(Hadiah Untuk
Seluruh Keluarga Muslim yang Berharap Terlimpahi Berkah Ilmu sekaligus Bagian dari Proposal Untuk Keluarga Intiku Kelak)
1- Tanggal 2 Agustus 2012,
dalam sarasehan menjelang buka bersama di pendopo Pesantren Salafiyah Khoiru
Ummah Panatagama, pak Amir menyampaikan gagasan penting mengenai pendidikan
anak. Target pendidikan anak baginya adalah: Pada usia baligh, anak sudah menjalankan
segala hal yang wajib dan meninggalkan segala hal yang haram. Beliau mengutip
konsep Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengenai tiga fase pendidikan anak. 0-7
tahun, seorang anak harus diperlakukan seperti raja. Apa keinginannya yang
baik-baik, dituruti. Pada fase ini anak tidak perlu diberi perintah maupun
larangan. 7-14 tahun, anak ibarat budak. Dia mulai diperintah, dilarang,
diajarkan hal-hal yang wajib dan hal-hal yang haram. Semuanya harus. Maksudnya harus
bukan wajib, melainkan orang tuanya wajib mengajari. Anak berhak diajari. Usia
tujuh tahun, diajari shalat. Pada usia menginjak 10 tahun, jika tidak mau
shalat, perlu dipukul. Pada usia ini pula anak seharusnya diajarkan
keterampilan hidup, sehingga pada usia baligh, dia sudah bisa mencari
penghasilan untuk dirinya sendiri. Jadi, ketika sudah baligh, si anak sudah
memiliki setidaknya tiga kompetensi: menjalankan segala hal yang wajib,
meninggalkan segala hal yang haram, memiliki penghasilan minimal untuk dirinya
sendiri, terutama laki-laki, sebab anak laki-laki wajib menghidupi dirinya
sendiri ketika sudah menginjak baligh. Bagi yang berminat mendengarkan sebagian
pemaparan beliau yang sempat kami rekam, dipersilakan untuk menghubungi kami. (08985055432)
2- Bertahun-tahun sebelumnya, seorang
Karkun memberi wawasan yang tidak kalah bermanfaat. Ia melihat, saat ini
kaum Muslimin sangat menurun dalam hal tradisi belajar-mengajar (ta’allum).
Padahal semestinya belajar-mengajar adalah bagian dari kehidupan kaum Muslimin
sehari-hari. Ia menggambarkan, betapa indahnya jika kaum Muslimin menggunakan
berbagai kesempatan untuk saling belajar-mengajar, terutama di masjid dan di
rumah. Masjid tidak seharusnya dibiarkan sepi dari kegiatan mengaji dan
mengkaji. Masjid seharusnya hidup dengan dinamika belajar-mengajar. Demikian juga
di rumah, hendaknya sebuah keluarga memiliki waktu khusus untuk saling
mengingatkan, melingkar dalam majelis dzikir (majelis yang membincangkan halal
dan haram), ber-ta’allum. Seorang suami bisa secara rutin membacakan
sebuah buku tentang akidah, akhlak, fikih, sastra Islam, dan sebagainya. Atau,
jika dia memiliki kemampuan untuk mengulas satu ayat Quran setiap ba’da
maghrib, tentu hal itu sangat bermanfaat bagi keberkahan keluarga dan seisi
rumah, in syâ`Allâh.
3- Di dalam sejarah kita
mengenal beberapa tokoh besar Islam yang bisa kita anggap sebagai produk ‘pendidikan
keluarga’. Kita bisa menyebut Abul A’la al-Maududi yang keluarganya mendirikan
sekolah mandiri untuk keluarga, setelah sebelumnya menarik anak-anaknya dari sekolah
sekuler. Ada pula Syaikh Taqyuddin an-Nabhani yang mendapat pengaruh besar dari
pendidikan keluarganya, terutama dari Syaikh Yusuf bin Ismail, ayahanda dari
ibu beliau. Dan kita masih mempunyai contoh hidup bagaimana pendidikan keluarga
memberikan pengaruh yang besar bagi seseorang yang kelak menjadi profesor
tafsir di negeri ini.
4- Meski beliau memiliki beberapa
pendapat syadzdz—seperti tentang kewajiban berkerudung; dan kita tidak
perlu mengikutinya—namun ada hal sangat penting bagi tumbuh-kembang kecintaan
Prof. Dr. Quraish Shihab terhadap tafsir. Ternyata, kecintaannya terhadap Quran
dan tafsirnya telah ditumbuhkan sejak dini oleh keluarganya. Setiap ba’da
maghrib, bapaknya mengulas satu-dua ayat Quran dan mendiskusikannya bersama
keluarga. Bayangkan, betapa indahnya keluarga yang memiliki majelis rutin
seperti ini, berapa banyak manfaat yang bisa diperoleh darinya? Bahkan kalaupun
anggota keluarga tersebut baru terdiri dari suami dan istri berdua saja.
Parean, 3 Syawal 1433 H/21
Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar