16 Juni 2012
Terimakasih untuk Muldan yang
telah mengantarkanku sampai terminal Giwangan. Hari ini, demi memenuhi janji
kepada seseorang, aku memesan tiket Sinar Jaya kelas ekonomi. Ingat, aku
naik bus kelas ekonomi karena yang namanya bus ber-AC itu dingin, dan saya
tidak suka. Selain itu uangnya juga terbatas. :)
Berangkat tak lama setelah
terdengar azan Asar, bus tiba di terminal Kebumen sekitar pukul 18.30. kata
sopir, “Silakan manfaatkan waktu untuk ke kamar kecil, dan lain-lain. Kita berhenti
agak lama.” Alhamdulillah, ada kesempatan untuk menjamak Maghrib dengan Isya.
Biasa sebenarnya. Yang agak sulit itu solat Subuh. Seringkali bus tidak
berhenti untuk memberi kesempatan para penumpang menunaikan ibadah yang lebih
baik dari langit dan bumi itu. Lha supirnya sendiri ndak solat sih.
Maksud saya, sebagian supir. Karena ternyata salah satu supir bus yang
kutumpangi kali ini solat Subuh bersamaku.
Usai solat, aku duduk di dekat
bus, jejer kanan seorang bapak pedagang asongan. Aku tersenyum. Beliau juga
melakukan hal yang sama. “Akuanya, mas.” Beliau menawarkan. “Mboten riyin, pak,”
jawabku. Lalu kami berbincang.
Beliau adalah bapak dari tujuh
anak. Lima di antaranya sudah menikah. Sedangkan dua yang lain tinggal menunggu
hari pernikahan. Empat kerja dan tinggal di Serang, dua di Bandung. Hanya satu
orang yang masih tinggal bersama beliau. Semua anaknya tidak ada yang kuliah.
Semuanya hanya lulus STM. Begitu kata beliau.
Bapak itu berpeci. Saya kira
beliau orang yang cukup relijius. “Berdagang seperti ini cukup untuk menghidupi
keluarga, pak?,” tanyaku, sekedar menyambung pembicaraan. “Alhamdulillah, mas,
cukup. Yang penting tekun,” jawab beliau.
Karena bus sudah akan berangkat
lagi, aku pamitan. Sebotol susu aku beli dari beliau.
Perjalanan dilanjutkan. Sambil
menikmati perjalanan, sesekali aku habisi satu per satu bakpia pathuk. Atau
minum seteguk-dua teguk air. Sampai akhirnya aku terserang kantuk dan tertidur.
Sekitar jam sepuluh, aku terbangun. Jalan yang asing. Aku merasa ini bukan
jalur selatan yang biasanya aku lalui. Tidak heran, sebab sebelumnya pak sopir terdengar
bercakap melalui ponsel tentang rute alternatif yang bisa ditempuh. Jalur
selatan ada perbaikan, pasti macet.
Aku ambil kacamata di tas. Kuamati
jalan. Gelap. Belum ada tulisan yang bisa kubaca. Sampai akhirnya kulihat
sebuah tulisan: Banjar. Hei, daerah mana ini? Aku belum pernah dengar kota
bernama Banjar di daerah Jawa Tengah. Mungkin Banjarnegara? Aku amati lagi
jalan di kiriku. Beberapa kali nama itu kulihat lagi. Benar-benar Banjar. Jadi,
ini bukan Banjarnegara. Lalu Banjar mana? Ndak mungkin Banjarmasin kan?
Hehe,,
Setelah mengamati, berpikir, dan mengais-ngais
ma’lumat as-sabiqah, aku tahu, ini sudah masuk daerah Jawa Barat.
Terbukti kemudian, bus melewati Ciamis, lalu muncul papan nama seperti Bandung,
Tasikmalaya, Sukabumi, dll; nama-nama yang memastikan bahwa kami sedang berada
di tatar pasundan. Subhanallâh.
Ya sudah, tidur lagi saja.
17 Juni 2012
Dan akhirnya, sampailah di Cibitung.
Kononnya, itu hanya sejam lagi menuju terminal tujuan. Waktu itu masih sekitar
jam 5 pagi, dan bus akan berhenti cukup lama. Jadi, Alhamdulillah, ada
kesempatan untuk solat Subuh.
Aku pergi ke musola. Karena perlu
ada yang dibuang, kucari pula toilet. Tapi, wow, antri. Dan yang lebih penting:
pesing sekali! Gagallah aku membuang sesuatu. Kuputuskan langsung ambil air
wudu. Di musola, jamaah sebelumnya sudah bubaran. Ada beberapa orang yang
masuk, termasuk seorang bapak yang usianya kukira baru tiga puluh tahun,
langsung azan. Selepas itu, ia mempersilakanku menjadi imam. Aku tak menolak.
Solat berjalan lancar-lancar
saja. Tetapi… saat aku hendak sujud setelah i’tidal di rakaat kedua, aku
mendengar suara, “Subhanallah.” Aku kaget. Ada yang protes? Ada apa ini? Tak
menunggu lama, aku sadar, ini solat Subuh. Sebagian kaum muslimin merasa kurang
mantap kalau tidak melakukan doa qunut. Bahkan jika doa tersebut tertinggal, perlu
kiranya melakukan sujud sahwi di akhir solat. Tapi saat itu kuputuskan untuk tetap
melanjutkan sujud. Dalam hati, kukatakan, “Maaf, pak, saya tak terbiasa melakukannya.
Dan maaf, saya lupa member kesempatan kepada Anda untuk melakukannya.”
Selesai solat, bersalam-salaman,
zikir sebentar, kembalilah kami ke bus. Siap melanjutkan perjalanan.
Dan… akhirnya sampailah aku di
terminal tujuan. Weh, lebih dari sejam ini mah. Sekarang, tinggal menunggu dua
orang menjemputku. Sembari itu, sebaiknya aku beli dan baca Koran dulu. Di
antara beberapa, ada yang paling menarik: Tolak Lengser, Anas Pasang Badan;
SBY Harus Tegas. Wah, seru kayaknya. Saya sih berdoa, semoga kalian
binasa saja. SBY, sekaligus Partai Demokratnya. Apa sih nilai demokrasi selain
sebagai sampah yang tak berharga?
Lalu ponselku berbunyi. “Mas
Shofhi di mana?”. “Di depan terminal,” kubilang. Sambil menjelaskan kordinat
posisi asal-asalan. Toh ia bisa melihat juga. “Oh, iya,” katanya. Kuarahkan
pandangan menuju lokasi para angkot berdatangan. Yak, dia ada di sana!
Kami bertemu dan ditawari makan
lontong sayur. Oke, pagi-pagi perlu sarapan. Lalu perjalanan kami lanjutkan
dengan naik angkot.
Supir angkot yang kami tumpangi tampak
kurus dan tua. Aku coba menyapa, “Asli mana, pak?” tidak ada jawaban. Biasa,
aku agak kurang jelas kalau bicara. Akhirnya kuurungkan niat. Mungkin diam
lebih baik. Tetapi akhirnya kesempatan itu datang juga. Aku kembali bertanya, “Asalnya
dari mana, pak?”. Ternyata beliau dari Magelang. Selanjutnya beliau yang lebih
banyak bercerita. Apalagi setelah mendengar saya kuliah di Jogja.
Beliau curhat. Beberapa waktu
yang lalu sempat berencana pulang ke kampung halaman. Tidak, rencana itu batal.
Ada anaknya yang ingin menikah dengan anak sini, meski akhirnya tidak jadi. “Di
sini, mas, banyak juga saudara. Tetapi tidak bisa diharap banyak bantuannya. Sekali
dua kali minta tolong, sudah cukup. Selanjutnya, kamu ya kamu, saya ya saya.
Bapak itu punya utang, kalau dihitung mungkin mencapai tiga puluh juta. Pinjam
duit ke bank harian, bank mingguan, bank bulanan. Untungnya bos yang sekarang
baik. Orang Batak, mas. Tapi baik, tidak seperti bos yang lain.”
Masih panjang apa yang beliau
keluhkan, aku tak ingat semuanya. Yang melekat adalah, ketika beliau mengulurkan
tangan kanannya memberikan selembar uang sepuluh ribu kepada seorang pemuda.
Kukira itu pungli. Maka aku tanya, “Itu tadi untuk apa, pak?” Dan beliau pun
dengan senang hati menjelaskan. Ternyata itu adalah setoran harian, atau yang
tadi disebut dengan istilah bank harian. Beliau meminjam uang sebesar dua ratus
ribu dan harus dicicil setiap hari selama 27 hari. Wow, artinya beliau harus membayar
rente sebesar 35% dari uang yang dipinjamnya! Betapa jahatnya para rentenir
itu.
Di Solok, kata teman yang
menjemput saya, kasus seperti itu lebih banyak lagi. Di sana banyak lintah
darat. Atau istilah lainnya: bank 46. Pinjam 4, kembali 6. “Apa hal seperti itu
tidak melanggar hukum?,” tanyaku. “Hukum apa dulu? Hukum Islam atau hukum apa?”
“Ya jelas hukum positif, dong. Kalau hukum Islam kan jelas haram.” “Kalau
sama-sama setuju, ya ndak.” “Bagaimana dengan debth collector?”
tanyaku lagi. “Nah, kalau itu, baru melanggar.” “Tapi kok bank-bank itu banyak
yang menggunakan jasa debth collector?” “Ya, kalau tidak, bagaimana
mereka menagih?” “Tapi kok dibiarkan? Apa mereka legal?” “Ilegal.” Sekarang aku
ingat, mas Agung—gurunya mas Zulnaro yang suka membantu orang-orang lemah dalam
menghadapi para lintah darat—pernah menyatakan bahwa ada sekitar 30 pasal (saya
ragu jumlah pastinya) yang bisa menjerat tindakan-tindakan intimidasi dan
perilaku tidak menyenangkan yang sering dilakukan para teroris bernama debth
collector itu. Menarik. Perlu untuk ditanyakan.
Kini tibalah kami di rumah. Aku
dipersilakan masuk, bertemu beberapa orang, berbincang-bincang. Apa yang kami
perbincangkan? Secret lah ya… :)
Yang jelas aku disuguhi makanan
yang cukup lezat. Sayangnya, tidak mungkin saya melahap semua hidangan. Perut saya
bukan karet kok ya. Jadi, maaf ya … , tuan rumah …
Bersambung … (kalau sempat) :D
Miliran, 24 Juni 2012
hmmmz,ea sma2 sya sbgai teman ny. menarik juga ya ustzd q perjalanan nya mau pulang, bsa di jadikan peljran bagi kita temen2, nah kaya ustzd kita klw pulang tuh bagi2 cerita,.! tpi cerita ny yg menarik loe, kaya ustzd kita ini,.. tetaplah berjuang.
BalasHapus