RANTAI MOTORKU YANG PUTUS dan MISS WORLD
Kemarin malam motor saya larikan ke arah selatan Jogja.
Malam itu adalah jatah saya mengisi kajian malam Sabtu. Seperti isi khutbah
siang tadi yang mengkritik agenda maksiat bernama Miss World dan para
pembelanya (baik suka maupun tidak dengan acara tersebut), kali ini juga sudah
diniatkan untuk membuka kajian dengan membacakan beberapa ayat yang ada
kaitannya dengan nahi mungkar. Sayangnya, rantai motor saya putus di tengah
jalan, sehingga tidak bisa melanjutkan perjalanan. Terpaksa saya meminta
bantuan mas Beni dan mas Danang. Semoga Allah membalas kebaikan keduanya.
Karena tidak ada jadi mengisi kajian, saya
tuliskan di sini saja apa yang ingin disampaikan malam itu. Kira-kira begini
ceritanya:
Bagi sebagian orang, aksi berbagai elemen umat
Islam menolak Miss World mungkin terlambat atau malah sia-sia. Pertama, karena
ditolak ataupun tidak, mereka tidak mau tahu. Tidak berpengaruh. Telinga mereka
sudah tuli. Kedua, panitia sudah berjuang selama tiga tahun untuk bisa
menyelenggarakannya. Ketika panitia sudah mendapat hak penyelenggaran kontes
asusila itu, masa iya mau membatalkan begitu saja karena adanya penolakan. Menolak
sekarang itu terlambat. Seharusnya sejak dulu menolaknya. Ketiga, Miss
World tidak melanggar hukum positif yang manapun. Jadi, jangan memaksakan
kehendak. Negara ini bukan negara Islam, tapi negara demokrasi. Sah-sah saja
orang menggunakan haknya untuk berekspresi.
Maka, saya ingin mengutip buku berjudul Amar Ma’ruf
Nahi Mungkar (Perintah Kepada Kebaikan larangan dari Kemungkaran) buah karya
Ibnu Taimiyah yang diterjemahkan oleh Akhmad Hasan, diterbitkan Departemen
Urusan Keislaman, Wakaf, Da’wah, dan Pengarahan Kerajaan Arab Saudi, cetakan
kedua, tahun 1421. Buku tersebut diberi kata pengantar oleh Dr. Muhammad Jamil
Ghazy, yang mengulas beberapa ayat Alquran. Antara lain beliau menulis sebagai
berikut:
Ayat Ketujuh:
وَاسْأَلْهُمْ عَنِ
الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ
إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا
يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
(163) وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ
مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى
رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (164) فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ
أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا
بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (165) فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا
نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ (166)
“Dan
tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut
ketika mereka melanggar aturan hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka
ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan, dan di
hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikian
Kami mencoba mereka karena berlaku fasik.
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara
mereka berkat: ‘Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka
atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat keras?’ Mereka menjawab: ‘Agar
kami punya alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhan kalian dan supaya mereka
bertakwa.’
Maka tatkala mereka melupakan apa yang
diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari
perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang
keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap
apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka: ‘Jadilah
kera yang hina!’.” (QS al-A’râf [7]:163-166)
Golongan yang Tiga
Ayat di atas menunjukkan, penduduk negeri itu
terbagi tiga golonganL satu golongan berbuat mungkar, dan berbua durhaka dengan
berburu di laut hari Sabtu; satu golongan melarang perbuatan yang dilakukan
oleh golongan pertama dan menjauhi mereka; dan golongan ketiga berdiam diri,
tidak melakukan perbuatan itu dan tidak melarangnya, tapi ia berkata kepada
golongan (kedua) yang menentang: “Mengapa kalian mencegah mereka, padahal
kalian sudah tahu mereka dicap sebagai orang-orang celaka, bahwa tersebab
kesombongan mereka terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya – akan mendapat
siksa dari Allah, karena cegahan kalian terhadap mereka itu tidak ada gunanya.”
Golongan kedua (yang menentang) menjawab: “Kami
melakukan itu sebagai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kami karena
perjanjian amar ma’ruf nahi mungkar yang telah dibuat-Nya dengan kami.” Kemudian
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menetapkan keselamatan bagi orang-orang
yang melarang, dan kecelakaan bagi orang-orang zhalim.
Ibnu Katsir berkata: “Dan Allah tidak berbicara
tentang orang-orang yang diam; karena balasan itu tergantung jenis amal
perbuatan. Maka mereka tidak patut mendapat pujian, dan mereka tidak bebuat
dosa besar sehingga perlu dicaci.”
Nasib Golongan yang Diam
Ar-Razi berkata: “Dan ketahuilah, sesungguhnya
lafaz ayat ini menunjukkan, golongan yang melanggar aturan itu celaka, dan
golongan yang mencegah dari yang mungkar selamat. Adapun orang-orang yang mengatakan:
لم تعظون (mengapa kalian menasihati ...), para ulama tafsir berbeda
pendapat, termasuk golongan manakah mereka itu?”
Ada riwayat dari Ibnu Abbas, tentang mereka, tidak
dapat diberi keterangan yang jelas (tawaqquf), (karena kita harus
bergantung pada keterangan asy-Syari’).
Dari Ibnu Abbas juga diterima riwayat:
“Celakalah dua golongan, dan selamatlah golongan
yang melarang. Ibnu Abbas apabila membaca ayat itu, beliau menangis, dan
berkata: ‘Sesungguhnya mereka yang tidak mencegah dari mungkar ini, celaka. Dan
kami melihat beberapa hal yang kami mengingkarinya, kemudian kami dian dan
tidak berkomentar apa-apa.’”
Al-Hasan berkata: Golongan yang diam, selamat. Maka
dua golongan selamat, dan satu golongan lainnya celaka.
Para ulama yang berpendapat bahwa mereka selamat
berhujjah bahwa perkataa mereka (لم تعظون قوما الله
مهلكم أو معذبهم عذابا) ‘mengapa
kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasa mereka atau mengadzab
mereka dengan adzab yang sangat keras’ menunjukkan mereka sangat menentang,
dan tidak ikut memberi nasihat karena yakin, nasihatnya tidak akan digubris dan
berbekas. Jika ada pertanyaan: Tidak memberi nasihat adalah maksiat, dan
mencegah memberi nasihat juga maksiat. Maka mereka yang berbuat demikian tentu
termasuk dalam firman Allah yang bermaksud: “... dan Kami timpakan kepada
mereka orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan merkea selalu
berbuat fasik.” Kami menjawab: Itu tidak mesti. Karena mencegah dari yang
mungkar hanya kewajiban kifayah, yaitu jika sebagian telah ada yang melakukan,
maka lepaslah kewajiban itu dari yang lain.[1]
Alasan Kepada Tuhanmu
Firman Allah:
قَالُوا مَعْذِرَةً
إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
(mereka
menjawab: “Agar Kami mempunyai alasan kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka
bertakwa.”) menunjukkan kewajiban mencegah dari yang mungkar tidak gugur
meski diketahui cegahan itu tidak akan berhasil. Karena adanya penerimaan dan
kepatuhan bukan termasuk syarat. Maka kalau hanya menjalankan suatu rukun dari
rukun-rukun agama agama, dan cemburu kalau hukum-hukum Allah dan
larangan-larangan-Nya dilanggar, tentu cukup sebagai hasilnya!
(Tulisan ini semoga masih Bersambung...)
Miliran, 25 Syawwâl 1434 H/1 September 2013 M
06:53
[1]
Komentar: Kewajiban kifayah tidak gugur selama tujuan-tujuan yang hendak
dicapai dari kewajiban tersebut belum tercapai. Wallâhu A’lamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar