“Di dalam kitab Dalâilun Nubuwwah karya Imam al-Baihaqi disebutkan riwayat dari Sayyidina Ali bin Thalib. Beliau mengatakan, Ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab, beliau keluar, bersama aku dan Abu Bakar, ke Mina, sampai mendorong kami memasuki majelis dari majelis-majelis arab.”
Jiha keluar dari balik tirai, membawa sebuah nampan berisi dua gelas teh dan beberapa makanan ringan.
“Silakan dinikmati dulu tehnya,” Abu Jiha mempersilakan. Jiha, seperti biasa, duduk manis di samping Romonya setelah menghidangkan teh.
“Oh iya, terima kasih, mas.” Segera Jubilo menyeruput.
“Jadi, Rasulullah menawarkan diri kepada kabilah-kabilah arab untuk menyerahkan kekuasaan kepada beliau itu ada riwayatnya. Thalabun Nushrah itu bukan mengada-ada.”
“Tetapi, bukankah riwayat tadi itu bukan sabda Nabi, melainkan pernyataan Ali? bagaimanapun kata-kata Ali ibn Abi Thalib ra tidak sederajat dengan Quran dan Sunnah, kecuali bila anda pengikut Syiah.”
“Oh, ini tidak ada hubungannya dengan Syiah. Riwayat tersebut memang perkataan Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu. Dalam klasifikasi para ulama, hadis yang disandarkan pada Sahabat Nabi disebut hadis mauquf. Sedangkan hadis yang disandarkan kepada Nabi disebut hadis marfu’. Nah, marfû’ ini ada dua. Pertama, marfu’ haqiqi. Yang kedua, marfû’ hukmî. Perkataan Imam Ali tadi termasuk marfu’ hukmi, yaitu hadis marfu’ yang tidak tegas penyandarannya kepada Nabi, melainkan dengan perantaraan qarinah alias indikator lain. Indikator tersebut misalnya perkataan umirna bikadza ‘kami diperintahkan begini’, atau perkataan nuhina bikadza ‘kami dilarang berbuat begitu’. Sedangkan dalam perkataan Imam Ali di atas, terdapat indikator yang menunjukkan bahwa riwayat itu marfu’, yaitu perkataan beliau: Ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya. Perkataan semacam ini tidak mungkin beliau karang, melainkan pasti berasal dari Nabi Muhammad yang mendapat wahyu dari Allah.”
“Di mana saya bisa temukan keterangan semacam itu?”
“Hampir di setiap kitab ilmu hadis dibahas tentang hal ini, yaitu ketika membahas hadis marfu’ dan hadis mauquf.”
“Romo, bukannya marfu’ itu kalimat yang dibaca rafa’ ya?” tiba-tiba Jiha ikut nimbrung.
Abu Jiha tersenyum. “Iya, sayang. Tetapi marfu’ yang kita bahas kemarin itu istilah dalam ilmu nahwu. Sedangkan Romo sama Om Jubilo sekarang sedang membahas ilmu hadis.”
“Antum punya bukunya kan, mas? Kalau boleh, saya pinjam. Hehe,,”
“Oh, boleh. Sebentar saya ambilkan. Tapi tolong kembalikan dalam sepekan, ya… Oya, the sama seneknya dihabiskan dulu.” Abu Jiha masuk ke dalam.
Sementara Romonya masuk, Jiha bersuara, “Om, kalau marfu’ itu kalimat yang dibaca rafa’, terus kalau mauquf itu kalimat yang dibaca apa ya?”
“Hahaha,, kan tadi Romo Jiha sudah bilang, kita sedang bicara ilmu hadis, bukan ilmu nahwu yang membahas I’rob. Istilah mauquf itu istilah ilmu hadis. Ilmu nahwu tidak mengenal istilah mauquf sebagai salah satu I’rob. Jadi beda.”
“O..” mulut Jiha membundar.
“Mengerti, kan?”
Dengan innocent Jiha menjawab, “Ndak.” Dan mereka berdua tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar