Saat ini kaum Muslimin di
seluruh dunia masih dalam suasana gelombang protes terhadap diizinkannya
peredaran film Innocence of Muslims yang menghina Nabi Suci Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa âlihi wasallam. Alhamdulillah, di berbagai belahan negeri-negeri
Islam, kaum Muslimin benar-benar mengekspresikan kecintaan mereka terhadap Nabi
mereka, Imam para Nabi, yang setiap disebut namanya, bibir serta-merta
mengucapkan doa agar kesejahteraan dan keselamatan senantiasa tercurah
ke haribaannya.
Nabi Muhammad, Nabinya kaum
Muslimin, yang diutusnya ke muka bumi tidak lain adalah sebagai rahmat bagi
semesta alam, justru banyak dihujat dan dilecehkan. Tidak hanya masa-masa ini,
melainkan sejak dahulu kala, sejak beliau mendakwahkan risalah dari Sang
Pemilik alam. Penghinaan demi penghinaan itu terus berlanjut, hingga saat ini.
Jadi, penghinaan terhadap Nabi
oleh orang-orang kafir terjadi sejak Nabi masih hidup, masa para khalifah,
hingga saat ini ketika kaum Muslimin tidak lagi memiliki khalifah. Hanya saja, di
saat Nabi masih hidup dan ketika kaum Muslimin masih memiliki negara Khilafah, orang-orang
kafir perlu berpikir berulang-ulang kali untuk menghina Nabi, karena pada saat
itu mereka akan mendapat reaksi yang semestinya secara efektif. Berbeda halnya
dengan saat ini, di mana penguasa-penguasa negeri Islam lebih banyak diam
melihat penghinaan demi penghinaan terhadap seseorang yang mereka akui sebagai
Nabi. Malah ada di antara mereka yang mendahulukan pembelaan terhadap pemuka
negara kafir harbi yang menjadi korban protes yang dilakukan oleh kaum Muslimin.
Meski demikian, Alhamdulillah,
di tengah ketiadaan Khilafah, sejarah mencatat beberapa kisah kepahlawanan individu
Muslim dalam membela kehormatan Nabinya. Di antara rekaman sejarah mengenai hal
ini bisa disimak dari penuturan Buya Hamka di dalam Tafsir al-Azhar Juz
XVIII halaman 236-240, yaitu ketika memaparkan kandungan surat an-Nûr ayat 63.
Berikut penuturan beliau selengkapnya:
***
Kemudian datanglah ayat 63, menerangkan
bahwa menyeru nama Rasul tidaklah serupa dengan menyerukan nama di antara kita
sesama kita. Sedangkan Tuhan Allah sendiri belum pernah menyebut namanya “Ya
Muhammad”, hanya dengan memanggil pangkat tugasnya: “Ya Nabiyyu”. Wahai
Nabi. “Ya Ayyuhar Rasulu”. Wahai Utusan Tuhan. Atau kata sindiran “Wahai
orang yang berselimut” (Ya Ayyuhal Muzammil). Atau “Ya Ayyuhal
Muddatsir” (Wahai orang yang berselubung).
Cara Tuhan
memperlakukan NabiNya dengan menghormatinya secara demikian, adalah suri
teladan bagi kita sebagai ummatnya. Dan kalau hendak meninggalkan majlisnya
sebelum selesai pekerjaan, memohon izinlah dengan terus-terang, jangan
mengeluyur saja keluar seorang demi seorang dengan diam-diam, sehingga di akhir
pekerjaan dilihat kawan hilang satu hilang dua saja, tak diketahui di mana
perginya.
Maka diperingatkanlah
bahwasanya sikap-sikap yang demikian, baik bersikap kurang hormat kepada nama
beliau seketika memanggilnya, ataupun meninggalkan majlisnya dengan tidak
memohonkan izinnya terlebih dahulu, adalah perbuatan yang sangat salah, yang
tidak layak dilakukan oleh orang yang beriman. Perbuatan demikian adalah
kelakuan orang yang masih kurang matang imannya, bahkan sebagai tanda alamat
dari orang yang munafik. Orang yang demikian haruslah ingat bahwa perbuatannya
yang salah akan berbahaya juga akhir kelaknya, akan ada-ada saja bahaya fitnah
yang akan menimpa dirinya atau merusakkan masyarakat bersama. Bahkan terancam oleh
azab siksa Ilahi yang lebih besar.
Sekarang timbullah pertanyaan:
Apakah keadaan yang seperti ini masih berlaku buat kira ummat Muhammad yang
akan datang di belakang beliau ini? Padahal kita tidak hadir lagi dalam majlis
beliau?
Janganlah berfikir begitu, tetapi
ingatlah bahwa syahadat kita “Tidak ada Tuhan selain Allah”, belumlah cukup sebelum
diiringi dengan “Muhammad adalah Utusan Allah”. Kita tidak dapat menyelenggarakan
apa yang diperintah oleh Tuhan, di luar daripada tuntunan yang diberikan kepada
oleh Nabi. Sedangkan seorang nelayan dengan juaran kailnya, tidaklah mau
meletakkan juaran kali itu pada tempat yang sembarangan saja, karena dengan itu
dia mencari rezekinya, apatah lagi di antara kita sebagai umat Islam dengan
Nabi junjungan kita. Meskipun kita tidak hadir lagi dalam majlisnya, namun kita
tidak lepas dari tuntunannya. Dia sebagai insan telah meninggal, tetapi ajarannya
tetap hidup dalam hati kita. Bertambah besar pengaruh peribadi Muhammad
atas diri kita, bertambah bersinarlah iman dalam hati kita.
Tentu kita dapat mengerjakan
sesuatu yang tidak mengurangi hormat kita kepada beliau setelah beliau wafat,
sebagaimana orang yang hidup di sekelilingnya dapat mengerjakan seketika beliau
hidup.
Misalnya jika dibaca orang
suatu Firman sabda beliau, kita dengarkan baik-baik. Sebagai Imam Malik r.a.
Setiap akan akan mengajarkan Hadis Rasululla dia dalam mesjid beliau Medinah,
dipakainya bajunya yang bersih dan dia berwudu’ lebih dahulu. Dan bila disebut
namanya jangan dilupakan mengucapkan “Shallallahu ‘alaihi wasallama”. Kita
menghormati memuliakannya di dalam batas Tauhid. Tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah hambaNya dan UtusanNya.
Salah seorang pelopor Tafsir Moden
Sayid Rasyid Ridha kurang senang atas kebiasaan penafsir-penafsir lama yang
selalu menafsirkan ayat-ayat yang dimulai dengan QUL, ditafsirkan: “Katakan
olehmu hai Muhammad!” karena Tuhan tidak berkata begitu.
Dalam rangka ini, timbullah “khilafiyah”
di kalangan Ulama tentang salawat kepada Nabi s.a.w. Seketika orang bertanya
kepada Rasulullah s.a.w. bagaimanakah mestinya kami mengucapkan salawat kepada
engkau ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Ucapkanlah Allahumma shalli ‘ala Muhammadin
wa ‘ala ali Muhammad” (tidak memakai Saiyidina). Setengah ulama berfaham bahwa
tidaklah akan mungkin Nabi menyuruhkan orang ber“saiyidina” kepada dirinya. Oleh
sebab itu tidaklah akan terhitung bid’ah jika kita tambahkan Saiyidina, dari
sebab ijtihad kita bersandar ayat-ayat yang memerintahkan menghormatinya.
Di zaman sebagai zaman kita
sekarang ini, kerapkali cinta kepada Nabi diganggu dengan sikap-sikap yang
tidak sopan. Baik kaum komunis yang membenci segala macam keyakinan agama, ataupun
pemeluk agama lain yang sengaja hendak mengganggu perasaan kita, kerapkali
terjadi penghinaan mereka kepada peribadi Nabi Muhammad s.a.w. Kalau sekiranya
mereka menyerang peribada Nabi dengan dasar “ilmiah”, niscaya sebagai Muslim wajiblah
kita bersedia menangkis serangan itu dengan ilmiah pula. Tetapi satu-satu kali
timbullah sikap yang amat tidak sopan, kadang-kadang sampai kepada derajat
“kurang ajar”. Dalam saat yang demikian ilmiah yang mendalam tidak ada
faedahnya lagi. Pada saat yang demikian kita wajib menunjukkan cinta kepada
Nabi dengan sikap yang jelas. Karena kadang-kadang pertahanan saja tidaklah
dapat untuk mendapat mencapai kemenangan. Pertahanan wajib diikuti oleh
semangat menyerang juga, ataupun memberikan ganjaran yang setimpal kepada orang
yang kurang ajar itu.
Kita akan dituduh fanatik
karena orang hendak menyembunyikan kefanatikannya sendiri. Fanatik kita kepada
Nabi lantaran cinta, jauh lebih baik daripada fanatik musuh Islam karena
bencinya!
Sebagai contoh hendak kita
kemukakan “Kisah Nyata” yang pernah terjadi sebelum perang di Karachi (sebelum
menjadi negara Pakistan). Terjadi di saat orang merayakan Yubileum George V, Raja
Inggeris.
Seorang penulis Hindu dari
Aria Samaj mengarang sebuah buku yang isinya menghina Islam dan menghina Nabi
Muhammad s.a.w. Dia menulis dengan segenap nafsu kebencian. Segala tuduhan yang
buruk-buruk ditimpakan kepada diri Nabi. Kaum Muslimin seluruh India menjadi
ribut setelah buku itu tersiar. Protes kepada penguasa Inggris timbul dari
mana-mana sehingga si penulis terpaksa ditahan dalam penjara menunggu
perkaranya dibuka dan menunggu bukunya dicabut dari peredaran.
Dalam hari yang ditentukan dia
akan dihadapkan pada pengadilan. Dia sendiri bersedia dihadapkan ke muka
pengadilan dan meminta supaya ulama-ulama Islam India yang terkemuka pun
dihadirkan dalam majlis itu. Sebab dia berani bertentangan berdebat
mempertahankan bukunya.
Khabar berita itu sangatlah
menekan perasaan penduduk India di batas sebelah utara, di antara Pakistan dan
Afganistan sekarang ini.
Daerah yang terkenal keras
semangat Islamnya dan membuat susah Inggeris berpuluh tahun lamanya, karena
mereka tidak mau mengakui pertuanan Inggeris atas daerahnya yang bebas merdeka
itu. Di sana ada seorang pemuda, masih berusia 20 tahunan, baru empat bulan
saja kawin.
Meskipun sedang hidup
berkasih-kasihan dengan isterinya sebagai pengantin baru, berita penghinaan
kepada Nabi s.a.w. itu sangatlah menggoncangkan perasaannya, sehingga isterinya
menjadi heran melihat mukanya tidak bergirang lagi dan apabila dihidangkan
makanan tidak lagi disentuhnya.
Namanya Abdul Qayum.
Dengan diam-diam dia hilang
dari kampung halamannya. Dia pergi menuju kota Karachi, karena hendak turut
hadir mendengarkan soal-jawab di antara hakim Inggeris dengan orang yang
menghina Nabi Muhammad itu.
Tidak ditemuinya keluarga dan
orang senegerinya di Karachi. Dia hanya tidur di mesjid-mesjid kecil
menumpang-numpang. Dia menunggu bilakah sidang perkara orang yang menghina Nabi
Muhammad dan menghina Islam itu akan dibuka. Dengan diam-diam dia telah membeli
sebuah pisau belati besar, yang dengan sekali pukul bisa menghabiskan nyawa
orang yang kena tikam. Pisau itu diasahnya baik-baik. Di mana-mana dia
mendengar orang berbicara menyatakan kemarahan karena Nabi dihina. Di mana-mana
orang-orang menunggu bila perkara itu akan dibuka. Setengah orang berkata bahwa
hakim Inggeris niscaya akan menjatuhkan keputusan yang enteng saja atas perkara
itu. Abdul Qayum diam saja mendengar cerita orang.
Hari persidangan pun datang.
Banyak orang Islam berkerumun ke muka Mahkamah. Beberapa orang ulama dihadirkan
untuk bersoal-jawab dengan pesakitan. Si pesakitan mulai ditanyai oleh hakim.
Kian ditanya kian dia menyombongkan diri. Seakan-akan dia lupa bahwa daerah
Sind itu adalah daerah mayoritas umat Islam. Dia terus menentang.
Tiba-tiba masuklah Abdul Qayum
dengan langkah yang tetap dan tenang ke dalam majlis itu. Dia hanya berselimut
saja dengan kain tebal, sebagai kebiasaan penduduk daerah perbatasan utara yang
dingin itu. Tidak ada orang yang curiga, dan penjaga mahkamah pun rupanya lalai
memeriksa orang yang masuk.
Dia maju ke muka, dibukanya
selimutnya, sedang hakim tengah menanyakan beberapa keterangan kepada pesakitan,
dan pesakitan menjawab dengan angkuhnya.
Abdul Qayum mendekat juga ke
meja Mahkamah. Dibukanya penutup badannya, lalu dikeluarkannyalah pisau belatinya
itu, sambil berkata kepada hakim: “Orang yang kurang ajar kepada Nabinya
ummat Islam ini bukanlah dengan tanya dan jawab demikian harus diselesaikan.
Menyelesaikannya hanyalah dengan ini!” Lalu disentakkannya pisau belatinya,
ditancapkannya ke punggung pesakitan itu, ditekannya kuat-kuat sampai tembus ke
bagian muka dan ditariknya ke bawah. “Begini…!” katanya dengan tenang.
Semua anggota mahkamah
terkejut, si pesakitan telah tersungkur meregang badan, lalu mati, darah
berbuih, usus terburai. Ketua mahkamah hendak lari keluar. Ulama-ulama yang
hadir terbingung-bingung. Lalu dengan tenangnya Abdul Qayum berkata: “Paduka
tuan Hakim tidak perlu lari. Saya tidak gila, dan saya tidak akan berbuat
kepada tuan seperti itu, kalau tuan tidak menghina Nabi kami seperti dia pula.”
Barulah polisi-polisi penjaga
sadar akan dirinya. Mereka pun mendekati Abdul Qayum dan kebetulan
polisi-polisi ada yang orang Islam. Abdul Qayum berkata dengan tenangnya:
“Janganlah tergesa dan gugup menangkap saya, saya tidak akan lari. Tugas saya
membela Nabi saya sudah selesai, inilah saya, tangkaplah dan tahanlah, dan
inilah pisau belati itu.”
Abdul Qayum dimasukkan ke
dalam tahanan, wajahnya jernih berseri selama ditahan. Satu mahkamah lagi
bersidang dan Abdul Qayum dihukum mati. Kaum muslimin memprotes tetapi tidak
diperdulikan. Hukuman dijalankan juga dengan diam-diam. Abdul Qayum digantung, tengah
malam. Pagi-pagi ummat Islam mencari di mana mayatnya dikuburkan, lalu
dibongkar dan dengan satu demonstrasi besar dikuburkan, diiringkan dengan beratus
ribu kaum Muslimin. Polisi keamanan kepunyaan penjajah dikerahkan buat
membubarkan orang yang mengantar jenazah itu sampai terjadi pertempuran di
tengah jalan. 200 kaum Islam jadi kurban dan polisi pun ada yang jadi kurban.
Kaum Muslimin memaklumkan
hartal seluru India, toko-toko ditutup, pakaian berkabung keluar. Padahal saat
itu bertepatan dengan Yubelium duduknya Raja George V di singgasana Inggeris.
Segala lampu dipadamkan orang dan tidak ada seorang Islam pun yang keluar
rumah. Sedang orang Hindu pun tidak pula merayakan Yubelium itu, karena mereka
pun sedang menentang politik Inggeris.
Akhirnya kaum Muslimin India
sepakat memberikan gelar “Al-Ghazali” kepada Abdul Qayum. Maka disebutlah dia
setelah syahidnya “Al-Ghazali Abdul Qayum”.
Kita salinkan kisah nyata ini,
bukanlah dengan maksud supaya ummat Islam Indonesia mengacau keamanan. Maksud
kita hanya menyerukan kepada pemeluk Agama lain atau kaum yang mengejek agama
supaya dapat menjaga ketenteraman kita bernegara dengan tidak mengadakan sikap
dan tingkah laku yang dapat menimbulkan cara yang diambil oleh Al-Ghazali Abdul
Qayum itu. Apalagi ada satu hadis yang berbunyi:
“Berbahagialah ummatku yang
dapat melihat wajahku dan cinta kepadaku. Dan berbahagialah tujuh kali orang
yang tidak melihat wajahku tetapi tidak kurang cintanya kepadaku. Dia pun akan
bertemu dengan daku di hari kiamat.”
Hadis seperti ini
kadang-kadang sangat berkesan ke dalam jiwanya ummat Islam, yang bagi orang
yang bukan Islam tidak dapat difahamkan, kecuali dengan menuduh fanatik.
***
Kasatriyan “Madu Retno”
Miliran, 10 Dzulqa’dah 1433 H/16 September 2012 M 12:39 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar