank-tank, meriam-meriam, kamp-kamp militer, dan lainnya, sebagai pelaksanaan atas Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahui mereka. (TQS. Al-Anfâl [8]:60)

Semua itu memerlukan dana yang sangat besar. Untuk membiayai perkara-perkara tersebut, Khalifah akan menempuh salah satu dari tiga cara berikut ini –tentunya selain dari hasil pembebasan-:

1.      Pinjaman dari negara-negara asing maupun lembaga keuangan internasional
2.      Penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, baik berupa minyak bumi, gas alam, maupun barang-barang tambang lainnya
3.      Menetapkan pajak (dharîbah) kepada umat.