SAINS VS AGAMA; Dunia Sekuler selalu
mempertentangankannya.
Ada yang menarik perhatian saya hari ini. Seperti
pada kuliah tadi, di dalam dua artikel yang saya baca barusan juga ditemukan
persoalan ketidakjelasan definisi. Di situs ini, ada dua artikel dari dua orang Doktor (Dr. Wendi Zarman
dan Dr. Ioanes Rakhmat). Doktor pertama (pegiat proyek Islamisasi Sains) tampaknya
memang belum begitu gamblang dalam mengungkapkan konsepnya. Beliau juga tidak
mengemukakan definisi sains yang dimaksudkannya. Adapun Doktor kedua (aktivis
Kristen Liberal, mantan pendeta), tampak gegabah melakukan kritik tanpa
memahami apa yang dikritiknya. Semua itu berawal dari ketidakselarasan istilah
Sains yang digunakan keduanya.
KamusBesar Bahasa Indonesia versi daring menyediakan tiga makna untuk sains, sebagai berikut:
1 ilmu pengetahuan pd umumnya; 2 pengetahuan sistematis tt alam dan dunia
fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dsb; ilmu
pengetahuan alam; 3 pengetahuan
sistematis yg diperoleh dr sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yg
mengarah pd penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yg sedang diselidiki,
dipelajari, dsb.
Jika yang dimaksudkan Dr. Wendi adalah
arti pertama, maka kritikan Dr. Iones sebetulnya tidak tepat benar dan terlihat
terlalu percaya diri dalam menyampaikan kritik sebelum jelas konsep pihak yang
dikritiknya. Padahal, arti pertama inilah yang tampaknya sedang dipaparkan Dr.
Wendi. Jika demikian, proyek Islamisasi Sains adalah wajar adanya,
karena ajaran Islam juga mencakup berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik
ontologi, epistemologi, maupun aksiologi.
Sayangnya, Dr. Wendi tidak
menyebut contoh-contoh yang memadai. Beliau hanya menyebutkan contoh (a) “pesawat
Islam, komputer Islam, dan teknologi berlabel Islam”, (b) “sains yang dimulai dengan bismillah”, serta (c) “mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
penemuan sains mutakhir kemudian mengklaim bahwa Islam telah lama mengungkap
hal tersebut”, -yang sebenarnya merupakan
sebagian suara miring dari para pengkritik Islamisasi Sains- dan
mengomentarinya dengan menyatakan: “meskipun sebagian dari yang disebut
di atas termasuk bagian dari sains Islam itu sendiri, tapi karena disampaikan
dengan olok-olok maka semua hal tersebut terdengar menggelikan”, tanpa menunjukkan mana yang termasuk ke dalam cakupan proyek Islamisasi
Sains ini. Padahal, pernyataan beliau: [sebagian ... termasuk bagian
dari sains Islam itu sendiri] menunjukkan bahwa sebagian lain dari contoh
tersebut tidak termasuk.
Kalau boleh nglancangi, saya
ingin memposisikan tiga poin (a), (b), dan (c), dalam kacamata Islamisasi
Sains (dengan pengertian sains adalah ilmu pengetahuan pada umumnya).
Contoh-contoh yang dikemukakan tersebut dalam Islamisasi Sains berposisi
sebagai berikut:
Poin (a) saya sangsi bahwa
contoh seperti ini yang sedang diusung para pegiat Islamisasi Sains. Saya
berharap, ini tidak termasuk bidang garap yang dikehendaki oleh para pengusung Islamisasi
Sains dalam mazhab apapun. Saya menduga itu hanya olok-olokan murni dari para
pengkritik gagasan ini, sebagai kritik membuta. Kritik membuta tidak terlalu
penting ditanggapi.
Poin (b) “sains yang dimulai
dengan bismillah”, mungkin maksudnya, sains yang proses penelitian dan
penemuannya diawali dengan mengucapkan bismillah (secara harfiah) atau bisa
juga penelitian itu dimaksudkan untuk menyibak keagungan Allah, memberi
kemaslahatan pada manusia dengan berbagai penemuan teknologi untuk lebih
berbakti kepada Allah, dan sebagainya (sebagaimana spirit yang bisa diambil
dari wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad, yang bermakna: Bacalah
dengan Nama Rabbmu yang menciptakan!). Dengan maksud seperti ini, maka apa yang
dipersilakan oleh Dr. Ioanes “umat Islam memakai astronomi untuk keperluan
menentukan waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, dst” yang disebutnya sebagai “moral Islam dalam pemanfaatan sains” tentu saja termasuk Islamisasi Sains, karena memang
Islam mengajarkan ilmu pengetahuan tentang bagaimana menentukan waktu ibadah,
menghitung warisan, dan lain-lain. Dalam dunia pemikiran, ini masuk ke dalam
diskursus aksiologi.
Poin (c) ini pembahasannya agak
panjang. Sepertinya empat seri terjemahan kang Irfan Habibie Martanegara (dari http://www.hamzatzortzis.com/essays-articles/exploring-the-quran/does-the-quran-contain-scientific-miracles-a-new-approach/) berikut ini cukup relevan:
Ini jika yang dimaksudkan oleh
Dr. Wendi sebagai sains adalah ilmu pengetahuan pada umumnya. Dan
tampaknya inilah yang memang beliau maksudkan, dengan bukti pernyataan:
“Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis yang berakar dari
pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam”
dst.
Jadi, Islamisasi Sains yang
dimaksud bukan sekedar makna kedua dan ketiga dari definisi sains menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, melainkan juga berbicara dalam tataran filosofis.
Cocok dengan arti sains yang pertama, yaitu ilmu pengetahuan pada umumnya.
Mafhûm ‘anil Asyyâ dan Mafhûm ‘anil Hayâh
Kini kita beralih pada makna
sains yang kedua, yaitu pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik,
termasuk di dalamnya botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dsb atau
singkatnya disebut ilmu pengetahuan alam. Tampaknya, dengan bermodal
arti sains seperti inilah, Dr. Ioanes menanggapi artikel Dr. Wendi. Perhatikan
pernyataannya berikut ini:
Yang
ingin saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur
Islam, ilmu kedokteran Islam, dll, apakah akan bisa ada dlm dunia ini?
Misalnya, menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97
derajat, sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat.
Jika seperti itu yang
diinginkan, maka keinginan Dr. Ioanes tidak akan pernah terwujud. Seorang
muslim paling brilian sekalipun tidak akan pernah bisa menemukan sudut
siku-siku yang bukan 90 derajat, sudut lingkaran 357 derajat, dan sebagainya.
Dan memangnya para pegiat Islamisasi Sains ada yang berpikir hendak
melakukannya? Kalau ada, saya pribadi termasuk yang menyayangkannya, dan
termasuk yang akan menolaknya. Ilmu alam seperti ini berkaitan dengan mafhûm
‘anil asyyâ`, bukan mafhûm ‘anil hayâh, sehingga standar
validitasnya adalah ketepatannya dengan fakta itu sendiri dan tidak harus
melibatkan penggalian dalil-dalil qawliyah yang diakui oleh Islam,
melainkan cukup dengan dalil-dalil ilmiah yang ditemukan di alam.
Ustadz Mahmud Abdul Karim Hasan
dalam Metode Perubahan Sosial Politik (judul asli: at-Taghayyur Hatmiyyah
ad-Dawlah al-Islâmiyyah, http://www.4shared.com/get/zCXgMFu2/___.html) menyatakan sebagai berikut:
“Pemahaman itu ada dua macam: Pertama, pemahaman akan
sesuatu (mafâhîm ‘anil asyyâ`), yaitu qanâ’ât (penerimaan dengan
puas) atas hukum-hukum yang bersumber dari sesuatu itu sendiri. Seperti kita
yang mengatakan: Api itu bisa membakar, racun itu membunuh, dan minuman
keras itu memabukkan, atau daging dapat dimakan dan tanah tidak
dapat dimakan. Atau banyak tekanan akan melahirkan ledakan atau
bahwa masyarakat merupakan sekumpulan orang yang terikat oleh interaksi
mereka terus-menerus. Atau kebangkitan tidak akan terwujud kecuali
dengan pemikiran yang cemerlang. Pemikiran-pemikiran jenis ini sifat-sifat
dan hukumnya bersumber dari (realita) objeknya. Hal itu bisa benar dan bisa
juga salah, tergantung sesuai atau tidak dengan realita sesuatu itu. Dalam
berbagai keadaan, pemikiran itu akan menjadi mafâhîm (pemahaman-pemahaman)
bagi orang yang membenarkannya. Perbuatan-perbuatan manusia itu terikat dengan
pemahamannya akan sesuatu. Orang yang yakin bahwa makanannya beracun, ia tidak
akan menyentuhnya sekalipun ia lapar. Orang yang haus akan mencari air, bukannya
yang lain. Orang yang ingin mabuk akan mencaru khamr, bukannya yang lain.
Kedua, pemahaman akan kehidupan
(mafâhîm ‘anil hayâh), yaitu qanâ’ât atau hukum-hukum yang
bersumber dari luar sesuatu yang dibahas. Seperti kita mengatakan bahwa shalat
itu wajib, penipuan itu haram, khamr itu haram, pembunuhan itu haram, dan
sebagainya. Hukum-hukum itu bukan bersumber dari sesuatu atau perbuatan itu
sendiri (bukan bersumber dari shalat, penipuan, khamr, pembunuhan, dsb.)
sesuatu atau perbuatan itu sendiri hanyalah merupakan objek pembahasan atau
fakta yang dihukumi. Sedangkan sumber hukumnya (mashâdir al-hukm)
adalah sesuatu yang lain.
Pernyataan kita bahwa minuman keras (khamr) itu memabukkan
adalah sifat atau karakteristik khamr itu sendiri. Itu merupakan hukum atas
sesuatu itu sendiri sesuai dengan realitasnya. Sedangkan pernyataan kita bahwa
khamr itu haram, merupakan hukum atas sesuatu di mana hukumnya berasal dari
Allah, pihak yang berwenang menjadikan sesuatu itu haram ataukah halal.
Perbuatan manusia terikat pula dengan pemahamannya akan
kehidupan. Jika pemahamannya atas sesuatu mengatakan bahwa daging babi bisa
dimakan dan bisa menghilangkan rasa lapar, maka itu berarti pemahaman atas
sesuatu sesuai realitasnya (mafhûm ‘anil asyyâ`). Sedang pemahamannya akan
kehidupan (mafhûm ‘anil hayâh) mengatakan bahwa daging babi haram
untuk dimakan, yakni wajib dijauhi. Orang yang memahami hukum tersebut dan ia
membenarkannya, maka itu akan menjadi pemahaman bagi dirinya yang tentu akan
mempengaruhi perbuatannya, yaitu akan mencegahnya menghilangkan rasa lapar
dengan daging babi.
Jika seseorang memiliki pemahaman bahwa patung atau berhala
berpengaruh terhadap keamanannya , rizki, dan nasib baiknya; atau bahwa orang
yang telah meninggal memiliki pengaruh terhadap dirinya, maka ia akan diliputi
perasaan takut, khusyu’ terhadap berhala dan ia akan berdoa memohon perlindungan
kepada orang yang telah meninggal. Sebaliknya orang yang tidak membenarkannya
maka ia tidak akan segan-segan untuk menghinakan berhala dan menyalahkan
orang-oran yang memohon keselamatan kepada orang-orang yang telah meninggal.
Demikianlah, sesungguhnya perbuatan manusia tergantung
pemahaman-pemahamannya akan sesuatu (mafâhîm ‘anil asyyâ`) dan
pemahaman-pemahamannya akan kehidpa (mafâhîm ‘anil hayâh). Apa
yang kadang-kadang terjadi pada sebagian orang, yaitu lemahnya keterikatan
terhadap pemahaman, adalah akibat lalai terhadap pemahaman-pemahamannya atau
akibat lenyapnya pemahaman yang ia miliki karena banyak sebab yang menimpa
mereka.”
Sok Tahu tentang
Agamawan
Selain terlalu pede menafsirkan
konsep Islamisasi Sains, Dr. Ioanes Rakhmat juga terlihat sok tahu tentang
agamawan. Ketika menyebut agamawan, dan yang dikomentarinya adalah seseorang
yang beragama Islam, tentu yang dikehendaki oleh Dr. Ioanes mencakup juga para
tokoh di antara kaum muslimin. Meski konsep agamawan sejatinya tidak
dikenal dalam Islam, tetapi bukan tempatnya membahas persoalan itu di sini.
Masuk ke materi kritik. Saya kutip pernyataan Dr. Ioanes:
Tetapi ada perbedaan sikap antara para
agamawan dan para saintis ketika mereka masing-masing menatap pada kebesaran
jagat raya dan misteri-misterinya. Para agamawan berusaha keras untuk menjaga
misteri-misteri alam, yang diyakini mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang
tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan; sebaliknya, para saintis
justru terdorong kuat untuk menyibak dan menembus semua misteri alam, tentu
saja secara bertahap dan dengan tak kenal lelah.
Dr. Ioanes keliru -atau tidak sepenuhnya
benar- ketika menyatakan: Para agamawan berusaha keras untuk menjaga
misteri-misteri alam, yang diyakini mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang
tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan. Bahkan dalam kontek Islam
sebagai yang dikomentari, pernyataan itu sepenuhnya salah.
Saya tidak tahu dalam agama lain, tetapi dalam
Islam, sama sekali tidak ada kewajiban bagi agamawan untuk berusaha
keras untuk menjaga misteri-misteri alam apalagi menganggapnya sebagai tak
boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan.
Kekeliruan lain dari IR adalah ketika
menyatakan: Agama memakai epistemologi revelatif fideis: sesuatu diterima
benar jika bersumber dari wahyu (Latin: revelationem) yang diterima hanya
dengan iman (Latin: fidem), tanpa bukti.
Kentara sekali IR trauma dengan sejarah Kristen
(mantan agama yang dianutnya). Jika komentar tersebut ditujukan khusus untuk
Kristen, itu adalah urusannya dengan para agamawan Kristen. Tetapi untuk kasus
Islam, jelas IR salah besar. Kekeliruannya kali ini adalah karena -sebagaimana
kekeliruan kaum sekuler maupun agamawan non-Islam, karena mengartikan iman (=kredo?)
dari kacamata tradisi Barat, sehingga menganggap tidak memerlukan bukti. Iman
adalah sesuatu yang harus dipercaya dan diyakini tanpa intervensi akal apapun.
Hal itu jelas berbeda dengan Islam. Iman di
dalam Islam, oleh Syaikh Taqyuddin an-Nabhani, didefinisikan sebagai:
Pembenaran yang bersifat pasti yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan bukti (Tashdîqul
jâzim al-muthâbiq lil wâqi' 'an dalîl). Bahkan taklid (sebagai simbol
penganutan konsep tanpa proses pembuktian) dalam persoalan akidah dianggap
rawan diserang keraguan. Padahal tidaklah disebut iman apabila tersusupi ragu.
Sekarang, apa
lagi yang tersisa dari komentar Dr. Ioanes terhadap ide Islamisasi Sains? Jika
masih ada yang tersisa, sudilah kiranya untuk menyebutkan.
Miliran, 14
Dzulhijjah 1434 H/19 Oktober 2013 M 02:31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar