Pengantar
Ini adalah bagian akhir diskusi bertema Mau Dirikan
Khilafah? Mulailah Dari Sekarang di milis INSISTS. Dalam diskusi ini, saya
pribadi lebih memfokuskan diri pada membahas tema: Prioritaskah menegakkan
Khilafah saat ini? Selamat menikmati.
Akmal Sjafril (untuk Dedy Ardiansyah)
05/11/10
Kalau mau melakukan istinbath silakan lakukan, jgn suruh org
lain melakukannya untuk antum. Coba
paparkan menurut antum gimana baiknya, apakah terus-menerus verbal terus atau
harus diseimbangkan antara kata dan perbuatan atau bagaimana?
dedy ardiansyah
05/11/10
bukan nyuruh...tp seperti itulah diantara cara kita sbg
muslim menentukan bgm cara kita bertindak. ada landasan dalil dan cara
istinbath yg benar. walaupun org lain tdk setuju.
verbal tdk verbal bukan ukuran. ukurannya dalil. paham?
adian husaini
05/11/10
Kok diskusi khilafah jalan terus. Baiknya nanti kita tukar
pikiran di ruang terbatas saja. InsyaAllah, tujuan sama-sama baik. Tapi caranya
bisa berbeda. Dan itu wajar saja. Di antara sahabat2 Nabi yang sudah dijamin
masuk sorga saja ada banyak perbedaan pendapat, bahkan sampai konflik. Semoga
kita juga ikhlas dalam perbedaan, sehingga bisa kita carikan solusinya yang
terbaik.
Akmal Sjafril
05/11/10
Jelas antum yg gak paham.
Saya sudah bilang, masalahnya bukan verbal dan tidak verbal. Tapi HANYA dan TERUS-TERUSAN verbal dengan
verbal + non verbal. Jadi jgn bicarakan
lagi soal verbal dan tak verbal.
Rasulullah saw. itu dakwahnya verbal dan tidak verbal. Makanya kita permasalahkan org yg terus
menerus bicara khilafah tapi tak ada action-nya, malahan meremehkan org lain
hanya karena ia tidak memverbalkan perjuangannya menuju khilafah.
Kalau mau pakai dalil, silakan cek hadits paling terkenal
soal amar ma'ruf nahi munkar. Dalam
hadits itu, didahulukan dengan tangan, atau dengan lisan? Jadi, walaupun dakwah dengan verbal sangat
baik dan tidak diragukan keperluannya, tapi kalau mau bicara prioritas, dakwah
non verbal justru lebih diperlukan lagi.
Tambahan PR: duluan mana, keteladanan Rasulullah saw. atau
dakwah (verbal) terang-terangannya?
Afwan caps locknya, hanya utk penegasan. Semoga tidak melanggar netiket.
dedy ardiansyah
05/11/10
Salam ketemu ustad Adian
kita dulu pernah ketemu di Unibraw..
Semoga Allah senantiasa merahmati njenengan sekeluarga
Dengan yang kita perjuangkan, walaupun beda cara
Allah menyatukan kita karena kecintaan kita pada diin ini
Satriyo
05/11/10
Woiii ... ust Adian dah lempar handuk putih ke gelanggang
tuh ....
:-)
Satriyo
05/11/10
Ustadz,
bisa share dalilnya soal Rasul menyampaikan kewajiban
mengangkat seorang khalifah dan kaitannya dengan mendirikan khilafah pada saat
kondisi ummat spt sekarang, yaitu tidak memenuhi kondisi ummat di masa Madinah?
syukran,
rsa
alif mthree
05/11/10
Bos..bos...
Ustadz Adian sudah lempar handuk :D
(ikut-ikutan)
nidlol (untuk Shofhi Amhar)
05/11/10
Sebagai wasilah untuk menjaga persatuan umat Islam seluruh
dunia dan menerapkan syariat Islam secara lebih utuh dan universal, ri'asah
`aammah (kepemimpinan internasional) itu memang wajib (karena memang merupakan
satu-satunya wasilah untuk sebuah ghayah yang wajib tersebut). Dalam hal ini
kita tidak berbeda.
Kan tetapi, seperti saya tegaskan, banyak sekali
"penerapan syariat Islam" yang bisa dilaksanakan tanpa harus menunggu
terbentuknya "ri'asah `ammah", mulai dari pelaksanaan rukun Islam
serta seabreg syariat-syariat Islam lainnya. Untuk hal-hal semacam ini, yang
perlu digalakkan (diteriakkan+diteladankan) hanyalah "penerapan
syariat", bukan "ri'asah `ammah".
Di sisi yang lain, seperti juga saya singgung di email
sebelumnya, kewajiban menggalakkan syariat Islam itu perlu mengacu pada neraca prioritas (dimulai dari yang paling penting, dimulai dari
yang paling memungkinkan, dimulai dari yang paling mendesak, dan dimulai dari yang
paling terdekat).
Ri'asah `ammah dalam agama Islam bukanlah yang paling
penting dan paling mendesak. Ia juga di konteks zaman ini belum memungkinkan
dan belum menjadi sesuatu yang dekat dengan kita. Suatu kewajiban yang belum
mungkin dilaksanakan, serta masih jauh dari jangkauan, belumlah menjadi
kewajiban. Ia baru wajib ketika sudah dekat dan sudah mungkin dilaksanakan.
Mengkampanyekan hal-hal yang belum menjadi kewajiban bukanlah pilihan yang
tepat saya kira.
Shofhi Amhar (untuk ustadz Nidlol)
06/11/10
alhamdulillah, bârakallâh fîk, ustadz. syukran atas
penjelasannya. paragraf kedua antum memperjelas duduk persoalannya. di situ
kita memang berbeda. saya menimbang bahwa riâsah 'âmmah adalah kewajiban prioritas,
bukan karena ia jauh dari kita, belum bisa kita jangkau, dll, melainkan karena
hal itu ditetapkan oleh syariat sebagai perkara hidup dan mati. itulah yang
menjadikannya prioritas. demikian, ustadz.
Shofhi Amhar (untuk ustadz Akmal)
06/11/10
koreksi sedikit. hadits: man raâ minkum munkar
falyughayyirhu biyadihi fain lam yastathi' fabilisânih fain lam yastathi'
fabiqalbih, bukan menyangkut amar makruf nahi munkar, tetapi hanya inkarul
munkar.
Shofhi Amhar
06/11/10
syukran, ustadz satriyo.
hadis: man mâta walaysa fî 'unuqihi bai'ah mâta mîtatan
jâhiliyyah. siapa saja mati sedang di lehernya tidak ada baiat, matinya mati jahiliyah.
hadis ini bersifat umum, tidak terikat syarat kondisi, sehingga dalam kondisi
umat saat ini pun, baiat itu tetap wajib. Jika secara kausalitas belum
memungkinkan, maka memenuhi usaha sebab akibat agar menjadi mungkin itu wajib
pula. wallahu a'lam.
nidlol
07/11/10
wafiika baarak, ust. Shofi.
ada dalilnya sehingga ri'asah `aamah merupakan kewajiban
prioritas serta ditetapkan oleh Syariat sebagai perkara hidup dan mati.
trus, kalau memang seperti itu posisinya, mengapa sampai
sekarang antum belum juga mendirikan ri'asah `aammah tersebut? apa yang
menghalagi antum untuk menjalankan kewajiban yang antm lihat sangat prioritas
itu?
nidlol
07/11/10
bunyi dan konteks haditsnya menunjukkan bahwa isinya
tidaklah umum tanpa syarat. dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menyebutkan
dua hal: khala`a yadan min thaa`ah dan man maata walaisa fii `unuqihi bai`ah.
ini tentu konteksnya adalah ketika memang ada imam, atau ada kemungkinan/kemampuan
mendirikan imamah. hadits yang berlaku umum adalah sabda Rasul, "in
amartukum bisyai'in fa'tuu minhu mastatha`tum", persis dengan firman
Allah, "fattaqullaaha mastatha`tum wasma`uu wa athii`uu" (QS.
At-Taghabun: 16)
lagi pula, hadits ini diceritakan oleh Ibnu `Umar RA saat
Abdullah bin Muthi` ingin keluar dari baiatnya kepada Khalifah Yazid.
Asep Sobari
08/11/10
penerapan hadits bai'at tersebut tidak mudah. bukan saat
sekarang saja, tapi sejak masa awal Islam. sejauh ini saya belum mendapatkan
keterangan, bahwa Abdurrahman bin Abu Bakar, Husain bin Ali dan Abdullah bin
Zubair berbai'at kepada Yazid. barangkali ada yang bisa membantu?
"Dan siapa berpaling dari dzikir-Ku, maka kehidupannya
akan benar-benar sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta." (Thaha: 124)
Shofhi Amhar
08/11/10
alhamdulillah kalau ustadz sepaham ada dalil mengenai baiat
sebagai perkara hidup dan mati. adapun mengapa sampai saat ini kewajiban tersebut,
sederhananya karena belum ada ahlul quwwah yang siap
melindungi khalifah yang akan dibaiat. wallahu a'lam.
Shofhi Amhar
08/11/10
dalam hadis tersebut ada sighat syarat, sedangkan bai'ah
adalah isim nakirah. isim nakirah dalam sighat syarat berfaidah umum. Sehingga maknanya
adalah siapa pun yang tidak ada bai'at di lehernya, baik ketika ada maupun tidak
adanya khalifah yang sah ketika itu, maka matinya mati jahiliyah. demikian yang
saya pahami, ustadz. Wallahu
Shofhi Amhar
08/11/10
ralat *...adapun mengapa sampai saat ini kewajiban tersebut
belum terlaksana, sederhananya...dst*
Shofhi Amhar
08/11/10
kalau yang dimaksud adalah ilmu yang tidak berkaitan
langsung dengan tugas-tugasnya sebagai khalifah, saya pikir memang tidak harus.
sedangkan jika sebaliknya, maka ilmu tersebut tercakup dalam syarat mampu.
sebab, faktanya ada orang berilmu, tapi tidak mampu menjalankan kepemimpinan.
khilafah tidak didirikan di dalam negara lain, sebab jika
demikian, bagaimana ia berperan sebagai kepemimpinan umum?
ya, selama syaratnya terpenuhi, warganya atheis pun tidak
masalah. Dan hal itu tidak mustahil. tetapi kalau syaratnya tidak terpenuhi, jangankan
warganya atheis, warganya muslimin pun susah.
demikian, ustadzah hana. wallahu a'lam.
anita masduki
09/11/10
jadi pengen ikut nimbrung:
maaf ustd shofi..terus terang saya baru tahu kalau kewajiban
mendirikan khilafah yang disandingkan dengan kewajiban shalat melebihi membaca
al-Quran yang menurut antum "sekedar" ibadah sunnah yang
dianjurkan..tolong dari mana ustad mengambil dalil atau kesimpulan ini??
Pemahaman saya: membaca, mentadaburi, dan mengamalkan al-Quran adalah wajib
bagi setiap muslim...karena di dalam al-Quran yang penjelasannya dalam
as-Sunnah semua urusan umat Islam diterangkan...Mengapa dikatakan "adapun
membaca quran, hal itu adalh ibadah sunah yang sangat dianjurkan.."..cmiw..
wassalam
nita
Shofhi Amhar
10/11/10
syukron, ustadzah anita, atas pertanyaannya. pada
kenyataannya saya masih belum beranjak dari derajat taqlid. saya belum bisa
berijtihad sendiri. setahu saya membaca (saya tidak menyebut selain itu)
alquran memang sunah. kalau ustadzah menyatakannya wajib, pertanyaannya justru terbalik:
siapakah mujtahid yang pernah menyatakannya? syukron.
nidlol
07/11/10
maaf, maksud saya: "apa dalilnya..?
Shofhi Amhar
08/11/10
afwan juga, ustadz, baru tau ada ralat. bismillah. dalilnya:
1. Hadis yang telah disebutkan tentang baiat.
2. Hadis: idzâ bûyi'a likhalîfatain fa-qtulû al-âkhir
minhumâ
3. Wasiat umar kepada tim formatur agar membunuh orang yang
menolak
baiat jika pengangkatan khalifah berlarut-larut hingga tiga
hari.
nidlol
09/11/10
Ust. Sofhi,
--- In insistnet@yahoogroups.com, Shofhi Amhar
wrote:
> afwan juga, ustadz, baru tau ada ralat. bismillah.
dalilnya:
> 1. Hadis yang telah disebutkan tentang baiat.
> 2. Hadis: idzâ bûyi'a likhalîfatain fa-qtulû al-âkhir
minhumâ
> 3. Wasiat umar kepada tim formatur agar membunuh orang
yang menolak
> baiat jika pengangkatan khalifah berlarut-larut hingga
tiga hari.
Ketiga dalil ini tidak menunjukkan apa yang Antum sampaikan.
Hadits kedua dan wasiat Umar di atas hanya menunjukkan wajibnya ketunggalan
khalifah dan larangan untuk menolak pembaiatan khalifah yang sudah diangkat
oleh tim formatur. Hadits yang pertama juga tidak mendukung. Keterangannya di
bawah:
--- In insistnet@yahoogroups.com, Shofhi Amhar
wrote:
> dalam hadis tersebut ada sighat syarat, sedangkan
bai'ah adalah isim
> nakirah. isim nakirah dalam sighat syarat berfaidah
umum. sehingga
> maknanya adalah siapa pun yang tidak ada bai'at di
lehernya, baik
> ketika ada maupun tidak adanya khalifah yang sah ketika
itu, maka
> matinya mati jahiliyah. demikian yang saya pahami,
ustadz. wallahu
> a'lam.
Kalau seperti ini logikanya, maka mestinya Antum juga harus
menyatakan bahwa mampu maupun tidak untuk mendirikan khilafah atau melindungi
khalifah, kita akan tetap mati jahiliyyah selama tidak berbaiat kepada
siapapun. Mengapa Antum bisa menerima syarat "tidak ada yang melindungi
khalifah" yang membuat keumuman itu terkecualikan, sementara Antum tidak
bisa menerima syarat "tidak ada khalifahnya" atau "tidak mampu
mendirikan khilfah"? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?
Keumuman sebuah ism nakirah hanyalah terbatas pada
konteksnya. Ia tidak bisa keluar dari cakupan tersebut. Ketika saya mengatakan
"laa ahada fid-daar" (Tidak ada siapapun di rumah), tentu maksud saya
hanya terbatas pada "manusia siapapun" dan tidak mencakup jin atau
malaikat.
Shofhi Amhar
15/12/10
Ustadz Nidlol,
hadis pertama, konteknya adalah bai'at, bukan keberadaan
khalifah itu sendiri. sehingga pengamalannya sebagai dalil umum yang mencakup
juga ketika tidak ada khalifah tidak
keluar dari kontek. akan keluar dari kontek jika bai'at tersebut dipahami
sebagai kewajiban berbai'at terhadap kelompok tertentu, sebab yang dimaksud
dengan bai'at di sini tentu saja bai'at terhadap pemimpin seluruh kaum
muslimin. Tanpa khalifah, tidak akan ada bai'at. karenanya, selama belum ada
khalifah, semestinya saya takut jika mati akan berstatus jahiliyah. namun, saya
berharap kemurahan Allah dengan mengusahakan apa yang saya mampu dalam mewujudkan
keberadaan khilafah kembali.
hadis kedua, saya tawaqquf.
mengenai wasiat umar, saya koreksi. poin pentingnya adalah, pengangkatan
oleh tim formatur itu sendiri belum terjadi, sehingga tidak dapat dikatakan hal
ini hanyalah larangan untuk menolak pembaiatan khalifah yang sudah diangkat
oleh tim formatur. Berikut saya kutipkan dari sistem pemerintahan islam karya
syaikh taqyuddin an-nabhani:
[Kaum muslimin lalu pergi meninggalkannya sendirian untuk
memikirkan masalah tersebut. Lalu mereka menjenguk beliau lagi. Mereka
kembali bertanya kepada beliau tentang pengganti khalifah karena
khawatir terhadap kemaslahatan kaum muslimin. Beliau lalu berkata
kepada mereka: "Kalian pilih saja mereka, orang-orang yang
telah mendapatkan ridla Rasulullah." Umar lalu menyebutkan mereka:
"Mereka itu merupakan ahli surga, yaitu Ali Bin Abi Thalib, Utsman Bin Affan,
Sa'ad Bin Abi Waqqas, Abdurrahman Bin Auf, Zubeir Bin Awwam, Thalhah Bin
Ubaidillah.
Dan mereka akan disertai Abdullah Bin Umar, namun dia hanya
berhak memberi suara saja, bukan hak untuk mengurusi urusan
apapun." Beliau berpesan agar mereka memilih khalifah, dan memberi batas
waktu hingga tiga hari. Setelah bicara panjang, beliau berkata kepada
mereka: "Maka ketika aku telah meninggal,
bermusyawarahlah kalian selama tiga hari.
Dan selama itu, urusan rakyat akan dipimpin oleh Suhaib.
Jangan sampai memasuki hari keempat kecuali kalian harus mempunyai
pemimpin (salah seorang) di antara kalian." Lalu Umar mengutus Abu
Thalhah Al Anshari agar menjaga orang-orang yang melakukan pertemuan tersebut,
dan mendorong mereka agar melaksanakan tugas tersebut. Umar
berkata kepada Abu Thalhah: "Hai Abu Thalhah, Allah Azza Wajalla
memberikan kemuliaan Islam kepada kalian, maka pilihlah lima puluh orang dari
kaum Anshar dan perintahkan untuk mendorong mereka yang bermusyawarah
itu, agar mereka segera memilih satu orang di antara mereka."
Umar juga meminta Miqdad Bin Al Aswad agar memilih tempat pertemuan seraya
berkata kepadanya: "Kalau kau selesai mengebumikan aku di pusaraku, maka kumpulkan mereka di suatu rumah hingga mereka bisa memilih
salah seorang di antara mereka." Lalu beliau meminta Suhaib
untuk mengawasi pertemuan tersebut. Beliau berkata kepadanya: "Kamu
awasi orang-orang itu dalam (batas waktu) tiga hari. Jika telah lewat, maka
kamu masuki (pertemuan) Ali, Utsman, Zubeir, Sa'ad, Abdurrahman dan
Thalhah.
Datangkanlah Abdullah Bin Umar dan dia tidak punya hak
apapun (kecuali untuk memberi masukan). Tegakkanlah (urusan itu) di hadapan
mereka. Jika lima orang telah sepakat terhadap satu orang lalu ada
satu orang tidak sepakat, maka penggallah lehernya dengan pedang. Bila
empat orang telah sepakat terhadap satu orang, sedangkan ada dua
orang yang tidak setuju, maka bunuhlah kedua orang itu. Bila tiga orang
sepakat terhadap satu orang, sedangkan tiga yang lain sepakat
terhadap yang lain, maka serahkan kepada Abdullah Bin Umar. Sebab mana di
antara keduanya yang telah diputuskan olehnya, harus kalian pilih.
Kalau mereka tidak menerima putusan Abdullah, maka serahkan kepada
salah seorang di antara mereka, yaitu Abdurrahman Bin Auf. Dan
bunuhlah yang (tidak setuju) lainnya, kalau seandainya mereka tidak
menerima terhadap apa yang telah disepakati orang-orang itu."
Lalu beliau meminta agar mereka tidak membicarakan khilafah lagi hingga
beliau meninggal.]
waduh rame nich.... ane minta link TKPnya za ust Shofhi.... kayanx asik klo mlihat langsung
BalasHapushttp://groups.yahoo.com/group/insistnet/message/20941
BalasHapus