Khilâful Awlâ
Apa itu khilâful awlâ?
Sahaya mengenal istilah ini sejak membaca kitab asy-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah Juz 1, di dalam pembahasan ‘Ishmah al-Anbiyâ` (Kemaksuman
Para Nabi). Diterangkan di sana, pada halaman 136: yazûju ‘alaihim fi’lu
khilâfil awlâ wahuwa fi’lu ba’dhil mubâhât dûna al-ba’dhi (bisa saja
mereka [para nabi, pent.] melakukan khilâful awlâ, yaitu melakukan
sebagian perbuatan yang mubah sambil meninggalkan perbuatan mubah lainnya).
Pada halaman 137 dijelaskan
lagi: ...lâ takûnu af’âluhu shallallâhu ‘alaihi wasallam harâman walâ
makrûhan, walâkin yajûzu an takûna khilâfal awlâ, lianna khilâfal awlâ yakûnu
mubâhan minal mubâhât (perbuatan-perbuatan beliau shallallâhu
‘alaihi wasallam tidak ada yang haram maupun makruh, tetapi bisa saja
beliau melakukan khilâful awlâ karena khilâful awlâ tergolong
perkara-perkara yang mubah).
Syaikh Taqyuddîn an-Nabhânî rahimahullâhu,
penulis kitab ini, memberikan keterangan lebih lanjut terkait hal ini pada
pembahasan lain, yang diberi judul Lâ Yajûzu fî Haqq ar-Rasûl an
Yakûna Mujtahidan. Di sana beliau menerangkan (hlm. 147-148):
Makna Khilâful Awlâ adalah bahwa di sana ada perkara
yang mubah (boleh), tetapi sebagian pengamalannya lebih utama dibandingkan yang
lain. Dan juga di sana ada perkara yang mandub (sunah), tetapi sebagian
pengalamannya lebih utama dibandingkan sebagian yang lain. Misalnya, boleh saja
seseorang tinggal di kota atau di tinggal di desa, tetapi tinggal di kota lebih
utama dibandingkan tinggal di desa bagi orang yang dapat mengelola urusan-urusan pemerintahan
dan mengoreksi para penguasa. Maka, ketika ia tinggal di desa, ia telah
melakukan khilâful awlâ. Contoh yang lain: memberikan sedekah secara
rahasia dan terang-terangan adalah perkara yang mandub, tetapi memberikannya
secara rahasia lebih utama dibandingkan memberikannya secara terang-terangan.
Maka apabila ia seseorang memberikannya secara terang-terangan, ia telah
melakukan khilâful awlâ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar