ADA-TIDAKNYA TUHAN KANTONGI SAJA DI SAKU
KALIAN
Di suatu grup sekuler, ketika terjadi suatu
diskusi mengenai ada-tidaknya Tuhan, salah seorang sekuleris mengatakan begini:
“wuih
jadi pada ribut .. hayo yg sekuler .. berTuhan atau pun tak berTuhan .. jgn mau
diprovokasi
ada
atau tidak Tuhan itu .. fakta atau pun bukan .. simpan pemikiran itu dalam saku
masing2 .. yg perlu disepakati di group ini adalah SEKULERISME ..urusan beragama
atau tidak adalah urusan personal .. SADAR OOOYYYY !!”
Pilihan yang harus dilakukan seorang muslim |
Pemikiran tentang Tuhan, menurut sekuleris
tersebut, adalah urusan personal. Pemikiran tentang Tuhan harus disimpan di
dalam saku masing-masing, tidak perlu disampaikan kepada orang lain. Demikianlah
sekulerisme menitahkan.
Bagi agnostis maupun ateis, barangkali
pemikiran sedemikian adalah hal yang mudah. Bagi ateis, Tuhan memang tidak ada,
dan tidak menitahkan apa-apa. Sedangkan agnostis, bagi mereka, tidak ada
urusannya dengan Sang Pencipta, sebab sejak mula mereka meragukan eksistensi-Nya,
apatah lagi dengan aturan-Nya; sama sekali tidak penting untuk kehidupan
manusia. Jadi, bagi mereka tidak ada masalah dengan suruhan: Kantongi saja ide
ketuhanan di saku kalian.
Tetapi bagi orang yang percaya eksistensi Sang
Pencipta, ide semacam itu semestinya menimbulkan pertanyaan: Apakah Sang
Pencipta memang menghendaki demikian? Pertanyaan ini tentu akan muncul di benak
orang yang meyakini eksistensi Tuhan.
Saya ingin bertanya kepada peyakin keberadaan
Sang Pencipta, apapun agamanya, apakah pertanyaan semacam itu muncul di benak
kalian? Jika tidak, alangkah indahnya jika memeriksa kebali kadar keyakinan
kita akan eksistensi-Nya, tentang Kemahakuasaan-Nya, serta tentang tujuan-Nya
menciptakan kita.
Bagi umat Islam, saudaraku terkasih semuanya,
Alquran adalah Kitab Suci yang tidak diragukan lagi. Seorang muslim tidak ragu
bahwa Alquran berasal dari Sang Pencipta. Juga tidak ragu bahwa segala perintah
di dalamnya membawa kebaikan. Dan di dalam Alquran, terdapat jawaban atas
pertanyaan penting di atas: Apakah Sang Pencipta menghendaki kita bersikap
sekuler? (Yaitu hanya menjadikan pemahaman tentang ketuhanan sebagai sesuatu
yang cukup dikantongi, tidak perlu disebarkan kepada manusia bumi.)
Ada lebih dari lima puluh ayat memerintahkan
kita untuk bertakwa. Sementara itu, junjungan kita Nabi Agung Muhammad shallallâhu
‘alaihi waâlihi wasallam pernah berpesan kepada dua orang Sahabat beliau,
Abû Dzarr al-Ghifârî dan Mu’âdz bin Jabal:
اتق الله حيثما كنت
Bertakwalah engkau di mana saja engkau berada.
Al-Munâwî menjelaskan potongan Sabda Nabi
tersebut sebagai berikut:
(اتق الله) بامتثال أمره وتجنب نهيه (حيثما كنت) أي وحدك أو في جمع فإن كانوا أهل بغي أو فجور فعليك بخويصة نفسك أو المراد في أي زمان ومكان كنت فيه رآك الناس أم لا فإن الله مطلع عليك واتقوا الله إن الله كان عليكم رقيبا
“[Bertakwalah
kepada Allah] dengan merealisasikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya [di
mana saja engkau berada] yaitu baik ketika sendirian atau ketika di tengah
sekelompok orang, meskipun mereka adalah orang yang durhaka atau pendosa, maka engkau
tetap wajib mengkhususkan dirimu (untuk bertakwa). Atau yang dimaksud adalah (bertakwalah)
di waktu kapan pun dan tempat manapun, ketika engkau dilihat orang atau tidak,
karena Allah memperhatikanmu. Dan bertakwalah kalian, sesungguhnya Allah mengawasi
kalian.”
Demikianlah titah Allah dan Rasul-Nya,
menyuruh manusia untuk bertakwa di mana saja dan kapan saja, baik ketika sendirian,
atau ketika berperan menjadi anggota masyarakat maupun pejabat negara. Dalam semua
kondisi itu, seorang muslim tidak boleh lepas dari takwa. Tidak ada ruang bagi
sekulerisme di dalam benak seorang muslim. Sebab menjadi sekuler sama artinya menyengaja
melepaskan takwa ketika berada di tempat dan waktu tertentu—sesuatu yang justru
bertentangan dengan titah Sang Pencipta dan Rasul-Nya, yang menyuruh untuk
bertakwa di mana saja dan kapan saja.
Mungkin sebagian orang sekuler akan berkelit:
Dalam sekuler boleh BERTAKWA kok. Kasih contoh TAKWA
yang tidak bisa dijalankan pada NEGARA SEKULER. Coba kalau anda ke negara sekuler,
apakah anda disuruh melepaskan takwa anda?
Maka kita jawab:
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk memerintah
dengan hukum Allah dan memutuskan hukum berdasarkan hukum Allah. Menjalankan perintah
tersebut adalah salah satu bukti teragung sebuah ketakwaan. Sementara meninggalkannya
adalah maksiat besar, menyalahi sikap takwa; lebih-lebih jika sampai ridha
dengan hukum selain Allah. Na’udzu billah.
Apakah perintah Allah di atas dibolehkan oleh
sekulerisme? Tidak akan! Karena definisi sekuler sendiri adalah memisahkan
agama dari kehidupan publik. Sedangkan urusan agama, harus disudutkan ke kehidupan
pribadi semata-mata. Agama tidak boleh dibicarakan di kehidupan publik, apalagi
digunakan untuk mengaturnya. Padahal perintah Allah di atas justru untuk
dipraktikkan dalam kehidupan publik, bukan sekedar kehidupan pribadi. Jika anda
berada di negara sekuler, agama tidak boleh ditampakkan dalam kehidupan umum,
apalagi pemerintahan. Jika anda tetap membicarakannya, berbagai intimidasi akan
dilakukan; paling tidak anda akan diteriaki oleh orang-orang sekuler. Tidakkah dengan
demikian, sekulerisme benar-benar bertentangan dengan perintah ar-Rahman untuk
mencapai ketakwaan?
Miliran, 30 Rabi’ul Awwal 1435 H/03 Februari
2014 M 04:07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar