Ia Berpikir Maka Ia Kafir?
Seseorang perlu berpikir untuk sampai kepada keimanan. Ayat-ayat Alquran
banyak mendorong manusia untuk berpikir guna mendapatkannya. Tetapi malam itu
ada sebuah pertanyaan tentang sebuah fenomena yang rupanya sedang dibicarakan
cukup luas di dunia maya.
Seorang aktor yang murtad. Ia mengaku telah memikirkannya selama enam
tahun sebelum memutuskan murtad. Pertanyaannya: Jika keimanan harus diperoleh
dengan proses berpikir, lalu mengapa sang aktor itu malah murtad setelah
berpikir? Lalu berpikir yang seperti apa yang dapat menghasilkan keimanan? Dan
bagaimana pula dengan kisah masuk Islamnya Abu Bakar yang seolah tanpa proses
berpikir lebih dulu, melainkan langsung percaya saja dan masuk Islam? Mengenai
pertanyaan terakhir, in syâ Allâh akan dibahas di dalam artikel lain, dengan
judul Masuk Islamnya Abû Bakr. Artikel ini sedikit-banyak akan
menjawab dua pertanyaan pertama.
Berpikir adalah mengaitkan fakta dengan informasi yang didapatkan
sebelumnya. Prosesnya melibatkan indera dan otak. Akurasi fakta yang sampai ke
dalam otak maupun informasi yang ada di dalam otak akan menentukan akurasi
hasil pemikiran seseorang. Satu lagi yang tak kalah penting dalam menentukan
kualitas pemikiran seseorang adalah mutu pengaitan antara fakta terindera
dengan informasi awal tersebut.
Dalam menghukumi fakta kebenaran suatu agama, seseorang yang benaknya
meyakini informasi bahwa semua agama sama, atau meyakini bahwa manusia boleh
memilih agama apa saja yang diinginkannya, atau meyakini bahwa
memeluk-agama-atau-tidak adalah hak asasi manusia (HAM), akan berbeda dengan
seseorang yang informasi awal yang dimiliki dan diyakininya adalah bahwa
kebenaran suatu agama itu berbeda-beda (ada yang salah, ada yang benar),
manusia hanya boleh memilih agama yang telah dipilihkan oleh Sang Pencipta,
serta hak dan kewajiban asasi manusia adalah bertindak sesuai dengan
bimbingan-Nya. Dan lain-lain.
Seseorang yang mengenyam kekeliruan informasi awal yang kompleks akan
lebih susah untuk berpikir benar dibandingkan orang-orang yang memiliki hanya
sedikit saja kekeliruan informasi. Tetapi dalam kasus seseorang mau mencari
kebenaran, berbagai kekeliruan informasi awal yang dimiliki oleh benaknya,
sebanyak apapun, dapat dengan mudah dibersihkan –bi idznillâh— dengan
membenahi dasar dari segala pemikirannya, yaitu pemahaman yang menyeluruh
tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan.
Kasus aktor yang murtad dapat kita bahas dalam kerangka ini.
Pertama-pertama kita bisa menyelidikinya dengan mengajukan pertanyaan:
Perenungan seperti apa yang membuat sang aktor murtad? Dengan pasti kita akan
menemukan berbagai kekeliruan informasi yang dia enyam, apabila kita bisa
mendapatkan keterangan-keterangan darinya mengenai hal itu.
Namun dalam kondisi tidak terdeskripsikannya makhluk yang ia sebut
sebagai ‘perenungan selama enam tahun’ itu, kita dapat membahas hasil
pemikirannya, dan menelaah: Apakah itu cermin berpikir yang benar? Jawaban atas
pertanyaan itu bisa kita telusuri dengan menetapkan pemahaman yang benar dan
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, terutama soal asal
keberadaan kita. Dari mana kita berasal? Ini adalah pertanyaan kunci yang perlu
kita jawab.
Pencermatan terhadap sebagian saja dari alam semesta, manusia, dan
kehidupan, akan mengantarkan pada kesimpulan yang jelas dan pasti mengenai hal
ini. Kita ambil satu contoh, yaitu tentang kejadian manusia.
Saat mengerjakan tulisan ini, Musa, putra pertama kami, menangis. Saat
ini usianya tepat 32 hari. Itu berarti 33 hari yang lalu ia masih berada di
dalam kandungan. Usia kandungannya tepat 38 pekan. Artinya, 266 hari sebelumnya
ia masih berada di dalam tubuh saya. Sejak kapan ia ada di sana? Saya tidak
tahu. Dari sangat banyak teman sejalannya, saya juga tidak bisa menentukan dia
yang harus jadi manusia utuh. Sungguh saya tidak bisa memilih siapa di antara
mereka harus dilahirkan ke muka bumi. Meski bahan baku Musa yang berasal dari
saya itu akhirnya bersemayam di tubuh istri saya, dia pun tidak dapat
menentukan bahwa ia pasti akan jadi manusia utuh, berkelamin lelaki, dan memiliki
hidung seperti bapaknya. Kami hanya sejak awal memanggilnya Musa, sebagai doa
karena keinginan ibunya agar anak pertamanya adalah lelaki. Dan meski benar dia
terlahir sebagai lelaki, tetapi tampak hidungnya tak semancung ayahnya. Bukti
bahwa kami bukanlah pihak yang mewujudkannya sedemikian rupa.
Lalu bagaimana ia bisa terwujud? Apakah ada yang mewujudkannya, atau
tidak ada? Hanya ada dua kemungkinan itu, tidak ada yang lain. Lalu kemungkinan
mana yang benar? Apakah benar Musa – juga setiap anak manusia yang lain – tak
ada yang menciptakan sebagaimana yang diyakini oleh kaum ateis?
Kenyataan yang tak bisa dibantah oleh siapapun adalah: Manusia tumbuh
dari benih yang ditanam oleh seorang lelaki (bapaknya) ke dalam rahim seorang
perempuan (ibunya). Benih itu adalah sesuatu yang lebih lemah dibandingkan
bapak dan ibunya. Ibu dan bapaknya secara umum memiliki kualitas yang lebih
dibandingkan benih itu. Sesuatu yang tidak ada, tidak mungkin mengadakan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak ada, juga tidak mungkin menjalankan
proses apapun. Karenanya, bayi yang tumbuh dan berkembang di dalam rahim ibunya
pasti ditumbuhkan dan dikembangkan oleh SESUATU YANG ADA, tidak mungkin muncul
dari ketiadaan.
Lalu apa atau siapakah SESUATU YANG ADA, yang menumbuh-kembangkan benih
menjadi janin di dalam rahim? Jelas ia bukan bapaknya, ibunya, atau dirinya
sendiri. Maka pasti SESUATU YANG ADA itu adalah sesuatu yang di luar ketiganya,
dan memiliki kualitas yang lebih dibandingkan ketiganya. Jadi siapakah Dia?
Kita bisa meneruskan penalaran seperti di atas untuk sampai kepada
kesimpulan yang benar mengenai keimanan. Itulah salah satu contoh bagaimana
menalar keberadaan Sang Pencipta. namun pembahasan tentang siapa Dia
dalam konteks ini tidak harus dibahas panjang-lebar, karena pada dasarnya agama
yang dianut sang aktor setelah murtad juga mengakui adanya Sang Pencipta. Dalam
kitab suci mereka (versi Arab atau Indonesia), Sang Pencipta juga disebut
Allah, sebagaimana di dalam Islam.
Sebagai suatu ajaran yang sama-sama mengakui adanya Sang Pencipta, tentu
kebenaran yang berasal dari-Nya menduduki peran yang penting. Maka perenungan
yang harus dilakukan selanjutnya untuk
mendapatkan hakikat kebenaran beralih kepada sejauh mana ajaran-ajaran yang
dibawa oleh masing-masing agama bersumber dari-Nya. Kita bisa menilik kitab
suci masing-masing untuk menjawab persoalan ini.
Pertanyaan pentingnya: Benarkah kitab suci agama yang saat ini dianut
oleh sang aktor adalah berasal dari Sang Pencipta? Pertanyaan yang sama dapat diajukan
untuk kitab suci agama yang ditinggalkannya. Sangat penting untuk membahasnya.
Mari kita mulai memberikan sekedar contoh apa yang patut dipikirkan mengenai
hal ini.
Pertimbangkan fakta-fakta di bawah ini dengan baik, dan cobalah
renungkan.
1. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor menyatakan: kitab
ini tidak ada keraguan di dalamnya. Pernyataan itu dapat ditemukan dengan
segera setelah Pembukaan dalam kitab suci. Adakah pernyataan ‘keaslian’ semacam
itu ada pada kitab suci agama yang sekarang dianut sang aktor?
2. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor sejak diturunkan
sampai saat ini dilafazkan dengan bahasa Arab. Itu menandakan konsistensi
sekaligus jaminan keaslian, validitas dan otentisitas kitab ini dari dulu
sampai sekarang. Apakah konsistensi seperti ini ditemukan juga di dalam kitab
suci agama yang dianut sang aktor saat ini?
3. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor memiliki rantai
periwayatan yang jelas. Para penghafal Alquran memiliki sanad yang bersambung
kepada Rasulullah, manusia penutur pertamanya. Adakah hal yang sama ada pada
kitab suci yang dianutnya sekarang?
4. Kitab suci agama yang ditinggalkan oleh sang aktor menantang para
pengingkarnya untuk membuat satu surat saja yang memiliki kualitas yang setara
dengan satu surat di dalamnya. Apakah kitab suci agama sang aktor saat ini
memiliki hal yang sama?
Jika sang aktor mengaku telah memikirkan kemurtadannya selama enam tahun,
setidaknya empat fakta di atas mestinya ia perhatikan baik-baik, di luar
berbagai fakta lain yang dapat dibandingkan mengenai validitas dan otentisistas
sumber masing-masing agama. Itulah yang dituntut untuk dilakukan dalam konteks
memilih dua agama yang sama-sama mengakui keberadaan Sang Pencipta. Jika
penelusuran dan pembandingan terhadap sumber ajaran justru tidak dilakukan,
diduga kuat bahwa yang dilakukan oleh sang aktor adalah berkhayal, bukan
berpikir. Atau, yang dia lakukan hanyalah membandingkan dan merenungkan: agama
mana yang lebih cocok dengan selera nafsunya?
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ
هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ
عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
(٢٣)
Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Surat al-Jâtsiyah [45]:23)
Mulai ditulis di Sedayu, Bantul, DIY, pada 04 Ramadhân 1436 H
Selesai ditulis di Bukit Rivaria, Sawangan, Depok, Jawa Barat, pada hari
Jumat, 01 Syawwâl 1436 H/17 Juli 2015 pukul 16.37 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar