Zakat Tetumbuhan
(اخبرنا) علي بن احمد بن عبدان انبأ أبو القاسم سليمان بن احمد
اللخمي ثنا علي بن عبد العزيز ثنا أبو حذيفة ثنا سفيان عن طلحة بن يحيى عن ابي
بردة عن ابي موسى ومعاذ بن جبل ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثهما إلى اليمن
فامرهما ان يعلما الناس امر دينهم وقال لا تأخذا الصدقة الا من هذه الاصناف
الاربعة الشعير والحنطة والزبيب والتمر (السنن الكبرى للبيهقي, الجزء 4)
‘Alî
ibn Muhammad ibn ‘Abdân menceritakan kepada kami, Abû al-Qâsim Sulaymân
ibn Ahmad al-Lakhamî memberitakan kepada kami, ‘Alî ibn ‘Abdul ‘Azîz
menceritakan kepada kami, Abû Hudzaifah menceritakan kepada kami, Sufyân
menceritakan kepada kami, dari Thalhah ibn Yahyâ, dari Abû
Burdah, dari Abû Mûsâ dan Mu’âdz ibn Jabal, bahwa Rasulullâh shallallâhu
‘alaihi wasallam mengutus keduanya ke Yaman, lalu memerintahkan keduanya
untuk mengajari masyarakat tentang perkara agama mereka dan bersabda: Janganlah
kalian berdua mengambil shadaqah kecuali dari empat macam: sya’îr (gandum),
hinthah (jewawut), zabîb (kismis), dan tamr (kurma).
(Imam al-Bayhaqî, as-Sunan al-Kubrâ, Juz 4).
Riwâyah
01. Takhrîj.
Hadis ini telah dirilis oleh
ad-Dâruquthnî, al-Hâkim, dan al-Bayhaqî dari jalur Sufyân, dari Thalhah
ibn Yahyâ, dari Abû Burdah, dari Abû Mûsâ dan Mu’âdz ibn Jabal radhiyallâhu
‘anhumâ.
02. Status
Al-Hâkim berkata: Isnâdnya
shahîh. Adz-Dzahabî mendiamkan hal itu. Al-Bayhaqî
berkata: Para perawinya shahîh, dan ia muttashil.
Dirâyah
01. Hadis
di atas adalah dalil bahwa sya’îr (gandum), hinthah (jewawut),
zabîb (kismis), dan tamr (kurma) wajib diambil zakatnya. Tidak
ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
02. Para
ulama berbeda pendapat tentang kewajiban zakat untuk tetumbuhan selain empat
tersebut. Mereka terbagi ke dalam tiga pendapat. Pertama, tidak dipungut
zakatnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, al-Hasan al-Bashrî, al-Hasan
ibn Shâlih, Sufyân ats-Tsaurî, asy-Sya’bî, dan Ibnu Sîrîn. Imam Ahmad
menurut satu riwayat juga berpendapat demikian. Pendapat ini dipegang pula oleh
Abû ‘Ubaid, ash-Shun’ânî, asy-Syawkânî, dan al-Albâni, serta ‘Abdul Qadîm
Zallûm. Kedua, dipungut zakatnya. Ini adalah pendapat jumhûr dari
kalangan Syâfi’iyyah, Mâlikiyyah, Hânâbilah, meskipun mereka berbeda pendapat
tentang ‘illah-nya. Ketiga, diambil zakatnya dari setiap
tetumbuhan yang ditumbuhkan oleh bumi yang ditanam oleh manusia. Ini adalah
pendapat Abû Hanîfah, Dâwud azh-Zhahirî, dan Ibnu Hazm.
03. Pendapat yang lebih
tepat adalah pendapat pertama, berdasarkan beberapa argumentasi berikut.
04. Pertama, hadis
ini menggunakan lâ nahiyyah (yang bermakna melarang; diterjemahkan
dengan: jangan) yang diikuti dengan huruf illâ (diterjemahkan: kecuali,
selain, melainkan). Ungkapan semacam itu bermakna pembatasan, yaitu yang
diperintahkan untuk dipungut zakatnya adalah empat tanaman dan buah-buahan yang
disebutkan saja, yaitu jewawut, gandum, kismis, dan kurma. Di dalam hadis yang
lain, pembatasannya menggunakan kata innamâ, yang juga merupakan adâtul
hashri (huruf yang digunakan untuk membatasi).
05. Kedua,
lafal-lafal
yang digunakan dalam hadis di atas adalah ism jâmid (tidak derivatif),
sehingga tidak dapat diambil qiyâs-nya. Jadi, lafal-lafal jewawut,
gandum, kurma, dan kismis tidak mencakup yang lain kecuali
tumbuhan-tumbuhan yang ditunjuk oleh kata-kata tersebut semata.
Penjelasan Tambahan
01. Qiyâs
adalah
salah satu dalil syariat di antara dalil-dalil lain, yaitu Alquran, Assunnah,
Ijmak Sahabat.
02. Di
mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan
untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah
mahdhah pada hal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih di dalam
Al-Quran atau Sunnah shahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan Ijtihad
dan Istinbath dari pada Nash-nash yang ada, melalui persamaan ‘illat;
sebagaimana telah dilakukan oleh ‘ulama-‘ulama Salaf dan Khalaf.
03. Qiyâs
yang
dimaksud di sini adalah qiyâs yang memenuhi kriteria syariat, yaitu
memenuhi empat rukun qiyâs: al-Ashlu (dalil pokok yang akan diqiyâskan
kepadanya), al-Far’u (cabang kasus yang akan diqiyâskan), al-Hukmusy
asy-Syar’iyyu al-Khâshsh bil Ashl (Hukum syariat mengenai dalil pokok),
serta al-‘Illah (alasan atas hukum yang mencakup dalil pokok maupun
cabang kasus).
Pustaka
01. Minhatul ‘Allâm fî
Syarhi Bulûghil Marâm, ‘Abdullâh ibn Shâlih al-Fawzân, Juz 4.
Dâru Ibnil Jawzî, 1428 H.
02. Subulussalâm
al-Mûshilah ilâ Bulûghil Marâm. Muhammad ibn
Ismâ’îl al-Amîr ash-Shun’ânî, Juz 4. Dâru Ibnil Jawzî. Jeddah-Riyâdh, 1421 H.
03. Taysîrul
Wushûl ilâ al-Ushûl; Dirâsât fî Ushûlil Fiqhi. ‘Athâ`
ibn Khalîl. Dârul Ummah. Beirut, 1421 H/2000 M.
04. Al-Amwâl
fî Dawlah al-Khilâfah, ‘Abdul Qadîm Zallûm. Dârul ‘Ilmi
al-Malâyîn. 1425 H/2004 M.
05. Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dewan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 1387 H/1967 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar