Komentar Atas Gagasan Aris Arif
Mundayat; Komentar Atas Wawancara
Oleh: Shofhi Amhar
Pengantar
Pengaruh
pemikiran Barat sudah sedemikian menyebar dan meracuni sebagian putra-putri
kaum muslimin. Ketika membaca Majalah Suara Muhammadiyah, penulis
menemukan salah satu tulisan yang merupakan hasil wawancara Deni al Asy’ari
dengan Dr. Aris Arif Mundiyat yang merupakan Ketua Program Studi HAM dan
Demokrasi UGM serta Kepala Pusat Studi Asia Tenggara UGM. Transkrip wawancara
tersebut diberi judul: Indonesia Perlu Terapkan Islam Yang Terbuka dan Non Rezimented.
Penulis
membaca, lontaran-lontaran yang dikemukakan oleh Dr. Aris tidak sesuai dengan
yang diajarkan oleh Islam. Karena pada dasarnya sesuatu yang salah itu harus
diluruskan, maka saya mencoba menulis komentar ini, agar dapat diambil manfaat
oleh para pembacanya. Berikut adalah pernyataan-pernyataan Dr. Aris Arif
Mundayat, menyusul kemudian komentar saya pada setiap jawabannya untuk satu
pertanyaan.
Universalisme dan
Partikularisme Islam
Deni: Islam merupakan agama
yang bersifat universal yang berlaku bagi setiap zaman dan waktu, bagaimana
anda mamaknai konsep ini dalam konteks keberagamaan dan kebangsaan?
Aris: Konsep universalisme Islam sesungguhnya terkandung dalam nilai-nilai
yang substantif pada ajaran Islam, dalam muatan ajaran tersebut, secara
keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh ajaran atau agama mana pun, baik
itu agama Budha, Hindu, Kristen maupun agama lainnya. Karena tidak ada
ajaran Islam yang mengandung ajaran yang buruk. Oleh karenanya semua
nilai kebaikan tersebut merupakan nilai-nilai yang universal yang juga
terkandung dalam paham atau agama lain. Walaupun ada
aspek-aspek yang tidak sesuai dengan Islam dari beberapa ajaran lain,
namun secara universal pasti ada antara masing-masing ajaran yang sesuai
dengan ajaran Islam. Dalam konteks itulah saya melihat pengertian
universalisme Islam itu bisa dimaknai.
Komentar:
Paragraf
di atas mengandung kontradiksi. Di satu sisi menyatakan bahwa Islam mengandung
nilai-nilai substantif yang secara keseluruhan dapat berlaku dan diterima oleh
ajaran atau agama mana pun, namun di sisi lain dinyatakan pula bahwa ada
aspek-aspek dari paham atau agama lain yang tidak sesuai dengan Islam.
Kerancuan
itu terjadi karena cakupan dan batasan dari beberapa konsep yang dikemukakan
tidak jelas atau bahkan kabur sama sekali, karena tidak adanya penjelasan. Apa
saja “nilai-nilai substantif” yang dinyatakan bisa diterima oleh ajaran
agama mana pun itu? Kita ambil salah satu contoh ajaran Islam: Tauhid.
Apakah tauhid, di dalam Islam dan bagi kaum muslimin merupakan salah
satu nilai substantif? Jika tauhid tidak dianggap salah satu nilai substantif
dari ajaran Islam, maka bubar agama ini. Bahkan murtadlah orang yang
menyatakannya. Lalu apakah tauhid bisa diterima oleh seluruh seluruh agama
semisal Budha, Hindu, Kristen, dan Agama lainnya? Jika iya, maka tentu mereka
tidak akan berbetah-betah memeluk agamanya, sebab dengan tetap memeluk agamanya
berarti mereka sedang enggan memeluk salah satu nilai substantif dari ajaran
Islam, bahkan pada bagiannya yang paling fundamental.
Deni: Dalam Kondisi sekarang ini, sebagian besar umat Islam ada yang
mencoba menarik nilai universal Islam ini ke arah partikularistik yang bersifat
Arabisme. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi?
Aris: Fenomena seperti ini bisa
terjadi karena kondisi dan konteks perkembangan globalisasi. Sebagaimana yang
diketahui, bahwa setelah globalisasi fase pertama, yang ditandai dengan
ekspansi Cina dan India dalam mempengaruhi Asia Tenggara, Dunia Arab memang
pernah berjaya pada fase globalisasi selanjutnya atau pada tahap kedua. Bahwa
globalisasi pada tahap kedua ini, globalisasi bersentuhan dengan dunia Arab,
kemudian di sana mulai masuk dunia perdagangan Arab di situ, keberadaan dunia
Arab dalam hal ini secara tidak langsung telah menggeser ekonomi perdagangan
Cina dan India yang telah masuk pada globalisasi tahap pertama di Asia
Tenggara. Bahkan dunia Arab melalui perdagangannya mampu mendominasi dan
memarginalkan elemen-elemen India dan Cina di wilayah Asia Tenggara.
Pada konteks itulah kemudian masuk
Islam di dalamnya. Pada saat Islam masuk serta mendominasi dunia ekonomi di
wilayah Asia tengara dan Asia selatan, disitu dominasi dunia Arab begitu kuat
dengan menggunakan bendera Islam dalam proses perdagangan. Di sana terjadi
proses konversi dari Hindu dan Budha ke Islam. Kemudian pada era gelombang
globalisasi era kedua ini pula mereka bersentuhan dengan kolonialisme, dalam
konteks ini kita bisa melihat bagaimana Islam memberikan kontribusi terhadap kebangkitan
rasa nasionalisme pada wilayah Asia Tenggara ketika berhadapan dengan dengan
kolonialisme.
Khusus untuk wilayah Indonesia dan
Malaysia, Islam mampu menjadi simbol yang kuat untuk mempersatukan wilayah yang
ada di negara ini. Sehingga Indonesia dan Malaysia memiliki semangat yang sama
dalam melawan kolonialisme pada saat itu, kalau Indonesia melawan jajahan
Belanda, sedangkan Malaysia melawan jajahan Inggris. Untuk wilayah Indonesia
sendiri, fenomena kuatnya pengaruh Islam atau Arab ini bisa
dilihat di wilayah Riau, Sumatera Barat, dan Aceh, sedangkan pada wilayah
lain seperti di Jawa memang masih cenderung bersifat sinkretis. Selanjutnya
dalam hubungan ini, memang sudah ada benih anti barat, tetapi di zaman itu
Arabisasi memang tidak terlalu begitu kuat, karena memang Islam pada waktu itu
sedang mencoba mengambil hati orang-orang yang ada di wilayah Indonesia,
Malaysia dan beberapa daerah di wilayah Asia tenggara.
Akan tetapi harus diakui, bahwa
pada saat itu represi terhadap Islam memang sangat kuat, apalagi saat itu
ekonomi masih dikuasai oleh Kolonial. Oleh karenannya, pada saat itu terjadi
proses dekolonialisasi yang cukup hebat, namun seiring dengan itu, posisi Islam
pun semakin menguat sebagai basis kekuatan masyarakat.
Kemudian ketika Islam mulai
menguat, maka tahap selanjutnya Islam meletakkan dirinya sebagai simbol
oposisional terhadap Barat/kolonial. Tapi Islam di zaman itu masih Islam yang
mengakomodir elemen-elemen lokal. Sementara dalam proses globalisasi pada tahap
gelombang ketiga, yang ditandai dengan proses menguatnya kolonialisasi yang
dilakukan melalui proses media, modal dan sebagainya, Barat sangat berkepentingan
di balik semua itu.
Namun, untuk memberikan perlawanan
yang massif, Islam sesungguhnya pada saat itu belum memiliki basis ekonomi yang
kuat, padahal dia berdasarkan pengalaman masa kolonial dan pasca kolonial, dia
sudah menjadi simbol yang berseberangan dan oposisional terhadap barat. Oleh
karenanya, untuk memperkuat arus oposisional Islam ini, orang kemudian mencari
upaya pemurnian Islam sebagai simbol yang lebih kuat dalam berseberangan dengan
Barat. Namun model pemurnian ini cenderung dengan upaya penyerapan tradisi atau
paham Arabisme, seperti berpakaian, gaya hidup atau tampilan yang bersifat
fisik. Disinilah paham Arabisme itu muncul sebagai penguatan terhadap
oposisional Islam.
Komentar:
Ada
beberapa hal yang ingin saya catat. Pertama, disadari atau tidak, ada
kesan bahwa pak Doktor menempatkan Islam sebagai sesuatu di luar dirinya, atau
dengan kata lain, beliau bukan bagian dari Islam. Beberapa kalimatnya
mencerminkan seperti itu. Sikap seperti ini bagi seorang muslim cukup
disayangkan. Kedua, apa yang disebut sebagai paham Arabisme dalam
jawaban di atas tidak cukup jelas, sehingga bisa mengundang beragam
interpretasi. Padahal kejelasan ini penting, agar tidak terjadi kerancuan
pemahaman bagi sidang pembaca, apalagi ternyata kemudian dikait-kaitkan dengan
“pemurnian Islam”, sebuah kata yang juga menjadi image persyarikatan
Muhammadiyah. Mengaitkan pemurnian Islam dengan Arabisme, yang dinyatakan
sebagai penyerapan tradisi seperti berpakaian, gaya hidup, tampilan fisik, dll,
tentu saja mengundang beragam tanya: Siapa aktor “pemurnian Islam” yang beliau
maksud? Selanjutnya, apakah pakaian (misal: kewajiban menutup aurat, mengenakan
jilbab), gaya hidup (misal: rajin sedekah, shalat sunnah, dll), serta tampilan
yang bersifat fisik (misal: memakai peci, sorban, mengenakan wewangian, siwak,
dll) merupakan sesuatu yang terlarang di dalam Islam? Jika mau jujur, hal-hal
tersebut paling rendah berkualitas mubah alias sah-sah saja, sebagian sunah,
dan bahkan sebagian lain wajib. Apakah memahamkan kepada masyarakat bahwa
sesuatu yang wajib itu harus dilaksanakan, menganjurkan mereka untuk melakukan
hal-hal yang disukai (mandub), mempersilakan untuk memilih di antara
perkara-perkara mubah ini yang kemudian disebut sebagai paham Arabisme? Jika
iya, maka tak ada yang salah sama sekali dengan paham Arabisme. Hanya saja,
makna seperti ini tidak pantas disebut Arabisme. Namun jika yang dimaksud
adalah mengambil semua yang berbau Arab tanpa menimbang lagi apakah diajarkan
oleh Islam atau tidak, maka siapa pun yang menyatakan adanya fenomena Arabisme
perlu mendatangkan bukti. Semua orang harus menentang paham Arabisme dalam
maknanya yang kedua.
Hanya saja, untuk meluruskan
pemahaman, perlu dikemukakan di sini bahwa Islam tidaklah dapat dipisahkan dari
bahasa Arab, sebab bahasa Arab adalah bahasa Alquran, bahasa Assunnah, serta
bahasa sebagian besar literatur-literatur ke-Islaman. Pengambilan kesimpulan (istinbâth)
dan penggalian (ijtihâd) hukum tidak bisa dilakukan tanpa memahami
bahasa Arab. Karenya, Islam tidak boleh dijauhkan dari kharisma bahasa Arab.
Menjauhkan kaum muslimin dari bahasa Arab dengan sengaja adalah sebuah
kejahatan.
Deni: Namun apakah Arabisme
yang muncul saat itu betul-betul merepresentasikan universalisme Islam yang
hadir sebagai solusi?
Aris: Jadi ketika Arabisme ini
masuk dan diterapkan, maka jangan ia dilihat sebagai Islam, sebab ketika
terjadi dominasi Arabisme ini, justru saya melihat Islam kehilangan nilai-nilai
rahmatan lil’alaminnya. Karena Arab bukanlah merepresentasikan secara total konsep
rahmatan lil ‘alamin tersebut, namun yang rahmatanlil’alamin adalah
Islam.
Bahkan dengan adanya paham
Arabisme ini, membuat nilai-nilai universal Islam itu semakin berkurang, karena
orang tidak bisa lagi memisahkan antara Islam dan Arab itu sendiri.
Seolah-olah antara Islam dan Arab menjadi sesuatu yang menyatu, padahal
meletakkan paham yang demikian, merupakan sesuatu yang bisa berbahaya, karena
ada elemen-elemen lokal yang juga sesuai dengan cara berpikir dan
prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajaran Islam. Jadi ketika Arabisme masuk maka
tidak ada bedanya dengan dominasi barat melalui media dan kapitalisme. Karena
dia memarginalkan elemen-elemen lokal. Oleh karenanya ketika Arabisme
masuk, maka rahmatan lil’alamin Islam akan menjadi hilang. Karena orang melihat
antara Arab dan Islam sama, padahal itu sesuatu yang berbeda.
Komentar:
Ada tiga hal yang perlu mendapat
perhatian. Pertama, tentang makna universalisme Islam dan konsep
rahmatan lil ‘âlamîn. Kedua, gagasan pemisahan antara Islam dan Arab. Ketiga,
tentang elemen-elemen lokal.
Pertama, tentang universalisme Islam. Istilah atau
konsep tertentu yang disandarkan kepada Islam harus didasarkan kepada
dalil-dalil maupun karakteristik dalil-dalil yang diakui oleh Islam. Dengan
kata lain, bahwa konsep dimaksud pada asalnya memang bukan berasal dari
pandangan hidup selain Islam, melainkan berasal dari Islam itu sendiri.
Perlakuan yang sama juga perlu dikenakan pada makna unversalisme Islam.
Dalil-dalil yang sesuai dengan makna ‘universal’ menunjukkan bahwa Islam itu
agama yang universal dalam arti: 1) ajarannya berlaku sampai akhir zaman, 2)
ajarannya berlaku untuk seluruh umat manusia, 3) ajarannya sesuai dengan fitrah
manusia seluruhnya. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak berarti bahwa
seluruh manusia akan dapat menerima Islam sebagai agama mereka. Taruhlah,
misalnya, seluruh manusia di muka bumi ini menolak Islam, tak ada satu pun di
antara mereka yang memeluk dan mengakuinya, hal itu sama sekali tidak
menghilangkan sifat Islam yang universal dalam ketiga maknanya tadi. Sebab
penolakan mereka itu bisa terjadi karena bisikan setan, menuruti hawa nafsu,
serta kesombongan. Adapun sifat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka benar
bahwa yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam, bukan Arab. Perlu juga
ditekankan, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri, bukan agama dan
ideologi lain di luar Islam semisal Hindu, Budha, Kristen, sekulerisme,
kapitalisme, sosialis, dan lain-lain, juga bukan sesuatu yang diklaim sebagai
nilai-nilai substantif oleh sebagian orang yang pada kenyataannya justru
disanggah oleh dalil. Lagi, yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam itu sendiri,
bukan ‘nilai-nilai substantif’ yang sering justru mereduksi ajaran-ajaran Islam
yang bersifat pasti sekalipun.
Kedua, tentang pemisahan Islam dengan Arab. Benar,
bahwa Islam bukan Arab. Segala tradisi yang dicela oleh Islam, entah Arab
ataukah Jawa, maka ia tercela. Sebaliknya, tradisi yang tidak dicela oleh
syariat, maka ia tidak tercela; tidak peduli apakah tradisi itu berasal dari
timur ataukah barat. Inilah pandangan Islam mengenai tradisi. Namun perlu
diperhatikan bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari bahasa Arab, sebagaimana
dijelaskan di atas. Ini sekaligus juga menjadi jawaban tentang kekhawatiran
tergerusnya elemen-elemen lokal, bahwa selagi elemen-elemen lokal tidak dicela
oleh Islam, maka sah-sah saja jika tetap ingin dipelihara.
(Bersambung, in syâ Allâh)
10 Shafar 1431 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar