Ada seorang bapak yang sejak bertahun-tahun lalu buku yang ditulisnya menarik perhatian saya. Judul bukunya saja menggugah rasa penasaran: Daging Anjing & Persatuan Ummat (Diskusi Tertulis Antar Muslim). Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Toko Amanat, Yogyakarta, pada tahun 2004. Pemikiran yang ingin diangkat oleh penulis dalam buku itu antara lain: Umat Islam selalu diplekotho (dipecundangi, red.) oleh pemerintah … adalah karena ummat Islam tidak mau pakai akal …, padahal akal tercantum dalam QS 10:100. (hlm. 13). Sebagai salah satu bukti bahwa umat Islam tidak pakai akal adalah ummat Islam tidak mau pakai akal dalam menentukan hukum daging anjing dan dalam menentukan jumlah partai Islam dinegeri ini. (hlm. 12).
Baginya, umat Islam yang
mengharamkan daging anjing berarti tidak menggunakan akalnya. Dia mengira bahwa
pengharaman daging anjing nyata-nyata bertentangan dengan ayat-ayat Quran yang membatasi
makanan yang haram hanya empat saja, yaitu babi, darah, bangkai, dan hewan yang
disembelih tanpa menyebut nama Allah. Hadis tentang pengharaman binatang buas
bertaring, karena bertentangan (menurut versinya) dengan ayat-ayat Quran
tersebut, wajib dibatalkan kesahihahannya. Lebih dari itu, dia bahkan
menyatakan bahwa menerima hadis tersebut berarti musyrik.
Saya berkeinginan memberikan
uraian yang mencukupi guna membantah pemikirannya yang sedemikian, namun tidak
pada kesempatan ini. Cukuplah di sini saya sampaikan bahwa—sepanjang yang saya
ketahui—tidak ada seorang pun pakar ilmu syariat yang menyatakan bahwa hadis
tentang Rasulullah melarang memakan daging hewan buas bertaring bertentangan
dengan ayat Quran, apalagi sampai memusyrikkan orang yang menerima hadis
tersebut. Di ruang ini, saya akan membahas pemikirannya yang lain, berkaitan
dengan kepada siapa seorang mukmin harus sami’nâ wa atha’nâ.
Dalam sms yang dikirimkannya
kepada saya tertanggal 31-8-2012 pukul 08.25, dia menyatakan: 2.285:
Nabi+semua orang yang iman sami’na wa atha’na pada perintah Allah.
Saya jawab (pukul 08.58): 24.51
memberi keterangan tambahan untuk sami’na wa atha’na kepada Rasul. Rasul
haramkan daging anjing, pak Hirafi tidak, maka pak Hirafi melanggar 24.51.
Berjam-jam kemudian (14.13),
si bapak mengirim sms balasan, menyatakan bahwa saya berbohong, karena di Al
Qur`an Tarjamah Tafsiriyah penerbit Ma’had Nabawi 2012, h. 436 sama
sekali tidak ada tambahan untuk sami’na wa atha’na kepada Rasul. Anda BOHONG.
Di sms yang sama, si bapak tidak lupa menuliskan: Anda BOHONG, pekerjaan
orang musyrik memang seperti itu.
Saya penasaran, apa yang
tertulis di dalam Tarjamah Tafsiriyah? Setelah saya cek, ternyata Ustadz
Muhammad Thalib di dalam buku tersebut memaknai QS. An-Nûr [24]:51 seperti
berikut:
Orang-orang yang
benar-benar beriman, jika diajak taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
menjalankan hukum Allah di tengah-tengah mereka, maka mereka berkata: “Kami
mendengar dan kami taat.” Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beruntung
di dunia dan di akhirat. (Al Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, hlm. 436.)
Dengan terjemahan seperti ini
sebenarnya gamblang bahwa pihak yang harus diberikan sikap sami’nâ wa atha’nâ
adalah Allah dan Rasul-Nya. Tuduhannya bahwa saya berbohong itu karena
memang dia bernafsu besar memberikan stigma negatif tanpa dasar. Terbukti,
bahkan menyatakan saya musyrik tanpa argumen yang kuat pun dia berani.
Hanya saja saya ingin memberi sedikit
catatan terhadap redaksi terjemah tafsiriyah di atas. Setelah saya bandingkan
beberapa versi terjemah ayat ini, ada perbedaan antara Al Qur’an Tarjamah
Tafsiriyah (QTT) karya Al Ustadz Muhammad Thalib, Al-Qur’an &
Maknanya (QM) karya M. Quraish Shihab, dan Alqur’an dan Terjemahnya;
Kitab Suci Alqur’an Departemen Agama Republik Indonesia (QT).
M. Quraish Shihab di dalam Al-Qur’an
& Maknanya (hlm. 356) menerjemahkan sebagai berikut:
Sesungguhnya sejak dahulu
ucapan orang-orang mukmin (yang mantap imannya), apabila mereka dipanggil
kepada Allah dan Rasul-Nya supaya dia menetapkan hukum di antara mereka hanyalah
ucapan mereka: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung.
Sedangkan di dalam Alqur’an
dan Terjemahnya; Kitab Suci Alqur’an Departemen Agama Republik Indonesia (hlm.
553), ayat tersebut diterjemahkan dengan redaksi:
Sesungguhnya jawaban
orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar
rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar
dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Perhatikan frasa yang
ditebalkan. Frasa tersebut adalah terjemah dari liyahkuma yang
terdiri dari dua unsur, yaitu li (kata ini memiliki sekitar empat
puluh makna; dalam tiga versi terjemah di atas dimaknai dengan: dengan, supaya,
serta agar) dan yahkumu (menjalankan hukum, menetapkan
hukum, menghukum/mengadili).
Kata yahkumu berbentuk
fi’l (kata kerja). Setiap fi’l memiliki fâ’il (subjek,
pelaku). Fâ’il untuk kata yahkumu adalah orang ketiga
tunggal (dia) untuk jenis laki-laki. Pertanyaannya, dia yang dimaksud di
sini siapa? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan alat berupa—setidak-tidaknya—bahasa
Arab dan ilmu tafsir. Seorang mufasir akan memperhatikan hal ini. Jika kita
anggap tiga versi terjemahan di atas adalah tafsir—dan memang semestinya
terjemahan terhadap Quran dikategorikan sebagai tafsir dan oleh karenanya harus
memperhatikan kaidah-kaidah tafsir—, maka pembaca tidak menemukan jawaban atas
pertanyaan tersebut di QTT maupun QM. Bedanya, QTT sama sekali tidak
menunjukkan keberadaan fâ’il ini, sedangkan QM menampilkannya dengan
tetap menulis dia. Dari sini dapat disimpulkan, dari ketiga terjemah
ayat tersebut, QM adalah terjemah paling harfiah.
Lalu, siapakah dia? Simak
penjelasan Syaikh Muhammad ibn Muhammad ibn Mushthafâ al-‘Imâdî a.k.a
Abû as-Sa’ûd di dalam kitab Irsyâd al-‘Aql as-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb
al-Karîm:
...{ إِذَا
دُعُواْ إِلَى الله وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ } أي الرَّسولُ عليه الصَّلاةُ والسَّلامُ
Sebagaimana terlihat, di situ
beliau terangkan bahwa fâ’il dari kata yahkum adalah ar-Rasûl.
Ini senada dengan QT yang memunculkan fâ’il bagi kata yahkum
tidak sekedar dengan menuliskan dia, tetapi langsung dengan
menjelaskan bahwa dia di situ adalah Rasul. Dengan demikian, dalam
konteks memunculkan fâ’il, QT adalah tafsir terbaik dibandingkan dua
versi lain. Wallâhu A’lam.
Sampai di sini saya ingin
mengatakan, berdasarkan uraian sederhana ini saja terlihat bahwa ada
detil-detil tertentu dari Quran yang tidak bisa dipahami hanya dengan
mengandalkan terjemah-terjemah Quran. Secanggih apapun terjemah tersebut, ada
bagian-bagian tertentu dari Quran yang tidak bisa tertangkap dengan baik dengan
menagandalkan terjemah. Quran harus dipahami dengan bahasa Arab—karena Allah
mewahyukannya dalam bahasa Arab dan Dia sendiri berkali-kali menyatakan bahwa
ini adalah kitab berbahasa Arab—serta ilmu-ilmu yang digali dari karakter Quran
itu sendiri, yang telah dirumuskan oleh para ulama.
Aqûlu qawlî hadzâ wa astagfiruhu.
Washshalâtu wassalâmu ‘alâ Sayyidinâ wa Nabiyyinâ Muhammadin wa ‘alâ
Âlihi wa Shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsânin ilâ yaumiddîn.
Kasatriyan “Madu Retno”
Miliran, 17 Syawwâl 1433 H/3 September 2012 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar