Pernyataan dalam judul di atas adalah terjemah harfiyah sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam yang dinukil oleh Imam al-Qurthubî di dalam kitab tafsir beliau, al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân. Ayat yang dimaksud adalah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. {al-Baqarah [2]:164}
Lebih lengkapnya, beliau menyatakan:
Firman Allah Ta’ala: {Laâyâtin}—benar-benar terdapat ayat-ayat; artinya, petunjuk-petunjuk yang menunjukkan keesaan dan kekuasaan-Nya; karena itu Allah menyebutkan perkara-perkara ini setelah firman-Nya: {Wa ilâhukum ilâhun wâhid}—dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang satu; untuk menunjukkan kebenaran kabar yang telah Dia sebutkan sebelumnya mengenai keesaan-Nya Yang Mahasuci, serta menyebutkan rahmat dan kasih-sayang-Nya. Diriwayatkan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: [Celakalah bagi oang yang membaca ayat ini, tetapi memuntahkannya], yaitu tidak memikirkan kandungan di dalamnya serta tidak pula mengambil pelajaran. Jika dikatakan: Tidak bisa dipungkiri bahwa ia (alam semesta) ada dengan sendirinya. Maka dikatakan kepadanya: Ini tidak mungkin. Karena apabila ia mengadakan dirinya sendiri, maka (kemungkinannya) tidak lepas dari apakah ketika mengadakan dirinya sendiri itu dalam keadaan ada atau dalam keadaan tidak ada. Apabila ketika mengadakannya itu ia dalam keadaan tidak ada, maka hal ini tidak mungkin, karena pengadaan itu tidak mungkin datang kecuali dari yang hidup, mengetahui, mampu, dan berkehendak; padahal sesuatu yang tidak ada tidak sah disifati dengan sifat-sifat tersebut. Tetapi ketika ia ada, maka keberadaannya itu membutuhkan pengadaan dirinya. Ia berkata: Tidakkah mereka memperhatikan dengan pandangan pemikiran dan perenungan tentang hal tersebut, sehingga ia bisa membuktikan bahwa seluruh alam ini dalam keadaan baru dan berubah, karena benda-benda tersebut adalah benda-benda baru. Sedangkan benda baru membutuhkan pembuat yang membuatnya. (Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân juz 2, hlm. 201-202)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar