QISHÂSH BAGI SUAMI YANG MEMUKUL ISTRI
(Banyak para kafirin yang menuduh Islam melecehkan perempuan, antara lain dengan membolehkan seorang suami memukul istrinya. Padahal, kebolehan itu bersyarat. Ada berbagai ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh seorang suami. Seorang suami tidak boleh memukul istri tanpa alasan. Dan ketika pun ada alasan syar’i untuk memukul istri, maka pukulan yang dilakukan harus dipastikan tidak meninggalkan luka [ghairu mubarrah]. Jika tidak, maka si suami dapat diajukan ke pengadilan syar’i untuk diberlakukan sanksi berupa qishâsh atau hudud. Mengenai berbagai ketentuan tersebut silakan merujuk kepada kitab-kitab fikih. Adapun kesempatan ini kami manfaatkan untuk membagi sedikit keterangan tentang hukum qishash atau ta’zir bagi suami yang memukul istrinya di luar batas ketentuan yang dibolehkan syariat, yang kami terjemahkan dari Fatwa Islamweb. Semoga bermanfaat.)
Soal:
Assalâmu ‘alaikum.
Seorang suami memukul istrinya beberapa kali. Setelah itu, istrinya meminta cerai, lalu si suami menceraikannya ketika sang istri sedang mengandung. Kemudian sang istri melahirkan.
Pertanyaannya: Apakah boleh sang perempuan menuntut suaminya untuk diqishash, jika tidak terjadi patah tulang atau berdarah? Bisakah wanita tersebut melarang anaknya yang masih bayi untuk dilihat si lelaki?
Jawab:
Alhamdu lillâh washsalâtu wassalâmu ‘alâ Rasûlillâh wa ‘alâ âlihi washahbihi ammâ ba’d:
Memukul istri ada dua kondisi:
Pertama, karena dikhawatirkan nusyuznya
Kedua, tidak karena sebab syar’i apapun
Jika karena dikhawatirkan nusyuznya, maka memiliki dua kondisi:
Pertama, pemukulan itu sesuai dengan kadar yang ditoleransi oleh syariat –setelah sebelumnya diberikan nasihat dan dipisahkan dari tempat tidurnya—, yaitu pukulan yang tidak mubarrah, sebagaimana hadis Jâbir radhiyallâhu ‘anhu dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan selainnya. Pukulan yang tidak mubarrah adalah pukulan yang tidak meretakkan tulang, tidak merusak muka, juga tidak merusak anggota badan, seperti halnya wajib dijauhkan dari muka.
Jika pemukulan itu dilakukan sesuai kadarnya, disertai sebab tertentu (yang membolehkan pemukulan), maka wanita tersebut tidak boleh menuntut qishash, dan tidak boleh mengadukannya kepada pemerintah.
Kedua, pemukulan tersebut melebihi kadar yang ditoleransi, meskipun ada sebabnya, maka wanita tersebut boleh mengajukan perkara ini ke pemerintah. Adapun ditinjau dari sisi hukum qishash, perlu dilihat: Jika hanya menampar dan memukul, mazhab jumhur ulama menyatakan tidak ada qishash dalam kasus itu, tetapi hanya ta’zir. Inilah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam I’lâmul Muwaqqi’în dari Imam Ahmad bahwa ada qishash dalam kasus itu. Kemudian ia berkata: Abu Dawud, Abu Hanifah, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Juzajani berpendapat demikian. Ibnul Qayyim rahimahullâh menguatkan pendapat ini dan menyebutkan dalil-dalil tentang hal itu dari hadis-hadis Nabi, atsar-atsar Khulafaurrasyidin, dan lain-lain. Barangkali inilah pendapat yang lebih dekat kepaa kebenaran, meskipun yang berpendapat demikian lebih sedikit dibandingkan yang berpendapat dengan pendapat pertama.
Adapun apabila pemukulan itu tidak memiliki sebab syar’i, maka istri boleh mengadukannya kepada pemerintah. Apabila kasusnya sebatas memukul dan menampar, maka terdapat perbedaan pendapat seperti sebelumnya tentang apakah dikenakan qishash atau ta’zir?
Adapaun berkaitan dengan ibu melarang lelaki yang menceraikannya untuk melihat anaknya, maka hal ini tidak boleh, karena akan menyebabkan anak tumbuh di atas kerdurhakaan kepada bapaknya dan memutus silaturahim. Hal itu tergolong dosa besar. Juga karena bapak berhak melihat anaknya dan mengetahui kondisinya.
Akhirnya, kami mengingatkan kepada saudari penanya dengan Firman Allah Yang Mahasuci:
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ
فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ[الشورى:40]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar