Objek
Seruan Fardhu Kifâyah
Tulisan ini adalah ulasan ringkas dari buku yang
berfaidah dalam tema fardhu kifayah karya Dr. Shâbir as-Sayyid Muhammad
‘Alî Misyâlî (Dosen Universitas al-Fayyûm) berjudul al-Wâjib al-Kifâî
(Fardhû al-Kifâyah); Dirâsah Ushûliyyah Muayyadah bi an-Namâdzij al-Fiqhiyyah, khususnya
pembahasan ketiga, yaitu seputar objek seruan dari fardhu kifayah. Teks arab
dari kitab ini dapat diunduh dari situs www.alukah.com
bagi siapapun yang menghendaki telaah lebih lanjut.
Dr. Shâbir di dalam sub judul al-mukhâthab fî al-wâjib
al-kifâî menyatakan bahwa para ulama Ushul Fikih berbeda pendapat mengenai objek
seruan fardhu kifayah ke dalam empat pendapat. Dua pendapat di antaranya tidak
mengetengahkan dalil, sementara satu pendapat lainnya memiliki dalil namun
dianggap lemah. Satu pendapat tersisa adalah pendapat yang kuat karena dukungan
dalil-dalil dan penyimpulan yang akurat, sekaligus merupakan pendapat mayoritas
ulama.
Pendapat pertama menyatakan bahwa fardhu kifayah ditujukan
kewajibannya kepada satu orang tertentu yang tidak kita ketahui siapa orangnya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa fardhu kifayah ditujukan
kepada sebagian orang tertentu.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa fardhu kifayah ditujukan
kepada sebagian orang yang tidak tertentu. Ini adalah pendapat sebagian ulama
Ushul Fikih seperti as-Subkî dan al-Baydhâwî. As-Subkî menyatakan bahwa ini
juga merupakan konsekuensi dari pandangan ar-Râzî di dalam kitab al-Mahshûl.
Sementara pendapat keempat menyatakan bahwa fardhu
kifayah merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama Ushul Fikih seperti Imam asy-Syâfi’î, Imam Ahmad, Imam
asy-Syâthibî, Ibnul Hâjib, Ibnu Qudâmah, dan lain-lain – rahimahumullâh.
Imam asy-Syâf’î menyatakan: Wajib bagi
orang-orang, memandikan mayat, menyolatinya, dan menguburkannya. Mereka
seluruhnya tidak ditoleransi untuk meninggalkannya. Namun apabila sebagian di
antara mereka yang memiliki kemampuan telah melaksanakannya, maka itu dapat
mewakili, jika Allah menghendaki.
[Teks tersebut dapat ditemukan di dalam kitab al-Umm
dengan teksnya yang lebih lengkap sebagai berikut:
حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لا يسع عامتهم تركه وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية له أجزأ إن شاء الله تعالى، وهو كالجهاد عليهم حق أن لا يدعوه، وإذا ابتدر منهم من يكفى الناحية التي يكون بها الجهاد أجزأ عنهم، والفضل لاهل الولاية بذلك على أهل التخلف عنه
حق على الناس غسل الميت والصلاة عليه ودفنه لا يسع عامتهم تركه وإذا قام بذلك منهم من فيه كفاية له أجزأ إن شاء الله تعالى، وهو كالجهاد عليهم حق أن لا يدعوه، وإذا ابتدر منهم من يكفى الناحية التي يكون بها الجهاد أجزأ عنهم، والفضل لاهل الولاية بذلك على أهل التخلف عنه
]
Imam Ahmad menyatakan:
Berperang itu wajib bagi setiap orang, seluruhnya. Lalu jika sebagian dari
mereka telah berperang, maka hal itu cukup mewakili mereka semua.
Dalil dari pendapat
pendapat ini antara lain:
1. Firman Allah Ta’âlâ Surat
al-Baqarah [2]:216: Diwajibkan atas kalian berperang. Arah pendalilannya
adalah bahwa berperang (jihad) termasuk fardhu kifayah. Dalam ayat ini, seruan terhadap
perang yang hukumnya fardhu kifayah ini adalah untuk semua orang. Imam
asy-Syâfi’î berkomentar: Jelas di dalam berbagai ayat – seperti ayat ini – bahwa
kewajibannya untuk semua orang.
2. Sabda Nabi: Thalabul
‘ilmi farîdhah ‘alâ kulli muslim ‘menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim’. Arah pendalilannya adalah bahwa menuntut ilmu adalah termasuk fardhu
kifayah[1].
Meskipun demikian, seruan di dalam hadis ini tertuju kepada seluruh umat.
3. Alasan lainnya adalah
bahwa “semua orang berdosa dengan meninggalkan fardhu kifayah apabila menduga bahwa
yang lainnya juga tidak melaksanakannya. Seandainya tidak wajib bagi setiap
mereka, niscaya mereka semua tidak akan berdosa dengan meninggalkannya.”
Memang ada dalil-dalil tentang fardhu kifayah yang
menyeru kepada sebagian orang yang tidak tertentu (al-ba’dhu al-mubah)
seperti seruan di dalam Surat Âli ‘Imrân [3]:104 dan Surat at-Taubah [9]:122,
sebagaimana yang diajukan oleh pendapat ketiga. Namun itu bukanlah dalil atas
kewajiban keluarnya sebagian orang saja, melainkan sebagai bentuk dorongan dan
motivasi agar sebagian orang yang ini untuk mendapatkan faidah dari berdakwah,
menuntut ilmu, serta keluar untuk merealisasikan jihad. Seandainya dua ayat ini
menunjukkan kewajiban keluarnya sebagian orang saja, niscaya bertentangan
dengan ayat-ayat yang seruannya tertuju kepada semua orang. Karenanya,
ayat-ayat ini harus dibawa kepada pemahaman bahwa pembebanan fardhu kifayah itu
bisa gugur dari semua orang dengan aktivitas sebagian orang; sebagai bentuk
pemaduan (al-jam’u) atas dalil-dalil yang zahirnya bertentangan.
Gugurnya kewajiban atas semua orang karena ada
aktivitas sebagian orang ini tidak berarti bahwa seruan fardhu kifayah adalah untuk
sebagian orang yang tidak ditentukan. Sebab, maksud dari fardhu kifayah adalah mewujudkan
perbuatan dalam kenyataan. Ketika fardhu kifayah tersebut telah terwujud di
dalam kenyataan, maka saat itu tidak ada lagi alasan kewajiban tersebut. Ini
seperti gugurnya kewajiban dua orang penjamin ketika jaminannya telah dipenuhi
oleh salah satunya, karena telah terealisasinya maksud, yaitu terpenuhinya
kewajiban orang yang berutang.
Menurut Dr. Shâbir, pendapat mayoritas ulama ini,
selain memiliki dalil yang kuat, juga menjamin teralisasinya kemaslahan syar’i.
Ketika kewajiban diarahkan kepada semua orang, hal itu akan mendorong individu-individu
umat untuk menyambut kewajiban ini, baik itu orang yang berkompetensi untuk menjalankannya
maupun tidak. Orang-orang yang memandang dirinya memiliki kompetensi, serta-merta
wajib menjalankannya. Sementara orang-orang yang memandang dirinya tidak memiliki
kompetensi, wajib mendorong orang-orang yang memiliki kompetensi untuk
menjalankannya. Dengan demikian, semua orang saling menyokong untuk bangkit
memikul kewajiban ini.
Imam asy-Syâthibî menyatakan: Melaksanakan kewajiban
tersebut berarti mewujudkan kemaslahatan umum. Maka mereka secara keseluruhan dituntut
untuk menunaikannya. Sebagian di antara mereka mampu melakukannya. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki kompetensi untuk mewujudkannya. Sementara yang
lain, meskipun tidak mampu untuk mewujudkannya, namun mampu mewujudkan
orang-orang yang mampu melakukannya. Maka siapa saja yang mampu mewujudkan
kekuasaan, maka dia dituntut untuk menegakkannya. Dan siapa saja yang tidak mampu
mewujudkannya, maka ia dituntut dengan perintah lain, yaitu mewujudkan orang
yang mampu itu dan memaksanya untuk menegakkannya. Dengan demikian, orang yang
mampu dituntut untuk menegakkan kewajibam sementara yang tidak mampu dituntut
untuk mendorong yang mampu itu, karena tidak dapat sampai kepada terwujudnya
orang yang mampu kecuali dengan usaha untuk mewujudkannya, atas dasar kaidah
‘sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu
itu wajib.’ Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama Ushul Fikih
baik dahulu maupun sekarang.
Sedayu, Sabtu, 17 Ramadhân 1436 H/04 Juli 2015 M 14:18 WIB
[1]
Demikianlah yang dinyatakan oleh Dr. Shâbir. Barangkali yang beliau maksud, ada
aktivitas menuntut ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, sehingga tidak menafikan
adanya aktivitas menuntut ilmu yang sifatnya fardhu ‘ain. Wallâhu A’lamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar