POLITIK MUSA
Sepulang solat
zuhur, aku menghampiri si kecil Yahya di ayunan kecilnya. Bermaksud
menimangnya, mulailah kulantunkan ta’awwudz dan al-Fâtihah untuk
dilanjutkan dengan Surat al-Baqarah. Rumah yang dibacakan Surat al-Baqarah
tidak akan dimasuki setan. Begitu kira-kira keterangan hadis di sebuah buku
yang kubaca hari itu.
Belum
selesai al-Fâtihah, si sulung Musa yang sejak tadi berlalu-lalang di
sekitar kami tetapi akhirnya memutuskan untuk sejenak pergi ke ruang depan,
muncul kembali. Jadi, ini yang dilakukannya saat menghilang tadi: mengambilkan
mushaf untuk walidnya. Aku menerimanya dengan rasa takjub. Boca satu setengah
tahun ini tahu walidnya sedang membacakan ayat Alquran. Ia tahu mushaf mana
yang sering dibaca walid. Dan si Inara Musa ini juga tahu di mana walidnya
meletakkan mushaf itu.
Jadi, bukan
al-Baqarah sekarang yang akan walid bacakan untuk Isawi Yahya, tetapi terusan
tilawah sebelumnya. Surat Thâhâ, surat kedua puluh. Mulai ayat ke-55. Rupanya
itu bagian tengah kisah tentang Nabiyullâh Mûsâ ‘alaihissalâm lincah dan kuat itu, episode Mûsâ
menghadapi Fir’aun. Dan di tengah kisah inilah terbaca olehku sebuah ayat yang
menunjukkan bahwa Mûsâ adalah seorang aktivis politik. Bisa dilihat, antara
lain dari ketakutan Fir’aun bahwa Mûsâ bersama kakaknya Hârûn, akan mengambil-alih
kekuasaan mereka di negeri Mesir apabila ‘sihir’ Mûsâ berhasil mengalahkan para
tukang sihir yang digalang kerajaan.
Simak ayat
62 sampai 64 berikut ini:
“62. Maka
mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka dan mereka
merahasiakan percakapan (mereka).
63. mereka
berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang
hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya dan hendak
melenyapkan kedudukan kalian yang utama.
64. Maka
himpunkanlah segala daya (sihir) kamu sekalian, kemudian datanglah dengan
berbaris. dan Sesungguhnya beruntunglah oran yang menang pada hari ini.
Perhatikan
bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Nabiyallâh Mûsâ dan Hârûn ‘alaihimassalâm
dianggap oleh Fir’aun dapat mengancam kedudukannya, yang tidak lain merupakan
kekuasaan politik. Aktivitas yang dapat melenyapkan kekuasaan politik mestilah
aktivitas politik juga.
Bagaimanapun,
kenyataan bahwa para Nabi itu berpolitik, seharusnya menjadi pengetahuan yang
otomatis bagi kaum muslimin. Dan saat kaum muslimin mulai tidak menyadari hal
itu, bahkan menolak kenyataan tersebut, kebenaran ini harus dinyatakan kembali.
Terlebih junjungan kita Nabiyullâh Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam (seorang
politisi dan negarawan tanpa tanding) telah menegaskan aktivitas politik para
Nabi ini dalam sabdanya:
كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Adalah
Bani Isrâ`îl diurus oleh para Nabi. Setiap wafat seorang Nabi, Nabi yang lain
menggantikannya. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi lagi setelahku, namun
akan ada para khalifah lalu mereka akan menjadi banyak.” Para Sahabat bertanya:
“Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Penuhilah
baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikan hak mereka, karena
sesungguhnya Allah akan menanyai mereka tentang apa yang telah diamanah
pengurusannya kepada mereka.”
Rasulullah
Muhammad adalah politisi ulung. Kaum muslimin pun sudah seharusnya
menjadi manusia-manusia yang, sekurang-kurangnya, melek politik. Bahkan Syaikh
‘Abdul Qadîm Zallûm di dalam kitab Afkâru Siyâsiyyah/Political Thought (terjemahnya
ke dalam bahasa Indonesia pernah terbit dengan judul “Pemikiran Politik Islam”
dan akan terbit lagi dalam waktu dekat, insya Allah) meletakkan satu tema
berjudul: Keterlibatan dalam Politik adalah Kewajiban Setiap Muslim.
Wallâhu
A’lamu.
Bantul, 01
Jumâdâ al-Ûlâ 1438 H/29 Januari 2017 M 07.14 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar