Politisi sebuah partai yang
tidak mau saya sebut namanya menyatakan:
“Yang pertama, kita sebagai
warga negara harus percaya kepada pemerintah yang kita pilih secara langsung.
Harus percaya. Jangan kita curiga terlalu berlebihan kepada pemerintah. Karena
dia eksekutif. Dia eksekutif. Yang kedua, revisi. Revisi itu hal yang biasa
secara norma. Jangankan undang-undang, undang-undang dasar juga bisa direvisi.
Melalui mekanisme yang diatur oleh undang-undang dasar tentunya.” (video youtube mulai menit 40:19).
Ada beberapa poin yang
ingin saya tanggapi dari pernyataan di atas.
Pertama, keharusan percaya kepada
pemerintah dengan alasan “karena dia eksekutif” adalah alasan yang tidak masuk
akal. Selama pemerintah masih mengaku sebagai manusia, maka dia bisa salah. Umat
memiliki tugas untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan pemerintah, terutama pelanggaran terhadap hukum-hukum
Allah. Tidak peduli dia berstatus eksekutif ataupun bukan. Kepercayaan terhadap
pemerintah tidak tergantung statusnya sebagai eksekutif atau bukan, melainkan
tergantung komitmennya terhadap syariat Allah. Komitmen itulah yang pada
gilirannya akan mengarahkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Kebijakan-kebijakan
yang bersifat sekuleristik wajib dicurigai, sebab secara sadar telah melanggar
bahkan menentang prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang justru hendak dijaga.
Kedua, si politisi menyatakan sesuatu yang benar tetapi belum lengkap ketika dia
berbicara tentang perubahan undang-undang. Bahwa undang-undang bisa direvisi
adalah benar. Tetapi sengaja mengundang-undangkan dan menyetujui aturan yang
sejak awal disadari memiliki cacat mendasar adalah batil dan amat sangat zalim.
Sungguh orang-orang yang menyetujuinya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi
Allah. Bagaimana kalian akan menjawab kelak? Apakah kalian masih akan bisa
berkelit bahwa perbuatan kalian itu agar undang-undang yang kalian sahkan
secara zalim bisa direvisi, padahal dengan menolaknya pun kalian bisa
melakukannya?
Ketiga, si politisi menyatakan bahwa undang-undang dasar pun bisa direvisi dengan
mekanisme yang juga diatur oleh undang-undang dasar. Ini juga pernyataan yang
benar. Dan patut diingat bahwa bab perubahan undang-undang dasar juga mengalami
perubahan. Perubahan adalah hal yang wajar, karena manusia tempatnya salah dan
lupa. Setiap anak Adam adalah pelaku kesalahan, dan sebaik-baik pelaku
kesalahan adalah yang banyak bertaubat. Salah satu hal yang harus ditempuh
untuk bertaubat memperbaiki dan tidak meneruskan kesalahan tersebut. Maka jika
didapati kesalahan di dalam undang-undang dasar yang menyalahi prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa beserta segala konsekuensinya, tidak perlu untuk
melakukan perubahan itu.
Bumi Allah,
07 Shafar 1439 H/27 Oktober 2017 M 5:59 WIB
Shofhi Amhar,
S.Th.I, M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar