Konsep
Kenabian Ahmadiyah dan Ahlus Sunnah
Muhammad Shadiq bin Barakatullah dalam buku Penjelasan
Ahmadiyah menyatakan di halaman 111:
“Jamaah Ahmadiyah mempunyai keyakinan bahwa
pengakuan Ahlis-Sunnah Wal-Jamaah itulah yang betul, karena pengakuan itu
dibenarkan oleh ayat-ayat Al-Quran, Hadits-hadits Nabi dan kata-kata
Waliyullah, sedang Ahmadiyah bersedia untuk mengemukakannya dimana diperlukan.”
Sebelumnya, Muhammad Shadiq membagi pemahaman kaum
muslimin tentang kenabian menjadi tiga. Berikut penjelasannya secara lengkap:
“(1) Golongan Al-Jahamiyah dan orang-orang
Mu’tazilah yang setuju dengan golongan itu mengakukan bahwa tidak akan ada
sembarang Nabi sesudah Nabi Muhammas S.a.w baik yang membawa syari’at baru
maupun yang tidak membawa syariat baru. Karena itu mereka mendustakan semua
Hadits yang menerangkan Nabi Isa a.s. akan datang di kemudian waktu.
(2) Golongan al-Manshuriyah, Al-Khithabiyah, Al-Bazi’iyah
dan Al-Yazidiyah dan lain-lain yang mengakukan bahwa sembarang Nabi boleh
datang sehingga satu golongan “Al-Bahaiyah” namanya percaya kepada kitab
“AL-BAYAN” yang memansukhkan Al-Quranul-Majid bahkan mereka percaya kepada satu
kitab lagi “AL-AQDAS” namanya, yang memansukhkan Al-Quranul-Majid dan
“AL-BAYAN” sekaligus. Akan tetapi mereka tidak berani menyiarkan kitab-kitab
itu, kecuali hanya kepada orang-orang yang sudah setuju dengan mereka saja,
sebab kedua kitab itu mengandung bermacam-macam perkara yang karut-marut.
(3) Golongan Ahli-Sunna Wal-Jamaah mengakukan
bahwa Nabi yang membawa syari’at baru tidak akan diutus lagi. Adapun Nabi
pengikut yang diperintah memajukan syari’at Islam itu boleh diutus. Hal ini
nanti akan dijelaskan dengan keterangan-keterangan insya Allah.” (halaman
110-111)
Dengan keterangan tersebut, penulis Ahmadiyah
berusaha untuk memberitahu pembaca bahwa konsep kenabian yang mereka pahami
sama dengan yang dipahami oleh Ahlu Sunnah wal Jamaah. Untuk meyakinkan hal
ini, mereka pun membawakan perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
bernada “dimungkinkan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad”. Bahkan, untuk
menguatkan kesamaan tersebut, penulis Ahmadiyah menyatakan dengan nada
menyayangkan:
“Orang-orang Islam di masa sekarang kebanyakan mau
mengikuti arti yang digunakan oleh golongan Al-Jahamiyah dan Al-Mu’tazilah,
pada hal arti itu bertentangan dengan arti yang telah dijelaskan oleh semua
Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah di masa dahulu.”
Kemudian penulis Ahmadiyah ini membawakan sepuluh
poin yang berisi perkataan para ulama, yaitu: (1) Hadhrat Mulla Ali al-Qari,
(2) Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawiy, (3) Hadhrat As-Sayyid Abdul-Karim Al-Jailani,
(4) Hadhrat Ibnu Arabi, (5) Hadhrat Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, (6) Allamah Ibnu
Khaldun, (7) Hadhrat Imam Zurqani, (8) Sayyidatuna ‘Aisyah r.a., (9) Hadhrat
Mughirah bin Syu’bah, serta (10) Semua Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jamaah yang telah menulis
Tafsirul-Quranil-Majid. Di dalam poin kesepuluh tersebut, disebutkan keterangan
dari Tafsîr al-Jalâlain, Jâmi’ul Bayân, serta al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.
Mempertimbangkan pernyataan poin (10) yang
bombastis karena membawa-bawa nama ‘semua Imam Ahlis-Sunnah’, maka dalam
kesempatan ringkas ini akan diketengahkan perkataan-perkataan dari sumber yang
mereka kutip, yang cukup untuk membuktikan sejauh mana kebenaran pendakuan
mereka, dengan mempertimbangkan kesesuaian pernyataan beliau-beliau itu dengan pernyataan
penulis Ahmadiyah pada akhir halaman 116:
“Kalau musuh-musuh Ahmadiyah hendak mengkafirkan kami,
karena mengatakan arti Khâtaman-Nabiyyîn tersebut, maka sudah tentu para
Imam Ahlis-Sunnah Wal-Jama’ah akan menjadi kafir dan murtad bersama-sama
Ahmadiyah. Sebaliknya, kalau para Imam itu benar, maka tidak ada jalan bagi
ulama untuk mengkafirkan Ahmadiyah.”
Benarkah logika berpikir yang mereka bangun itu?
Perlu diketahui, bahwa Ahmadiyah berpandangan, setelah Nabi Muhammad, masih
mungkin ada Nabi, namun tidak membawa syariat. Jumlah Nabi tersebut tidak dibatasi
hanya satu orang saja, dan Nabi tersebut sama sekali bukanlah ‘Îsâ ‘alaihissalâm
yang diutus kepada Bani Israil. Maka, ada tiga persoalan yang perlu dijawab
oleh kaum Ahmadiyah, jika mereka mau jujur.
Jika kaum Ahmadiyah menolak dikafirkan karena mereka
merasa bahwa pemahamannya sesuai dengan pandangan para Imam Ahlus Sunnah, maka
benarkah para Imam Ahlus Sunnah berpandangan masih mungkin ada Nabi setelah
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam?
Jika kaum Ahmadiyah menuntut perlakuan yang sama
terhadap para Imam Ahlus Sunnah karena mereka berpandangan masih bolehnya ada
Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam sebagaimana
Ahmadiyah yang dikafirkan karena hal tersebut, maka benarkah para Imam tersebut
berpandangan bahwa Nabi yang dikabarkan oleh Rasulullah Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wasallam akan turun di akhir zaman adalah Nabi baru dan
bukannya ‘Îsâ ‘alaihissalâm yang merupakan Nabi terakhir bagi Banî
Isrâîl?
Dan terakhir, jika kaum Ahmadiyah berkeyakinan bahwa
orang yang meyakini adanya manusia yang diangkat sebagai Nabi setelah Nabi
Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam wafat tidak bisa
dikafirkan, maka benarkah para Imam yang namanya mereka catut itu berkeyakinan
sama dengan mereka?
Kita akan dapatkan keterangan-keterangan tentang
hal itu sebentar lagi, In syâ`allâh.
Mengenai kutipan dalam tafsir Al-Jalalain, penulis
Ahmadiyah menyatakan:
“... tatkala awal menerangkan tafsir Khâtaman-Nabiyyîn,
maka mereka telah menjelaskan pula kedatangan Nabi Isa a.s. di akhir zaman
dan mereka berkata:
وإذا
نزل السيد عيسى يحكم بشريعته
Apabila
Isa a.s. akan turun, maka beliau akan mengikuti dan berhukum kepada syariat
Nabi Muhammad s.a.w. (Tafsîr al-Jalâlain)”
Pernyataan yang dikutip oleh penulis Ahmadiyah di
atas adalah bagian akhir dari pernyataan penulis Tafsîr al-Jalâlain. Lengkapnya
adalah sebagai berikut:
{ مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبآ أَحَدٍ مِّن
رِّجَالِكُمْ } فليس أبا زيد أي والده فلا يحرم عليه التزوّج بزوجته زينب { ولكن }
كان { رَّسُولَ الله وَخَاتَمَ النبيين } فلا يكون له ابن رجل بعده يكون نبياً .
وفي قراءة بفتح التاء كآلة الختم : أي به ختموا { وَكَانَ الله بِكُلِّ شَىْءٍ
عَلِيماً } منه بأن لا نبيّ بعده ، وإذا نزل السيد عيسى يحكم بشريعته .
Artinya: {Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah
seorang dari para lelaki kalian} maka beliau bukanlah bapaknya Zaid, yaitu
bukan ayahnya, sehingga tidak haram bagi beliau untuk menikahi (mantan) isteri Zaid,
Zainab {tetapi} beliau adalah {Utusan Allah dan Khâtimun-Nabiyyîn} maka tidak
akan memiliki anak; seorang laki-laki yang akan menjadi Nabi setelahnya. Dalam
satu qirâ`ah, dengan tâ` dibaca fathah, seperti
alat untuk mengakhiri, artinya: dengan beliau para Nabi telah berakhir. {Dan
adalah Allah Maha Mengetauhi tentang segala sesuatu} antar lain bahwasanya
tidak ada lagi Nabi setelahnya, dan apabila Tuan ‘Îsâ turun, ia akan
berhukum dengan syariatnya.
Pernyataan (tidak akan memiliki anak; seorang laki-laki
yang akan menjadi Nabi setelahnya) menunjukkan bahwa penulis Tafsîr
al-Jalâlain berpandangan bahwa tidak akan ada orang setelah beliau yang
akan menjadi Nabi. Adapun pernyataan yang dikutip penulis Ahmadiyah (dan
apabila Tuan ‘Îsâ turun, ia akan berhukum dengan syariatnya) tidak dapat
menjadi bukti bahwa penulis Tafsîr al-Jalâlain berpandangan bisa ada
Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam. Nabi ‘Îsâ ‘alaihissalâm, meskipun akan
datang lagi sebelum hari kiamat, namun beliau bukanlah ‘lelaki setelah beliau shallallâhu
‘alaihi wasallam’, melainkan ‘lelaki sebelum beliau shallallâhu
‘alaihi wasallam’ atau lengkapnya ‘lelaki sebelum dan sesudah beliau
sekaligus’.
Adapun keterangan berikut yang dinyatakan terdapat
dalam kitab Jâmi’ul Bayân karya Ibnu Jarîr ath-Thabarî, maka penulis
tidak menemukan keterangan seperti ini dalam kitab tersebut:
وعيسى
ينزل بدينه مؤيدا له
Isa a.s. akan turun dengan
agama Nabi Muhammad s.a.w dan akan menguatkannya dan akan menolongnya.
Dan kalaupun pernyataan tersebut benar ada –dan memang maknanya benar,
hanya saja tidak ditemukan dalam Jâmi’ul Bayân karya Imam ath-Thabari;
rupanya yang dimaksud bukan Jâmi’ul Bayân karya beliau, melainkan karya
ulama yang lain–, maka tidak serta-merta membenarkan pandangan mereka bahwa penulis
kitab tersebut berpandangan akan ada Nabi yang diutus setelah Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wasallam selain
‘Îsâ ‘alaihissalâm. Bahkan, keterangan dari kitab Jâmi’ul Bayân mengenai
tafsir Surat al-Ahzâb [33]:40 justru menolak anggapan mereka terhadap Imam
ath-Thabarî tentang hal tersebut. Mari kita baca keterangan beliau tentang
kemungkinan ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi
wasallam berikut:
يقول تعالى ذكره: ما كان أيها الناس محمد أبا زيد بن حارثة، ولا
أبا أحد من رجالكم (1) الذين لم يلده محمد؛ فيحرم عليه نكاح زوجته بعد فراقه
إياها، ولكنه رسول الله وخاتم النبيين، الذي ختم النبوة فطبع عليها، فلا تفتح لأحد
بعده إلى قيام الساعة، وكان الله بكل شيء من أعمالكم ومقالكم وغير ذلك ذا علم لا
يخفى عليه شيء.
Artinya: Dzat yang Sebutannya Mahatinggi berfirman: Bukanlah, wahai
manusia, Muhammad itu seorang bapak dari Zaid bin Hâritsah, bukan juga bapak
dari salah seorang di antara para lelaki kalian yang tidak dilahirkan oleh
Muhammad; sehingga haram menikahi isterinya setelah ia menceraikan isterinya
itu, tetapi ia adalah Rasulullah dan Khâtamun Nabiyyîn, yang mengakhiri kenabian
sehingga ia menutup kenabian itu. Maka tidak terbuka bagi seorang pun
setelahnya sampai hari kiamat. Dan adalah Allah, atas segala sesuatu dari
amal-amal, perkataan kalian, dan lain, memiliki ilmu; tidak samar bagi-Nya
sesuatu pun.
Perhatikan pernyataan yang ditebalkan. Amat terang bahwa Imam Abû Ja’far tidak
berpandangan bahwa ada kemungkinan akan ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wasallam. Ini satu soal.
Soal lainnya, penulis Ahmadiyah perlu jujur, ‘Îsâ yang diyakini oleh Imam
Ibnu Jarîr akan turun itu Nabi ‘Îsâ Isrâilî yang mereka yakini telah meninggal,
ataukah orang lain? Jika ternyata yang diyakini oleh Imam Ibnu Jarîr tidak
seperti yang mereka yakini, mereka harus berlapang dada dengan kenyataan bahwa
mereka tidak bisa disamakan dengan para Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Wallâhu A’lamu.
Sedayu, 19 Sya’bân 1436 H/06 Juni 2015 M 12.16 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar