Saya kutip tulisan ustadz Syamsuddin Ramadhan an-Nawi dalam buku beliau Hukum Islam Seputar Jihad Mati Syahid; Menyikapi Aksi Terorisme
dan Perang Fisik.
Adanya Imam Bukanlah Syarat Dilakukannya Jihad Ofensif Maupun Jihad Defensif
Sesungguhnya keberadaan imam atau khalifah bukanlah syarat untuk melakukan jihad, baik defensif maupun ofensif. Sebab, nash-nash yang berbicara tentang perang datang dalam bentuk muthlaq tanpa ada taqyiid (batasan). Allah swt berfirman:
“Diwajibkan atas kamu berperang” [QS. Al-Baqarah:216]
Di tempat lain, Allah swt juga berfirman:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.” (QS. Al-Baqarah:190)
Sedangkan di dalam Sunnah dinyatakan, bahwa Abu Bashir pernah membunuh seorang kafir dari Bani ‘Amir dan merampas hartanya, tanpa ijin dari imam. Sebab, ia tengah berada di luar otoritas kekuasaan hukum dari imam (Rasulullah saw), tatkala dua kafir Mu’ahid meminta agar beliau saw menyerahkan dirinya kepada mereka.
Inilah dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk menetapkan hukum; bahwa ketika seorang Muslim berada dalam otoritas kekuasaan dan hukum kaum kafir, maka ia boleh berjihad melawan orang kafir dan merampas harta bendanya, meskipun tanpa izin dari imam.
Sejarah juga menuturkan kepada kita, bahwa ketika ke-Khilafahan ‘Abbaasiyah runtuh dan kaum Muslim berada dalam cengkraman orang Tartar dalam tenggat waktu yang cukup lama; di mana saat itu mereka tidak mempunyai seorang imam, dan yang ada dalah para pemimpin daerah, akan tetapi, mereka tetap berjihad melawan musuh tanpa pernah berhenti.
Jihad di sini mencakup jihad ofensif maupun defensif. Keduan boleh dilakukan walaupun tanpa ijin atau keberadaan seorang imam atau khalifah. Ketentuan semacam ini didasarkan pada tindakan Abu Bashir. Pada saat Abu Bashir membunuh salah seorang utusan Quraisy dari Bani ‘Amir, sesungguhnya pembunuhan itu dilakukan dalam konteks untuk membela diri agar ia tidak dikuasai oleh musuhnya (jihad defensif). Sedangkan tindakah Abu Bashir menyerang kafilah dagang Quraisy dan merampas harta bendanya merupakan jihad ofensif.
Hanya saja, perang tidak boleh digunakan sebagai metode untuk menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah, atau untuk mengoreksi penyimpangan penguasa yang tingkat kemaksiyatannya belum mencapai taraf ”kufran shurahan” (kekafiran yang nyata). Lihat pada penjelasan berikutnya mengenai masalah ini.
Adanya Imam Bukanlah Syarat Dilakukannya Jihad Ofensif Maupun Jihad Defensif
Sesungguhnya keberadaan imam atau khalifah bukanlah syarat untuk melakukan jihad, baik defensif maupun ofensif. Sebab, nash-nash yang berbicara tentang perang datang dalam bentuk muthlaq tanpa ada taqyiid (batasan). Allah swt berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
“Diwajibkan atas kamu berperang” [QS. Al-Baqarah:216]
Di tempat lain, Allah swt juga berfirman:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.” (QS. Al-Baqarah:190)
Sedangkan di dalam Sunnah dinyatakan, bahwa Abu Bashir pernah membunuh seorang kafir dari Bani ‘Amir dan merampas hartanya, tanpa ijin dari imam. Sebab, ia tengah berada di luar otoritas kekuasaan hukum dari imam (Rasulullah saw), tatkala dua kafir Mu’ahid meminta agar beliau saw menyerahkan dirinya kepada mereka.
Inilah dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk menetapkan hukum; bahwa ketika seorang Muslim berada dalam otoritas kekuasaan dan hukum kaum kafir, maka ia boleh berjihad melawan orang kafir dan merampas harta bendanya, meskipun tanpa izin dari imam.
Sejarah juga menuturkan kepada kita, bahwa ketika ke-Khilafahan ‘Abbaasiyah runtuh dan kaum Muslim berada dalam cengkraman orang Tartar dalam tenggat waktu yang cukup lama; di mana saat itu mereka tidak mempunyai seorang imam, dan yang ada dalah para pemimpin daerah, akan tetapi, mereka tetap berjihad melawan musuh tanpa pernah berhenti.
Jihad di sini mencakup jihad ofensif maupun defensif. Keduan boleh dilakukan walaupun tanpa ijin atau keberadaan seorang imam atau khalifah. Ketentuan semacam ini didasarkan pada tindakan Abu Bashir. Pada saat Abu Bashir membunuh salah seorang utusan Quraisy dari Bani ‘Amir, sesungguhnya pembunuhan itu dilakukan dalam konteks untuk membela diri agar ia tidak dikuasai oleh musuhnya (jihad defensif). Sedangkan tindakah Abu Bashir menyerang kafilah dagang Quraisy dan merampas harta bendanya merupakan jihad ofensif.
Hanya saja, perang tidak boleh digunakan sebagai metode untuk menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah, atau untuk mengoreksi penyimpangan penguasa yang tingkat kemaksiyatannya belum mencapai taraf ”kufran shurahan” (kekafiran yang nyata). Lihat pada penjelasan berikutnya mengenai masalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar